Skip to Content

PUISI-PUISI AYATROHAEDI

Foto SIHALOHOLISTICK

LEUWIMUNDING

 

Jalannya penuh berdebu

antara sawah dan kali

antara gunung dan tegal

di bawah kilat belati

anak pulang dari kota

mengaca mayat sendiri.

 

Dan rindu makin menggunung

antara mata dan hati

rindu kampung kelahiran

di bawah kilat belati

melurus jalan ke makam

bawa cinta sampai mati

1958

 

 

NYANYIAN KEABADIAN

Hujan jatuh di luar musim

menghijaukan rumput di jalan

 

Hujan jatuh bersama angin

melambaikan daun di dahan

 

Hujan jatuh membawa dingin

menyejukkan rindu di badan

 

Cinta yang tumbuh setiap musim

adalah cintaku pada keabadian

1958

 

RAJAGALUH*

Sebuah hutan memucuk

lewat kampung Rajagaluh

gelagah lebat memanjang

tertutup jalan ke kota

biji tarum bunga kembang

burung ngisap benangsari

 

Dekat tidak tentram hati

tapi besok lain lagi

rindu kampung cinta dara

tak bakal sesayang bunda

habislah tahun dan bulan

tak kujelang Rajagaluh

1958

*(dari lagu rakyat Sunda)

 

 

PEREMPUAN MALAM

Dia berdiri di tikungan

karena tuntutan penghidupan

adalah bagian dari kehidupan

 

Dia berjalan pelan-pelan

karena kehidupan

melemparkannya ke jalan

 

Disapanya setiap lelaki

tidak dengan hati

dibuahkannya senyuman

lantaran keadaan

 

Pandangnya membayangkan

napas penderitaan

 

Suram lampu jalan

suram hidupnya  yang akan datang

1963

 

 

SITU GINTUNG

Di danau ini

anak-anak alam

beterjunan

dan berkejaran

sepuas hati

 

Di danau ini

gerak-gerak alam

berkejaran

dan bersahutan

seindah puisi

 

Di danau ini

gema suara alam

bersahutan

dan bersalaman

dalam hatiku

1967

 

SITU PATENGGANG

Bulan tanggal duapuluh-tiga

malam ini terlambat tiba

Dari balik awan mengintip ragu:

Apakah aku akan mampu

menembus tebalnya kabut

untuk menyampaikan amanat

di tengah gerimis hujan?

 

Air yang kemilau ditimpa cahya

memisahkan kedua ujung telaga.

Bulan yang ragu,

apakah jarak yang jauh

tak mungkin jadi dekat

jika padamu kutitipkan rindu?

 

Dari Situ Patenggang

terpandang jalan panjang

yang mungkin terlalu jauh

untuk bisa selesai kutempuh

 

Tapi di Situ Patenggang

semuanya jelas terbayang:

bayang-bayang

yang membayang

bagai bayangan

yang terbayang

bergoyang

1973

 

SURUTTUTUR

Selamat tinggal, duhai, setiap kenangan!

Keharuan, kemanisan masa kanak

adalah mimpi yang tak bisa dilupakan

 

Adalah pagi-pagi, punggung kerbau

selalu jadi tunggangan. Musim bersawah

kesibukan kampung di sana tertumpah.

Menggema lagu gembala, lagu setiap gembala:

 

                Darah yang turun-temurun

                tetes bunda penuai padi

                keringat bapa pembajak

                lewat nini lewat aki

                lewat jantung yang berdetak

                semenjak kampung terhuni.

 

                Angkatan demi angkatan

                dan jauh sebelum itu.

 

                Kerbauku sayang, kambing tercinta,

                rumput terhampar di bumi ini

                kalian cuma yang punya.

 

Selamat tinggal, duhai, setiap kenangan!

Keharuan, kemanisan masa kanak

adalah mimpi yang selalu dimimpikan

 

Adalah ketika senja, kereta tebu

selalu jadi incaran. Musim memotong

setiap anak pun berkumpul di sana.

Menggema lagu gembala, lagu setiap gembala:

 

                Cinta yang turun-temurun

                cinta bersemi di hati

                cinta ladang dan tanaman

                lewat bunda cinta padi

                lewat bapa cinta tanah

                tak pernah menjadi kering.

 

                Angkatan demi angkatan

                dan jauh sebelum itu.

 

                Tanahku sayang, ladang tercinta

                keringat ngucur di badan

                adalah cuma untukmu.

 

Selamat tinggal, duhai, setiap kenangan!

Perpisahan antara kita adalah mimpi

yang tak pernah kumimpikan

1964

 

TANAH SUNDA SENJAHARI

Di barat langit terbakar

matahari yang tenggelam.

Dan senja yang pijar

bersiap menyambut malam.

 

Pucuk-pucuk gunung

merenung.

Dan hidup sehabis senja

'kan masuk dunia lain

di bawah temaram lilin.

 

Pucuk-pucuk rindu

dicumbu

angin yang berkelana.

dan lambaian daunan

'kan menggugah kesadaran:

kalulah tanah kelahiran!

 

Di barat langit memerah

pada kutub siang.

Dan gairah bangkit

di bukit-bukit

dan lembah-lembah

tanah tersayang.

1966

 

DAS KALTE HERZ

Kabut pegunungan

menutup lembah

suram cahya matari

di danau bawah

 

Kabut pegunungan

menutup lembah

dingin hati

mengetuk pintu

 

Hati dingin, hati

yang dingin,

bagai kabut pegunungan

menghadang matari.

 

Hati dingin, hati

yang dingin,

bagai pintu

berpalang besi.

 

Kabut pegunungan

menutup danau di bawah

hati 'kan tetap hati

walau pun sedingin besi.

1963

 

SURAT AKHIR TAHUN

Tetap kucinta'

gunung-gunung gundul

karena keyakinan

tiba saatnya

'kan kembali menghijau

 

Unggas yang terbang itu

'kan pulang ke sarang

bertelur dan mengeram

dalam kedamaian.

 

Pohon di kejauhan itu

selalu melambaikan tangan

bagi yang mengerti

arti harapan.

 

Ikan di kali

adalah kemerdekaan.

1961

 

JATILUHUR

Impian abadi leluhur

menemu bentuk. Tanah-tanah gersang

menjadi subur. Bagai disihir

air pun mengalir

lewat padang-padang hijau

menghimbau.

 

Sangkuriang nanar memandang:

Kerja yang terbengkalai

akhirnya selesai.

Tubuh-tubuh baja, lengan-lengan perkasa

menyusun batu demi batu

dinding telaga raksasa.

Membendung

napsu angkara manusia

yang berpusat pada: Aku,

Sangkuriang kesiangan.

 

Dayangsumbi membuahkan senyum

ke bumi: Inilah cintaku

pada turunan, anak-cucu

yang datang kemudian.

Tubuh-tubuh semampai, tangan-tangan gemulai

menanam benih demi benih

padang kencana.

Perwujudan ikrar

ketika menyingsing fajar.

Cintaku pada turunan

yang datang kemudian.

 

Impian abadi leluhur

menemu bentuk. Tanah-tanah subur

bukan lagi impian.

Tapi: kenyataan.

1969

 

ALMA MATER

Aku melangkah ke luar gapura

dan tertegun di bawahnya: Gerbang

yang pernah menerima kedatanganku,

kini hendak kutinggalkan. Alangkah

kecil diriku, memandang keluasan

dunia di luar lingkungan kampus.

 

Sekian tahun yang lalu, aku melangkah

memasuki gapura ini, dan tertegun di bawahnya:

Di dalam, telah siap api menyala

untuk menggodogku. Alangkah bangga

hatiku, menjadi anak-didiknya.

 

Dan tahun-tahun berlalu, sekian kali telah berlalu.

Kemudian tibalah ketika, aku harus melangkahkan kaki

ke luar gapura. Dengan bekal yang kubawa:

sedikit pengetahuan, sesusun pengalaman,

dan yang terpenting, seberkas nasihat:

"Anakku, kulepas kau pergi, adalah dengan keyakinan

telah bisa berdiri sendiri. Kurelakan kau berjalan,

dan yang selalu musti kauingat,

sekolahmu belum lagi selesai, tapi malah baru mulai.

Karena di luar lingkungan Alma matermu ini,

gerbang sekolah paling besar terbuka:

masyarakat, lingkungan yang harus kaumasuki,

dunia yang wajib kaudatangi,

di mana kau musti hidup dan menghidupinya.

Ia telah siap menerima kedatanganmu.

Ia menagih janjimu, menuntut bakti

dari segala yang pernah kautuntut di sini.

Pergilah kau, berjalanlah dengan tabah, anakku."

 

Dan aku pun melangkah ke luar gapura.

Tak kurasa, aku pun memalingkan muka.

Memandangnya untuk kali yang penghabisan,

dan kurasa, meneteslah airmata.

Aku tak bisa bicara, dalam hati cuma:

"Selamat tinggal, aku tak akan bisa melupakanmu,

Alma materku tercinta, karena kau bagiku

adalah tempat kelahiran yang kedua."

1965

 

TENTANG AYATROHAEDI

Ayatrohaedi lahir 5 Desember 1939 di Jatiwangi (Cirebon). Ia sarjana arkeologi lulusan Universitas Indonesia (1964). Tahun 1971-1973 memperdalam bidang linguistik dan filologi di Universitas Leiden, Belanda dan tahun 1975-1976, memperdalam dialektologi di Univ. Grenoble III, Perancis. Riwayat pekerjaan, staf Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (1965-1966), mengajar di Fakultas Sastra Univ. Pajajaran (1966-1972) dan mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sejak 1972). Buku yang sudah diterbitkannya: Warisan (1965), Yang Tersisih (1965), Panji Segala Raja (cerita anak, 1974), Puisi Negero (terjemahan puisi, 1976), Senandung Ombak (terjemahan roman Yukio Mishima, 1976). Buku dalam bahasa Sunda: Hujan Munggaran (kumpulan cerpen, 1960), Kabogoh Tere (roman pendek (1967), dan Pamapag (kumpulan sajak, 1972).

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler