Skip to Content

PUISI-PUISI AJIP ROSIDI

Foto SIHALOHOLISTICK

KOLAM  

 

Ikan-ikan berenangan dalam kolam yang bening-bening
Tak tepercik niat meloncat menerjang langit luas terbentang

WAYANG

Bayang-bayang yang digerakkan sang dalang
datang dan hilang, hanya jejaknya tinggal terkenang

 

SUNGAI  

Dari hulu hingga ke muara, berapa kali ganti nama?
Air yang mengalir sama juga, hanya saja bertukar warna

 

DI DEPAN LUKISAN SADALI  

Dalam keindahan kutemukan keheningan
dan dalam keheningan kudapati kesalihan

 

MATAHARI  

Kutembus mega yang putih, yang kelabu, yang hitam sekali
Di baliknya kucari yang terang : Sinar si matahari!

 

INGAT AKU DALAM DOAMU  

Ingat aku dalam do'amu: di depan makam Ibrahim
akan dikabulkan Yang Maha Rahim
Hidupku di dunia ini, di alam akhir nanti
lindungi dengan rahmat, limpahi dengan kurnia Gusti

Ingat aku dalam do'amu: di depan makam Ibrahim
di dalam solatmu, dalam sadarmu, dalam mimpimu
Setiap tarikan nafasku, pun waktu menghembuskannya
jadilah berkah, semata limpahan rido Illahi

Ya Robbi!
Biarkan kasih-Mu mengalir abadi
Ingat aku dalam do'a-Mu
Ingat aku dalam firman-Mu
Ingat aku dalam diam-Mu
Ingat aku
Ingat

Amin

 

SEMBAHYANG MALAM  

Alam semesta
Hening menggenang

Air mata yang deras mengalir
bersumber pada kalbu-Mu

 

JARAK  

Berapa jauh jarak terentang
antara engkau dengan aku

Berapa jauh jarak terentang
antara engkau dengan urat leherku?

Tak pun sepatah kata
memisahkan kita

 

HIDUP  

Jika hidup telah kautetapkan hingga yang kecil mecil
Untuk apa suara hati terombang-ambing dalam sabil?

 

TANDATANYA

Dalam diammu
engkau sebuah tandatanya

Dalam tandatanya
engkau adalah jawabnya

Dalam heningmu
Siapa masih bertanya?
Siapa masih menyeru?
Siapa masih ragu?

 

NISAN

1
Dengan patuh kautempuh jentera hari
dari masyrik sampai maghribi
Tiba di jalan buntu : tak ayal lagi
Liang lahat dan nisanmu sendiri

2
Telah kauukur hidup: cuma sampai situ !
Di seberang sana bukan lagi daerahmu

 

PERTEMUAN DUA ORANG SUFI  

Ketika keduanya berpapasan, tak sepatah pun kata teguran
Hanya dua pasang mata yang tajam bersitatapan

Suhrawardi atas kuda : "Betapa dalam kulihat
Samudra segala hakikat!"

Dan Muhyiddin di atas keledai: "Betapa fana dia
yang setia menjalani teladan Rasulnya."

Ketika keduanya bertemu, tak pun kata-kata salam
Tapi keduanya telah sefaham dalam diam.

 

AKU  

Tinju menghantam. Belati menikam.
Seluruh dunia bareng menyerang, menerkam.
Aku bertahan. Karena diriku
Dalam badai, gunung membatu.

Lengang sebatang pinang
Di padang pusaran topan.

Segala arah menyerang. Dari luar, dalam.
Tikaman tiada henti. Siang, malam.
Aku bertahan. Karena hidup
Muatan duka nestapa
Yang kuterima ganda ketawa

1963

 

MIMPI KITA SIANG HARI  

I
Dalam terik sinar matahari
Kulihat kau melambai:
Bayang-bayangku ataukah aku sendiri
Yang kaupeluk dan kaubelai?

II
Kebun belakang rumah, kolam ikan
Anak-anak bermain, kau menyulam
Menjalin helai-helai peruntungan kita
Dengan benang cinta.

III
Dalam cahaya rembulan
Kau perlahan bersenandung
Meski terpisah gelombang lautan
Kudengar sansai suaramu murung

IV
Jalan lengang panjang,
Wahai!
Mengarah ke batik kelam,
Aduhai!

1969

 

KUCARI MUSIK

Kucari musik
Yang brisik
Yang berontak
Memberangsang

Kucari musik
Yang sejuk
Yang mengalun
Tenteram

Kucari musik. Setiap saat kucari musik.

Musik yang menggairahkan
Mengendap dalam hati.

Musik menyelinap dalam celah-celah waktu
Merasuk dalam jiwa
Mengusap luka-luka hidup yang nyeri
Dan menidurkan tangan-tangan durhaka yang lelah
Dalam pangkuanMu.

Maka kasihMu
mengalir abadi.

1968

 

HANYA DALAM PUISI  

Dalam kereta api
Kubaca puisi: Willy dan Mayakowsky
Namun kata-katamu kudengar
Mengatasi derak-derik deresi.
Kulempar pandang ke luar:
Sawah-sawah dan gunung-gunung
Lalu sajak-sajak tumbuh
Dari setiap bulir peluh
Para petani yang terbungkuk sejak pagi
Melalui hari-hari keras dan sunyi.

Kutahu kau pun tahu:
Hidup terumbang-ambing antara langit dan bumi
Adam terlempar dari surga
Lalu kian kemari mencari Hawa.

Tidakkah telah menjadi takdir penyair
Mengetuk pintu demi pintu
Dan tak juga ditemuinya: Ragi hati
Yang tak mau
Menyerah pada situasi?

Dalam lembah menataplah wajahmu yang sabar.
Dari lembah mengulurlah tanganmu yang gemetar.

Dalam kereta api
Kubaca puisi: turihan-turihan hati
Yang dengan jari-jari besi sang Waktu
Menentukan langkah-langkah Takdir: Menjulur
Ke ruang mimpi yang kuatur
sia-sia.

Aku tahu.
Kau pun tahu. Dalam puisi
Semuanya jelas dan pasti.

1968

TRETES MALAMHARI  

Di Tretes malamhari
Semuanya jadi mati:
Surabaya nun jauh di bawah
Gunung Wilis terpacak sebelah kiri

(Aku teringat akan leluri
Ten tang Buta Locaya dan Plecing Kuning)

Apakah Waktu di sini berhenti
Mengendap dalam cahaya lampu pelabuhan
di tepi kaki langit?

Angin naik dari lembah.
Bayang-bayang daun bergoyang
Rumput-rumput pun berdesir.
Ataukah
Hanya hatiku bergetar?

Kucari kau .
Kucari di remang hijau.
Yang mengambang di muka kolam
Wajahmu ataukah bayangan bulan?

Lalu kututupkan jendela.

Malam lengang.
Malamku yang lengang.

1968

 

BAYANGAN

Bayanganmu terekam pada permukaan piring, pada dinding
Pada langit, awan, ah, ke mana pun aku berpaling:
Dan di atas atap rumah angin pun bangkit berdesir
Menyampaikan bisikmu dalam dunia penuh bisik.

Masihkah dinihari Januari yang renyai
Suatu tempat bagi tanganku membelai?
Telah habis segala kata namun tak terucapkan
Rindu yang berupa suatu kebenaran.

Bayangan, ah, bayanganmu yang menagih selalu
Tidakkah segalanya sudah kusumpahkan demi Waktu?
Tahun-tahun pun akan sepi berlalu, kutahu
Karena dunia resah 'kan diam membisu.

1967

 

ANTARA KITA  

Pabila jiwa bertelanjang depan jiwa
Suatu pun tiada guna: basa-basi, upacara ....
Jarak pun tiada lagi, sehingga cukuplah
Sekulum senyum, sekerling mata. Sudah!

1960

 

CINTA DAN KEPERCAYAAN  

Dalam hidup 'kan kupertahankan
Nilai hubungan antar-manusia, didasarkan
Atas cinta dan kepercayaan.
'Kan kupertahankan kehangatan
Gamitan dua tangan, menyampaikan
Kehangatan rasa dua jiwa.

Cinta adalah bunga tumbuh
Atas kesuburan tanah kasih, berakarkan
Hati mau mengerti, saling membagi.
Dan kepercayaan, landasan
Kerelaan dan kemesraan.
Pertalian dua hati.

1960

 

DIRIKU  

Diriku samudra
Dilayari kapal, perahu, bajak
Tiada jejak.

Yang sementara
Berasal dari Tiada
'Kan lenyap dalam
Tada

1961

 

TENTANG MAUT  

I
Kulihat manusia lahir, hidup, lalu mati
Menerima atau menolak, tak peduli
Dengan tangan dingin namun pasti
Sang Maut datang dan tiap hidup ia akhiri.

Kuperhatikan perempuan sedang mengandung
Wajahnya riang, mimpinya menimang si jabang
Namun kulihat Sang Maut aman berlindung
Dalam rahim sang ibu ia bersarang.

Kuperhatikan bayi lahir
Dan pertama kali udara dia hirup
Dalam tangisnya kudengar Sang Maut menyindir:
"Jangan nangis, kelak pun hidupmu kututup".

II
Yang kukandung sejak hidup kumulai
Takkan kutolak, meski ia kubenci
Tapi kalau hidupku nak dikunci
Datang Tuhan menawari:
"Sukakah kau hidup semenit lagi?"
Kujawab pasti: "Suka sekali!"

III
Seperti gelap bagi kanak-kanak, pernah pada Maut aku ngeri
Karena tak berketentuan, bisa nyergap sesuka hati
Membayangi langkah, mengintip menanti saat
Dan bagi kesadaran jadi beban paling berat.
Kupertentangkan ia dengan Hidup yang seolah 'kan dia rebut
Kupilih pihak: Karena pada siksa neraka aku takut;
Namun kini tiada lagi, karena selalu kudapati
Napasnya menghembus dalam tiap hidup yang fana ini.

1960

 

TAMU  

Kau yang menjenguk ke dalam relung hatiku
Meninggalkan jejak menjadi saksi. Sejarah, pahatan batu .
Dari dendam yang rindu. Tak nanti
Hidup hanya rangkaian mimpi-mimpi. Aku tahu!

1969

 

SAJAK BUAT TUHAN II  

II
Makin terasa, betapa sendiri
Hidupku bermukim di bumi. Tiada kawan
yang mau mengulurkan tangan
dan sedia bersama menempuh jalan
tatkalaa tiap langkah buntu.

Tak seorang pun, juga Kau
datang mendekat, menepuk-nepuk bahu
menganjurkan tabah dan jangan ragu.
Tiada. Hanya aku saja lagi
yang setia padaku. Hidup bersama
dalam duka dan putusasa.

Hanya aku jua, yang tetap cinta
kepada hidupku, tiada dua! Duh, tiada
lagi yang lain kujadikan gagang
tempat sirih pulang.

Rasa sendiri di dunia ramai, mengeratkan
aku padaMu, sepi-mutlak!
Rasa lengang di tengah orang, menyadarkan
antara Kau dan aku tiada jarak!

Saat seluruh bumi diam sunyi ....

16-4-1960

 

SAJAK BUAT TUHAN  

I
Kalau aku bicara padaMu, Tuhan
Bukan mau mengadukan dera dan derita
Tak kuharap Kau berdiri di depan
Ke dahiku mengeluskan tangan mesra

Kalau kutulis sajak ini, Tuhan
Bukan lantaran rindu-dendam atau demam
Tak kuharap Kau membacanya
Sambil duduk mengisap pipa kala senja

Karena Kau lebih tahu apa rasa hatiku
Dan mengerti bagaimana pikiranku
Karena Kau paling Aku dari aku
Yang terkadang kesamaran sama bayangan.

8-1-1960

 

IBUNDA  

Ia terbujur
Bumi subur
Lembah-lembah dan gunung
Telentang tenang
Tangannya mengusap sayang
Perut mengandung.
Matanya nyalang
Langit-langit pun hilang
Karena langit penuh bintang
Dan pahlawan menyandang pedang
Naik kuda hitam zanggi
Adalah masadepan si-jabang
yang dalam rahim
menggeliat geli.
la memejam
Menahan nyeri.
Lalu terbayang
Bundanya tersenyum di ambang
"Tidakkah dahulu
Kusakiti juga bundaku?"
Keringat bermanik bening
Atas jidat, kening.
Ia mengerang
Dan malam yang lengang
Mendengar lantang
Teriakan si-jabang.

1961

 

KEBENARAN  

buta oleh dusta yang membias-silau
nilai-nilai kebenaran pun disembunyikan:
namun di antara semak-rumputan hijau
ia tetap bersinar kemilau:
Tak nanti terpadamkan!

 

HARITUAKU  

Pabila harituaku tiba, kelak suatu masa
Kacamata tebal atas hidung, bersenandung
Menembangkan lelakon lama. La1u tersenyum
Memandang bayangan atas kaca jendela
Yang putih warnanya, sampai pun alis, bulu mata ...

Maka namamu 'kan kusebut, dengan bibir gemetar
Bagai ayat kitab suci, tak sembarang boleh terdengar
Namun kala itu yang empunya nama entah di mana
Apakah lagi menyulam, duduk bungkuk atas kursi rotan
Ataukah sedang menimang cucu, mungkin pula telah lama
Aman berbaring dalam tilam penghabisan.

Dan pabila giliranku tiba, telentang
Dengan kedua belah tangan bersilang
Sebelum Sang Maut menjemput
Sekali lagi namamu 'kan kusebut, lalu diam. Mati.

1963

 

HARI LEBARAN  

Hari ini hari hati percaya
Akan arti hidup dan mati, yang cuma sempat
Direnungkan setahun sekali. Sungguh besar maknanya
Jalan panjang menuju liang-lahat.

Hari ini hari kesadaran akan tradisi
Menyempatkan umat sejenak bersama-sama
Menghirup udara lega dalam kepungan derita
Sehari-hari yang bikin orang jauh-menjauhi.

Hari ini hariku pertama 'kan menjalani
Hidup antara manusia, sedangkan diriku sendiri
Makin sepi terasing, lantaran mengerti
Kelengangan elang di langit tinggi.

Jatiwangi, H. 1381

 

EPISODE  

Di luar alam gerimis
karena kau menangis
dan airmatamu
membasahi dadaku.

Padang ilalang bergelombang
dan angin semilir,
rumpun bambu berkesiur, burung terbang,
gemuruh airterjun, menghilir
Adalah mimpi yang jauh
adalah harapan yang jauh
dalam cinta yang rapuh.

Yang abadi
di dunia sebelum mati
hanya kenangan
yang muncul sesekali

1963

 

JERAM  

Air beterjunan dalam jeram
Buihnya memercik ke tebing tempat kami berbaring
Dan ia mengelaikan kepala
Dengan mata meram terpejam
Atas tanganku yang mencari-cari
Arah manakah burung gagak hinggap
yang suaranya nyaring
Memecah ketenangan hutan
Sehabis hujan.

Air beterjunan dalam jeram
Jerom gemuruh dalam darahku
Dan dalam mimpi keabadian yang nyaman
Kubisikkan kata-kata bagaikan desir angin
Mengeringkan keringat atas kening
Sedang mataku memandang tak yakin
Air berbuih yang menghilir
Entah kapan 'kan tiba
Di muara

Air beterjunan dalam jeram
Kata-kata beterjunan dari mulutku
Sungai pun tahu arti muara
Yang tak sia-sia menunggu.

Burung gagak berteriak entah di mana
Dan ia bersenandung entah mengapa
Karena dalam kesesaatan tak terjawab tanya lama

Yang sudah lama hanya tanya: Hingga mana? Pabila?
Mau apa... ?

Dan dengan jari-jari gemetar
Kuyakinkan hatiku sendiri: Segalanya
Berlaku percuma serta sia-sia

Dan perempuan ini 'kan mati dalam kepingin
Karena angin hanya angin

Karena jeram beterjunan dalam diriku
Yang tak mengenal musim kemarau

Air beterjunan dalam jeram
Dan jeram beterjunan dalam darahku.

1962

 

TIADA YANG LEBIH AMAN

Tiada yang lebih aman, pun tiada yang lebih nikmat
Membayangkan masalampau yang dalam kenangan terpahat.

Tiada yang lebih berat, pun tiada yang lebih berarti
Dan saat kini yang 'kan seg'ra lepas pula jadi mimpi.

Tiada yang lebih gamang, pun tiada yang lebih senang
Menghadapi masadatang, yang 'kan segera jadi sekarang.

Detik-detik berloncatan, tak satu pun kembali terulang
Karena antara tadi dan nanti, sekarang menghalang.

1962

 

JALAN LEMPENG  

sebuah lukisan S. Soedjojono

Burung gagak, burung gagak! Biarkan dia berjalan!
Biarkan dia berjalan, membungkuk pada keyakinannya
Bertolak dari bumi kehidupan lampau, begitu ia melangkah
Pasti dan yakin. Karena ada mimpi di balik gunung itu:
Lembah hijau hidup segar. Karena di sini batu mencair
Gurun mati. Tandus dan sepi.

Burung gagak, biarkan dia berjalan. Di ruas-ruas langkahnya
Menyala dendam pada bumi lampau. Di dadanya padat kesumat
Pada dunia kehidupan yang mati di sini.

Burung gagak, sampaikan salamku padanya. Salam bagi
Yang sudah melangkah atas keyakinan. Salam bagi
Yang sudah berani bikin perhitungan tandas sekali.

Gunung-gunung yang membatu, gersang dan kering,
kan takluk pada tapaknya.
Satu demi satu kan dilewatinya. Ia terjang dunia mati.

Burung gagak, kini ia berjalan. Melangkah dengan gagah
Ia tahu di balik gunung ada mimpi, ada lembah
Tidak cair meleleh seperti bumi yang menggolak ini.
Semua kan tunduk kepadaNya.
Semua kan menyerah pada langkahnya. Karena ia berjalan
Atas keyakinan.

Biarkan dia berjalan!

Gunung dari lembah sana, gaung dari mimpi diri.
Burung gagak, ia dengar nyanyi itu. Dan ia menuju ke situ.

Pohon-pohon mati dan sepi. Padang pun mati dan sepi.
Batu-batu mencongak ngeri, tajam dan mengancam.
Tapi ia melangkah menuju lembah-lembah mimpi.

Ia sendirian. Batu-batu dan alam geram.
Gunung mendinding di ujung. Langit pun kan menerkam.
Dan ia melangkah dengan pasti: Batu cair jadi beku.

Langit pun jadi membiru, mengucapkan selamat jalan
Menempuh kehidupan.

Burung gagak, burung gagak, biarkan dia berjalan
Sampaikan salam yang erat dan hangat. Ia yang yakin
Ada mimpi di balik gunung batu, ada lembah hijau dan lembut
Kehidupan tenang, sawah-ladang, padang rumput....

Jangan kauganggu!

1955

 

PENYAIR  

1
adapun penyair lahir
membangkitkan kematian para penyihir
lalu dengan mantra kata-kata
menjelmakan kehidupan manusia

menyanyikan kelahiran cinta
atau menangisi kematian bunda
melagukan kesia-siaan rindu, kau pun tahu
segala yang beralamat duka

2
siapa menjelajahi pagi
mendapat pertama sinar mentari

lagu kunyanyikan kini
akan dimengerti nanti

lagu kusajakkan kini
suara lubuk hati

yang selalu sunyi

1954

 

WARNA

menyala warna membakar dada ~ Ajip Rosidi
hari-hari penuh bisa
waktu dihabisi mimpi-mimpi
bocah meningkat dewasa

tiga jalan pertemuan
dalam mengerti
dalam diri
menyerah ke mata nyalang

warna nyala dalam waktu dalam ruang
selama jarak masih ada
selama ia belum mengerti

1954

 

KEMATIAN  

i
lelaki bernyanyi sepenuh hati
didorongnya beton ke puncak tinggi
di hari sebelum lebaran
di rumah anak menunggu baju baru

tapi tali putus beton terguling
lelaki tak lagi bernyanyi

ada isteri jadi janda
ada anak kehilangan bapak
di hari sebelum lebaran

pintu tak terbuka
ayah tak kembali
sia-sia menanti
sepanjang hari

ii
muka yang sudah remuk
anaknya menjerit yatim
ayah bisakah mati

muka yang tiada lagi bentuk
tepekur pengantar kubur
nyawa lepas tak tersangka

1954

 

DUKAKU YANG RISAU  

berjalan, berjalan selagi di diri duka
bernapas lega menemu perempuan
kami berpandangan: lantas tahu
segalanya tinggal masa kenangan

kami berjalan memutar danau
namun kutahu: dukaku yang risau
takkan mendapatkan pelabuhan aman
kecuali dalam pelukan penghabisan

kupandang matanya:
tak kukenal siapa pun juga

semuanya nanar
didindingi kabut samar

1954

 

BUNDA

nyanyi menayang mimpi ke pangkuannya
damai pun terlena dalam hati
mewujudkan kasih dan cinta
yang takkan terhalang meski oleh mati

1954

 

MATA DERITA

ada yang datang bermata derita
pagi berwarna olehnya

ada perawan bermata derita
berselendang angin remaja

ada yang memandang ke dalam hatiku
bumi pun jadi biru

ada yang memancar: kebeningan hening
dan segalanya pun tak teraba lagi - -

1954

 

LAGU KERINDUAN  

wajahmu antara batang kelapa langsing
menebar senyum dan matamu menjadikan daku burung piaraan
semua hanya bayangan kerinduan: kau yang nun entah di mana
mengikuti setiap langkahku, biarpun ke mana

kujalani kelengangan hari
sepanjang pagar bayangan: wajahmu menanti
langkah kuhentikan dan kulihat
hanya senyummu memenuhi jagat

1954

 

ANGIN BERKESIUR  

angin berkesiur
daun pun gugur

angin berkelana
cintaku mengembara

gadisku mawar
menanti tak sabar

gadis yang rindu
kudekap dalam pelukan bisu

1954

 

MALAM PUTIH  

malam jatuh di senja putih
berangkat ke pangkal pagi
dan keinginan berdekap penuh kasih
sia-sia sekali

1954

 

LA PUN KINI SUNYI  

ia pun kini sunyi
tahu dua macam bunga:
yang putih, sendiri, sepi
tak terjangkau dari tepi ini

ia pun bernyanyi
lagu sedih ditinggal kasih
tahu segala yang sia-sia
bernama duka

ia pun sunyi
ia pun sendiri

1954

 

RINDU BERGULING SENDIRI  

rindu berguling sendiri
putus mengharap
dinding putih-putih
dan di baliknya: kesepian pengap

radio di sebelah batas
suaranya samar -
kudengar diriku menghela nafas
dengan hati yang cabar


1954

 

PEJALAN SEPI

ia tembus kesenyapan dinihari
sepatunya berat menunjam bumi
menempuh kola yang lelap terlena
dalam pelukan cahya purnama

is tembus kedinginan pagi
siulnya nyaring membelah sunyi
membangunkan insan agar bangkit
dalam pertarungan hidup yang sengit

di sebuah jembatan ia berhenti
dihirupnya udara sejuk dalam sekali:
bulan yang mengambang atas air kali
adalah gambaran hatinya sendiri!

1954

 

SEBELUM PADI MENGUNING  

Sebelum padi menguning mana burung datang mendekat
atau cinta bisa melekat

jika tiada banjir mendatang hama menyerang
harapan panen takkan sia-sia

lantas padi menguning cinta pun datang
tinggal aku yang selalu malang

1953

 

DI ENGKELILI, SUATU PAGI  

Empat lelaki menyusur pinggir kali
Nasibnya mengalir bersama air menghilir
Di mana mereka bertemu ?
Ke mana mereka kan pergi ?
Dalam hati yang mengerti
Menuju ufuk kelabu
Di kuala terbuka
Pabila mereka berangkat
Dan kapan akan kembali?
Telah tetap setiap saat
Menempuh arus waktu
Tidak terhingga
Empat lelaki berdiri di pinggir kali
Nasib bagaikan air: Selalu luput dari genggaman

 

TERKENANG TOPENG CIREBON  

Di atas gunung batu manusia membangun tugu
Kota yang gelisah mencari, Seoul yang baru, perkasa
Dengan etalase kaca, lampu-lampu berwarna, jiwanya ragu
Tak acuh tahu, menggapai-gapai dalam udara hampa
Kulihat bangsa yang terombang-ambing antara dua dunia
Bagaikan tercermin diriku sendiri di sana!
Mengejar-ngejar gairah bayangan hari esok
Memimpikan masa-silam yang terasa kian lama kian elok!
Waktu menonton tari topeng di Istana Musim Panas
Aku terkenang betapa indah topeng Cirebon dari Kalianyar!
Dan waktu kusimakkan musik Tang-ak, tubuhku tersandar lemas
Betapa indah gamelan Bali dan Degung Sunda. Bagaikan terdengar!
Kian jauh aku pergi, kian banyak kulihat
Kian tinggi kuhargai milik sendiri yang tersia-sia tak dirawat

 

HAMLET  

Yang was-was selalu, itulah aku
Yang gamang selalu, akulah itu
Ya Hamlet kusuka : Dialah gambaran jiwaku
Yang selalu was-was dalam ragu. Membiarkan kau
Mengembara dalam mimpi yang risau
Kutemukan pada Oliver, kegamangan falsafi
Dunia yang muram dan masa depan yang suram
Tapi kulihat kecerahan intelegensi
Seorang muda yang terlalu dekat kepada alam
Hamlet. Hamletku, ia datang kepadamu
Menatap fana atas segala yang kujamah: Tahu
Bahwa hidup melangkah atas ketidak pastian
Yang terkadang menentukan Kepastian
Aku pasrah

 

PERUMPAMAAN

Di antara belalang
Kaulah burung brenjang
Yang mengisi tembolok
Tak kunjung kenyang
Di antara ayam
Kaulah musang kelaparan
Dengan rahang tajam
Menerkam dan menerkam
Kalau di sungai
Kaulah buaya
Tak pernah menolak bangkai
Kalau di darat
Kaulah srigala
Mengancam segala hayat

 

KEPADA KAWAN 12

Apa sih yang mau kau capai
Maka kau terjang segala penghalang
Dan kau abaikan segala nilai
Asal kau sendiri menang?
Apa sih yang mau kau dapat
Maka kau tinggalkan semua sahabat
Dan di sekelilingmu
Kau anyam rapat pagar curiga
Kau kira di mana kau akan tiba
Kalau hari sudah senja?
Ternyata tidak ada tarian gemulai
Atau suara gamelan mengalun permai
Kemenangan-kemenanganmu selama ini
Melontarkanmu ke langit hampa

 

SONETA DARI MANHATTAN  

Di bawah bayang-bayang Manhattan yang gelap
Kulihat kau menyelinap, mengendap-ngendap
Mengais-ngais mencari dalam dirimu:
Sesuatu telah terjadi dan itu engkau tak tahu
Begitu banyak peristiwa dan begitu banyak rahasia
Yang dalam hidupmu hanya nampak satu segi saja
Tidaklah hidup ini bagimu akan tetap gulita
Bagaikan teka-teki yang hilang soalnya
Adakah dengan dinding-dinding kukuh perkasa
Bersarang perasaan aman dalam sanubari manusia?
Yang kutemui hanya kewas-wasan, sumber kegelisahan
Adakah dengan perkembangan teknologi
Manusia telah menemukan dirinya sendiri?
Kau hanya tahu: komputer ternyata menghasilkan banyak persoalan

 

PANORAMA TANAH AIR

Di bawah langit yang sama
manusia macam dua : Yang diperah
dan setiap saat mesti rela
mengurbankan nyawa, bagai kerbau
yang kalau sudah tak bisa dipekerjakan, dihalau
ke pembantaian, tak boleh kendati menguak
atau cemeti'kan mendera;
dibedakan dari para dewa
malaikat pencabut nyawa, yang bertuhan
pada kemewahan dan nafsu
yang bagai lautan : Tak tentu dalam dan luasnya
menderu dan bergelombang
sepanjang masa
Di atas bumi yang sama
Manusia macam dua : Yang menyediakan tenaga
tak mengenal malam dan siang,
mendaki gunung, menuruni jurang
tak boleh mengenal sakit dan lelah
bagai rerongkong-rerongkong bernyawa selalu digiring
kalau bukan di kubur tak diperkenankan sejenak pun berbaring
dipisahkan dari manusia-manusia pilihan
yang mengangkat diri-sendiri dan menobatkan
ipar, mertua, saudara, menantu dan sahabat
menjadi orang-orang terhormat dan keramat
yang ludah serta keringatnya
memberi berkat
Di atas bumi yang kaya
manusia mendambakan hidup sejahtera
Di atas bumi yang diberkahi Tuhan
Manusia memimpikan keadilan

(1962)

 

LAGU TANAH AIR  

1.
Adalah hijau pegunungan
Adalah biru lautan
Adalah hijau
Adalah biru
Langit dan hatiku
Adalah aku pucuk tatapan
Adalah pucuk
Adalah tatapan
Adalah pucuk senapan
Mengarah ke dadaku

2.
Hijau pegunungan biru lautan
Tiadalah harapan adalah ketakutan
Hijau pegunungan biru lautan
Tiadalah ketentraman adalah ancaman
Adalah karena cintaku
Adalah karena kucinta
Langit merah jalan berdebu
Rumah punah jalan terbuka

3.
Bunga tumbuh mawar biru
Kembang wera kembang jayanti
Tanah yang kujejak rindu
Kan kurangkum dalam hati

Pilihan tampilan komentar

Pilih cara kesukaan Anda untuk menampilkan komentar dan klik "Simpan pengaturan" untuk mengaktifkan perubahan.
Foto Hendarto Bagus Pratama

Mengagumkan cara merangkai

Mengagumkan cara merangkai puisinya, serta kata-kata yang elegan.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler