Skip to Content

CERPEN KOMPAS 2007: “YULIUS” KARYA ARIE MP TAMBA

Foto SIHALOHOLISTICK

Sudah tiga tahun Yulius hidup menjadi bagian dari rumah kos yang posisinya berhadapan dengan sebuah terminal kecil.

Pukul empat pagi terminal kecil itu mulai hidup dengan deru-deru mesin berbagai angkutan kota dan derap kaki para penumpang yang naik dan turun, berganti kendaraan sesuai jurusan yang dikehendaki, atau datang dan pergi ke tempat yang dijadikan tujuan. Masih di dalam kota, atau bahkan ke luar kota. Ke sekolah, ke tempat-tempat kerja, atau ke pasar.

Dan bersamaan dengan itu, rumah kos Yulius pun ikut menggeliat dan hidup dengan keluarnya para penghuni kos, satu demi satu dari kamar yang berpenghuni satu orang atau dua orang, pria maupun wanita, lalu antre di enam kamar mandi yang ada di lantai satu. Sepuluh kamar lantai satu dan empat belas kamar lantai dua, masing-masing penghuninya sudah saling mengetahui jam penggunaan kamar mandi masing-masing.

Yulius termasuk penghuni yang konsisten menggunakan kamar mandi. Ia selalu memakai kamar mandi paling pojok kanan, kamar mandi nomor enam, selama lima menit pagi hari, dan lima menit pula sore hari. Ia selalu menyiapkan perlengkapan mandinya, hingga tak perlu meminjam sabun, odol, atau sikat gigi dari penghuni lainnya. Ia selalu membiarkan air dalam keadaan mengalir saat mandi, hingga ketika ia selesai mandi, air bak akan tetap penuh seperti belum digunakan sama sekali. Dan orang yang antre sesudahnya pun akan memulai mandinya dengan senang hati.

Yulius juga termasuk penghuni yang pendiam bagi penghuni lainnya. Bila para penghuni lain masih meluangkan waktu untuk bergaul dengan sesama penghuni, misalnya, saling mengobrol dari depan pintu kamar masing-masing, atau dilanjutkan dengan mengobrol di kamar lainnya sepulang kerja, maka Yulius lebih memilih hanya mengangguk, atau menyapa “apa kabar?”, “politik ramai lagi”, “si pejabat anu berbohong di televisi”, atau “ada film baru, sudah nonton?”, lalu menutupkan pintu kamar, menonton televisi sendirian, atau membaca buku dan koran-koran yang selalu rajin dibelinya sepulang kerja.

Bila pada akhir pekan para penghuni rumah kos itu terkadang sengaja keluar bersama, jalan-jalan ke luar kota dengan menyewa mobil, maka Yulius juga terkadang pergi ke luar kota sendirian saja. Teman-teman penghuni kos akan mengetahui bahwa Yulius baru pulang dari luar kota karena Yulius adakalanya membawa oleh-oleh beberapa plastik keripik goreng, atau dodol, atau sagu, atau wajik yang menjadi produk khas daerah wisata di pinggiran-pinggiran kota.

Yulius akan memberikan oleh-oleh tersebut kepada penghuni kamar sebelahnya, dengan pesan, agar oleh-oleh itu dibagi secukupnya kepada teman-teman kos lainnya. Seraya minta maaf, ia tak bisa membeli oleh-oleh yang berharga mahal dan banyak, karena keuangannya terbatas, dan ia harus menentengnya di bus antarkota. “Terima kasih, terima kasih,” begitulah selalu ucapan si penghuni sebelah dengan tatapan penuh pengertian ke arah Yulius. Hingga Yulius menunjukkan kelegaan ketika kembali ke kamarnya, yang terkadang tampak aneh bagi si penghuni sebelah.

Dan tentu saja, oleh-oleh itu tak pernah sampai ke lantai dua. Karena penghuni sebelah Yulius itu, dan juga para penghuni lantai satu yang kebagian oleh-oleh itu berkesimpulan, para penghuni lantai dua tak akan ada yang keberatan bila tidak kebagian oleh-oleh dari Yulius yang jarang berbincang dengan mereka. Maka, oleh-oleh itu pun hanya sampai di lantai satu saja, bersamaan dengan keberadaan Yulius pun hanya diketahui para penghuni lantai satu itu. Dan hal tersebut sudah berlangsung selama tiga tahun.

Sampai suatu hari, para penghuni lantai dua dikagetkan oleh berita bahwa salah seorang penghuni lantai satu, yakni Yulius, sedang berteriak-teriak dari kamar mandi, ketika orang-orang sedang mengantre mau mandi.

“Penghuni yang mana, sih?”

“Orangnya seperti apa?”

Begitulah sebagian pertanyaan terlontar dari para penghuni lantai dua itu. Sementara dari kamar mandi terdengar teriakan-teriakan Yulius.

“Kerawang Bekasi…! Di masa pembangunan ini… tuan hidup kembali! Ngiau, ngiau, kucingku lapar, mitos-mitos kecemasan, indandut, karena luka, hahahaha…! Kata siapa hidup ini punya arti, siapa kata arti ini hidup…!”

Begitulah, kali ini para penghuni rumah kos yang belum sempat berangkat kerja dan masih antre mandi itu mendengarkan potongan-potongan puisi yang sedang diteriak-teriakkan Yulius dari kamar mandi. Sementara mereka merasa terganggu dan mulai tak sabar.

“Hei, cepat mandinya!”

“Penghuni kos bukan cuma kamu!”

“Ngawur, sudah jam berapa ini?!”

“Kalau mau baca puisi, sana, ke TIM!”

“Iya, atau ke TMII. Biar lebih luas dan banyak pendengar!”

“Cepat, heh! Jangan bikin telat yang lain!”

Para penghuni yang antre itu menyeletuk, lalu menggerutu, dan kemudian ikut berteriak sebagaimana Yulius dari kamar mandi. Suara-suara pun saling tumpang tindih yang selanjutnya diikuti ketukan dan dilanjutkan dengan gedoran.

Tetapi, Yulius masih berteriak-teriak. “Tuhanku, dalam termangu, aku masih menyebut nama-Mu! Aku ini binatang jalang! Aku dan bayang-bayang, siapa yang duluan! Kita membuat abadi…, Siti Nurbaya berlari-lari…, bertukar tangkap dengan lepas…!”

“Gila…!” desis salah seorang penghuni rumah kos itu. Ia seorang penghuni lantai satu yang sudah selesai mandi dan kini sudah berpakaian rapi. Dan ikut berjejal di antara orang-orang yang berkerumun di depan kamar mandi nomor enam itu, membuatnya merasa solider.

“Jangan sembarangan!” kata yang lain.

“Kalau bukan gila, apalagi. Hanya orang gila yang teriak-teriak sendirian…!”

“Paling bercanda sendirian, lalu keasyikan!” kata yang lainnya.

“Bisa saja sedang stres, karena dia memang tak pernah kelihatan bercanda,” kata penghuni sebelah Yulius yang baru keluar dari kamar mandi nomor lima.

“Bagaimana dong?”

“Iya, kita mau mandi, nih.”

“Di sini saja, kan kosong?”

“Et, tidak bisa. Ini giliran saya!”

“Bagaimana, dong?”

“Iya, bagaimana ini.”

“Dobrak saja!”

“Laporkan ke pemilik rumah kos!”

Maka, pagi itu si pemilik yang tinggal di sebelah rumah kos itu pun harus merelakan pintu kamar mandi nomor enam itu didobrak. Dan semuanya kemudian dapat menyaksikan: Yulius yang tidak mengenakan apa-apa, tampak mengguyuri tubuhnya dengan air, seraya meneriakkan potongan-potongan puisi, “Kembalikan Indonesia padaku! Pulanglah si anak hilang! Ikan terbang sendirian. Hehe, kupacu kudaku kupacu kudaku menujumu…!”

Yulius langsung menghentikan teriakannya saat memandang linglung ke arah daun pintu yang roboh hampir menimpanya, dan ia pun tercekat ketika menyadari situasi sekelilingnya. Ia menampak berpasang-pasang mata teman-teman kosnya, pria dan wanita, di luar kamar mandi itu, menyorotkan beragam rasa: khawatir, takut, ingin tahu, tawa, mengejek, atau dingin-dingin saja ke arahnya. Dan, yang segera dilakukannya adalah menyambar handuk, dan menutupi bagian bawah tubuhnya.

“Maaf, maaf, ma-aaf!” ia terbata-bata dengan wajah pucat dan malu.

“Anda ini kelewatan! Kira-kira dong kalau mau senang-senang. Jangan merepotkan yang lain. Sekarang, pintu ini pun sudah rusak!” tegur si pemilik rumah kos.

“Maaf, maaf,” wajah Yulius semakin pucat, dan dengan tergesa ia mengambil perlengkapan mandinya, lalu menerobos kerubungan manusia di depan pintu kamar mandi nomor enam itu.

“Maaf, maaf…,” desisnya berulang-ulang.

Orang-orang memberikan jalan kepada Yulius, yang dengan bergegas kembali ke kamarnya, membuka pintu, masuk, lalu menutupkan pintu. Meninggalkan para penghuni kos lain segera berebutan mandi dan kembali memikirkan urusan masing-masing sebab peristiwa aneh pagi itu telah mencemaskan sebagian dari mereka yang kemungkinan besar akan terlambat ke tempat kerja mereka. Dan keterlambatan sama saja dengan terpotongnya uang makan atau uang transpor.

Namun, satu hal yang pasti, semua penghuni rumah kos kemudian sudah mengenal Yulius. Dan bahkan selama beberapa minggu selanjutnya menjadikannya bahan obrolan di kantor, bersama teman-teman dekat, dan terutama di rumah kos itu sendiri. Yulius, yang tadinya tidak diketahui kehadirannya, khususnya oleh beberapa orang penghuni rumah kos lantai dua, kini menjadi penghuni paling dikenal dan selalu dibicarakan dengan penuh hasrat bergunjing.

Biodata Yulius versi rumah kos pun menjadi bahan dan bahasan yang terus dilengkapi selama berminggu-minggu. Yulius berasal dari sebuah ibu kota provinsi di pulau seberang yang sudah ditinggalkannya lima tahun lalu; dan belum pernah dijenguknya hingga kini. Di daerah asalnya ia menyelesaikan pendidikan dan mendapat gelar sarjana bidang komunikasi dari sebuah perguruan tinggi swasta. Setelah dua tahun menganggur dan berpindah-pindah dari rumah keluarga yang satu ke rumah keluarga lain, dari rumah teman yang satu ke rumah teman lain, dengan pertolongan seorang pejabat yang juga masih keluarga jauh Yulius, sekarang Yulius dapat bekerja sebagai pegawai bagian administrasi di sebuah departemen pemerintah.

Usia Yulius hampir tiga puluh tahun. Selama tiga tahun menjadi penghuni rumah kos itu, Yulius selalu sarapan pagi di warung bubur kacang hijau di pojok terminal. Makan siang kemungkinan besar di kantin kantornya, sementara makan malam di warteg yang bersebelahan dengan warung bubur kacang hijau, dilakukan sekitar jam sembilan malam. Yulius selalu pulang ke rumah kos membawa bermacam-macam koran baru dan majalah bekas. Para penghuni kos sebelahnya terkadang meminjam koran atau majalah dan tak pernah dipulangkan, sedangkan Yulius juga tak meminta kembali.

Yulius tak pernah telat membayar uang kos dan juga tak pernah lupa memberikan tips kepada buruh cuci yang selalu mengambil pakaian kotor penghuni kos pada Jumat sore dan mengantarkan pakaian bersihnya Sabtu sore. Sesekali Yulius pergi menonton bioskop dan jalan-jalan ke mal, tetapi tak seorang pun penghuni rumah kos pernah melihat Yulius bersama seorang gadis. Sebagian besar penghuni rumah kos, terutama pria, yakin bahwa Yulius sekali atau dua kali sebulan pasti pergi ke tempat pelacuran. Sementara penghuni wanita yakin, Yulius hanyalah seorang pria dari pulau seberang, yang pemalu dan kebetulan senang membaca sastra.

Dan yang pasti juga adalah sejak pagi mengerikan itu (ya, mengerikan bagi Yulius!), lebih dari biasanya, Yulius mulai mempertimbangkan bermacam hal dalam kehidupannya. Ia segera mengkaji ulang alasan-alasannya membeli koran, membaca buku-buku sastra, menonton film-film baru, jalan-jalan ke luar kota sendirian, dan sesekali mengunjungi kompleks pelacuran. Ia kini sering memutar ulang hari-harinya, seraya mempertimbangkan, apakah ia tidak terlalu berlebihan dalam berperilaku kepada siapa saja yang dikenalnya. Apakah ia tidak terlalu kasar, atau malah terlampau baik; sementara ia sebenarnya tidak mengharapkannya?

Ia pun mulai menimbang-nimbang perasaannya, apakah ia benar-benar telah cukup puas dengan penghasilannya selama ini. Ia seorang pegawai negeri dengan gaji pas-pasan, ditambah komisi-komisi yang selalu disampaikan di dalam amplop coklat ke dalam lacinya, oleh sekretaris kepala divisi. “Pembagian minggu ini,” selalu begitulah kata-kata yang disampaikan si sekretaris itu. Dan ia mengantonginya dengan perasaan berterima kasih, karena mendapat tambahan biaya hidup sehari-hari yang lumayan jumlahnya.

Mulanya Yulius memang merasa terganggu dan bertanya-tanya, karena ia sudah pernah mendengar istilah “uang sabetan” yang sudah umum di lingkungan kantornya. Perasaannya terganggu. Tapi, ia tidak tahu persis dari mana asal uang tersebut. Hanya saja, ia melihat semua staf di ruangan kerjanya juga mendapatkan pembagian amplop coklat yang sama. Kelihatannya, mereka sama dengan Yulius: sama-sama membutuhkan dan mendapatkan banyak manfaat dari uang di amplop coklat tersebut. Perasaan Yulius pun kemudian tidak begitu terganggu lagi, meski ia tetap penasaran tentang asal-usul uang tersebut.

“Jangan dipikirkan. Itu pembagian dari atasan. Makanya kita beruntung kalau memiliki atasan yang tahu mengupayakan uang masuk selain gaji, dan membagi-baginya dengan anak buah,” kata seorang rekannya yang lebih tua.

“Tetapi, dari mana?”

“Divisi kita berhasil diperjuangkan oleh Kepala agar ikut mengeluarkan izin tambahan untuk tender-tender di bidang pembangunan jalan itu. Meskipun hanya persyaratan kesekian, dengan imbalan kecil, ya, lumayan. Tidak terlalu basah seperti di divisi-divisi lain, tetapi bila dikumpulkan, ya bisa lebih besar dari gaji. Jadi, baik-baiklah melakukan perintah Kepala,” kata si pegawai senior itu.

Yulius tak lagi bertanya dan selanjutnya gembira setiap kali menemukan amplop coklat sudah berada di lacinya, setiap kali secara kebetulan ia di luar ruangan, saat si sekretaris membagi-bagikan komisi bersama itu.

Tetapi, dengan semua penghasilannya, Yulius ternyata tetap saja hanya bisa membeli pakaian sekadarnya, makan sekadarnya, dan bergaul dengan teman kantor serta teman dari seberang, seadanya pula. Hal yang tidak terlalu merisaukannya. Karena ia sendiri bukanlah seseorang yang terlalu menuntut berlebihan untuk dirinya. Ia bukan tipe manusia kuliner yang doyan makan itu makan ini. Ia juga bukan pesolek yang senang belanja pakaian, sepatu, dan parfum serba bermerek. Ia justru malah lebih senang menampilkan diri, sebagai pria sederhana.

Lain halnya bila menyangkut buku-buku, film, atau koran-koran dan majalah. Ia akan membelinya, sekalipun untuk itu ia harus menunda rencananya untuk makan kwetiau goreng kesukaannya. Akibatnya, kamar kosnya kemudian memang ditumpuki buku. Karena koran serta majalah bekas, kalau tidak hilang dipinjam teman-teman kosnya, terkadang sengaja ia berikan secara cuma-cuma kepada si pemilik warung bubur kacang hijau dan pemilik warteg langganannya.

Dan beberapa hari setelah pagi yang mengerikan itu, Yulius pun dapat mengenangkan kembali apa yang telah terjadi pada dirinya.

1. Pagi itu ia terbangun dari tidur pukul 05.30 pagi seperti biasanya.

2. Selama 15 menit ia habiskan dengan berolahraga ringan di kamar kosnya sambil mempersiapkan peralatan mandi dan pakaian kantor.

3. Untuk keamanan, seperti biasanya, ia mewanti-wanti dirinya agar jangan lupa mengunci pintu kamar saat ia nanti pergi mandi.

4. Dengan hanya melilitkan handuk membungkus tubuh bagian bawahnya, lalu menenteng tas perlengkapan mandi, ia keluar dari kamar kosnya pukul 05.46. Ia sudah memperhitungkan akan selesai mandi pada pukul 05.50 dan berangkat sarapan ke warung kacang hijau di pojok terminal pukul 05.57.

5. Tetapi, saat mandi ia tiba-tiba saja tergoda untuk membayangkan kenikmatan hidup para penyair Indonesia yang menjalani kehidupan bohemian. Bebas. Bebas dari kejaran waktu jam kantor, bebas dari keharusan-keharusan cara berpikir dan cara hidup yang sudah ada di tengah masyarakat. Para penyair, para seniman, dengan begitu merdekanya mampu menjalani peluang-peluang kehidupan yang terbuka luas bagi siapa saja yang mau menempuhnya. Lalu, begitu saja ia mengguyuri tubuhnya dengan air bak yang sejuk itu, dengan sepuas-puasnya, seraya meneriakkan baris-baris puisi yang masih terekam di dalam ingatannya.

6. Yulius membayangkan dirinya menjadi seorang penyair yang bebas merdeka, membacakan puisi-puisinya di hadapan orang ramai.

7. Yulius terus mengguyuri tubuhnya. Membayangkan dirinya sebagai Chairil Anwar, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, Warih Wisatsana, dan banyak lagi….

8. Yulius membayangkan dirinya menjadi seorang penyair terkenal yang diundang ke berbagai negara untuk membacakan puisi-puisinya.

9. Yulius terus mengguyuri tubuhnya dengan air seraya meneriakkan baris-baris puisi yang teringat olehnya.

10. Yulius pun diwawancarai oleh beberapa wartawan seusai pembacaan puisi di sebuah gedung kesenian, mungkin saja di wilayah Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

11. Yulius terdiam dan tersadar ketika merasakan bahunya ditimpa pintu kamar mandi yang didobrak dari luar, dan ia merasakan, pagi itu, para penghuni rumah kosnya sedang bersatu dengan dunia, sama-sama mengejek dan menertawakannya. Sungguh mengerikan. Karena kenangan itu kini terus mengikutinya!

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler