Skip to Content

PUISI-PUISI ASMARA HADI

Foto SIHALOHOLISTICK

NASIB TANAH AIRKU  

I
Panas yang terik datang membakar,
Lemahlah kembang hampirkan mati,
Tunduk tergantung bersedih hati,
Mohon air kepada akar.
mendapat air amatlah sukar,
Belumlah turun hujan dinanti,
Musim kemarau belum berhenti,
Angin bertiup belum bertukar.
Seperti kembang hampirkan layu,
Lemah tampaknya, rawan dan sayu,
Demikianlah 'kau Indonesia,
Nasibmu malang amat celaka,
Hidup dirundung malapetaka,
Tidak mengenal rasa bahagia.

II
Mentari datang menghalaukan malam,
Menyinarkan senyum penuh cahaya,
Dunialah bangun memberi salam,
Nyanyian yang merdu menyambut surya.
Lihatlah teratai di dalam kolam,
Tersnyum membuka kuntumnya, dia,
menghamburkan harum ke dalam alam,
Pemuja pagi gemilang mulis.
Memandang pagi menyedapkan mata,
Keraguan hati hilang semata,
Memikirkan nasib Tanah Airku.
Seperti mentari di kala pagi,
Kemerdekaan tentu datang lagi,
Menerangi Tanah tempat lahirku.

 

SELAMAT TINGGAL, PERIANGAN

Taman sari, tanah Periangan,
Sekarang ini berpisah kita,
Kereta api hampir berjalan,
Selamat tinggal alam jelita,
Negeri lain datang meminta,
Engkau kan hanya tinggal kenangan,
Tempat, di mana mendapat cinta
Akan selalu terangan-angan.
Peluit berbunyi, tinggallah engkau,
Bukit dan gunung hijau berkilau,
Alam rupawan menawan hati
Tinggallah kota, tinggallah dusun,
Tinggallah sawah turun bersusun,
Kamu kucinta sampaikan mati.

 

Zaman Kami

Zaman kami zaman membakar

Zaman jang penuh perdjuangan

Dan kami generasi kini

Berdjuang dalamnja bagai pahlawan

 

Pada wadjah kami bersinar

Indah tjemerlang tjahja kemenangan

Djantung kami berdegup gumbira

Seperti akan melihat tunangan

 

Kami berdjuang menjerahkan djiwa

Pada zaman jang perlukan kami

Dalam kekalahan zaman sekarang

Kamilah rasul kemenangan nanti

 

Seperti dari puntjak gunung jang tinggi

Kita lebih dahulu dapat melihat,

Tjahaja fadjar kemerah-merahan

Tanda matahari akan terbit

Sedang djauh didalam lembah

Semuanja masih gelap-gulita

Demikianlah djiwaku lebih dahulu

Dari puntjak gunung puisi

Dapat melihat sinar memerah

Sinar fadjar kemenangan kita

Sedang dalam kehidupan sehari-hari

Semuanja masih gelap-gulita

Pudjangga Baru, no.1 , th. V, Djuli 1937

 

BILAKAH

Bilakah alam bersinar senang

Diterangi Surja Kemerdekaan?

Bilakah rakjat bernafas tenang

Mengisap udara Kemerdekaan?

 

Bilakah terbit bintang ,,Merdeka”

Menjinari alam Indonesia?

Bilakah hilang malam tjelaka

Kehidupan senang bersuka ria?

 

Disitulah baru senang dihati

Indonesia telah merdeka

Merah-Putih telah berkibar

 

Disanalah baru aku berhenti

Dari bermenung berhati duka

Hari panas, tiada sabar

Fikiran Rakjat, no. 24, Des 1932

 

MERINDUKAN BAHAGIA

Djikalau hari lah tengah malam

Angin berhenti dari bernafas

Alam seperti dalam semadhi

Sukma djiwaku rasa tengelam

Dalam laut tiada berwatas

Menangis hati diiris sedih

 

Fikiranku melajang perlahan

Diatas sajap kenangan sunji

Kepantai waktu nan telah lalu

Djiwa menangis tertahan-tahan

Terkenang nasib Tanahku ini:

Mengandung pilu, mendjundjung malu

 

Terkenang waktu zaman tjemerlang

Mandi disinar surja Merdeka

Terang tjahaya Indonesia

Air mataku djatuh berlinang

Hantjur hati dihempaskan duka

Hilang gaja, tiada berdaja

 

Wahai panah kenangan rindu

Sudahlah engkau meluka hati

Djangan mendamba masa nan sudah

Dengar disana njanjian merdu

Seperti makai petunang sakti

Menghapus gundah didalam dada

 

Njanjian merdu terdengar terang

Datangnja dari sebelah Timur

Dimana surja hampir bertjah’ja

Njanjian anak zaman sekarang:

,,Indonesia Tanahku makmur,

Hampir bertjah’ja surja Bahagia!”

Pudjangga baru, no. 6, th I, des 1933.

 

MAWAR

Terorak kelopak mawar djuita

Warna berseri mendandan sari

Mengalun wangi kematahari

Ketika pagi indah tjuatja

 

Datang lebah, hinggap kebunga

Hendak menjeri, itu maksudnja

Mawar menjerah bagia-rela

Lebah menghisap sepuas-puasnya

 

Setelah habis wangi dan madu

Terbanglah lebah, pulang kesarang

Mawar sendu terkulai laju

Mengenangkan tjinta lebah jang tjurang

 

(Penjelasan editor: sadjak ,,Mawar” diatas diambil dari dokumentasi Lembaga Bahasa dan Kesusasteraan, Djakarta. Sadjak tersebut hendak dimuat dalam madjalah Pandji Pustaka djaman Djepang, tapi karena dianggap mengandung ketjaman terhadap pemerintah Djepang maka tak dapat dimuat.)

 

UNTUK ASIA RAJA

Dalam kandang kawat berduri

Terkurung badan, Djiwa meradang

Bertanya dimanakah Tuhan

Jang adil dan kuasa kata orang

 

Wadjah seorang pahlawan

Terbajang senjum dimuka mataku

Njata benar matanja bersinar

Tunduk aku kerena malu

*

Kita hidup dalam zaman

Jang mendidih bagai lautan

Djauh masih tepi jang aman

 

Sekitar kita air semata

Kapal ketjil terumbang-ambing

Kilat berdenjar, badai gempita

 

Keraskan hati, lawan segala

Enjahkan perasaan sangsi dan tjabar

Kita ditangan Allah Ta’ala

 

*

Bagia kita angkatan sekarang

Hidup dizaman pantjaroba

Dunia raja luas mengembang

Bagai bumi menanti usaha

 

Djangan mengeluh, jangan mengaduh

Hai pemuda! Gembira dan girang

Seharusnja kamu! Zamanmu subuh

Jang mendahului siang gemilang

 

Perasaan pedih dihitung djangan!

Pedih bunda melahirkan anak

Pedih benih menembus bumi

Pedih hilang datang bagia

 

Relakan teman badanmu mendjadi

Pupuk hantjur dilapangan waktu

Dari kurban angkatan kini

Mewangi nanti bunga restu

*

Gemuruhlah kamu angkatan udara

Hantjurkan bom jang menjerahkan maut

Kamu meriam, gunturkanlah suara

Jang dahsjat diatas bumi dan laut

 

Maraklah api, tinggi dan permai

Bakarlah, bakarlah seluruh dunia

Hantjurkan pendjara, debukan rantai

Jang berabad-abad mengikat Asia!

Dari buku Dibelakang Kawat Berduri, halaman terakhir, 1942

 

 

RASUNA SAID

Didalam kebun tanah Andalas

Tumbuh sekuntum melati mulia

Perhiasan Ibunda Indonesia

Menambah tjantik, membawa djelas

 

Demikian Rasuna kumisalkan

Sepantun sunting sanggul Ibunda

Di Indonesia harum namamu

Sampaikan mati djadi kenangan

 

Teruslah, O, Rasuna Melati

Teguhkan iman, tetapkan hati

Membela tanahmu Indonesia

 

Namamu harum tidakkan hilang

Sebagai bintang gilang-gemilang

Engkau Rasuna, perempuan mulia!

Fikiran Rakjat, no. 31, djan. 1933

 

KAPADA DIPANEGARA

Sebagai bintang dimalam jang kelam

Kemilau diatas langit jang hidjau

Dan berabad-abad setia menindjau

Pelajar ditengah laut jang dalam

 

Djadi pedoman, menundjukkan djalan

Didalam kesunjian malam waktu

Demikianlah engkau bagi bangsamu

Jang dalam kelam malam kungkungan

 

Menuntun bangsamu ketanah bahagia

Jang berlautkan Senang, bergunung Mulia

Diatapi langit kesempurnaan

 

Engkaulah menjadji bintang bangsamu

Menjinari dunia setiap pendjuru

Memantjarkan tjah’ja Kemerdekaan!

Fikiran Rakjat, no. 33-34, Feb. 1933

 

KAMI PENABUR

Kami bekerdja dipadang masa

Menaburkan benih tjinta mulia

Jang nanti akan senantiasa

Semerbakkan wangi bahgia-dunia

 

Tapi kami hanja penabur

Bila dunia berbahagia nati

Kami sudah lama berkubur

Tiada dapat merasainja lagi

 

Sungguhpun begitu kami ichlas

Bekerdja sekarang dipadang masa

Kami tiada harapkan balas

Bahgia kami ialah berdjasa

Pelopor Gerindo, April-Mei 1938

 

SEMANGAT DEMOKRASI

Gemilang pagi mandi tjahaja

Bangun alam kilau-kilauan

Bisik berbisik nikmat rasanja

Angin mesra mentjium Priangan

 

Burung bernjanji girang bahgia

Melompat dari dahan kedahan

Daun dan bunga bertabur mutia

Air mata Dewi Keindahan

 

Seperi pagi pantun perawan

Tjantik djelita berdjiwa mulia

Kasih bermimpi dimata rahman

 

Demikianlah semangat Demokrasi

Melajang indah di Indonesia

Membawa berita Kemerdekaan nanti

Pelopor Gerindo, Okt 1937

 

SELAMAT TINGGAL, PERIANGAN

Taman sari, tanah Periangan

Sekarang ini berpisah kita

Kereta api hampir berdjalan

Selamat tinggal alam djelita

Negeri lain datang meminta

Engkau kan hanja tinggal kenangan

Tempat, dimana mendapat tjinta

Akan selalu terangan-angan

 

Peluit berbunji, tinggallah engkau

Bukit dan gunung hidjau berkilau

Alam rupawan menawan hati

Tinggallah kota, tinggallah dusun

Tinggallah sawah turun bersusun

Kamu kutjinta sampaikan mati

Pudjangga baru, no. 12, th. I, djuni 1934

 

KEPADA SENIMAN

Tahukah teman, wahai seniman

Dimanakah tempatmu didalam dunia?

Bukan dimertju kedirianmu

Tapi disini, antara manusia

Tuan bukan putra dewata

Tuanpun hanja manusia sadja!

 

Djangan hanja dibunga kembang

Dimata gadis, dibintang malam

Digunung biru, ditasik tenang

Ditjandi keramat, diartja pualam

Tuan tjari Keindahan

Keindahan ada dalam segala

 

Dilokomotif jang menarik kereta

Dimesin pabrik jang gegap-gempita

Dilumpur sawah, ditangan buruh

Dalam segala ada Keindahan

Tertawa, menangis, menanti seniman!

 

Dari mertju kedirianmu

Turunlah engkau, wahai seniman

Dengan api seniman jang sakti

Buatlah semuanja djadi bernjawa

Djadilah engkau ditengah rakjatmu

Mertju api, besar dan tinggi

Terang menerangi hidup bangsamu!

Pandji Pustaka, No. 9-10 th. XXI, Maret 1943

 

SEKARANGAN KEMBANG

(Buat Ratna)

 

Mengarang aku, adikku aju

Bunga dari taman djiwa

Kembang dewata kekal-tak-laju

Gemilang djuita berwangi tjinta

 

Buat engkau kembang kukarang

Akan hiasan kepalamu

Tanda tjinta, dindaku sajang

Njala kekal dalam djiwaku

 

Ingin aku sebagai pengarang

Meninggalkan sjair gilang gemilang

Supaya tjinta jang njala sekarang

Sepandjang masa tiada ‘kan hilang

 

Supaja namamu, adikku aju

Gemilang kekal dalam dunia

Dipudja segala pembatja sadjakku

Ratna Asmara: tjinta mulia

 

Dari miljunan dara didunia

Kumuliakan engkau sebagai dewiku

Kupudja dengan njanjian mulia:

Kembang dan setanggi dupa hatiku

 

O, dewi, jang menjinarkan tjahaja

Terangilah selalu djalan djiwaku

Supaja sampai dibahagia raja

Dalam pelukan swarga tjintamu

 

Ja, jakin aku, nanti tanganmu

Akan meletakkan tanda tjintamu

Karangan bunga atas kepalaku

Karena aku setia selalu

 

Tiada takut tempo tjobaan

Berdiri dahsjat antara kita

Jakin kuat dalam perdjuangan

Untuk engkau, Ratna djuita

 

Akan gemilang tenang matamu

Menjinarkan tjaja kasih abadi

Akan berkumpul hasrat djiwaku

Dalam bisikan ,,Kandaku Hadi”

 

Menggeram segara jang luas-dalam

Ketawa suara maut dan baja

Mantjar halintar membelah malam

Gempita badai memburu segara

 

Dalam kedahsjatan malam gempita

Jang membuat tjabar djiwaku

Terbajang gemilang pagi djelita

Ketika segala bersinarkan tjintamu

 

Ingat aku akan pintamu

Semoga djiwaku selalu mulia

Dilindungi restu do’a tjintamu

Sebagai sjatrya melalui dunia

 

Perasaan sangsi segeralah hilang

Digantikan perasaan jakin gembira

Dilangit gelita gemilanglah bintang

Pemimpin djalanku diatas segara

 

Jakin djiwaku kapal ‘kan sampai

Dalam pelabuhan kota kentjana

Tempat hidup gemilang permai

Manusia bagia sebagai dewa

 

Kita hidup dimasa jang indah

Zaman bangsa sadar kembali

Miljunan tangan kerdja gelisah

Bangunkan swarga diatas bumi

 

Dengarlah dinda, dendang jang suka

Mendengung atas Indonesia

Masuk dalam hati jang duka

Membuat mata bersinar mulia

 

Ratnaku, dinda, bahagia kita

Dapat hidup dimasa kini

Menanam bibit tjinta dan tjita

Jang akan berbuah dimasa nanti

 

Dalam matamu, dinda djuita

Kulihat sinar dunia baru:

Indonesia negeri kita

Bahagia diatas segara biru

 

Kulihat kanak bermain girang

Ditengah bunga jang sedang kembang

Ditengah padi: emas gemilang

Kerdja petani sambil berdendang

 

Dalam fabrik jang gegap gempita

Kudengar njanjian usaha raja

Ribuan mata mengintan tjuatja

Ribuan tangan kerdja suka

 

Kaum melarat tiada lagi

Tiap manusia berhak sama

Dari lahir sampaikan mati

Hidup bebas laksana dewa

 

Kalau aku melihat tawamu

Gemilangkan sinar tjinta mulia

Terbajang-bajang depan mataku

Bagia raja benderang didunia

 

Terdengar-dengar laguan melajang

Beritakan dunia makmur-damai

Umat manusia berkasih-sajang

Dalam persatuan tulus-permai

 

Ja, kekasih, jakin djiwaku

Tjinta sosial pasti ‘kan menang

Kalau aku melihat tawamu

Gemilang tenang nandakan senang

 

O, kekasih, njalakan djiwaku

Selalu dengan api tjintamu

Supaja dapat kuat dan girang

Serta berdjuang dizaman sekarang!

 

Membangunkan keindahan baru

Dinegeri kita, Indonesia

Jang bagai zamrud disegara biru

Restui daku, kekasih mulia!

Pudjangga Baru, no. 1-2, th. VIII, Djuli-Agust 1940

 

NASIB TANAH AIRKU

I

Panas jang terik datang membakar

Lemahlah kembang hampirlah mati

Tunduk tergantung bersedih hati

Mohon air kepada akar

 

Mendapat air amatlah sukar

Belumlah turun hudjan dinanti

Musim kemarau belum berhenti

Angin bertiup belum bertukar

 

Seperti kembang hampirkan laju

Lemah tampaknja, rawan dan saju

Demikianlah ‘kau Indonesia

 

Nasibmu malang amat tjelaka

Hidup dirundung malapetaka

Tidak mengenal rasa Bahagia

 

II

Mentari datang menghalaukan malam

Menjinarkan senjum penuh tjahaja

Dunia lah bangun memberi salam

Njanjian jang merdu menjambut surja

 

Lihatlah teratai didalam kolam

Tersenjum membuka kuntumnja, dia

Menghamburkan harum kedalam alam

Pemudja pagi gemilang mulia

 

Memandang pagi menjedapkan mata

Keraguan hati hilang semata

Memikirkan nasib Tanah Airku

 

Seperti mentari dikala pagi

Kemerdekaan tentu datang lagi

Menerangi Tanah tempat lahirku

Pudjangga Baru, no. 10, th I, april 1934

 

TENTANG ASMARA HADI

Asmara Hadi adalah nama pena. Nama aslinya Abdul Hadi. Selain Asmara Hadi, juga ada Ipih atau H.R. singkatan dari Hadi dan Ratna, Hadi adalah namanya sendiri, sedang Ratna adalah nama seseorang yang kelak menjadi isterinya. Asmara Hadi lahir di Bengkulu pada tanggal 8 September 1914. Meninggal pada 3 September 1976 di Bandung. Tahun 1929, melanjutkan sekolah di Jakarta, di sana tinggal bersama mahasiswa2 yang turut aktif dalam pergerakan kebangsaan. Kemudian pindah ke Bandung, sekolah menengah di MULO, Taman Siswa. Ia kemudian masuk partai politik dan menjadi seorang kader yang digembleng Bung Karno. Tatkala Bung Karno tahun 1932 menerbitkan Fikiran Rakjat, Asmara Hadi adalah seorang pembantunya. Kata penyunting: Dari tangannjalah sadjak-sadjak jang dimuat madjalah tersebut. Konsekuensi dari tokoh pergerakan adalah pembuangan dan penjara. Tahun 1934 - 1935, Asmara Hadi ikut dibuang ke Ende bersama Bung Karno. Tahun 1937 kembali merasai hotel prodeo, demikian juga tahun 1938 dan tahun 1939, bersama Amir Sjarifuddin. Tatkala pecah perang Pasifik tahun 1941, kembali ia ditangkap dan menjadi tawanan. Bersama pemimpin-pemimpin pergerakan lain, ia berpindah-pindah penjara mulai dari Sukabumi, Garut, Jakarta, dan kembali ke Sukabumi lagi. Inilah yang kemudian melahirkan buku Dibelakang Kawat Berduri. Penyunting buku menulis begini: “Dibelakang Kawat Berduri terbitan Pemandangan, Djakarta 2602 (1942). Buku ini merupakan buku tjatatan selama pengarangnja ditawan pemerintah Belanda, ketika Perang Pasifik petjah. Peristiwanya dimulai tanggal 8 Desember 1941, jaitu saat petjahnja Perang Pasifik hingga tanggal 15 Maret tatkala pengarang dapat bebas dari Nusakambangan. Dalam buku tersebut digambarkan antara lain bagaimana pengarang dibawa P.I.D pengeledahan di rumahnja, keadaan didalam tahanan, pertanjaan2 yang dimadjukan kepadanja serta peristiwa2 jang lain selama ditawan itu. Kisah2 didalamnja diselingi pula dengan puisi.”    

Asmara Hadi pernah menjadi pemimpin majalah Pelopor Gerindo (1937-1938), pemimpin redaksi majalah Tudjuan Rakjat (1938-1941), dan pembantu tetap majalah Pudjangga Baru.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler