Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2007: “PENAFSIR KEBAHAGIAAN” KARYA EKA KURNIAWAN

Foto SIHALOHOLISTICK

Pikirnya anak-anak itu menjual jatah mereka kepada seorang lelaki setengah baya yang memperkenalkan dirinya bernama Markum. Lelaki itu muncul begitu saja di satu sore, masuk serta duduk di sofa sambil menenteng koper kecil. Siti membayangkan salah satu dari anak-anak itu juga meminjamkan kunci apartemen kepadanya. Mendengar seseorang masuk, Siti segera keluar dari kamar dan menyambutnya:

Selamat sore.” Markum terkejut dan memandang ke arah Siti. Namun Siti segera berlalu menuju lemari es, bertanya ia mau minum apa. Markum agak tergeragap dan meminta sekaleng minuman soda. Siti membuka sekaleng minuman dan menyodorkannya kepada Markum. Dibukanya jendela, membiarkan angin lembut California menyibak tirai. Setelah minum, Markum tampak lebih tenang dan bertanya:

“Sejak kapan Jimmi membawamu ke sini?”

“Sudah hampir enam bulan.”

Markum mengangguk-angguk kecil, mengelus dagunya sendiri, lalu agak ragu kembali bertanya, “Berapa Jimmi bayar kamu?”

“Ah, berapalah gaji pembantu?” tanya Siti dengan senyum genit.

Jadi kamu pembantu, pikir Markum.

Ia tak pernah membayangkan dirinya bakal pergi ke Amerika. Ia hanya pernah membayangkan bisa pergi ke Arab, atau Hongkong, untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kini Amerika memberinya visa selama enam bulan.

“Lihatlah sisi baiknya: kamu bisa liburan selama enam bulan di Amerika. Melihat salju dan kalau beruntung, berkenalan dengan Julia Roberts,” kata pemuda itu, terus terngiang-ngiang seperti bujukan setan.

Nama pemuda itu Jimmi. Tipikal anak orang kaya yang dikirim bapaknya untuk sekolah ke Amerika, tapi tak ada tanda-tanda ia bakal menyelesaikan pendidikan apa pun. Tawaran Jimmi terdengar agak sinting, namun sekaligus memberinya sejenis pengharapan: ia diminta menjadi teman tidur enam mahasiswa, enam hari dalam satu minggu, dan bebas di hari terakhir. Untuk semua itu ia tak perlu memikirkan visa, tiket, tempat tinggal, makan, dan bahkan memperoleh bayaran sebulan sekali.

Tentu saja awalnya ia melihat ada sejenis muslihat dalam tawaran tersebut dan menatap Jimmi dengan sedikit ragu-ragu. Jimmi meyakinkannya bahwa ini hanya bisnis biasa. Ada untung, ada risiko.

“Bapakku ngamuk karena sekolahku tak juga rampung, aku butuh tambahan duit. Ini bisnis. Lima orang temanku akan membayarku untuk apa yang bakal kamu lakukan, kamu dapat tiket, visa, tempat tinggal, makan dan jajan. Itu saja.”

Ia masih tak yakin dan kembali bertanya, “Untuk itu kenapa kalian, enam orang pemuda sinting ini, harus membawa perempuan dari Jakarta?”

Jimmi mengembuskan napas dan berkata sejujurnya, “Pelacur Amerika, hmm, kamu tahu, mahal.”

“Jadi itu alasannya. Mahal dan murah.”

“Itu kalau kamu mau,” kata Jimmi buru-buru.

Otak bisnisnya boleh juga, pikirnya. Itu malam pertama mereka bertemu. Jimmi bukan salah satu pelanggan. Meskipun begitu, ketika Jimmi muncul ditemani seorang temannya, seolah ia sudah mengetahui tempat tersebut. Barangkali pelanggan lama, pikirnya. Mungkin tiga atau empat tahun lalu, sebelum ke Amerika, sering mampir ke tempat ini. Saat itu Jimmi memilih-milih di antara perempuan-perempuan yang menunggu di sofa, dan sekonyong menunjuk dirinya.

Lalu di dalam kamar, Jimmi tak langsung mengajaknya bercumbu, malahan mengajukan tawaran untuk pergi ke Amerika tersebut.

“Gimana?” tanya Jimmi.

“Kupikirkan dulu satu malam.”

“Baiklah. Jadi, siapa namamu?”

“Lucy.”

“Kita sedang berbisnis, beri tahu aku nama aslimu.”

“Siti.”

Jimmi naik ke tempat tidur dan mulai membayangkan Siti tinggal di apartemennya, serta uang yang akan disetorkan teman-temannya, empat kali dalam sebulan. Jika ia membutuhkan lebih banyak uang, ia bisa menjual jatahnya sendiri ke mahasiswa lain, di malam Jumat. Tanpa tertahan ia tersenyum sendiri.

“Aku mau ke Tahoe, main ski,” kata Jimmi kepada Siti. Meskipun ia nyaris tak pernah pergi sekolah, ia merasa berhak untuk menghabiskan liburan musim dingin dengan pergi main ski, seperti mahasiswa lainnya. “Kamu jaga rumah. Kamu tetap dibayar, tak peduli mereka mau pakai atau tidak. Tak peduli mereka pergi liburan atau tidak.”

Itu artinya aku harus tetap siap sedia dari Senin sampai Sabtu, pikir Siti.

Itu tak masalah buat Siti. Setelah memutuskan untuk menerima tawaran Jimmi dan berangkat ke Amerika, ia menemukan pekerjaan yang harus dilakoninya tak seberat yang pernah dibayangkannya. Bahkan ini lebih ringan daripada yang pernah dijalaninya di Jakarta. Jimmi benar, di sini ia memperoleh bonus melihat salju (satu kali akhir pekan menjelang musim dingin ini, mereka mengajaknya ke Seattle untuk membuatnya melihat salju), meskipun belum juga bisa berkenalan dengan Julia Roberts. Tak apa.

Di Jakarta hidupnya tak lebih baik. Tiga tahun ia habiskan di satu tempat pelacuran di daerah Kota, dan tampaknya akan terus begitu hingga tiga atau empat tahun ke depan. Ia belum tahu pasti apa yang akan menghentikannya dari pekerjaan tersebut. Menjadi penjahit di industri garmen seperti dua temannya, hanya akan membuatnya bertahan hidup lima belas hari setiap bulan. Pergi ke Arab, ia takut pulang babak belur dipukul majikan, seperti di koran. Jadi apa salahnya ia memperoleh selingan selama enam bulan ke Amerika? Jimmi bilang, jika bisnis mereka lancar, ia akan memperpanjang visa Siti untuk enam bulan seterusnya.

“Tapi jika teman-temanmu, atau bahkan kamu, mulai bosan denganku?” tanya Siti.

“Gampang mencari lima pelanggan baru. Ada ribuan mahasiswa Indonesia di sini. Dan jutaan lelaki,” kata Jimmi. “Lagi pula, kalau seorang suami betah meniduri istrinya selama lima puluh tahun, kenapa kami harus bosan menidurimu selama enam bulan?”

Siti tahu, meskipun Jimmi bukan anak genius, dalam perkara begini ia sangat pintar.

Di apartemen tersebut mereka hanya tinggal berdua, masing-masing memperoleh sebuah kamar. Jika teman-teman Jimmi datang, mereka akan langsung tinggal di kamar Siti. Mereka punya malamnya sendiri, hanya boleh ditukar atas kesepakatan di antara mereka. Demikian aturannya. Jimmi sendiri akan merayap ke kamar Siti di malam Jumat. Kadang-kadang memang Jimmi merayap pula di siang hari lain. Karena Siti merasa Jimmi memperlakukannya dengan baik, ia tak terlalu keberatan.

Lain waktu, ada juga anak lelaki lain muncul di malam tertentu, di luar Jimmi dan teman-temannya. Ini bisa terjadi jika salah satu dari keenam anak itu menjual jatahnya ke teman yang lain. Itu boleh dan itu aturan yang sudah disepakati sejak awal.

“Mungkin mereka pergi berlibur, tapi tak ada yang menjamin mereka tak menjual jatahnya ke anak-anak lain, atau bapak-bapak lain. Jadi selama aku pergi ke Tahoe, kamu tetap di rumah. Siapa tahu ada yang datang. Nanti kubawakan oleh-oleh,” kata Jimmi.

Siti hanya mengangguk dan segera membantu Jimmi memasukkan papan ski Rossignol ke dalam bagasi mobil.

Sesaat setelah Jimmi pergi ke Tahoe, Siti menyadari ia kebobolan. Ia hamil. Ia tak perlu pergi ke dokter untuk tahu dirinya hamil. Dengan agak panik ia mencoba menghubungi telepon genggam Jimmi, tapi tak tersambung. Setan kecil itu barangkali mematikan telepon genggamnya. Ia semakin panik menyadari bahwa ia tak bisa menentukan, siapa bapak anak itu. Satu dari enam anak, ia tak tahu yang mana. Mereka akan saling melempar, dan tak seorang pun akan mengakuinya.

Jimmi pernah bilang, “Jaga dirimu, jangan sampai bunting. Menggugurkan kandungan atau melahirkan hanya membuat bisnis kita berantakan, masih untung kalau enggak ditahan polisi federal.”

Ia pernah menggugurkan kandungan dua kali di Jakarta, tapi tak tahu harus berbuat apa di Amerika.

Saat itulah Markum kemudian muncul. Dalam keadaan kalut, gagasan jahat selalu berada di puncak seluruh pikiran. Jika selama liburan ini hanya ada seorang lelaki yang menidurinya, akan lebih mudah buat Siti untuk menentukan siapa ayah untuk bayi di dalam perutnya. Bahkan meskipun tidak untuk dilahirkan, paling tidak ia bisa menuntut seseorang untuk mengembalikannya ke Jakarta dan menggugurkan kandungan di sana.

“Kalau mau istirahat dulu, berbaring saja di kamar Siti,” katanya memulai langkah pertama. Para pelanggan baru, orang-orang yang menggantikan jatah teman-teman Jimmi, cenderung lambat dan tak mengerti aturan mainnya. Siti juga harus agak sabar menghadapi orang macam begini.

“Ah, aku istirahat di kamar Jimmi saja,” kata Markum gelagapan.

“Enggak bisa. Jimmi bisa marah-marah. Lagian kamar Jimmi selalu terkunci.”

“Kalau begitu, di sofa saja.” Markum mencoba tidak memandang Siti.

“Mana bisa? Apa kata Jimmi dan teman-temannya? Ayolah.”

Saat itu juga Siti menarik tangan Markum dengan lembut. Dengan roman dungu yang tak dimengertinya sendiri, Markum membiarkan dirinya digiring ke kamar Siti.

Markum duduk di pojok tempat parkiran, tak jauh dari Jimmi yang masih memegangi lebam di bibirnya. Pipi Jimmi agak pecah dan berdarah. Markum tak memerhatikan Jimmi, menerawang ke langit, dan bergumam seperti bicara sendiri.

“Kamu tahu, telah lama aku tak berhubungan dengan perempuan.”

Jimmi tahu dan tak membantah maupun mengomentarinya.

“Entah kenapa, ketika sore itu ia menyentuh tanganku, aku mengikutinya. Tiba-tiba aku sudah berada di kamarnya, berbaring bugil di sampingnya.”

Markum tampak berkaca-kaca, Jimmi masih menutup mulut.

“Tadinya aku mau tinggal di Four Seasons, sudah booking jauh-jauh hari. Aku datang ke apartemen hanya untuk menengokmu. Akhirnya aku malah memutuskan untuk tinggal di kamar Siti. Jangan tertawakan aku. Meskipun ia hanya seorang pembantu, ia cantik dan tidak bodoh. Aku nyaris tak pernah keluar kamar maupun apartemen selama sepuluh hari itu. Ia memperlakukanku dengan sangat baik dan penuh kasih.”

Tentu saja, gumam Jimmi dalam hati, ia dibayar untuk itu.

“Lalu kemarin ia bilang hamil…”

“Apa?” Jimmi terpekik, mencoba berdiri dan memandang Markum. “Hamil?”

“Ya, hamil. Dan aku bilang akan bertanggung jawab. Aku akan menikahinya.”

“Enggak bisa. Papa enggak boleh mengawininya. Papa enggak tahu itu anak siapa,” kata Jimmi sambil berdiri di depan Markum.

“Saat itu aku tak tahu kalau perempuan itu simpanan kalian, sampai aku kembali dari 7 Eleven dan menemukanmu tengah bugil di atas tubuh Siti.”

Saat itu Jimmi baru pulang dari Tahoe. Saat itu Jimmi benar-benar sedang merindukan tubuh Siti. Meskipun hari masih sore, Jimmi membujuk Siti untuk mau bercumbu dengannya. Akhirnya mereka masuk ke kamar Siti. Markum sedang membeli satu pak rokok ke 7 Eleven di depan apartemen, dan saat pulang menemukan anaknya bergumul dengan perempuan yang baru saja dalam rencana hendak dinikahinya.

Markum langsung menggiring Jimmi ke tempat parkir dan menonjoknya.

Selebihnya adalah apa yang kemudian ditulis oleh San Francisco Chronicle mengenai kelakuan orang-orang Indonesia di satu sudut Los Angeles ini dalam sebuah artikel berjudul Interpreter of Happiness. Penafsir Kebahagiaan. Entah kenapa judulnya begitu, kenyataannya tak ada yang benar-benar bahagia di akhir kisah tersebut.

Dalam keadaan kalut, Jimmi dan Markum membuang Siti dalam perjalanan dari Los Angeles ke Las Vegas. Di keterpencilan Mojave Desert, Siti nyaris mati terpanggang dan kedinginan di sana, sebelum ditemukan polisi patroli delapan hari kemudian. Lima hari setelah itu, Markum dan Jimmi ditangkap di bandara setelah mencoba melarikan diri. Bersama lima mahasiswa lainnya, mereka menjadi tahanan polisi federal.

Siti ditampung oleh Konsulat Indonesia, dan entah saran siapa, Siti mempertahankan bayi itu. Markum akhirnya bersedia bertanggung jawab secara finansial atas bayi tersebut, untuk mengurangi hukumannya. Namun ketika dilahirkan, semua orang sepakat, bayi itu ternyata mirip Jimmi.

“Aku tak tahu apakah harus memanggilnya anak atau cucu,” gumam Markum, masih agak kesal.

“Aku tak keberatan menganggapnya adik,” kata Jimmi.

Saat itu Markum benar-benar ingin menonjok Jimmi untuk kedua kalinya.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler