Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2007: “MALING” KARYA PUTU WIJAYA

Foto SIHALOHOLISTICK

I.

Jambangan bunga porselen di rumah Pak Amat hilang. Amat ngamuk.

“Itu hadiah dari Gubernur. Barang kuno Cina dari dinasti Ming. Kalau dijual sekarang bisa lima milyar harganya!” teriak Amat mencak-mencak.

Dari pagi hingga malam Amat uring-uringan dan menyalahkan segala macam sebab yang dianggapnya sudah jadi biang kehilangan.

“Teledor! Ibu kamu sih yang kurang menghargai Bapak!” kata Amat pada Ami, “semua koleksi Bapak dibuangin satu per satu. Mula-mula burung perkutut. Katanya perkutut hanya bikin orang malas. Lalu anjing tidak boleh dipelihara, katanya rumah jadi bau. Lalu kursi rotan warisan orang tuaku, dijelek-jelekkan sebagai sarang bangsat, lalu dikasihkan begitu saja sama tetangga yang aku benci, lantas beli kursi yang pakai bantalan, tapi kalau diduduki jadi kempes dan bikin aku sakit pinggang. Kemudian sepeda, jam dinding, radio antik, meja marmar, lemari, kap lampu, bahkan juga pakaian-pakaianku semuanya disumbangkan kepada korban banjir. Padahal di antaranya ada jaket yang aku pakai waktu melamar dia dulu. Ibu kamu memang kurang perasaan. Sekarang jambangan bunga yang kata tetangga bisa laku sepuluh milyar, hilang, hanya karena jambangan itu pernah dipuji oleh wanita yang dicurigai ibu kamu itu bekas pacarku. Padahal … .”

“Padahal memang iya kan!” potong Bu Amat yang tiba-tiba muncul membawa pisang goreng.

Amat langsung menaikkan suara, mengoper jauh ke soal lain.

“Jadi pacaran itu bukan tidak boleh, tapi mesti ada batasnya Ami! Kamu ini bukan perempuan biasa. Kamu ini jadi rebutan. Ke mana saja pergi banyak harimau mau menerkam. Ya kan, Bu? Aduh pisang gorengnya harum sekali, pasti enak ini!”

“Sudah tidak usah dipuji, langsung saja dimakan. Dipuji juga tidak akan tambah enak,” kata Bu Amat mengulurkan pisang pada suaminya.

Amat meraih pisang dan langsung hendak disodokkannya ke mulut. Tapi kemudian ia tertegun. Pisang itu dipijit-pijitnya, lalu menoleh istrinya sambil melotot.

“Pisang apa ini keras?”

“Pisang dari porselen. Untuk ganti vas bunga yang hilang itu.”

Ami tertawa cekakan lalu mengambil pisang itu dari tangan bapaknya.

“Wah ini persis banget. Dapat dari mana Bu?”

Bu Amat tersenyum.

“Itu hadiah ulang tahun dulu, dari anak bupati yang naksir Ibu.”

“Bagus amat.”

“Katanya itu buatan Cina dari dinasti Ming.”

“Wah sama dengan vas bunga yang hilang ya?”

“Sama…”

“Harganya juga 10 milyar?”

“Ya kalau asli. Itu kan buatan lokal.”

“Palsu?!”

“Ya itu keahlian kita.. Di pasar Mangga Dua Jakarta apa yang tidak ada.”

“Persis sekali.”

“Tapi ibu tahu itu barang palsu, makanya ibu menolak sebab dia, karena sudah menipu. Ibu lebih percaya pada orang yang sederhana tetapi jujur seperti bapakmu ini. Hanya saja sekarang lagi kumat darah tingginya.”

Amat langsung bela diri.

“Bukan begitu. Aku kesal kok jambangan bunga kesayangan bisa hilang.”

Bu Amat tertawa.

“O masih cinta sama jambangan itu ya? Atau cinta sama yang lain?”

“Aku kesel!”

“Kesel kenapa?”

“Kalau bukan karena keteledoran kita, jambangan itu tidak akan hilang.”

“Keteledoran siapa?”

“Ya kita semua. Apa susahnya memasukkan jambangan bunga itu kalau sudah malam. Kan biasanya juga begitu. Sandal-sandal juga sekarang tidak berani kita taruh di luar sebab banyak orang mengira apa yang dibiarkan di luar itu boleh dipinjam selamanya. Jadi sebenarnya itu kesalahan kita!”

“Kok kesalahan kita, salah pencuri itu dong!” potong Ami.

“Salah kita, Ami!” sergah Amat. “Itu kesalahan kita. Maling tetap maling. Apa yang bisa dia maling akan dimalingnya. Kalau ada barang hilang bukan salah maling itu, tapi salah kita. Kenapa kita tidak hati-hati!?”

Bu Amat tercengang.

“Jadi yang salah aku dan Ami?”

“Pokoknya bukan salah maling itu!”

“Jadi salah aku dan Ami?”

“Ya kita semua!”

Bu Amat melengos, menghentakkan kaki karena tak setuju. Sambil merengut dia balik masuk rumah.

“Sama dengan kasus Lapindo itu, Bu!”

Bu Amat tidak menjawab, sebagai jawabannya pintu digebrakkan keras.

“Wah ini alamat buruk,” desis Amat.

Ami menghampiri bapaknya.

“Kenapa Bapak bilang sama dengan kasus Lapindo?”

“Ya sama kan! Orang banyak sudah salah kaprah. Untung ada Lapindo yang bisa dijadikan kambing hitam dan dituding sebagai yang bersalah. Itu kan sial saja. Coba kalau tidak ada penggalian oleh Lapindo, lumpur panas yang memang sudah mau muncrat itu satu ketika pasti akan muncrat juga.”

“Jadi bukan salah Lapindo?”

“Bukan!”

“Lalu yang salah siapa”

“Ya kita! Ya pemerintah! Ya semua aparat yang bertanggung jawab, kenapa selalu baru ngeh, baru ribut, baru mencak-mencak selalu sesudah kejadian. Kuno!”

Ami tertegun.

“Kalau begitu bapak tidak menyalahkan Lapindo?”

“Ngapain! Bapak bukan orang latah yang suka cari kambing hitam!!!”

Ami hampir saja mau nyemprot, tiba-tiba muncul para tetangga dengan hebohnya sambil mendorong seorang anak tanggung.

“Ini dia pencurinya Pak Amat!” teriak tetangga itu sambil mendorong anak itu ke depan Amat.

Ami dan Amat terperanjat sebab di tangan anak itu tergenggam jambangan bunga kesayangan Amat.

“Ayo ngaku, biar jangan kami yang dicurigai!” bentak salah seorang tetangga.

Anak tanggung itu ketakutan. Badannya gementar. Dia mau bicara. Tapi sebelum mulutnya terbuka, tiba-tiba bogem mentah Pak Amat mendarat di mukanya berkali-kali.

“Lapindo! Lapindo!”

II.

Duduk di meja makan, Bu Amat berpidato.

“Jadi jambangan bunga kesayangan Bapak itu sebenarnya tidak hilang. Tidak dicuri oleh Nak Kentut ini, tapi memang Ibu berikan baik-baik. Ya kan Nak Kentut?”

Kentut, anak tanggung yang duduk di ujung meja mengangguk. Ia memakai baju kaus oblong baru yang diberikan oleh Ami. Mukanya masih benjol-benjol oleh pukulan Amat. Meski pucat, tetapi sudah bersih karena mandi, memakai sabun wangi serta parfum yang diberikan oleh Ami.

Amat menatap takjub.

“Nak Kentut ini sudah tidak punya ibu dan bapak lagi. Keluarganya juga entah di mana. Dia biasa tidur di dalam pasar. Waktu kita mau membuat selamatan yang terakhir itu, dia menolong Ibu mengangkut belanjaan dari pasar ke rumah. Itu pertama kali Ibu mulai kenal dengan Nak Kentut. Dia sudah hampir dua hari tidak makan. Lalu ibu belikan nasi pecel dan ajak ke rumah. Bapak dan Ami waktu itu tidak ada. Di rumah tanpa Ibu minta dia menyapu dan ngepel. Waktu diberikan uang dia menolak, sebab katanya sudah Ibu belikan makan. Lalu Ibu tawari apa dia mau bekerja membantu-bantu di rumah kita ini, kan lebih baik daripada tinggal di dalam pasar. Di situ pergaulannya keras, bisa-bisa nanti jadi orang sesat. Ibu tawari gaji bulanan dan kalau memang rajin, nanti mau kursus apa begitu, untuk bekal hidup, kita bantu biayanya. Tapi Nak Kentut menolak. Mungkin malu. Yak kan Nak Kentut?”

Kentut mengangguk.

“Yak kan?”

“Ya.”

“Ya Bu!”

“Ya, Bu.”

“Nah, sejak itu, setiap kali ke pasar, Nak Kentut selalu menolong Ibu mengangkut barang-barang. Ibu juga selalu membelikan dia nasi. Kemudian pakaian-pakaian Bapak yang tidak pernah dipakai lagi, Ibu berikan kepadanya, daripada dimakan tikus kan lebih baik dimanfaatkan. Ya kan Nak Kentut.”

“Ya.”

“Ya, Bu.”

“Ya, Bu.”

Amat tidak dapat lagi menahan diri.

“O, jadi pakaian-pakaianku itu tidak hilang tapi diberikan kepada dia?”

“Ya.”

“Di mana pakaian itu sekarang?”

“Di mana Nak Kentut?”

Kentut menundukan kepalanya.

“Di mana, Nak?”

“Dipakai yang lain.”

“Yang lain siapa?”

“Orang-orang di dalam pasar yang tidur sama-samaku.”

“Kenapa?”

“Dibeli.”

“Kamu jual?”

“Ya.”

“Berapa?”

“Ya, ada yang ditukar dengan rokok, ada yang membelikan makan. Ada juga yang tukar dengan … .”

“Dengan apa?”

“Dengan gelek.”

Amat seperti disambar geledek.

“Apa? Gelek? Jadi kamu tukang ngisep gelek?”

“Sabar, Pak.”

“Sabar apa, kalau orang sudah ngisep gelek itu sudah kejahatan, bisa dihukum!”

“Saya tidak ngisep gelek, Pak.”

“Lalu?”

“Ya ada saja yang beli.”

Amat terbelalak.

“Wah-wah! Itu lebih bahaya lagi. Pengedar itu bisa dihukum mati, tahu!”

“Sabar, Pak, sabar. Itu kan dulu. Sekarang dia tidak begitu lagi. Ya kan Nak Kentut?!! Sekarang sudah insaf kan? Sekarang Nak Kentut sudah cari nafkah yang halal. Makanya Ibu bilang barangkali dia mau bantu menawarkan jambangan bunga itu kepada juragan-juragan Cina yang kaya-kaya. Siapa tahu barangkali benar laku 10 milyar. Ya kan Nak Kentut?”

Kentut menundukkan mukanya. Amat tercengang.

“Jadi Ibu yang sudah memberikan jambangan bunga itu pada dia, bukan dia yang mengambilnya?”

Bu Amat mengangguk.

“Ya Ibu bilang, sewaktu-waktu kalau sempat, nanti tolong tawarkan jambangan bunga itu kepada siapa saja, siapa tahu bisa jadi uang, bukan hanya jadi pajangan kebanggaan. Kita kan perlu uang, bukan kebanggaan. Ya tidak Pak? Makanya Bapak harus minta maaf sekarang karena sudah memukul. Orang mau menolong kok malah dipukuli. Ayo Pak, salaman dan minta maaf.”

Amat bingung. Hatinya berontak dan mau protes, tapi kakinya disentuh oleh kaki istrinya, sehingga Amat terpaksa menindas perasaan. Ia berdiri dan mengulurkan tangan kepada Kentut.

Kentut bingung dan takut, khawatir kalau tiba-tiba tangan itu mengepal lagi dan melanda mukanya. Ia hampir jatuh dari kursi sebab mau menghindar. Amat cepat menyabarkan dan menjabat tangannya.

“Maaf Kentut, anggap saja semua itu adalah kecelakaan. Kita memang sebaiknya bicara baik-baik sebelum bertindak. Maaf !!!”

Setelah disalami kemudian Ami mengantarkan Kentut pergi. Tinggal Amat dan Bu Amat di meja makan.

“Heran aku, Ibu ini kok keterlaluan!” kata Amat. “Pencuri sudah maling jambangan bunga, malah dirawat, dikasih makan dan pakaian, aku disuruh minta maaf lagi. Nanti apa kata tetangga kita?!!!”

“Stttt!”

“Sssst apa!”

“Lho Bapak sendiri kenapa bengok-bengok, maling itu tidak salah, tapi kita yang salah, hanya karena teledor?”

“Lha itu kan taktik, Bu! Taktik! Aduh, Ibu ini bagaimana! Taktik untuk memancing tikusnya keluar. Kalau aku tidak bengok-bengok mengatakan malingnya tidak salah, si Kentut Busuk itu tidak akan keluar liangnya membawa jambangan itu dan menawarkannya pada tetangga. Jadi itu taktik. Strategi! Masak Ibu tidak paham!!!.”

Bu Amat tak menjawab.

“Makanya belajar politik sedikit, Bu!”

Tiba-tiba Ami masuk bergegas. Mukanya berseri-seri.

“Ibu pernah kehilangan dompet?”

Amat bingung. Lalu ia memandangi istrinya. Bu Amat mula-mula tak menjawab. Tetapi kemudian mengangguk.

“Tiga kali.”

Amat kaget. Hampir saja ia mau marah, tapi suara Ami sudah memotong.

“Ibu pernah kehilangan perhiasan?”

“Dua kali.”

Amat ternganga. Tetapi Ami tersenyum, lalu membuka tangannya yang semula menyembunyikan sesuatu. Di situ nampak tiga buah dompet, kalung dan gelang emas Bu Amat yang hilang.

“Kentut mengembalikannya tadi. Katanya dia malu mengambil barang ini dari Ibu, satu-satunya orang yang masih mau mempercayainya dan Bapak yang bahkan tak segan-segan minta maaf, padahal vas bunga Bapak yang berharga 10 milyar sudah dia maling.”

 

Jakarta, 21 Desember 06

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler