Skip to Content

PUISI-PUISI AHMAD NURULLAH

Foto SIHALOHOLISTICK

DI DALAM SAJAK INI AKAN KAU TEMUKAN SEBUAH SUNGAI
Di dalam sajak ini akan kautemukan
sebuah sungai - katamu.
Lalu kita pun berangkat
menjelajah makna yang menggeliat
di balik lapisan tanah yang padat -
Siang gerimis
Matahari bercampur hujan
Perjalanan begitu panjang
dan mendebarkan
Bagai syahwat yang terbakar
dan menebar bara apinya
ke luar waktu -
Angin berkincir
Ruang bugil
Detik-detik istirah
Sejarah tiarap
Pada sebuah gumam
Di atas semacam tanah lapang
Masa kanak kita berceceran:
saat kita asyik menganyam sebuah kapal
dengan sisa daun kering dan lokan
dan kita berdesak di dalamnya
berlayar menuju sebuah dunia yang jauh
sejauh kita ada
sejauh kaki kita berpijak
Tidak. Di tikungan sajak ini tak kutemukan
sebuah sungai. Yang ada adalah sebentang lautan
luas tak bertepi;
makna berdebar seperti ombak
bergeriung seperti angin
berkecipak seperti kawanan ikan
dan kita tercebur
dan kita tenggelam di dalamnya. Di dalam sajak kita
Jakarta, 1999

DI TEBING WAKTU: MEDITASI
Sebelum jagat raya diciptakan, apa yang dilakukan Tuhan?
Sunyi. Di teras: waktu merayap. Malam mengalir. Aku duduk
tapi melayang. Di langit berkeriap bintang-bintang. Dan di
jalan-jalan berkecipak perang. Seperti di hatiku. Mungkin juga
di hatimu
Dan aku ingat Stephen. Ia muncul dari bulatan asap rokok:
Membetulkan punggungnya pada kursi roda. Merogoh lubang hitam.
Menggemari lagi bangkai bintang-bintang yang berkerumun
di bawah bulu alisnya.
"Sebelum jagat raya diciptakan, apa yang dilakukan Tuhan,
Stephen? Membangun Surga? Merancang Neraka? Jauh sebelum
ayah dan ibumu berpengantin, di mana kau ada?"
Ia menyeringai. Dari bibirnya terbit sekerumun matahari. Mengajarku
tentang cara menjinakkan bumi. "Pertanyaan Anda waras,
untuk seorang yang berani gila," katanya.
2
Ia lalu mengajakku pergi. Jauh melayang; melompat dari bintang
ke bintang. Berguling-guling dari galaksi ke galaksi. Mengintip
lubang cacing. Membayangkan serbuk tubuh presiden yang terguling.
Di bawah telapak kaki ku berhambur bermiliar galaksi. Bagai butiran biji kedelai yang terburai. Seperti pecahan biji gunduk yang membercaki ruang. Seperti kepingan biji mutiara yang bersemai di sudut-sudut waktu.
"Lihat," katanya, menunjuk sebuah titik yang berdesak
di setumpuk cahaya. "Apa arti kau ada?"
Lalu ia pun bercerita: Dulu, di sebuah celah titik
yang jauh itu, ada sebuah pertengkaran:
di dekat Tanah Nod, jauh sebelum Zaman Es terakhir,
sebelum Colombus merajang Benua India. Sebelum Pizarro
menemukan Inca. Sebelum Bolivar menyembul di Tanah Caracas.
3
Menginjak sebutir detik yang nanar, aku mendadak kembali terlempar
ke satu celah di titik yang jauh itu: ke bumi. Ada bom meledak
di masjid-masjid. Menggelegar di gereja-gereja. Bergema ke dalam ruang sejarah-menyeretku lagi pada sebuah cerita:
Tentang suatu pertengkaran, jauh di sebuah bumi yang tua.
"Ketika bumi masih sebercak Kata, apa yang dilakukan Tuhan,
Stephen? Merakit algojo? Merancang pendeta? Anda tahu: siapa
presiden pemenang lomba, besok, di negeri saya?"
Ia, dituntun oleh wataknya, kembali menyeringai. Lalu kembali
mengajakku berputar. Berdiri di tebing waktu, menyapu
kemahaluasan ruang: Meluncur di tanah masa depan yang berkabut
menjelajah kota-kota masa silam yang berasap.
"Stephen, di manakah Tanah Air saya?"
Jakarta, 1999

PADA SEBUAH RESEPSI: PENGANTIN PURBA
1
Ia datang dari sebuah dunia yang jauh
dari ubun-ubunku: "Ketika ayah dan ibumu berpengantin
di mana kau ada?"
Ruang pecah. Waktu berhambur
dan melengkung jadi sungai
Detik-detik mengucur deras
Berlari dari muara
Di tepinya aku menyusur
menyisir jejak yang tenggelam:
pada batu-batu
pada moyang rumputan
pada jam yang berlumut
detik-detik yang karatan.

2
Masa silam bagai kawanan serangga
merayap bangkit dari punggung jam:
Bukit-bukit cair
menciut lagi jadi puting
jalanan kelupas
berseruak belukar:
kadal, cengkerik, ular, dan belalang
mengerut lagi jadi telur
Pohonan surut
pulang lagi pada bijinya
Kotoran sapi melayang
ditelan lagi lubang anusnya
Kerut-kerut wajah luntur
Dunia kembali jadi muda.

3
Kampung-kampung tajam oleh bau dengkul dan garam
Dan kernyit pikulan para pedagang
dan celoteh ringan para petani
berhambur dari celah-celah waktu
dari detik-detik yang tersimpan
pada tabung ingatan. Atau semacam ingatan.

4
Sore terbit. Orang-orang baru pulang dari ladang
usai menanam harapan
pada biji-biji jagung dan kedelai
pada buncis, ketela, dan bungkah-bungkah garam:
Hari esok adalah butir-butir keringat
yang menetes dari kerja.

5
Langit gelap. Di bawah matahari yang bergeluyur jauh
ke rongga malam. Kudengar gamelan semayup bertabuh
Seperti kemerisik sisik ular di pohon ara.
Kidung tentang percintaan melilit telinga
dalam nada minor yang terjungkal
Angin berlari
menculik uap nasi
dan gurih asap lodeh
dari sebuah pesta yang basi.

6
Pelaminan terang:
Pengantin pria berblangkon
bersungkil keris Adipoday
Pengantin perempuan berkonde
berhias rantai kembang Putri Kuning
Ruang gaduh oleh celoteh pinisepuh
Senyum-senyum mekar seperti kembang
Juga tawa dan basa-basi murahan
Keanggunan-keanggunan yang dangkal.
Kusalami sepasang pengantin:
"Selamat hidup baru, Ayah.
Selamat hidup baru, Ibu.
Saya datang." Aku terisak
"Terima kasih. Anda siapa?"
"Tentu saja saya anakmu."
Ruang kembali pecah
Detik-detik terburai
Malam berlari
Di langit kudengar rohku mengerang
Surga meledak
Hanya Tuhan-sekiranya kudengar-
Diam-diam pun terisak
Sampai sekarang.
Jakarta, 2000


PADA TIDUR DI SEBUAH SORE
"Izinkan aku berteduh di dalam mimpimu, Nak," kataku,
beberapa menit setelah ia lelap. Aku melangkah. Di luar,
udara rusuh. Pohon-pohon beringas. Kota-kota berasap. Kata-kata
tak henti berbiak: jadi angin, jadi api, jadi petir.
Sejarah berhambur-bagai rombongan kelelawar tersembur
dari ruang kastil tua. Di tanah para tukang sihir
Negeri horor. Negeri tukang banyol.
Di selatan, lebih jauh dari selatan. Di ujung mata angin
Anakku membangun rumah di atas kelopak kembang
Di pucuknya lagi, di celah rimbun daunan
matahari berpendar: menebar cahayanya yang hijau
"Sehijau mimpimu, Nak."
Anakku berlari riang
Bersama kelinci, bebek, dan kucing
Berpegangan tangan. Berpelukan-
Tawa berderai
Waktu tersucikan.
Di pinggir cakrawala. Di tapal batas antara bumi dan
kelopak mata. Kudengar tiba-tiba bom meledak-
Aku terlonjak dan melompat ke luar dari mimpinya:
Kota-kota koyak. Bumi retak
Sejarah berhambur
kental dan gelap.
Di kamar, di ruang dan waktu yang bergerak mengusung
gerimis sore. Anakku menggeliat. Kutatap wajahnya:
Wow! Pada keningnya sebilas cahaya matahari
masih berjejak. Suatu tanda:
Ada sesuatu yang masih berharga
ke arah gelap. Bahwa bumi masih
layak dipijak.
Jakarta, 2002

BERSYUKURLAH KAU TIDAK LAHIR DARI HUJAN
- Untuk Orang Yang Tak Ada

Bersyukurlah kau tidak lahir dari hujan, sebab
langit tetap lebih teduh dibanding semua rumah yang terpacak
di bumi
Bukan, bukan soal di sini tak ada surga
tetapi di sini terlalu banyak neraka
bahkan di kamar tidurmu
Bumi ini, yang mewarisi pengetahuan pertama dari
darah Habil, bukan saja kampung yang kumuh,
tapi juga pedih
Bersyukurlah kau tidak lahir dari hujan
Jangan! sebab kulitmu terlalu halus untuk setiap debu dan kotoran
untuk semua mimpi dan harum bangkai
Bersyukurlah, dan jangan sekali-sekali bermimpi
untuk datang
Kubayangkan: di langit tubuhmu bening
bagai sepasang sayap kupu-kupu belum dilukis
oleh benda-benda, oleh pelbagai cuaca, oleh airmata
Bersyukurlah kau jadi orang yang tak ada
Bertahanlah terus untuk tak ada
Tak pernah ada!
Jakarta, 2003

 

SESEORANG BERDIRI DI TEPI SAJAKMU
Seseorang berdiri di tepi sajakmu. Wajahnya sepi,
seperti sebuah kuil terpacak
di lereng bukit. Sepasang matanya kering,
seperti selongsong kulit laba-laba.

“Aku rindu kedamaian,” bisiknya.
Adakah ia seorang pertapa?
Ia tertegun: memandang kata-kata berbaris. Atau menikung,
seperti rel kereta api membelah tanah desa. Atau berkeriap,
seperti lampu-lampu di tengah kota-di sebuah negeri yang redup.

Negeri yang jalan-jalannya berputar. Atau melintir,
seperti rambut sebuah suku tua yang telah punah.
Adakah di sana terbentang kedamaian,
seperti yang ia impikan?

Agak ragu ia melangkah masuk: menyibak kata-kata.
Lalu, dengan terompah butut, ia pergi berkeliling kota:
menyaksikan karnaval hari kemerdekaan. Atau
menonton sirkus. Atau ikut menyisip ke tengah arak-arakan
demo-massa yang menuntut harga BBM turun,
atau gaji buruh naik.

Haus, ia minum air mancur di sebuah taman. Lalu tertidur,
sebelum dibangunkan oleh gerimis. Dua ekor anjing
menggigit ujung celananya-sebuah peristiwa yang
mendorongnya melompat, keluar lagi dari sajakmu.
Di luar pagar, pada tapal batas antara dunia dan kata-kata,
gonggong anjing masih bersahutan-menyembulkan
moncongnya dari sederet penanda. Ia tersengal,
menyapu peluh di keningnya, dan berbisik:
“Tak ada kedamaian.” Juga tidak dalam sajakmu.
Jakarta, 2003

HOMO TEXTUALIS
Telah kulayari laut, sungai. Telah kuceburi kali,
selokan, parit-parit, yang mengalir
dalam tubuhmu. Kupelajari segala jenis kerikil,
batu-batu; biji-biji emas, dan ikan-ikannya
Tetapi, sungguh engkaukah itu
Sungguh kaukah yang berdiri tersenyum
di dalam waktu?
Mungkin bukan. Mungkin kau cuma bayang-bayang
pikiranku. Kususun dari rasa-rasaku
Kau hasil rajutan sebuah pikiran
Kau percik perasaan.
“Hallo! Kaukah itu. Sungguh kaukah yang berdiri
di depan pintu?” Kau yang baik, kau yang dungu?
Kau yang suci, yang berdebu? Mungkin bukan.
Kau angin yang berdesir, air yang bergerak,
kau batu yang berjalan
dalam diam: Kau tak bulat
Kau tak selesai.
Telah kulayari laut, sungai. Telah kuceburi danau,
rawa-rawa, parit-parit, yang bergericik
dalam tubuhmu.
Tapi, kadang kau tak ada
Kau cuma jejak.
Jakarta, 2005

 

TENTANG AHMAD NURULLAH
Ahmad Nurullah lahir di Sumenep, Madura, 10 November 1964. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerpen, esai, dan kritik sastra. Kini ia tinggal di Cipayung, Jakarta Timur.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler