Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2007: “TUKANG URUT DI TEPI DANAU” KARYA MARTIN ALEIDA

Foto SIHALOHOLISTICK

Sudah kusaksikan bagaimana Asikin dibunuh pensiunnya sendiri secara perlahan. Juga Asril. Beberapa bulan sebelum memasuki masa pensiun, mereka mulai berjuang melawan waswas dan perasaan tak berharga, disia-siakan. Perasaan yang terus menyiksa mereka sampai beberapa bulan setelah mereka sudah tidak lagi disambut dengan senang hati di kantor, kalau mereka singgah sekadar melepas rindu. Asikin mengalami gangguan pencernaan. Ambeiennya bertambah parah dan terjadi pendarahan. Setelah konsultasi dengan beberapa dokter, akhirnya dia jatuh ke tangan seorang ahli jantung yang mengirimkannya ke rumah sakit khusus untuk dibedah.

Sementara kawanku Asril memutuskan ikut anak dan menantunya ke pulau seberang. Tetapi, perasaan seperti orang yang dicampakkan tetap menghantuinya, sekalipun dia sudah jauh dari kota. Dia kira rokok dan makan enak, berleha-leha tanpa gerak badan, akan mengatasi kecemasan. Dia dihantam stroke, terpenjara di kursi roda. Begitu hebat tantangan hari-hari pensiun itu baginya, angin selat yang sejuk membelai lembut sekalipun tak kuasa meneduhkan hatinya. Pagi itu, jasadnya ditemukan mengapung di pantai, tak jauh dari kursi rodanya yang menunggu dengan hampa di darat.

Sungguh aku tak mau mati diantar kesia-siaan seperti itu. Tak sudi didera tekanan kehilangan pekerjaan yang sudah kugeluti lebih dari seperempat abad. Karena itu, aku tak mau menunggu sampai usia pensiun memojokkanku. Mendahului lebih baik. Aku sudah siap. Tiga tahun sebelum usia pensiun aku mengajukan permohonan pensiun dini.

Dengan kantorku tak ada masalah. Yang agak runyam, dan tak kusangka, justru reaksi istri. Ketika sambil bergolek-golek di tempat tidur dan dengan berbisik kusampaikan rencana pensiunku ke telinganya, tak kukira dia menjawab begitu cepat: “Ya.” Matanya cemerlang. Dia gembira rupanya. Karena buatnya itu berarti aku akan selalu berada di rumah mendampinginya. Selalu dekat dengannya. Ketika dia lihat aku tetap berangkat juga pada hari pertama pensiunku, dengan bersungut, sebagai protes, kukira, dia bertanya: “Lho… ’kan sudah pensiun? Kok berangkat juga?”

Langkahku mantap, walau aku berhenti sejenak dan memandangnya, meminta pengertian.

“Hampir tiga puluh tahun saban hari aku berangkat. Tiba-tiba aku tak boleh pergi. Bagaimana mungkin. Perlu waktu, perlu penyesuaian…,” kataku.

Aku tahu jawaban itu tak bisa meredam harapannya yang terluka. Perang perasaan antara dia, yang menghendaki aku supaya tidak lagi meninggalkan bendul rumah, dan aku, yang baru baru saja mengalahkan himpitan pensiun, terus berlarut-larut. Ketika aku berangkat, memandang punggungku sekalipun dia tak mau, dan kalau pulang, aku sendiri yang menggeser grendel pagar dan membuka pintu.

Dia juga menampik ketika kuajak melihat-lihat apa yang kukerjakan di sebuah ruang besar yang disediakan seorang teman. Ruang itu memiliki pintu sendiri, menghadap ke sebuah danau kecil yang diteduhi pohon-pohon mahoni. Di situlah aku bergelut dengan penggal terakhir dari hidupku. Menjadi tukang urut. Satu kemahiran yang dititiskan oleh kakekku, yang sudah terpendam begitu lama. Karena tak pernah kupraktekkan selama aku bekerja sebagai pegawai. Bukan sebagai jalan untuk menjadi kaya. Kemahiran itu semata-mata untuk membuka pintu kebajikan bagi orang banyak. Kalau menerima imbalan, dalam bentuk apa pun, maka kemustajaban yang melekat di jari-jari dan otot tanganku akan terbang. Itulah syarat titisan yang kuterima.

Tak terlalu lama aku menemukan seorang pasien pertama. Suatu siang, sepelemparan batu dari ruang praktekku, seseorang terserempet mobil yang membelok tajam, menyebabkan lututnya terpelintir. Untuk mendapatkan pertolongan pertama, dia dibawa ke ruang praktekku. Hanya dengan urutan tanganku dia tak perlu lagi mendapat bantuan seorang dokter ahli tulang. Pejalan kaki yang malang itulah yang menyebarkan keberadaanku, yang berpraktek tanpa mengharapkan bayaran, dengan ruang yang cukup nyaman menghadap sebuah danau kecil yang teduh.

Sampai sekarang tak terhitung berapa orang yang sudah datang meminta bantuanku. Pedagang, pegawai, juga gelandangan, polisi, juga tentara. Tidak hanya itu. Kemahiranku itu juga membawa kebahagiaan kepada mereka yang kurang beruntung. Karena banyaknya pengunjung, banyak pula pedagang kecil yang memperoleh rezeki dari kehadiranku di tepi danau itu. Pasien yang merasa harus memberikan balas jasa kepadaku, sebaliknya membelanjakan uang mereka dengan membeli barang dagangan yang dijajakan para pedagang tersebut. Kue semprong, gandos turi, getuk lindri, keripik singkong, dan macam-macam kue kering. Kalau aku pulang, para pedagang itu mengerumuniku, satu per satu menciumi tanganku dengan bersemangat. Sebagai tanda terima kasih, barangkali. Sesuatu yang tak pernah kuharapkan. Tetapi, menolaknya mentah-mentah juga tak sampai hati.

Kurang dari setengah tahun, tempat praktekku itu menjadi pusat keramaian baru. Sepeda motor dan mobil pasien berderet-deret diparkir di tepi jalan. Suasana yang tidak menyenangkanku sebenarnya. Suatu hari, seseorang yang mengaku tetangga langsung masuk menghampiriku tanpa antre terlebih dulu. Kukatakan, supaya dia menghormati orang yang sudah lama menunggu.

“Saya tidak memerlukan bantuanmu. Saya datang untuk meminta kau menutup praktek ini. Mengganggu ketenangan. Lagi pula, apakah kau membayar kewajiban di sini?” katanya sengit.

Saya cuma diam.

“Saya tinggal tiga rumah dari sini. Saya orang pajak. Dan setahu saya kau tidak membayar kewajiban sebagai wajib pajak.”

Kutantang matanya. “Kalau mau ditutup silakan saja,” kalem kujawab.

Orang itu langsung keluar.

Dengan perasaan enteng, keesokan harinya kupasang pengumuman di halaman bahwa praktek ditutup. Orang pajak yang tinggal beberapa rumah dari tempat praktek meminta begitu. Karena aku tidak membayar pajak, kataku dalam pengumuman itu.

Banyak yang kecewa. Lebih banyak lagi yang mengumpat kelakuan orang pajak tersebut. Beberapa hari kemudian, kulihat orang-orang berkumpul di tepi danau. Mereka bernyanyi-nyanyi, mengusung spanduk yang bertuliskan, “Orang kerja sukarela kok dipajak?” dan berbaris menuju rumah orang pajak tadi. Polisi sempat datang untuk menenangkan. Tak kuduga, para demonstran itu datang pula ke tempatku.

“Pak, beres. Tolong buka kembali. Orang pajak itu sok tahu. Dia kira semua orang seperti dia mata duitan. Buat dia adalah keajaiban kalau ada orang yang mau menolong orang lain tanpa bayar. Seperti Bapak,” bujuk mereka.

Aku kembali sibuk. Kecuali Sabtu dan Minggu yang kunyatakan sebagai hari libur. Namun, pada hari Sabtu aku sendiri tetap masuk. Seharian pekerjaanku memintal sabut untuk dijadikan babut. Tumpukan sabut didatangkan oleh sekelompok bekas penderita kusta, dan babut-babut hasil kerajinan tanganku mereka jugalah yang mengambilnya untuk dipasarkan. Aku senang membantu bekas penderita kusta itu, meskipun tanpa bayaran, karena di balik bantuanku terselip sikap perlawanan.

Ceritanya, selama bekas para penderita kusta tersebut berada di penampungan, manajemen rumah penampungan mengkorupsi jerih payah mereka. Tahu persis mereka berapa babut yang diproduksi dan berapa imbalan yang mereka terima. Lantas, mereka memutuskan untuk melarikan diri dari rumah penampungan itu, dan membuka usaha sendiri dengan susah payah, termasuk harus berhadapan dengan pengejaran yang dilakukan berbagai petugas keamanan dan kebersihan. Tak jarang babut-babut mereka dirampas.

Sabtu pagi itu, aku sedang memilin-milin untaian serat sabut. Terdengar pintu pagar dikuakkan. Aku tak bergerak. Perhatianku tetap pada untaian-untaian serat sabut.

““Pak, ada yang mau minta tolong diurut.” Suara itu mendengung di kupingku. Aku tidak menoleh. Mata tetap pada sabut.

“Pak, ada yang mau minta diurut.” Sekarang suara itu kedengaran menekan.

Desakan suara itu membuat daun kupingku seperti kena aliran listrik.

“Apa tidak lihat papan pengumuman di halaman depan? Sabtu dan Minggu libur?” kataku, tetap tak berpaling ke arah datangnya suara.

“Tolong, Pak.”

“Apa saya tak boleh istirahat?” Mataku tetap tak bergerak dari sabut di lantai.

Kedengaran orang itu melangkah meninggalkanku dengan sebal.

Beberapa saat kemudian, tapak kaki yang tadi kedengaran mendekat kembali.

Sekarang, tanpa sebut sapa, tangan orang itu tersampir di bahuku.

“Pak, saya pengemudi Jenderal (dia menyebutkan satu nama). Jenderal minta diurut. Dia menunggu di mobil.”

“Jenderal?” sambutku dengan nada suara agak tinggi. Melirik pun tidak, dan kepada yang punya tangan yang masih tertumpang di bahuku, kutambahkan dengan mantap: “Ah… sudah segudang Jenderal yang kuurut. Yang belum cuma panser!”

Aku tak tahu bagaimana kata-kata yang kuucapkan dengan spontan itu mendarat di kuping orang itu. Yang terasa, dia melepaskan tangannya dari bahuku, disusul langkah kakinya meninggalkan ruang di mana aku sedang memintal dan memintal terus untuk membantu para penderita kusta. Terdengar suara pintu pagar dirapatkan dengan setengah hati.

Bukan mau melukai hati orang itu benar yang ingin kucapai dengan mengejek seperti itu. Tetapi, lebih karena keinginanku untuk bebas dari kungkungan kekuasaan dan perasaan ingin dihargai. Nilai yang ingin dijunjung seorang pensiunan. Dan aku tak peduli apakah sang Jenderal akan melakukan pembalasan. Tapi, kalau dia datang pada saat aku tidak sedang membaktikan diriku kepada para penderita kusta, tentu aku akan menerimanya dengan tangan terbuka.

Hari Minggu keesokan harinya, ketika sedang tekunnya aku merajut serat sabut kelapa, tiba-tiba kudengar langkah yang terseok-seok mendekat. Di bahuku terasa tersampir pegangan yang ganjil. Terasa jari-jari yang tidak lengkap. Ini hari liburku, kupikir. Aku tak menoleh sampai yang punya tangan yang aneh itu memperkenalkan diri.

“Pak, ini saya.”

Dia kemudian jongkok di belakangku.

“Kawan-kawan pada menangis meraung-raung. Tadi malam ada truk yang mendadak sontak merapat ke tempat kami. Orang-orang yang berbadan tegap-tegap berloncatan dari atas. Dengan cepat mereka membongkar ratusan babut dan memindahkannya ke dalam truk itu.”

“Lantas?” aku menoleh kepadanya.

“Dari atas truk mereka menyergah seperti harimau lapar, ’Bilang sama tukang pijatmu itu, jangan terlalu congkak! Babut-babutnya ini akan kami bakar!’”

Cepat dia melingkarkan tangannya yang pengkor ke leherku.

“Pak….”

“Kalian ingin membalas?”

“Tidak. Di sana ada Tuhan,” katanya dengan geram sambil tangannya yang tidak berjari-jari sempurna itu menunjuk-nunjuk ke langit. “Tuhan yang akan menunaikan dendam kami. Tuhan…,” ucapnya lagi, sekarang dengan lebih khidmat.

“Bukan karena barang dirampas dan dibakar yang membuat kami meraung. Kami menjerit, tertangis-tangis, karena kebaikan Bapak jadi sia-sia. Mentang-mentang. Sok kuasa mereka.”

Aku bangkit sebelum kekesalannya semakin berkobar. Kupegangi tangannya yang berbalut kulit seperti terkelupas dan tak berdarah, dan dia berdiri menatap mataku. Tak ada alis. Sementara kelopak matanya rombeng. Kemarahan yang sempurna tampak tersendat di situ.

“Sampir, percayalah, tak ada yang sia-sia. Api babut itu tentu akan menambah deretan dosa mereka.”

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler