Skip to Content

PUISI-PUISI AHDA IMRAN

Foto SIHALOHOLISTICK

ANJING HITAM MATA SATU

 

Ini leherku

tapi, katakan,

 

siapa yang mengutusmu?

 

2007

 

 

SEPANJANG JALANAN

 

Kutulis sajak ini di atas seekor kuda

ketika lorong-lorong angin menghembuskan

suaramu jauh ke ruang-ruang bawah tanah

di kejauhan mereka membuat senja

dari tanah air penuh bendera. Malam

seperti mulut para penghasut

 

Ketahuilah, sayang, kafe-kafe yang tenang

bukan lagi rumahku. Akulah penunggang

kuda dari negeri malam itu. Negeri

di mana dendam mesti dinyatakan,

menjadi hasrat untuk menemukan kata-kata

dari setiap butir debu di rambut anakku

 

Kuserahkan tubuhku pada semesta

kesedihan, seperti kegembiraan yang juga

datang padaku. Kuhadiri makan malam

para pejabat, anggota parlemen

dan panglima militer, rapat-rapat partai,

dan pertunjukan teater. Kau tahu,

mereka menganiayaku, hanya karena

aku masih punya telinga

 

 

Juga ketahuilah, sayang, ketika sampai aku

pada bait ini, kudaku sedang berlari kencang

melebihi kata-kata yang menjemput para penyair

dan paderi di ruang-ruang bawah tanah itu

kumasuki kota dan perkampungan dari sudut

yang paling tak terduga, ketika orang-orang

berkomplot membuat tanah air yang lain

dari sejarah

 

yang tak pernah punya telinga

 

2004

 

 

SUNGAI BARITO

 

Sungai ini seolah tak bergerak

tak mengingatkanku pada negeri di mana pun

di Muara Kuin aku menemukan tubuh perempuan

adalah perahu. Membawa limau, pisang, kelapa,

semangka, dan labu. Mereka berkerumun,

bergumam, mendayung

 

Keringatnya jatuh di air

 

Alun sungai, perahu beradu

dan bergesekan, terapung. Di kejauhan deretan

gudang-gudang kayu, ibu yang menyabuni

anaknya, lelaki yang menggosok gigi,

dan seorang gadis yang keluar

dari dalam air

 

Sungai ini tak membawaku ke mana pun

Oyos dan Ari berdiri di atap perahu

dengan tustelnya. Di perahu yang lain Joni

melambai. Saut berdiri dengan rambut gimbal,

mirip hantu sungai. Seiko, gadis Jepang itu,

sibuk mencatat hikayat Suriansyah, leluhur

negeri Banjar. Katrin menelepon

Oma-nya di Jerman

 

"Kata Oma, di Meksiko ada juga pasar

seperti ini."

 

Aku memesan kopi dan mengunyah

pundut dari warung perahu yang mencuci

gelas dan piringnya ke dalam sungai

kubayangkan keringat perempuan-perempuan

atas perahu itu masuk ke dalam tubuhku,

 

mendayung rohku ke lubuk air

 

Oyos dan Ari masih memotret. Seiko

masih mencatat Suriansyah. Katrin masih

bercerita tentang Oma-nya, tentang sungai

di Meksiko. Tapi sungai ini tak mengingatkanku

pada siapa dan pada tempat di mana pun

perempuan-perempuan atas perahu itu telah

membawaku ke dalam tubuhnya

 

Di Muara Kuin,

keringat kami jatuh di air ...

 

2007

 

 

AKU MENULIS

 

Ketika malam menarik senja

dengan kasar

ketika hujan tak sampai

ke sungai

ketika ikan-ikan yang menggelepar

ditinggalkan

 

Aku menulis dengan tangan

yang sakit. Orang-orang terus bicara,

seperti ada tikus dalam mulutnya

setiap malam, mereka mencuri

sebatang pohon dari tubuh anakku

setiap pagi, mereka membuat

komplotan-komplotan baru

 

Aku menulis dengan tangan

yang sakit. Langit kering dan kaki-kaki

jembatan mengelupak. Kota penuh bendera,

suara telepon genggam, dan anak-anak muda

yang menginjak-injak potret presiden

 

Aku menulis dalam tahun-tahun

yang genting. Hari dan angin menderu,

menghembuskan abu dan patahan-patahan

gigi mayat. Kota perlahan tenggelam

ke dalam malam, seperti peti mati

yang mulai diturunkan, ketika

mereka membakar

 

seluruh pohon di tubuh anakku

 

2003

 

 

SEMANGGI

 

Meminjam tubuhmu dari jalanan

penuh tentara dan mahasiswa: Aku penari

dengan kening yang retak. Ranting angin tumbuh

dan menjulur dari gelap yang bergesekan,

mengirimkan ribuan tubuhmu yang lain, menjadi

daun, kolam, dan mayat-mayat. Seorang anak

menemuiku pada siang yang membosankan,

membawa air susu ibunya yang telah berubah

menjadi mesiu

 

Meminjam perasaanmu ketika orang-orang

membawa besi, belati, dan batu. Aku menari memunguti

jemari tangan dan ali matamu yang hancur. Bukit-bukit

jauh mengepung senja, menariknya dengan kasar

gelap bergesekan di daun telinga dan kulit kepalamu

angin menjulur dari ranting dan pepohonan yang murung,

mengirimkan seorang ibu padaku, dengan helai-helai

rambutnya yang berubah

 

menjadi ribuan ular

 

1998

 

 

PAPUA

 

Lalu seluruh lembah mengeluarkan pekiknya

sakit yang sampai ke lubuk sungai. Pulau-pulau

karang berwarna toska, padang-padang rumput,

danau, dan pegunungan yang menjulang

 

Rumbewas mengunyah pinang, meludahkan

airnya pada batu, seperti percik darah

tubuhnya penuh hutan-hutan sagu

yang terbakar

 

Kapal mereka terus datang membawa beras,

perempuan dan minuman keras, lalu mengangkut

kami punya gaharu dan emas

 

Tapi ia terus memukul tifa

irama derap kaki dan bumi

 

Ratna, Jamal dan Alwy ramai-ramai

berfoto bersamamu untuk kenang-kenangan,

lalu kami mencari patung antik, tombak, tifa,

panah, dan membeli koteka sambil tertawa

di toko-toko milik orang Bugis

 

Di langit yang kosong

seekor burung melayang, menukik,

dan membenturkan tubuhnya ke batu karang

tapi Rumbewas terus menari, membuat

putaran dan jeritan. Bulu-bulu burung

kaswari di tubuhnya meneteskan darah,

dan hari yang selalu malam

 

Ketika purnama naik,

ketika orang-orang terus membakar

pohon-pohon di tubuh anaknya,

dengar pekiknya di lubuk sungai!

 

Lembah-lembah yang dingin,

pegunungan yang menjulang,

 

dan sebuah tarian perang

 

2005

 

 

PIDIE

buat Cut Fatmah Hassan

 

Daun-daun menulis di kerudungmu, Inong

syair-syair ratusan tahun ketika kata-kata

menjelma ribuan rencong, mengubah hujan

menjadi hidup yang sesungguhnya, menjadi angin

yang mengelus punggungmu, lenyap ke dalam rimba-rimba

jauh. Ada banyak malam pepohonan menyimpan nafasmu,

menyerahkannya pada sungai nan gaduh

berkata dingin dan parau

 

Tuan-tuan dari Jawa ...

 

Ada banyak malam tubuhmu meliuk

bersama seluruh kesedihan, melayang ke dalam

rentak hujan, garis-garis yang bergelombang, melepas

kain bajumu, menjadi syair ratusan tahun ketika hidup

yang sesungguhnya adalah menyihir air mata menjadi

ribuan rencong

 

Sungai-sungai menangis di kerudungmu, Inong

membawa sejarah itu kembali, tiang-tiang meunasah

yang terbakar, juga percakapan yang penuh penipuan,

seperti Pang Laot. Lenyap ke dalam rimba-rimba jauh,

kau sembahyang bersama para leluhur. Dan lubang

peluru di tengkorak kepala itu mengeluarkan gema

yang dibawa sungai-sungai

 

Tuan-tuan dari Jawa ...

 

1999

 

 

PERNYATAAN

 

Ini wajahku. Bawa ke laut,

lalu kenanglah!

 

Sepanjang abad perut ikan-ikan

menyimpannya. Menyerahkannya

pada nafas para nelayan.

 

Jangan menjemputku di pulau

dengan rindu

karena rindu telah kuserahkan

pada suara laut paling jauh

 

Ini tubuhku

bawa ke dalam kabut

lalu catatlah!

 

Burung-burung

menjeritkannya, angin mengurainya

para pemberontak menyebutnya

cahaya!

 

Jangan memanggilku dari keheningan

karena rumahku adalah percik api

dari ribuan kaki-kaki kuda!

 

Ini seluruhnya untukmu

tapi pulanglah padaku, seperti juga

aku datang padamu

 

Atau kita sama-sama membakar saja rumah ini!

 

2003

 

 

KUTULIS LAGI SEBUAH PUISI

 

Kutulis lagi sebuah puisi

mungkin untukmu, mungkin juga bukan

kata-kata selalu punya banyak kemungkinan,

seperti waktu, seperti tubuhmu. Banyak hari

yang tak bisa lagi kuingat padahal aku mesti

segera berangkat. Kupastikan aku akan sampai

di pulau berikutnya, tepat ketika kau

sampai di seberang sungai

 

Kupastikan juga ada sebuah kesedihan

yang aneh menempel di setiap helai rambutku

tapi entah apa. Mungkin ingatan pada mereka

yang meninggalkanku karena

kebencian atau kematian

 

Kutulis lagi sebuah puisi

mungkin untukmu, mungkin juga bukan

dalam tubuhmu kata-kata adalah waktu, irama

yang cemas dan bimbang, janji yang tak beranjak

pergi. Tidak bersama siapa pun, aku telah berada

di lubuk malam. Ingatan padamu menjadi air

yang menetes dari jemari tangan. Banyak hari

yang tak bisa lagi kuingat sebagai apa pun

tapi telah lama kupastikan, aku akan sampai

di sebuah pulau berikutnya, kampung halaman

dari seluruh ingatan. Tepat setelah

kau membaca puisi ini

 

dari seberang sungai

 

2007

 

 

DI PINTU ANGIN

 

Di pintu angin

orang-orang menari di permukaan air

gemerincing gelang kaki mereka menahan

perpindahan burung-burung. Ikan dan ular-ular

air melepas seluruh sisiknya, sebelum sampai

sungai ke pusat muara. Sebelum tanganku

 

menyentuh rambutmu

 

Di seberang air

di atas padang-padang lengang,

aku melihat tubuhmu terurai. Garis

pembatas surut, pulau-pulau menetes,

lalu dentang lonceng mengirim kembali

hujan ke seluruh lembah

dan ngarai

 

Di pintu angin

orang-orang masuk ke dalam air

gemerincing gelang kaki mereka tertinggal

di tubuhku. Di padang-padang lengang, dalam

kabut yang ganas, aku menari bersama arwah

ibu dan bapakku. Tapi perpindahan burung-burung

tak pernah sampai ke seberang air. Sedang

tanganku masih terulur

 

ke arah rambutmu

 

2008 

 

 

SESUATU SEDANG TERJADI

 

Sesuatu sedang terjadi. Orang-orang

berkumpul di dermaga, bersiap berangkat

tapi entah hendak ke mana dan entah

untuk apa. Seperti hujan yang terus turun

berhari-hari, pertanyaan-pertanyaan

membuat mereka menjadi bosan,

cepat merasa lelah dan selalu

menggerutu

 

Malam menyimpan tubuhnya

di punggungku, bersama pepohonan

yang rebah. Di permukaan danau

seekor ular melintas, membelah

bayang bulan

 

Sesuatu sedang terjadi. Bayi-bayi lahir

dengan lidah bersisik, dan ibu mereka adalah

burung-burung gagak. Tengah hari,

di sebuah kota, pertanyaan-pertanyaan

memandangku dengan gelisah. Lalu

seperti biasanya seorang terbunuh,

dan seperti biasanya juga: Kami

membakarnya. Entah mengapa

dan entah untuk apa

 

Sesuatu sedang terjadi. Orang-orang

meninggalkan bayi mereka di tengah hutan

dalam sepatuku bayi-bayi itu terus menangis

dan kedua tangannya lumpuh

 

Hari selalu menjadi malam. Orang-orang

masih berkumpul di dermaga. Entah hendak

ke mana dan entah untuk apa. Mata mereka

berlubang

 

seperti kuburan

 

1999-2006

 

 

HUJAN SEGERA DATANG

 

Hujan segera datang

dengan bunga di sepatunya

bukit-bukit memberi jalan,

 

burung-burung menjemputnya

 

Dengan tenang,

aku menulis puisi

menemui nama-nama

 

Hujan segera datang

dengan bunga di sepatunya

padang rumput terbelah

tubuhkku penuh gemerincing

 

Dengan tenang,

aku menulis puisi

menyembahyangkan

 

nama-nama

 

1999-2006

 

 

DI LUAR PERCAKAPAN

 

Bayangkan sebuah hari

ketika kita berpisah, ketika angin

tertumbuk di kamar lengang,

ketika sebuah pintu

 

dihempaskan

 

Jika masih kau di sini, pergilah ke balik

suara-suara malam. Di situ, di bawah tanah,

kusimpan sebuah kamar dan seorang perempuan

yang muncul dari cermin. Di situ, akan

kau temukan separuh tubuhku yang lain, menjadi

penduduk sebuah negeri yang selalu ramai

dengan kata-kata, para budak, dan majikan

yang menyebalkan

 

Ketahuilah, banyak hari yang tak bisa

kaukisahkan padamu. Kusimpan dalam gelap

perut ikan-ikan. Banyak hari di mana aku

telah pergi diam-diam, mengeluh di sebuah

kamar, menyalakan lampu, dan kutemukan

sejarah yang lain dalam tubuhmu,

di luar percakapan kita

 

Bayangkan sebuah hari

ketika kita terpisah, ketika kau temukan

separuh tubuhku yang lain, menjadi budak

yang malang di negeri kata-kata

 

yang selalu kehilangan manusia

 

2006

 

 

TENTANG AHDA IMRAN

 

AHDA IMRAN lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat, namun tumbuh dan besar di Cimahi. Kumpulan puisinya Dunia Perkawinan (1999). Sejumlah puisinya juga diterbitkan dalam antologi puisi bersama. Setiap pekan menulis repotase budaya, ulasan, kritik, esai, dan kolom, di Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler