Skip to Content

PUISI-PUISI AGUS R. SARDJONO

Foto SIHALOHOLISTICK

Agus R. Sarjono lahir di Bandung, 27 Juli 1962. Menulis sajak, cerpen, esai, kritik, dan drama. Buku puisinya: Kenduri Airmata (1994), Suatu Cerita dari Negeri Angin (2001), Diterbangkan Kata-kata (2006). Buku esainya Bahasa dan Bonafiditas Hantu (2001) dan Sastra dalam Empat Orba (2001). Dramanya: Atas Nama Cinta (2006). Pernah menjadi sastrawan dan peneliti tamu di International Institute for Asian Studies, Universitas Leiden (2001), sastrawan tamu Heinrich-Boll_Haus, Langen-broich (2002-2003) dan ilmuwan tamu Universitas Bonn (2010-2011). Juga sebagai Dosen jurusan teater STSI Bandung dan redaktur majalah Horison.  

 

 

RANGGAWARSITA

 

Zaman edan yang bahagia, di manakah

gerangan Ranggawarsita?

 

Sunya ruri seisi negeri. Siapa bertahta

di ujung harta? Tanduk-tanduk partai,

mengusung dua ratus juta telur sangsai

ke rumah gadai. Alangkah eling dan waspada

bagi setiap peluang yang ada.

 

Sunya ruri segala mimpi. Harapan lama

bagai bendera di malam badai: berkibaran

dan kusut masai. Pengadilan dan gunung api

melontarkan magma dan debu ke udara

lantas mengendap di paru-paru negara

: pengap dan menyesakkan dada.

 

Zaman edan yang bahagia, di manakah

gerangan Ranggawarsita?

 

 

SAINT-EXUPERY

 

Seorang penulis buku anak

dengan indah telah meminta maaf

pada anak-anak, karena cerita untuk mereka

dengan terpaksa, pada orang dewasa

dipersembahkan. Ada sekian alasan

dan sebab: yang utama, tentunya

karena orang dewasa paling banyak

kehilangan. Misalnya saja warna-warna

di alam semesta. Makin dewasa

makin sedikit warna tersisa bagi manusia

yakni warna-warna dasar yang sederhana

karena warna pelangi, warna berseri

warna terang, cerah, dan norak

hanya milik dunia anak-anak.

 

Belum lagi kehilangan yang lebih mencekam

: otot, gairah, mimpi, usia muda,

rasa ingin tahu, khayalan, rasa heran,

kekaguman paripurna pada dunia

yang masih segar dicipta

belum diterjemahkan jadi angka-angka

kering dan kejam di pasar saham.

 

Setiap anak dilahirkan sebagai pangeran kecil

gemilang dalam cahaya gemintang mungil

Mereka segera jadi kaum papa jelata

begitu ia menjelma jadi dewasa,

tak peduli berapa istana ia punya,

berapa timbunan harta dalam simpanan.

Karena hanya pada kanak, bintang

di angkasa merasa punya hubungan

rubah di hutan merasa berteman.

 

Orang dewasa berdiam di jauhan

dengan bedil di tangan: lelah, cemas,

dan siaga. Tak melihat hubungan lain

dengan kehidupan selain jadi pemburu

atau diburu. Tak putus-putus mabuk

untuk menghapus rasa malu

karena telah menjadi pemabuk.

 

Maka kepada anak-anak tolong maafkan

bila bahkan buku untuk kalian

kepada orang dewasa dipersembahkan.

Kasihanilah kami orang dewasa

yang begitu banyak kehilangan.

Yang terbesar dan tak tergantikan

adalah hilangnya masa kanak

anugerah terindah dari kehidupan

yang begitu lekas musnah

dan menyilam.

 

 

SINGER

 

Seorang lelaki

berkutat bebaskan budak

dalam diri,

menulis musuh

dalam kisah cinta sejati.

Tapi trauma dan masa lalu

bagai mantan istri

yang selalu memaksa

untuk rujuk kembali.

 

Dalih adalah Sang Tuan

dari rembang ingatan.

Bahkan di detik jingga

di nadi hidup

yang berdegup mesra,

selalu ada dalih bagi kita

untuk tetap tak bahagia.

 

 

SARTRE

 

Neraka keberadaan tak lain

adalah orang lain, ucapmu

dalam sebuah pintu tertutup

pada sebuah drama canggung

dari sebuah zaman yang murung.

 

Di tanah airku, ada dan ketiadaan

karcis menjadi tema utama

setiap hari raya. Stasiun dan terminal

tersengal oleh antrian: panjang

dan rapat seperti kalimat filsafat.

Kerumunan yang berdebar

tak sabar ingin memudikkan jiwa

dan badan ke surga kebersamaan

kerabat dan keluarga

karena neraka tak lain

adalah tanpa orang lain.

 

 

CERVANTES

 

Dengan pena terhunus kau pacu keledai sastra

menerjang kincir keramat hikayat bangsawan

dan raja-raja hingga porak-poranda

dan menjelma jadi gelak tawa

 

Di negeri-negeri yang jidatnya sempit

dan muram, tank, panser, dan penjara

tersedia bagi Don Quixote dan keledai sastra

yang menggoyang kebajikan mapan

bungkus mulia bagi jiwa-jiwa deksura.

 

Adakah ksatria gelak tawa berbahaya

bagi negara, serupa ular berbisa di belukar

mendesis merayap menyusun makar?

Dia yang bijaksana tahu tak ada

mahkota dimakzulkan oleh cerita

jika ke dalamnya penguasa sedia berkaca.

 

Keledai sastra yang dungu bestari

senantiasa menggergaji satu kaki singgasana

agar sang raja belajar bijaksana di atasnya.

Atau mengecat tembok istana

dengan warna ganjil tak biasa

biar angker kekuasaan sedikit belajar

menertawakan diri dan agak jenaka.

 

Dengan pena terhunus kau pacu keledai sastra

menerjang kincir keramat hikayat bangsawan

dan raja-raja hingga porak-poranda

dan menjelma jadi gelak tawa

 

Kisah sehari-hari dan orang biasa

sejak itu berhak juga menjelma cerita.

 

 

GORKY

 

Di sebuah negeri gamang dan pilu

Gorky yang piatu melahirkan seorang ibu

untuk membuka hati dan mengasuh

hari-hari jelata yang rusuh. Bagai Musa

Ia menuntun jelata pekerja

untuk berhijrah dari kubangan vodka.

Di kerontang akar rumputan, kesadaran

konon tumbuh merimbun bagai palawija

berbuah mesra penuh janji

untuk dipanen kelak selepas fajar pagi.

Tapi sejarah selalu milik ayah.

Mereka memanennya malam-malam

hingga tak banyak yang tersisa

di ladang selain warna merah

dari jejak-jejak amarah.

 

Di lorong gelap jelata, di kedalaman

terbawah, ada pelacur dan pencuri

merayapi mimpi mengharap cerlang matahari.

Dan bangsawan afkiran, buruh harian,

pedagang asongan, sibuk menanam diri

dalam cerita warna-warni

karena sesekali, orang-orang merasa perlu

menyentuh jiwa papa kelabu

dengan sedikit warna ungu.

 

Dalam gairah, Gorky menyusun

masyarakat dari lembar-lembar kertas

dan penguasa melemparnya ke tungku

biar revolusi berkobar selalu.

 

Waktu berganti rezim berlalu

di tanah yang merah dan tak merah

semua berubah, kecuali pelaminan

tempat penguasa penuh gairah

menjamin jelata dan kemiskinan

agar senantiasa bisa menikah.

 

Tinggal Gorky: masai dan terlunta

dijahit penguasa menjadi bendera

berkibar-kibar seperti sejarah

tempat jelata terbungkam pasrah.

 

 

PAMUK

 

Adalah salju

yang mempertemukan

orang sunyi dengan puisi

ketika perempuan yang tertindas

menghidupkan emansipasi

dengan bunuh diri

 

Bisakah manusia bahagia

sebagai pasangan cinta

menghuni rumah mungil berdua

tanpa direcoki perabot-perabot berat

dan sulit diangkat seperti negara

atau perkakas keras

tajam dan bergerigi

seperti ideologi?

 

Di Kars atau Tanjung Priok

di Kabul atau Istambul, sandiwara

bisa saja mengkudeta fakta

ketika remaja-remaja yang rindu

dan mereka yang mengusir pilu

dalam sebuah pertunjukan

terburai diserbu serdadu

hanya karena seorang komandan

yang bosan dan putus asa

mendadak ingin jadi sutradara.

 

Namaku merah, seperti darah

warna termegah dalam sejarah.

layar terpintal di sunyi Pamuk

membungkus puing-puing Attaturk

 

Negeri-negeri salju kastil-kastil kertas

sejarah mengeras di tapal batas

hari-hari timur hari-hari barat

hamba dan tuan bertukar tempat.

 

Musim mengeras di tapal batas.

Ada yang diam-diam bergegas

melaju di atas seribu bus seperti Pamuk

atau Osman atau Mehmet atau kau

memburu cinta, kematian, atau malaikat

dan tak mendapat apa-apa kecuali

identitas yang meranggas dan sekarat

antara masa kanak yang terkoyak

dan masa depan yang lembam.

Antara timur yang mendengkur

dan barat yang berkarat.

 

Dari Herat menuju ke Barat

merana tersungkur di Indonesia

ingatan adalah rakyat berkarat

menetas sia-sia dari telur amnesia.

 

Sambil menyusuri kota kelahiran

dalam ingatan silam, ditentengnya hidup baru

seperti menenteng kopor ayah

tempat istana salju dan buku hitam catatan harian

menyembul diam-diam bagai kenangan:

bacaan-bacaan masa muda

yang menggendong sukma ke Eropa,

dan hikayat-hikayat keramat

yang menuntun gelisah

kembali pulang ke rumah.

 

Di luar masih terhampar

dunia-dunia yang membenci

sebesar mencinta, yang bercumbu

sekerap bertengkar, bagai hujan salju

yang indah dan memisah hingga selalu susah

untuk bertegur sapa. Tapi akan selalu ada

yang sabar seperti Orhan, menyalakan lilin

untuk mencairkan salju yang membeku

di jembatan perjumpaan

biar segala yang lindap dan tak terucap

dapat bersijingkat temukan jalan.

 

 

CHAIRIL

 

Pada kereta senja

Chairil menebal jendela

cinta dan bahagia

makin jauh saja

mendengking Chairil

mendengking kereta

sayatan terus ke dada.

 

Pada senja di pelabuhan kecil

kau datang padaku: Chairil

cinta insani di tangan kiri,

Amir Hamzah cinta Ilahi

di tangan kanan

dengan pandang memastikan

: untukku. Aku membisu

dicakar gairah dan cemas

bertukar tangkap dengan lepas.

Aku hilang bentuk

remuk. Seharian itu

kita tak bersapaan. Oh puisi

yang enggan memberi

mampus kau

dikoyak-koyak sepi.

 

Kekasih, dengan apakah

kita perbandingkan pertemuan kita

: dengan Amir sepoi sepi

atau Chairil menderai sampai jauh?

Kini habis kikis segala cintaku

hilang terbang, kembali sangsai

seperti dahulu di nyanyi sunyi

di buah rindu.

 

Amirlah kandil kemerlap

pelita Chairil di malam gelap

ketika dada rasa hampa

dan jam dinding yang berdetak.

 

Aku sendiri, menyusur kata-kata

masih pengap harap. Apatah kekal

kekasihku, airmata yang kenduri

di riuh nadi di gamang jiwa

sedang cerlang matamu

tinggal kerlip puisi

di malam sunyi.

 

Chairil dan Amir

di pintumu puisi negeriku mengetuk.

Mereka tak bisa berpaling.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler