Skip to Content

PUISI-PUISI BUDIMAN S. HARTOYO

Foto SIHALOHOLISTICK

TENTANG BUDIMAN S HARTOJO

Sejak kecil Budiman S Hartojo dididik di rumah oleh ayahnya sendiri yang menjadi guru pada Madrasah Tinggi "Mamba'ul Ulum" milik Kraton Kanunanan Surakarta. Sejak 1972 bekerja sebagai redaksi majalah Tempo. Sebelumnya giat di kota kelahirannya, Sala, menyelenggarakan ruang sastra "Sumbangsih" pada mingguan Surakarta dan membantu siarana sastra dan sandiwara RRI studio Surakarta. Antara 1966-1968, menjadi pemimpin redaksi malah Genta, dan anggota redaksi majalah Patria, keduanya terbit di Sala. Juga pernah menjadi sekretaris PWI cabang Sala. Puisi-puisi awalnya mula-mula dimuat dalam majalah-majalah mahasiswa di Yogya seperti Pulsus, Criterium, Uchuwwah, Media, dan Gajah Mada. Kemudian merambah juga di beberapa majalah budaya seperti Basis, Budaya, Gelora, Waktu, Mimbar Indonesia, Gelanggang, Sastra, Horison, dan Budaya Jaya.

 

TIDURLAH ENGKAU, TIDUR

Tidurlah engkau, tidur

bagai seseorang bertamasya dalam sihir

Tidurlah engkau, tidur

pulas dalam seribu impian

dari awal sampai akhir

 

Hari kan lena berlalu tanpa cerita

peristiwa kan berlalu tiada berita

Di sini engkau bakal terlelap jauh dan dalam

aman dalam pelukan anugerah alam

 

Tidurlah engkau, tidur

puas tanpa sedu sedan jaman yang sakit

Tidurlah engkau, tidur

tiada peduli tangis sejarah

yang tak pernah bangkit

 

Hari ini genaplah sudah

apa lagi yang dirisaukan?

Hari ini sempurna sudah lingkaran waktu

apa lagi yang ditunggu?

 

Tidurlah jiwaku, tidur

pulas dalam sihir waktu

Tidurlah sukmaku, tidur

lelap dalam jiwa yang padu

1969

 

KUPANDANG LANGIT DARI BERANDA

Baru jam 9 pagi, aku masih ingat, engkau berdiri di beranda itu. Gerimis belum sampai menderas menjadi hujan, Matahari masih sempat menganyam ribuan jari-jari berwarna, membiaskan bianglala yang biru dan ungu, merah jingga di langit utara. Engkau mulai terhibur dari mimpi buruk yang mengusik tidurmu semalam. Dari sangkar kuning yang tergantung di pokok jambu, burung nuri yang mungil bercuit-cuit menyambut lagu kanak-kanak dari radio tetangga: "Kupandang langit penuh bintang..."

 

Adakah yang akan kaukatakan menjelang parak siang, sebelum mimpi kembali datang lalu menjelma bayang-bayang? Engkau selalu terdiam pabila aku bertanya adakah hari akan hujan kalau aku jadi berangkat. Dan sekarang kita berpisah dan engkau merasa tak perlu lagi menunggu di beranda itu. Tapi memang ada yang hilang sekarang: cahaya matamu yang mengmbun di balik kaca jendela.

 

Dari beranda rumah itu, malam itu sebelum berangkat aku masih ingat, rasanya ada kulihat engkau terbang, samar kabur di langit. Adakah yang tertinggal di kamar belakang ketika aku buru-buru pamit malam itu dan lupa menutup pintu sementara engkau membetulkan selimutmu? Ketika itu radio sudah menutup siaran dan nuri tak lagi tergantung di halaman. Dan sekarang, aku bergumam sendirian: "Kupandang langit..."

1976

 

SAJAK 1969

Hujan Desember masih bertahan sejak siang

Renyai. Mengurung waktu

Senja semakin asing

kota pun malas terkantuk-kantuk

Segalanya tergenang

 

Menderas kenangan

lagu pun sayup. Belaian

yang tersia, sisa usia

Ragu dan bertanya

kapan engkau terbangun

dari lena kantukmu

Nikmat

dan lupa

 

Di sini berdiri tugu

dan di sini engkau istirah

Di sini kita bertemu

di sini kita berpisah

 

Menderas kenangan

menderas haru

Menderas hujan

menderas tangis

kenangan pun

tak habis-habis

1969

 

DI MASJID KUALALUMPUR, SEBELUM JUM'AT

... siapa menggangu i'tikafku ketika engkau termangu di ambang pintu ke mana mengalir sisa air wudhu yang menetes dari dagumu ketika engkau melangkah ragu mengapa engkau terisak ketika surah ar-rahman tersendak di tenggorokanku siapa mengamini berkali-kali ketika kaubisikkan lafaz terakhir doa sujud sahwi lantaran lupa menangkap isyarat mataku bayang siapa berkelebat di lantai berkilat ketika aku membungkuk ruku di atas sajadah permadanimu tergugah engkau dari kantuk siang ketika aku berzikir dalam gumam tertunduk aku di bawah tiang ketika engkau menghilang lalu menyeru azan panjang terengah engkau ketika aku melepas rindu tergagap aku ketika engkau mendekapku siapa Engkau siapa Aku...?

 

DOA SEBELUM TIDUR

Maafkan saya, Tuhan

baru kali ini sempat mengingatMu

Maafkan saya, Tuhan

mungkin besok aku lupa lagi

 

Aku akan tidur

mungkin beberapa jam saja

Kini terserah padaMu

nasibku terlena di pangkuanMu

 

Aku tak biasa

berdoa panjang-panjang

Hanya kuminta

tolong damaikan dunia

selama aku lelap tidur dan terlupa

 

Aku tahu Engkau takkan tidur

dan tak kunjung lupa

Oleh karena itu

sebelum tidur kuminta padaMu

apa saja yang baik

untukku

dan untuk siapa saja

 

(Ah, barangkali Kau tertawa

Tapi betapa pun

maafkan daku)

1967

 

SERASA AKULAH YANG MESTI BERCERITA

Serasa akulah yang mesti bercerita

sementara surya mengendap-endap di balik bumi saja

Serasa akulah yang mesti berkisah

sementara bumi pun resah dalam tidurnya

 

Kau yang bercertia selalu padaku

tentang derita, lapar dan duka

berceritalah padaku kini

tentang alam, manusia dan kasih sayang

 

Serasa akulah yang mesti bercerita

kini padamu walau tanganku fana

Setia dalam menulis syair sepanjang malam

karna tahu bahwa akhirnya kan berpisah

 

Serasa akulah yang mesti bercerita

namun memang aku mau ceritakan

tentang duka manusia

duka ibunda serta dunia dan jamannya

 

Dunia yang kini menapak dari jaman ke jaman

membayang dalam asap mesiu dan teriak perang

Maka kan direbutnya jabat tanganmu kasih sayang

sebab serasa akulah yang mesti bercerita sekarang

1962

 

NYANYIAN SEORANG PETANI MUDA

Aku sekarang duduk di pematang

memandang jauh hari depan mengambang di awan

Aku sekarang termenung di rumputan

menatap hijau padang, burung dan ilalang

 

Hari sudah tinggi dalam tikaman terik matahari

hari sudah larut dalam kerja sehari-hari

Anak-anak gembala menyanyikan lagu derita desanya

lembu dan kerbau bekerja dan makan seenaknya

 

Aku sekarang di sini menanti kiriman makan siang

dari pacarku yang sederhana, pelan berlenggang di pematang

Aku sekarang terlena di sini menanti hujan tercurah

dari langit Tuhan yang katanya maha pemurah

 

Hari pun kian larut buat bersenda dan berpacaran

hari sudah terlambat buat mengeluhkan nasib tanaman

Terlalu letih aku memikirkan kemakmuran

sedang tanaman di sawah ladang belum kunjung bermatangan

 

Aku sekarang di sini berpikir tentang perkawinan

Dan bila kawin nanti bulan depan

aku kawatirkan nasib ternakku sayang

sebab pastilah ia bakal dijual buat ongkos peralatan

 

Hari makin senja, senja makin malam

burung-burung pulang ke sarang

gembala menggiring ternak ke kandang

Beriringan mereka pulang

beriringan keluh warga desa, harga kerja tak seimbang

 

Aku sekarang di sini berbicara dengan alam

yang sabar dan ramah dibelai angin lembah yang rawan

Tak kutahu adakah ia tahu

tetesan keringat dan nasib tersia kerabat desaku

1962

 

 

DI RUANG TUNGGU BANDAR UDARA ANTARBANGSA "SUBANG", KUALALUMPUR SUATU SENJA

Sebentar aku pun terhenyak

ketika matahari mengusap hangat

kulit wajahku

"Lepaskan jaket Enchik, di sini amat panas," sambutmu

nyaring seperti suara keramahan di rumahku

(Kugenggam dendamku, kupendam rinduku

setelah lama luput dari cahaya bola matamu

yang lembut, seperti matahari mimpi

menjelang tidurnya senja hari)

 

Orang-orang pun mendadak tersentak

ketika butiran air tiba-tiba terjatuh

dari langit

yang mengawalku

"Inilah payung Tuan, mengapa tak jalan sama-sama?" serumu

sambil berlari kecil di belakangku

Kusurukkan kepalaku

lalu kurangkul pinggangmu

tanpa ragu

(Aku ingin melepas napas

persis di bawah lubang hidungmu)

Di sini seolah tiada lagi rindu

pada tanah air

Memang ada terasa damai di bawah payung kembangmu

(Mungkinkah aku tinggal di sini

barang sehari?)

 

Di ruang tunggu

tak siapa menunggu

tak siapa ditunggu

Kita duduk termangu

tak siapa kutunggu

tak siapa kautunggu

Toh terasa akrab juga pandangmu

seperti kita pernah bersahabat sejak dulu

Sebentar-sebentar engkau senyum. Mengapa

aku tak tahu. Barangkali kebiasaan beramah-ramah saja

Atau mungkin karena kautangkap gelisahku

menunggu waktu

ketika tiap sebentar kukibaskan celana

yang basah oleh hujan barusan

 

Di kursi empuk sudut sana itu

seorang kakek duduk tertidur

nafasnya bebas teratur

(sehat sekali tampaknya)

Cambang dan janggutnya lebat

putih, rapih -- memantulkan semangat

Meningatkan aku pada seorang dosen sejarah

di sebuah universitas swasta yang bangkrut

Bau harum asap tembakau

masih mengepul tipis dari pipa cangklong

di tangan kirinya

Dan di tangan kanannya

terkulai sebuah buku saku:

 

               Soekarno, A Political Biography

 

Tak ada suara di sini, kecuali

gumam kelompok di sudut itu

atau detak sepatumu bertumit tinggi

atau bisikmu

atau desah nafasmu

atau tawa kecilmu

yang tertahan

Toh gelisah itu mengusik juga, pabila

pengeras suara itu mengganggu

-- bergema

 

Maka waktu pun sampai

aku usai, engkau usai

Dan aku pun melambai

dan engkau pun melambai ...

1974

 

SEBELUM TIDUR

Putarlah knop radio itu

Jam sebelas tengah malam begini

terlalu sayang dilewatkan

hanya untuk mendengarkan berita-berita perang

dari stasion-stasion pemancar

luar negeri

 

Sebelum tikar, bantal dan sarung selimut

kausiapkan buat tidur

di atas lantai yang lembab

dengarkanlah barang dua menit

sebuah lagu:

 

"Aku kan datang kepadamu

wahai dunia lupa dan lelap

Aku masuki gelap rahsiamu

malam yang panjang berabad-abad

 

Akulah yang dulu pergi

mencari arti rahsia abadi

Lupakan keluh gangguan mimpi

walau terluka nasib sendiri

 

Diamlah engkau, wahai diamlah

dengarlah langkahku yang datang

Diamlah sejenak, diamlah

lelaplah tidur, lupakan perang"

1967

 

PERTEMUAN

Mengapa kau mengendap-endap di sana

memburu jalanku berkelana?

Dialah bayangku yang setia

mengekorku dalam dosa dan kenang

 

Dan kini kulihat Tuhan

dalam batinku

Satu pertemuan yang tak terpisahkan

Tuhan dan bayang

bertemu malam-malam

Tuhan dan bayang

adalah Kau dan aku dalam kasih sayang

 

Terasa bahwa aku kan berkata

dan mesti berkata padaMu, Tuhan

Sajak apa kan kuucapkan

sedang lidah dan tanganku semakin fana?

 

Sekali pertemuan ini

dan selamanya kan bertemu

tanpa akhir perpisahan

karna tiada jarak antara kita

1962

 

 

NINABOBO

1

Malam yang panjang dan syahdu mengurungku

malam yang panjang memberiku impian warna beribu warna

Di sini kutemu kau

di sini kukenangkan engkau

Malam yang panjang adalah duniaku

malam yang panjang adalah piala di mana air mata

dan keluhku jatuh

Di sini kuratapkan kau,

di sini kupanggil engkau

sementara kujangkau tali yang terulur

dari sorga

Kuucapkan namamu sepanjang malam

kupanggil namamu sepanjang doa sembahyang

 

Engkau adalah mawar mungil di kebun

tertimpa fajar

Engkaulah kembang di taman larangan

berpagar

Seorang pengembara lewat dan tertegun

ia adalah pejalan sunyi yang letih

ia adalah aku

Seorang gadis kecil menerobos pagar

dan dipetiknya sekuntum mawar

Lalu ia pun menyanyi kecil

berlari dan menari

Alangkah indahnya dan mungil ia

aku memandang dan tersenyum kepadanya

 

Engkau adalah titik putih di langit

tinggi menghitam

engkaulah bintang-gemintang

Engkau adalah burung undan yang bertengger

di ranting pohon

di puncak dunia paling tinggi

di atas kabut memutih dan awan pegunungan

Hari ini kupejamkan mataku

dan tampak kau menengok jendelaku

Hari ini kulihat kau berdiri

di tengah segala gadis kotaku

dan mereka pun menari dan menyanyi

mengelilingimu

Kemudian kubuka mataku dan hari pun teranglah

Sebuah mimpi beterbangan

pecah di tengah siang

Kulihat di jalan depan rumahku

perempuan dan gadis-gadis lewat

tapi tak seorang di antara mereka kulihat

engkau berjalan mendekat

Ibuku yang tua pun menghampiri

dan menepuk bahuku

Aku menoleh dengan keluh

dan ratap yang rawan

Lalu keras-keras kunyanyikan laguku

bersama angin siang yang panas:

"Ke mana kutambatkan hatiku...."

 

Akulah orang mabuk yang letih

dan terengah-engah

berlarian di jalanan

dan bernyanyi sepanjang hari

Aku adalah orang gila yang meneriakkan

lagu ke segenap penjuru

Akulah orangnya

akulah yang bernyanyi, menangis

dan berteriak itu

Dan sekali lagi aku bernyanyi dan menangis

lalu berlari

lalu berlari ...

 

Dalam letihku aku pun berhenti

dan duduk

lalu kupejamkan mata

Sekali lagi engkau pun datang menghampir

tapi aku cuma pemabok dan orang gila

yang hilang arah

tapi akulah pula tenaga kata tanpa suara

Bahasa cinta, kata orang, tanpa tulis dan suara

kata-kata telah hilang harga artinya

huruf-huruf telah tiada lagi berbunyi bersuara

terkulai ia bagai seekor burung terbang

jatuh dari angkasa, menggelepar

dan mengepak-ngepakkan sayapnya yang patah

Bahasa cinta, konon, serangkai merjan

yang sukar dipisahkan warna dari cahya kilaunya

 

Siapakah engkau

dan kelak pada siapa tali hatimu kautambatkan?

Aku tak tahu

Siapakah engkau

dan kelak siapa pula kan mempersunting mawar

di pangkal rambutmu yang tergirai?

Aku tak tahu

Tapi kini dan besok

selalu kan kupinta perkenan padamu

buat selalu memujamu

Engkau adalah ikan mas dalam akuarium

yang mungil

berlenggang, menari, berenang

dalam riak air yang tak cukup kurenangi

Siapakah engkau

dan di manakah engkau?

Sesungguhnya aku tak tahu

 

Engkau telah pulangkan pengembara letih

yang lupa segala milik rohaninya

Ia kini tahu arti cinta, rumah dan keluarga

Telah engkau pulangkan ia

pada cinta bundanya

telah engkau tunjukkan ia

pada hakikat dan nilai harga dirinya

Maka bangkitlah ia dalam sulaman

sarang sutera cinta

Dan pengembara itu adalah

aku

 

Sekali, nanti pastilah datang kesempatan

di mana aku dan kau bersatu dengan alam

berjalan dan berbicara

bercakap dan bercerita

tentang masa kanak, tentang masa depan

seperti alam itu sendiri mengajarkannya

kepada kita

Maka malam yang panjang pun turunlah

maka kusebut namamu di antara doa-doaku

Maka kulihat engkau

dalam sujud gelisah-syahdu

sembahyang tahajudku...

 

2

Seakan akulah kini yang tegak berdiri

di pantai

memandang laut lepas tenang membiru

yang hidup dalam gejolak rindu

yang berkata-kata dalam bahasa bisu

Aku berdiri

berkawan anak-anak angin, pasir putih

dan cakrawala yang angkuh

dan gaib

Bersatu aku dengan suasana

dalam haru

dalam kenang

dalam ketiadaan bentuk alam

Aku lebur

 

Seakan akulah laut, angin, cakrawala

akulah semesta

Aku lebur

 

Dari sini kupandang engkau

di sini kukenang engkau

kekasih yang jauh memanggil

dan jiwaku yang menggigil

Aku lebur

 

Dari sini kulihat kotaku

Musim hujan di sana telah jatuh

berderai satu per satu

mencari cintaku

di mana ia berlabuh

KEmudian dibasuhnya keningku

dan bayangmu pun berkilau

Engkaukah itu

yang melenggang di pematang ombak

lautku?

 

Dulu pernah sekali aku pulang

seperti anak ayam hilang

tanpa induk tanpa sarang

Kukayuh sepeda dalam hujan

di atas becek jalanan berlumpur hitam

di atas aspal berkilap dalam kelam

Sekarang baru kurasakan di rumah ini

betapa indahnya ketenteraman

alangkah nikmatnya

alangkah hangatnya

kehidupan

Dulu pernah aku tiada semalam pun

pulang

keluar mengembara

Dan setelah kutemukan engkau

betapa kini bisa kurasakan

pulang ke rumah dalam kehangatan

Dulu pernah kuabaikan

suasana cinta-kasih bapa-bunda

sanak-saudara dan keakraban rumah kita

Dan setelah kini kulihat engkau

maka kulihat semuanya

Engkau telah pulangkan daku

dan kini kuantar engkau dalam impian

Duduklah di sampingku

berlayar menengok segala pantai dan laut

berlabuh di setiap kota sambil bercerita juga

tentang anak-anak kita

tentang penghuni tanah air yang bakal tiba

Sementara itu istirahatlah engkau

dan dengarkan ceritaku sebentar saja

 

Sekarang, karna kita bukanlah lagi kanak

yang terlena oleh bayang-bayang cinta usia pandak

atau terdesak oleh pikiran belum masak

mari kita bangunkan cinta menggunung

kekal bagai gurun

abadi bagai samudera

luas bagai angkasa

Diamlah, jangan lagi tangiskan

sajak sedih yang getir

cucuran darah penyair

Jangan lagi risaukan

suara langkahku yang membanjir

karna semuanya belum berakhir

Pandanglah aku

pandanglah laut depanmu

 

Kini kubawa engkau pulang dari segala impian

berjalan menyusuri setiap lorong dan jalanan

pulang menabikkan salam selamat malam

pada setiap orang

Mereka akan berbisik memperhatikan kita:

"Seperti hidup dalam cerita pendek saja

keduanya lupa segalanya."

(Aku jadi ingat sebuah syair pendek

waktu masih sekolah di kota, kata seorang perempuan tua)

 

Maka seperti lautan di sana itu

kita pun berjalan terus

Maka seperti anak-anak angin

kita pun bersiulan bertembangan

seperti bunga-bunga dan dedaunan di pagar tetamanan

seperi dua ekor angsa di kolam renang

 

Maka kita pun bercakap, bercerita

dan berkata-kata juga

Dan seperti banjir yang tanpa surut

cintaku pun hadir pantang berkawan maut

Maka inilah ninabobo

lagu penidur

sebelum kau terlena dalam mimpi

melupakanku

 

Maka malam yang panjang pun terasa sumbang

dan cintaku berkelana dalam diam

1962 

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler