Skip to Content

Proses Kreatif Edy Soge Ef Er

Foto Deo Helero

Rumah Kesunyian, Rumah Kreativitas[1]

(Syering Proses Kreatif)

Oleh Edy Soge Ef Er[2]

Sampai saat ini (nunc) juga di sini (hoc) saya menyadari bahwa saya memiliki rumah kreativitas yaitu rumah kesunyian.[3] Dan saya bersyukur atas keberadaan yang istimewa dalam panggilan suci ini sebab kesendirian saya begitu produktif dan kreatif bagi potensialitas dan aktualitas penciptaan karya sastra. Kesunyian dan kesendirian saya dalam ziarah panggilan bersama Sang Guru merupakan realitas esensial bagi pertumbuhan proses kreatif saya. Pada baris ini  saya ingat untaian puitik P. Leo Kleden dalam “Surat Untuk Tuhan”, “Pada mulanya adalah Sunyi dan Sunyi itu melahirkan Kata dan Kata menciptakan alam semesta dan alam semesta menyanyikan madah. Dan semua madah kembali ke Sunyi di baris terakhir semua puisi. Tapi tak pernah seorang penyair berhasil menulis bait itu. Mungkin pertapa lebih mengenal rahasia Sunyi?”

Kurang lebih hampir tujuh tahun saya hidup dalam suatu dinamika kesunyian yang membahagiakan dan memberi pertumbuhan.[4] Saya mengalami gerak cinta, romansa dan romantika tanpa pengkhianatan, cemburu, dan prasangka serta keraguaan. Saya sanggup berada dan hidup dalam kesunyian karena cinta dan saya bertanggung jawab atas jatuh cinta di waktu lampau ketika masih segar darah remaja yang mengalir lewat nadi seorang anak muda calon imam yang asyik “bertapa” di bawah kaki gunung kembar Lewotobi, lembah Hokeng berkabut, dingin dan syahdu. Saya mencintai sunyi dengan tanggung jawab spiritual yang masih terus saya perjuangkan entah sampai kapan. Cinta saya ini terjawab dalam aforisme saya, “Lebih baik mencintai sunyi karena ia tidak pernah mengkhianatimu, daripada mencintai dia yang tidak pernah mengerti kesunyianmu.”[5] “Sunyi adalah kawan sejati yang tak pernah berkhianat,” kata Konfusius. Di dalam kebersamaan ideal ini bakat sastra saya tumbuh dan berkembang dengan harapan bisa menjadi pohon keindahan yang selalu memancarkan kebenara (pulchrum splendor veritatis, Thomas Aquinas). Dengan demikian apa yang dikatakan  Johann Wolfgang von Goethe benar bahwa bakat terbentuk dalam gelombang kesunyian, watak terbentuk dalam riak besar kehidupan. Saya pikir tidak mungkin jika seorang penulis (sastrawan) hidup tanpa kesunyian dan kesempatan sendiri untuk melihat langit di luar, langit di dalam lalu disatukan ke dalam jiwa; memahami keberadaannya bersama yang lain dalam keutuhan sebagai person.[6] Sekali lagi saya mengutip Leo Kleden, “Pada mulanya adalah Sunyi dan Sunyi itu melahirkan Kata dan Kata menciptakan alam semesta dan alam semesta menyanyikan madah.”

            Dari rumah kesunyian, dari jendela sunyi, saya memandang halaman hidup masyarakat. Ada kagum sejuta puji-puja ketika melihat mawar mekar kala fajar dengan butir-butir embun di kelopaknya yang murni. Namun ada pula sayat duka dan irisan rasa haru ketika hujan tak kunjung tiba, ranting kesepian tanpa daun, sampah berserak bertebaran di halaman kota dan pemulung yang jujur dengan keadaan mengais nasib juga jeritan malam penuh desah juga gairah dari balik kerlap-kerlip diskotik. Saya mengalami paradoks, teka-teki, enigma, dan misteri kehidupan yang membuat saya selalu gelisah dan rindu menggapai jawaban. Rumah kesunyian adalah pertanyaan sekaligus jawaban.

            Saya gelisah, tetapi juga kuat. Saya bertanya-tanya, tetapi sanggup menjawab apa yang sanggup dimengerti. Semua ini berlangsung di dalam kreativitas menulis sastra yang berkembang dengan baik di dalam rumah kesunyian. Di rumah ini saya menulis baik itu prosa, puisi, maupun tulisan ilmiah. Rumah kesunyian, rumah kreativitas, rumah biara adalah tempat segalanya bertumbuh, imajinasi, inspirasi, ide, dan kreativitas. Dinamika ini bergerak dalam keteraturan pola hidup dan tertib kebebasan yang memadai serta dispilin yang menunjang ketepatan beraktivitas.

            Dari rumah ini saya menulis karena saya menemukan habitat kreativitas di dalamnya. Tanpa kesunyian, tanpa panggilan, tanpa latihan atau tanpa keutuhan sebagai pribadi saya tidak mungkin menulis. Saya menulis karena saya hidup (hidup bersama sunyi dalam biara) dengan sebuah totalitas sebagai person (nous, thumos, epithumia, cipta, rasa, karsa); saya mengerti, saya merasa, saya menghendaki. Keutamaan-keutamaan terberi, kesanggupan-kesanggupan kodrati adalah potensialitas eksistensial yang saya buktikan dalam menulis (aktualitas). Dengan ini saya sadar bahwa hidup tidak sekedar bernapas, makan dan minum, tetapi harus diungkapkan, direalisasikan dalam rupa-rupa praksis. Hidup harus dihidupi dengan kehidupan yang bisa menghidupkan hidupmu. Saya menghidupi hidup saya dengan menulis.

            Menulis adalah totalitas ekspresi manusia. Saya menulis berarti saya mengerti, saya peka, dan saya menghendaki. Aktivitas menulis menyatukan tiga kecerdasan manusia yaitu, IQ, EQ, SQ. Pada saat menulis kita sungguh merasakan bagaimana ketiga kecerdasaan itu bekerja. Dalam studi Bahasa Indonesia menulis adalah kompetensi berbahasa paling akhir setelah kompetensi menyimak, berbicara, dan membaca. Karena itu menulis adalah kegiatan yang tidak mudah dipraktikan dan menjadi penulis sudah pasti menempuh jalan panjang proses belajar yang mungkin saja berlangsung sepanjang hidup.

            Anne Morrow Lindberg pernah menulis, “I must write it all out. Writing is thinking. It’s more than living, for it is being conscious of living.” Menulis adalah berpikir yang mengarahkan penulis untuk lebih memahami dan menyadari hidupnya sendiri. Dalam kegiatan berpikir itulah saya mencapai kesadaran, menggapai pengalaman batin, meperoleh pengatahuan akan adanya diri saya, perbuatan saya, dan dunia saya berpijak lalu saya menyebut diri ‘aku’. Menulis membantu saya mengenal diri saya. Atau bisa saja orang lain mengenal jalan pikiran saya lewat tulisan saya. Dalam kesadaran pengenalan diri ini saya mengalami diri saya sebagai kesatuan yang tidak sempurna, kesatuan yang terbagi, kesatuan yang mengandung ketidaksatuan, keutuhan yang mengandung ketidakutuhan. Inilah realitas aktual hidup sebagai paradoks yang tanpa akhir, unlimited. Hidup adalah pertentangan: hati-keinginan, badan-jiwa. Untuk mendamaikan itu saya menulis sebab pencapain akhir dari cipta sastra adalah katarsis (penyucian batin) dan saya mendapat ketenangan, kebahagiaan (eudaimonia) atau saya bisa katakan ekstase atau orgasme spiritual yang membahagiakan.

            Saya juga menulis karena saya tidak hidup sendiri. saya bisa berkomunikasi dengan orang lain lewat tulisan saya. Saya suka sekali menulis puisi untuk mereka yang saya kagumi, khusunya perempuan. Pernah untuk seseorang saya menulis , “Saya suka sekali memandang lalu mengagumi dan merasakan jatuh cinta itu sederhana.” Kepada yang seorang lagi saya menulis, “Selama kata masih bisa kurangkai jadi puisi, aku akan tetap mencintaimu. Dan aku ingin mencintai dengan puisi sebab dengan itu aku mampu menghadirkan dirimu dalam kata.” Ini hanya alasan sentimental. Namun jauh lebih penting menulis adalah mewartakan. Mengomunikasikan pesan (amanat) atau kebenaran kepada orang lain. Pesan tertulis itu abadi (scripta manent, verba volant) selama itu dibaca (diingat), atau tulisan itu disimpan dengan baik, dibaca dan diberikan kepada orang dari generasi ke genarasi. Kita ingat karya para penulis besar yang masih diingat sampai sekarang, misalnya Chairil Anwar: hidup hanya menunda kekalahan, aku ingin hidup seribu tahun lagi, di depan cermin aku enggan berbagi). Karena itu celakalah bila saya  tidak menulis.

            Singkatnya, saya menulis karena saya hidup (hidup bersama yang lain), saya berpikir dan punya tujuan hidup: kebahagiaan. Namun mengapa saya menulis satra. Karena batin saya butuh makan, jiwa saya butuh asupan (Tuhan, berikanlah aku rezeki puisi dalam sunyi hari-hariku, agar aku tidak lapar dan sendiri). Sastra memantapkan perasan, mematangkan rohani, melapangkan pikiran, dan memperjelas kehendak. Sastra membebaskan saya dari belenggu pedoman baku rasionalitas dan teoretis, dogmatik, konvensi-konvensi. Kemerdekaan berproses saya temukan dalam sastra, apalagi (khususnya) dalam menulis prosa (karya bebas) atau dalam puisi saya berpijak pada prinsip licentia poetika. Saya bebas menjelajahi alam di luar (makrokosmos) dan bebas juga menjelajahi alam di dalam (self)  (mikrokosmos)  lewat imajinasi, pengandaian, intuisi, refleksi, dan berpikir. Saya memperoleh kebebesan sebagai manusia di dalam sastra, meskipun tidak sepenuhnya sebab pertimbangan-pertimbangan rasional tetap punya tempat, tidak semata-mata imajinasi bebas.

            Saya menulis sastra karena saya kagum akan keindahan. Saya pernah menulis: keindahan adalah Tuhan yang  sedang menyembuhkan mata kita. Keindahan itu sedemikian ajaib karena mampu menyentuh lubuk hati, kalbu, menghantaui pikiran, menggerakkan intuisi, daya cipta dan maunya diungkapkan dalam puisi atau cerpen atau aforisme atau tulisan apapun. Rasa kagum lahir dari kedalaman dan itu dipengaruhi oleh objek sensasional, oleh keindahan yang empunya substansi, esensi. Dan kita tahu bersama bahwa filsafat juga lahir dari rasa kagum. Barangkali Homerus begitu terpukau dan terkesima dengan cakrawala jagad raya dengan segala keindahannya sehingga diciptakannya syair-syair indah yang memuat nilai filosofis dan kebijaksaan hidup. Saya senang juga bisa belajar filsafat dan punya bakat sastra sebab saya mengalami kedua dalam relasi mutual di mana filsafat membantu saya membaca sastra secara lebih cemerlang dan sastra membantu saya lebih peka dalam filsafat. Tanpa sastra filsafat hanya tinggal padang gurun luas tanpa batas yang tidak punya mata air. Kering jika ketiadaan intermeso sastrawi dalam petualangan filosofis di bukit budi, ledalogos, Ledalero. Demikian juga sastra tanpa filsafat hanyalah musim semi dengan aneka bunga kembang indah yang membuat kita terbuai dalam pesonanya, lalu lupa bahwa itu adalah gambran riil dari yang tidak riil (dunia ide, Plato). Filsafat membongkar selubung semiotik dan menyingkapkan makna dan arti dari simbol dan diksi metaforik.

            Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan “Jendela Sunyi”? Saya mengakui bahwa ia datang terlalu dini. Sebelum fajar  pecah di jendela ia sudah di depan pintu rumah, dan tuan rumah tidak tahu jika ia ada di sana. Bangun pagi tuan rumah membuka pintu dan mendapatinya kedinginan lalu pikirnya ia masih kecil, tak berguna baiklah ia dibuang di halaman atau di tempat sampah. Sayang betul ia seorang premature yang lahir dari rahim sunyi yang belum matang benar. Namun kata orang yang premature punya kemampuan khusus. Biarlah ia bertumbuh dan menunjukkan diri. Saya sudah melepaskannya. Ia telah menjadi dirinya sendiri dan biarlah orang lain menerima dan menilainya. (Puisiku telah memilihku menjadi cela sunyi/di antara baris-barinya yang terang./dimintanya aku tentap redup dan remang, Jokpin). Atau yang lain bilang pengarang telah mati dan mungkin saja kita ingat terminologi Paul Ricoeur, aproriasi dan distansiasi[7] yang menciptakan dialektika baru bagi lahirnya interpretasi yang kaya makna oleh penafsir dan pembaca. Yang dimaksud dengan aproriasi adalah menjadikan yang “asing”  sebagai milik “seseorang”. Saya menulisnya tetapi hasil tulisan itu tidak lagi menjadi milik saya, tetapi milik orang lain (pembaca). Ada distansiasi antara saya dan tulisan saya, tetapi otonomi teks tetap diperhatikan. Saya maksudkan mungkin saja melebihi apa yang tertulis, dan mungkin saja arti tulisan saya melampaui maksud saya sendiri. Karena itu, tugas hermeneutik adalah mencari arti yang terberi di dalam teks dam sekaligus memberi makna baru untuk teks.

            Meskipun “pengarang telah mati”, izinkan saya berbicara sedikit hal tentang “Jendela Sunyi”. Suatu siang yang tidak biasa, ketika masih di rumah kesunyian Novisiat Nenuk, saya menerima tawaran dari saudara Defri untuk menulis antologi cerpen bersama. Sebelumnya sudah ada bisi-bisik perihal penerbit baru di Maumere (Penerebit Carol Maumere) yang membangun inspirasi lewat buku dengan menerbitan karya-karya orang muda NTT. Cerita ini tambah seru dan gurih di kesempatan pertemuan sastra Komunitas Sastra Kotak Sampah[8] dan mulai saat itu saya fight sungguh-sungguh; saya menulis tiga cerpen satu hari. Ternyata kehadiran orang lain sebagai bidan ide (maietika tekhne, Socrates) sangat penting dalam menunjang keaktifan menulis.

            Setelah menerima kabar itu saya mulai tidak tenang, ke sana ke mari memikirkan ide, bahkan gelisah dan malam tiba saya tak sanggup mengatup mata secara sempurna. Terpaksa tengah malam bangun dan menulis penggalan ide. Umunya saya bergerak dari puisi kepada cerpen. Saya memang lebih cocok dengan puisi dan ada teks yang merupakan adaptasi dari tetaer, misalnya Nausea. Saya cukup sanggup menulis puisi dan teater/drama, daripada cerpen. Saya merasa cukup sulit dalam bernarasi secara ringan, mengalir, dan penuh kejutan. Saya masih cacat dalam menulis prosa (cerpen). Karena itu, 9 cerpen saya dalam “Jendela Sunyi” adalah jejak pertama saya dalam menulis cerpen dan banyak sekali kekurangan di dalamnya. Saya kurang mampu menciptakan dialog yang lancar dan mengalir, plot yang biasa saja dan terbatas (fragmentaris). Secara teknis saya banyak membuat kesalahan pengetikan. Meski demikian tema dan amanat saya relevan dan baik untuk direnungkan lebih  mendalam.

            Demikian sedikit cerita dari saya perihal menulis. Saya akan terus menulis selama saya masih hidup dan memiliki kesunyian. Saya punya rumah kesunyian. Rumah,tempat segala dimulai dan diakhiri. Rumah kesunyian adalah titik pijak kreativitas. Dari rumah kesunyian dengan jendela sunyi yang menagumkan saya memandang ke halaman masyarakat. Saya menulis atas realitas hidup dan imajinasi adalah alat ucap yang saya gunakan untuk mewarnai realitas itu sehingga ada cita-cita imajiner yang sekali waktu terwujud dalam realitas objektif.

            “Tuhan, di sunyimu/aku menjahit pahit/puisi semesta/tentang sepotong sakit/sepenggal pamit/ingin pulang pada doa-MU//”.

                                                                                                Wisma St. Gabriel, 21 Februari 2019

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[1]Tulisan ini dipresentasikan saat bedah buku antologi cerpen bersama “Jendela Sunyi” di Wisma Rafael, Nita, 22 Februari 2019. Pertemuan ini diselenggarakan oleh komunitas sastra ASAL (arung sastra Ledalero).

[2]Edy soge ef er bersama Defri Ngo menulis antologi cerpen “Jendela Sunyi”. Ia lahir di Hewa (Flores Timur), 27 Oktober 1996. Tahun 2016 menamatkan pendidikan di Seminari San Dominggo Hokeng dan sekarang belajar filsafat di STFK Ledalero. Di tempat ini ia berusaha belajar lebih banyak tentang sastra lewat komunitas sastra ASAL (arung sastra Ledalero).

[3]Saya menyebut rumah kreativitas sebagai rumah kesunyian karena proses kreatif saya tumbuh dan berkembang dalam ruang sunyi biara yang saya mulai sejak di Seminari Menengah San Dominggo Hokeng, Novisiat SVD St. Yosef Nenuk, dan sampai sekarang di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. Di tiga tempat ini saya mengalami romansa sunyi yang dari ke hari mendorong saya untuk membangun intimasi dengan semesta di dalam diri dan di luar lalu ide dan inspirasi bermekaran di kepala dan di kalbu dan saya menulisnya sebagai puisi, cerpen, drama (teater), monolog, dan tulisan nonfiksi. Saya bersyukur atas keberadaan yang spesial sebab kesunyian menjadi ruang untuk bertumbuh dan berkembang baik dalam sastra, spiritual, maupun filsafat. Di dalam rumah kesunyian saya menyadari diri dalam kesendirian yang produktif dan kreatif. Tanpa kesunyian dan ziarah panggilan suci saya mungkin saja tidak menulis seperti sekarang.

[4]Kita mengenal ungkapan terkenal dari St. Bernardus dari Clairvaux (1090-1153), seorang rahib Trapis, “O Beata Solitude! O Sola Beatitude!” – “O sunyi yang membahagiakan, satu-satunya kebahagiaan!”. Mengapa sunyi membahagiakan? Karena Allah dijumpai dan didekap dalam kemesraan yang suci  di dalam kesunyian dan itu memberikan konsolasi tanpa batas dan memberikan pertumbuhan spiritual; “Deus incrementum dedit” (1 Kor 3:7).

[5]Perihal pengalaman personal bersama sunyi dapat dibaca dalam cerpen “Romansa Sunyi” di dalam buku “Jendela Sunyi” (hlm. 111-117).

[6]Rendra menulis, “Langit  di luar, langit di dalam, bersatu dalam jiwa.” Penyair yang memahami keutuhan diri dalam totalitas universum.

[7]Gagasan Paul Ricoeur dalam bidang hermeuneutik khusunya dua istilah yang saya kutip lebih jelas dapat dibaca dalam tulisan Kristianto Naben, “Teologi, Sastra dan Hermeneutic”, Vox  seri 51/03-04/2006, hlm. 123.

[8]Komunitas Sastra Kotak Sampah adalah kelompok sastra para frater dan bruder SVD Novisiat Nenuk yang dibentuk atas ide Defri Ngo, Rian Odel, Edy Soge, dan teman-teman lain untuk mengumpulkan mereka yang memiliki minat sastra supaya dapat berkembang lebih kreatif dan produktif. Hasil yang dicapai cukup baik karena banyak yang terlibat dalam pementasaan sebagai aktor dan juga penulis teks (drama/teater/monolog) dan banyak di antara dengan baik menulis puisi, cerpen, dan esai sastra. Karya-karya mereka di antara sudah diterbitkan di majalah dan di Koran juga media online. Kelompok ini dibentuk pada Minggu, 19 Oktober 2017.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler