Skip to Content

PUISI-PUISI CECEP SYAMSUL HARI

Foto SIHALOHOLISTICK

TENTANG CECEP SYAMSUL HARI

Cecep Syamsul Hari (CSH) lahir di Bandung, Jawa Barat, pada 1 Mei, 1967. Buku-buku puisinya yang telah dipulikasikan: Kenang-kenangan/Remembrance (1996), Efrosina/Euphrosyne (2002, 2005), 21 Love Poems: Bilingual Edition (2006), Two Seasons: Korea in Poems Bilingual Edition (2007). Ia juga menulis novel Soska (), cerita pendek, dan esai. Karya-karya dipublikasikan pula pada sejumlah jurnal dan antologi, antara lain: Heat Literary International (Sydney, Australia, 1999), Beth E. Kolko’s Writing in an Electronic World: a Rhetoric with Readings (United States: Longman, 2000), Harry Aveling’s Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (United States: Ohio University Press, 2001), Wasafiri (London, England, 2003), Orientierungen (Bonn, Germany, 2/2006). Ia menerjemahkan sejumlah buku, di antaranya: Para Pemabuk dan Putri Duyung (selected poems of Pablo Neruda, 1996); Hikayat Kamboja (selected poems of D.J. Enright, 1996); Ringkasan Sahih Bukhari (compilation of Bukhari’s hadis, 1997; 1100 pages); Rumah Seberang Jalan (selected short stories of R.K. Narayan, 2002). Ia menyunting Kisah-kisah Parsi/Persian Tales (C.A. Mees Santport and H.B. Jassin, 2000); Horison Sastra Indonesia/A Perspective of Indonesian Literature (with Taufiq Ismail, et.al; four volumes, 2003); Horison Esai Indonesia/A Perspective of Indonesian Essays (with Taufiq Ismail, et.al; two volumes, 2004). Saat ini, ia adalah redaktur majalah sastra Horison yang berdiri di Jakarta, Indonesia, sejak 1966.

 

 

SEBAB BAGAI ANGIN

Jangan pergi. Sebab bagai angin

aku selalu bersama arah. Tak ada yang bisa

sembunyi dari rindu batinku.

 

Jangan pergi. Sebab bagai angin

kelak aku sampai di negeri yang ditujumu.

Mungkin lebih dulu.

 

Biarkan kulabuhkan sampan lempungku

di tepian telaga

bening matamu itu.

1991-1992

 

SYAIR KESEDIHAN

Kusadari malam itu, matamu kata-kata.

Pohon cemara sendiri dalam hujan,

mengubah kelopak-kelopak airmata jadi permainan cahaya.

 

Aku melihat seorang anak perempuan pada matamu yang ragu.

Mencoba helai demi helai sayap rapuh kupu-kupu;

bermimpi menyihir batang cemara

jadi sepotong coklat raksasa.

 

Hidup dan mati seorang penyair berkawan kata-kata.

Kata adalah ruh dan keajaiban;

keriangan dan kesedihan.

 

Sebab matamu kata-kata

malam itu, aku menjadi seorang pencinta.

 

Kutanggalkan tubuh penyairku dan kuciumi wangi

kerudung rambutmu.

 

Dari dunia yang murung,

Zamzam berkata, "Penyair tidak sedih karena ditinggalkan."

 

Tidak. Penyair adalah pemburu kesedihan.

 

Bagi penyair, kesedihan yang sempurna

sorga yang dijanjikan.

 

Hanya pencinta yang tidak pernah bersedih

karena ia tahu kelak akan ditinggalkan.

 

Seorang penyair dan seorang pencinta

mengembara dalam tubuhku.

 

Maka biarkan

kuiris matamu dengan puluhan kecupan.

 

Lukai aku dengan kesedihan.

1996-2006

 

SEBELUM MAKAN MALAM

Kita cuma bisa bersandar pada waktu, Afuz.

Tertegun-tegun menunggu kekuasaan tumbuh dewasa:

 

Tanpa peluru, sepatu berlumpur darah itu,

dan belajar membaca manusia sebagai kumpulan

keinginan dan kesedihan.

 

Bukan fosil atau gambar separuh badan

sebagai sasaran tembakan.

 

Seperti engkau,

aku lahir dari sebuah sejarah

yang lecak dan selingkuh.

 

Tetapi kita mencintai negeri yang sama,

yang senyumnya bagai impian,

seperti pada masa remaja kita mencintai wanita yang sama,

yang senyumnya bagai buaian.

 

Cinta dan kekuasaan bersandar pada waktu, Afuz,

seperti babad rambutmu yang menipis

dan hikayat luka dalam aliran darahku.

 

Segalanya menjadi selalu mungkin:

Barangkali karena ada rumah kanak-kanak dalam batin kita

yang penuh senyum dan gelak tawa.

 

Bahkan ketika pecahan mortir dan kenangan

menderas dari jauh dan jatuh dua kaki dari lubang

persembunyian, juga impian, kita yang rapuh.

 

Seperti Peter Pan, Tom Sawyer atau Bimbilimbica,

kita menunggu hadiah ulang tahun bukan saja dari pasangan

paman dan bibi yang tambun dan riang.

 

Tetapi juga dari sahabat khayalan,

Tuhan, serdadu yang mulutnya penuh roti,

sepasang granium, tiga grasia,

dan peri-peri riuh di hutan-hutan jauh.

1994-2006

 

EPISODE TERAKHIR DARI KENANGAN

Ketika waktu berhenti,

kota-kota menghapus jejak airmatamu

dengan keheningan kenangan.

 

Aku tak lagi mampu mengingat

kapan kisah cinta itu dimulai,

kapan selesai.

 

Barangkali pada sebuah senja

di bising kota asing dan kumuh,

pada beranda sebuah hotel di ujung jalan riuh.

 

Atau dalam kafe tanpa nama, tanpa daftar menu.

 

Kota-kota berangkat tua dalam batinku.

Namun senyummu abadi seperti sebaris sajak Po Chu-i.

 

Senja yang kusimpan dalam ingatan

kini lapuk dan berlumut.

 

Tetap saja sukar kubedakan

keajaiban dongeng dan kepiluan masa silam.

 

Ketika waktu berhenti,

kukenang kembali airmatamu yang menari:

 

Di situ senja yang tak terlupakan diciptakan.

Dan cinta, disapa dengan ribuan nama.

1994-2006

 

EMPAT MIL DARI KENANGAN

Sepasang angsa di sudut taman pom bensin:

Kusaksikan keajaiban dongeng dan biografi bersatu di situ.

 

Seperti Wilde yang murung

di depan sajak Ginsberg dan Rendra.

 

Kota-kota tanpa patung "Happy Prince" menyimpan dendam

dan keinginan diam-diam pada kematian.

 

Bagai puisi Malna dalam saku celana kekuasaan.

 

O, ke mana orang-orang pergi begitu bergegas

pada dini hari yang riuh ini?

 

Di luar jendela para penyair,

borgol dan selongsong peluru mengubah dirinya menjadi bahasa.

 

Sayangku, di sebuah tempat dalam kenangan,

Sa`di kehilangan lentera,

Tardji kehilangan ngiau,

 

aku kehilangan engkau.

1994-2006           

 

GERIMIS

Di sudut sebuah perpustakaan

yang mengandung angin basah pada bingkai-bingkai jendelanya,

aku menemukan kembali wajahmu yang gaib itu.

 

Mencair dari kebekuan kenangan

dan malam-malam penuh siraman cahaya bulan

purnama.

 

Aku ketuk pintu terkunci itu,

hujan hari terakhir bulan Desember menyisakan butir-butir embun

berpendaran pada ujung rambutmu yang jauh.

 

Begitu sukar memahami dirimu

sebagai pertemuan biasa atau kebetulan saja.             

 

Aku kesepian dan tak mengerti.

 

Wajahmu memandangku di mana-mana,

menangis tanpa airmata.

 

Aku susuri jalan darahku sendiri.

Takjub menemukan kepingan-kepingan luka

membangun dunianya sendiri.

 

Di sudut sebuah pura desa

yang disapu gerimis sepanjang hari,

kukecup kedua kelopak matamu dengan seluruh hatiku.

 

Dosa begitu manis dalam lidahku,

barangkali seperti khuldi.

 

Dari pagi berkabut itu

aku memulai pengembaraanku yang abadi.

 

Mencari sepucuk pesan

dari kata-kata yang tak sempat kau ucapkan.

1994-2006

 

MOLTO ALLEGRO

Seperti Neruda lelah menjadi manusia, malam itu

aku pergi dan memanggil taksi.

 

Ke mana? Ke mana saja, jawabku.

 

Aku pun lewat di depan rumahmu.

Namun telah lama kau pergi dari rumah itu,

rumah itu, begitu saja, seperti dulu kau lari dari mimpi-mimpiku.

 

Dari balik jendela, kota sungguh sepi.

Bagai gunting di atas genting.

 

Ajaib benar jika tiba-tiba bertemu Tuhan dan Tchaikovsky

di sebuah persimpangan jalan.

 

Tetapi perempuan-perempuan aneh itu terlalu berani

memamerkan tato mereka, di bahu yang terbuka.

Aku takut sepatuku berdebu,

jadi kuberi mereka lambaian tangan saja.

 

Berhenti di depan Fame Station

seraya mengucapkan terimakasih

pada sopir yang mengerti kesedihanku.

 

Asia-Afrika, kau tidur seperti bayi.

Bangun dan peluklah Don Quixote malang ini,

pengembara penuh duka, jatuh cinta

berulang kali pada perempuan yang sama.

 

Perempuan yang sama.

 

Orang dewasa yang selalu takjub pada kemurungan

tak terduga.

 

Setiap satu langkah, kulihat makam ibuku,

lembab oleh tangisan masa kecilku.

 

Seperti Neruda lelah menjadi lelaki,

aku berpikir mengakhiri dengan paksa

hidupku di sini.

 

Namun kutemukan Mozart di kamar

sebuah hotel dekat Simpang Lima.

 

Molto Allegro. Molto Allegro.

Adakah juga kekasihku menunggu di situ?

 

Perjalananku berakhir di atas single-bed yang nyaman.

Aku tertidur seperti buaian dan dalam mimpiku

perempuan bersayap menyelasar tubuhku dengan ciuman-ciuman.

 

"Sungguhkah kau lelah menjadi lelaki?"

bisiknya, ringan bagai udara kamar.

 

Pagi, kutemukan jawaban kesedihanku malam itu:

 

Risau atau murung atau kehilangan

sepasang alismu yang tebal.

 

1997-2006

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler