Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2007: “LEMBAYUNG PAGI, 30 TAHUN KEMUDIAN” KARYA FAKHRUNNAS MA JABBAR

Foto SIHALOHOLISTICK

Langit warna-warni berlalu begitu saja. Dari waktu ke waktu selalu saja begitu. Kupetik sehelai awan pagi ini. Lembayung warnanya. Dan setiap burung yang melintasi pagi yang sama, tiba-tiba warnanya jadi lembayung. Hujan turun pun berubah lembayung. Kusaksikan segenap alam yang mengepungku disesaki bayang-bayang lembayung. Perempuan berparas molek itu dalam usia yang amat matang datang padaku membawa hati yang lembayung pula.

”Kau…” desisku tertahan saat menatap perempuan berdarah Melayu itu pertama kali setelah 30 tahun tak bersua. Telunjukku tiba-tiba layu saat sosoknya kian menyergam di antara tiupan angin dan kabut yang menderu.

Aku berkaca di bola matanya yang bening. Masih begitu bening. Aku menatap diriku dalam tiupan angin petang bagai alunan gazal yang lembut. Sayatan biola tua yang mendayu-dayu. Aku merasa sudah begitu tua. Tapi sapa lembut perempuan berkulit kuning langsat itu bagai mengelupaskan kerutan-kerutan di keningku.

”Apa yang masih kau ingat?” bisiknya dengan irama rendah. Menyayat-nyayat.

Mataku kian terbuka lebar saat menyaksikan banyak lukisan, kata-kata, rekaman, dan irama berloncatan dari bola matanya. Tiap helaan napasku bagai memutar kenangan di sebuah layar seluloid yang usang. Warnanya lembayung kecoklatan. Sudah terlalu lama rekaman-rekaman tersebut mengendap di bola mata itu.

Kutatap kedua bola matanya bergantian. Sorot matanya masih nyalang. Berbunga-bunga. ”Kusaksikan di bola matamu, kita ada dalam pergumulan masa lalu yang tak kunjung diam. Kita berangkulan tiba-tiba setelah lama berjauhan. Kita berpelukan tanpa birahi…” ucapku perlahan dan tertahan.

Perempuan itu tersenyum. Mengangguk beberapa kali. Bola matanya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sebuah sapaan mesra. Manja. Penuh pukau dan menyelam ke kedalaman jiwaku. Aku jadi teringat Raja Aisyah dari kebesaran Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat karena maqam keperempuanannya. Perempuan masa laluku ini nyaris setara dengan itu di dalam kerajaan diriku. Tapi, masa lalu itu telah membancuhnya jadi kepingan-kepingan sejarah dan kata-kata yang tersisa.

Di lembayung pagi ini, 30 tahun kemudian, kami bersua. Bak seekor burung yang bersayap lembayung pula terbawa angin yang mengantarkan dirinya padaku. Dan aku pun bagaikan sebuah ranting kayu mendedahkan diri tempat berhinggap bagi dirinya. Tentu saja, ia agak lelah karena bertahun-tahun terbang menembus gumpalan awan dan tabir masa silam yang tertinggal jauh.

”Kau begitu tegar menunggu…” sapanya.

”Apa kau datang memintal semua masa lalu itu?” Ia menggeleng.

”Aku hanya membawa sebagian masa lalu itu. Sebagian lagi, aku datang dengan sayap yang menerbangkan aku jauh ke depan…” katanya penuh makna.

”Kepakkanlah sayap-sayap kecil itu,” sambutku bahagia.

”Akankah kita terbang bersama?” ucapnya mengangkat alis kiri yang kian memperlihatkan kemanjaan yang pernah kurasakan di masa-masa yang sudah terlewati.

”Kau masih membawa serta kemanjaan itu…” kataku menunduk.

”Tidak lagi utuh. Bagai burung, sayapku sudah patah sebelah. Bagai awan, sejuknya telah berderai-derai. Bagai angin, terpaannya tak sesakal dulu…” ucap perempuan itu bermadah. Percik Melayu masih membalut hati pualamnya.

Tatapan mata kami begitu teduh. Begitu lembayung. Butir-butir air mata perempuan menepi di antara kelopak. Berderai di pipinya yang ranum. Jatuh satu-satu diembuskan angin. Bagai tempias gerimis, butir air mata itu menyelam di genangan bola mataku yang terdedah sedari tadi. Air mata kami bergumul di bola mataku. Hangat dan diam.

Apa yang terjadi dalam 30 tahun ini? tanyaku dalam hati. Tatapan matanya yang teduh menangkap tanda-tanya itu. Ia menjawab tanpa ragu-ragu. Segalanya begitu bening. Bagaikan titisan gerimis yang jauh di sebuah telaga jernih yang menguraikan riak-riak kecil menjadi not angka dan nyanyian.

”Kau masih menyukai nyanyian Bahtera Merdeka?” tanya perempuan itu mengusap helai-helai rambutku yang mulai diselingi uban abu-abu.

”Iya… masa lalu dan masa kini, sama saja bagiku….”

Giliran ia terpekur.

”Aku masih ingat semuanya. Sebuah kehampaan yang membuat hatimu terluka. Aku tak banyak tahu apa maknanya waktu itu. Aku hanya seorang anak belia yang mudah memalingkan diri dari siapa saja. Aku merasa bagai seekor burung berbulu keemasan yang boleh terbang sesukanya. Dan aku tak pernah hinggap di ranting mana pun. Aku hanya terbang dan terbang…”

”Tentu kau sudah melupakan surat itu…”

”Iya… aku terbang berjuta mil dari sebuah lorong ke lorong yang lain di langit itu…”

”Iya, langit lembayung itu, bukan?”

Ia mengangguk. Kemolekannya memukauku kembali. Kemolekan yang bertapis kematangan jiwanya. Ia memang sudah tidak muda lagi.

”Aku pernah jadi pramugari di usia mudaku,” tuturnya mengenang.

”Kau telah terbang begitu jauh. Melintasi awan, langit, gunung, kenangan, batu, hujan, lelaki… dan…”

”Jangan sebut itu…” tiba-tiba suaranya agak keras sambil meletakkan telunjuknya di bibirku. Aku terperanjat. Sentuhan lembut itu bagai menguliti diriku.

Kami sama-sama terdiam.

Ia bercerita tentang sisa masa lalunya. Ia pernah menikah dengan seorang lelaki kesayangannya. Punya anak lelaki yang selalu mewakili suaminya yang wafat sepuluh tahun lalu.

”Aku kini sendiri…” tuturnya mulai berterus terang.

”Aku amat bersimpati…” sambutku lemah-lembut.

”Ada ribuan ranting membentang di pokok-pokok kayu. Takkah kau ingin berhinggap di salah satu ranting itu?” ucapku agak bersayap.

Ia merunduk. Diam. Aku menangkap jemarinya yang masih lembut. Kemudian ia tiba-tiba mengangkat dagunya. Menatapku dengan bola mata yang tetap bening.

”Aku datang ke sini, mencari jejak masa laluku. Banyak kenangan tertanam di sini… di kampung halaman ini…”

”Aku juga meninggalkan jejak di sini. Tapi selalu saja, jejak kecil itu pupus tersiram ombak pantai. Kau masih ingat pantai landai berpasir putih… tempat kita bersama teman-teman sekolah dulu menghabiskan waktu liburan. Ada sejuta jejak di situ yang kini tak berbekas lagi…”

”Aku rindu pantai, jejak kaki dan tiupan angin sakal Selat Malaka itu…”

Giliranku bercerita soal perjalanan hidupku di sebuah kampung kecil di tepi pantai itu. Setamat kuliah aku kembali ke kampung halaman. Aku berkebun. Memelihara ternak. Aku ingin jadi peniaga besar, waktu itu. Tapi mimpi itu tak pernah kesampaian. Aku hanya jadi peniaga kampung. Cukup makan. Aku hidup berkeluarga dengan seorang istri dan dua anakku. Keduanya sudah besar-besar. Sama-sama sudah menikah pula. Maklumlah, keduanya anak perempuan. Di sela-sela waktu berkebun dan beternak, aku menyempatkan jadi guru madrasah. Aku mewarisi ilmu agama itu dari emak dan ayah dulunya.

”Sekarang…?” sela perempuan itu.

”Masih seperti itu. Selalu begitu. Aku bagaikan garis datar saja. Tak pernah bisa meninggi. Aku tak bisa terbang seperti dirimu…”

”Setinggi-tinggi burung terbang… akan merendah juga suatu ketika. Seperti diriku kini…”

”Kau bahagia kan?” ucapan perempuan itu benar-benar menusukku. Aku agak terenyak. Sebab, kebahagiaan yang diucapkannya tidaklah sama sebangun dengan kenyataan yang kuhadapi. Sejak kami hanya tinggal berdua di rumah setelah kedua anak perempuan kami menikah dan pindah rumah, kehidupan kami terasa kian hambar saja. Hari-hari kami bagaikan butir air di daun keladi seperti sering jadi nyanyian orang-orang masa dulu.

Aku tertunduk. Bayangan-bayangan yang menakutkan itu menyentakkanku. Aku terasa agak terhuyung. Tapi perempuan itu cepat-cepat menangkapku. Aku jadi agak tenang. Kehangatan elus jemarinya di punggungku kian memperderas aliran darah di nadiku.

”Maaf, aku telah merusak perasaanmu…” ucapnya merasa bersalah.

Aku cepat-cepat memagutnya. Menumpahkan kehangatan perasaan dan sisa mimpi masa lalu yang tak pernah tertebus.

”Semestinya ini terjadi 30 tahun lalu. Saat lembayung pagi menyergap kita di beranda rumahmu…” kataku bagaikan seorang penyair yang memanggulkan jutaan kata-kata molek di pikirannya.

Perempuan itu meremas-remas jemariku. Hangat dan bersahaja. Jantungku berdegup kencang. Sudah lama aku tak merasakan ritma seperti ini. Perjalanan hidupku terasa begitu datar bertahun-tahun. Baru kusadari betapa aku telah lama membenamkan mimpi-mimpi di ceruk jiwa yang terdalam. Betapa jauh aku bisa mengapungkan mimpi-mimpi itu kembali. Perlu 30 tahun bagiku untuk merajutnya. Tak hanya mimpi tapi selaksa kata-kata yang selama ini terhamburkan begitu saja tanpa kendali. Kata-kata ini harus bermakna kembali.

Tiba-tiba kami sudah berada di dalam sebuah ruang. Tak ada cahaya. Tak ada angin. Tak ada sesiapa. Perempuan itu menyanyikan sayup-sayup ”Bahtera Merdeka’” yang dulu amat kusukai. Aku selalu merasa hangat di pangkuan emak bila menyanyikan lagu itu secara tak beraturan. Kali ini perempuan itu bagaikan ikut membangkitkan rasa lelap diriku pada emak yang sudah lama pergi.

Ia menghitung helai demi helai uban di belantara rambutku yang terasa kian jarang. Jemarinya yang lembut terasa membelai-belai. Walau tak pernah dibisikkannya padaku jumlah uban yang sudah dihitungnya, tapi tatap matanya di kegelapan itu menyiratkan sesungguhnya aku sudah begitu tua. Ya, aku merasakan seperti itu setiap berkaca.

”Aku merasa sudah tua…” ucapku mendesis. Lembut dan manja di pangkuan perempuan itu.

”Aku juga…” balasnya tanpa mimik yang jelas.

”Tapi selalu ada sisa cinta di kedalaman hatiku.”

”Cinta itu tak pernah pupus begitu saja. Ia hanya berubah-ubah bentuk….”

Ya, Newton juga selalu mengatakan hal itu dalam pelajaran fisika semasa sekolah dulu, tanggapku dalam hati. Aku ingat pasti soal Hukum Kekekalan Energi Newton itu. Energi memang tak pernah hilang, hanya berubah-ubah bentuk belaka.

”Kau masih mengagumkan…” ucapku lirih.

Ia mencubit pipiku. Kami tersenyum.

”Aku benar-benar merasa terbang di awang-awang. Sudah lama aku tak merasakan terbang setinggi ini…” katanya mengalir begitu saja. ”Bukan karena aku sudah tak jadi pramugari lagi…” lanjutnya.

”Apakah semua ini masih bermakna?” balasku.

Ia lama terdiam.

Bebaskan kata dari makna! Terbayang sepintas di pelupuk mataku Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri yang duduk perkasa di kursi kredonya. Andai saja semua orang melepas makna dari tiap ucapannya… tak ada lagi cinta dan janji-janji, bisik hatiku.

”Tak ada yang tak bermakna dalam hidup ini. Kata-kata, burung, angin, kesendirian, dan apa saja…” sahutnya berfalsafah. Aku begitu memahami kematangan jiwanya kini.

”Kesendirian, katamu…”

”Iya… tapi aku tak pernah memusuhinya. Kesendirian pun bisa jadi sahabat sejati.”

Itulah kata-kata terakhir perjumpaan kami. Perempuan itu bagai burung dengan sayap sebelah terbang jauh. Kembali ke tanah perantauannya. Sedang aku hanya sepotong ranting kayu yang harus tegar berdiri di kampung halaman di bibir pantai. Hari-hariku adalah deru ombak yang pecah di pantai yang keruh.

Perjumpaan kami hanya lewat bunyi, keheningan, dan nafiri rindu. Setiap waktu kami saling berkabar lewat batin. Atau, puisi yang mengalir lembut di nadi-nadi perasaan.

Hari ini tak ada puisi dan kata-kata bermakna, begitu tulisku suatu ketika kehampaan menyesaki perasaan. Hanya kubayangkan tatap matanya yang teduh. Senyum ranum dan kata-katanya yang tak menyisakan buih di atas di celah-celah ombak nasib.

Lembayung pagi, 30 tahun kemudian.

”Andai saja aku semasa sekolah dulu… setiap bisik kata-katamu membuatku terlelap dalam dekap keindahan…. Kau adalah maha-puisi yang selalu menghanyutkan derai makna yang sulit kulupa…” ucap perempuan itu suatu ketika lewat pesawat telepon.

”Tapi, kau pun adalah telaga bening yang sudah lama tak mampu kutimba. Telagamu begitu dalam, dasarnya begitu jauh…” balasku begitu saja.

”Kata-katamu selalu menjelmakan aku jadi puisi tak berbingkai…. Terdedah begitu saja…”

”Napasku adalah kata-kata…”

Lembayung pagi ini. Seekor burung jalak yang berwarna kehitaman melintas di antara pepohonan tepi pantai itu. Selat Malaka terus saja mengalunkan ombak yang pecah di tepi pantai. Selalu begitu dan begitu. ***

 

Pekanbaru, Desember 2006

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler