Skip to Content

PUISI-PUISI EDIRUSLAN PE AMANRIZA

Foto SIHALOHOLISTICK

RIAU

Di Riau

Banjir jadi pantun sepanjang sungai

Air menjilat lantai rumah kami

Air padamkan api di tungku kami

Air basahkan tikar

Dan bubung dalam kelambu kami

Banjir menghanyutkan mimpi-mimpi kami

 

Di Riau

Kami tak sempat lagi bernyanyi

 

KABUT DI BELANTARA HUTAN ITU BERPENDARAN

I

Kabut di belantara hutan itu berpendaran

Sunyi di belantara hutan itu kedinginan

Ada sungai kecil di bukit hutan itu kehausan

Sebuah danau di belantara hutan itu menyerah ke langit

 

Tiada bayang-bayang

Dari bulan atau bintang atau kunang-kunang

Semuanya kehilangan jejak di perjalanan

Ketika datang kabut di belantara hutan itu cahaya pun susut

Gelap terkurung dalam waktu di bukit hutan itu

 

Suatu tempat

Terkepung dalam kabut di belantara hutan itu

 

II

Ke sana kita menuju kasihku

 

SURAT, 11

(surat seorang yang ingin jadi penyair kepada ibunya)

 

Ibu,

bacalah sajak-sajakku:

 

            dua ekor burung

            mati di luar pagar rumahku

            tadi pagi

            setelah saling mematuk sehari suntuk

            berebut dahan

            tempat bersarang

 

Ibu,

bacalah sajak-sajakku:

 

            sekawanan babi hutan

            melahap sekandang ayam tadi malam

            setelah tak menemukan

            umbi-umbian

 

Ibu,

bacalah sajak-sajakku:

 

            harimau dan gajah

            menyandera seribu desa

            menuntut kulit dan gading kaumnya

            dikembalikan kepada mereka

 

Ibu,

sajak-sajak itu

memang belum dimuat

koran kota

 

SUNGAI

yang hilir itukah surutmu yang sungsang itukah pasangmu

yang hanyut itukah nasibku

yang curam itukah tebingmu yang laju itukah arusmu

buih itukah aku

yang dalam itukah telukmu

semayup panjang tanjungmu

hilang di sana

jejakku

 

RATAP

(sebuah sajak yang tak pernah selesai)

 

di laut manakah tenggelam seribu mimpiku

di hutan manakah tersesat seribu hasratku

di gunung manakah gamang segenap dayaku

di ngarai manakah sangsai saudara-saudaraku

yang tenggelam bersamaku di laut

yang tersesat bersamaku di hutan

yang gamang bersamaku di gunung

yang sangsai bersamaku di ngarai

yang bermimpi bersamaku

di sini

 

di horison manakah terkepung

seribu waktuku tak rampung

di cewang langit manakah badai itu tergantung

sampai resah tak pecah

sampai badai tak sampai

ke malam-malam

di mana kami

tak sedap

duduk diam

 

MALAM DI TELUK

bukit-bukit

batu

dan karang

tumpuan angin selatan

ada ladang-ladang cengkeh semakin tua di pinggangnya

bunganya dipatahkan musim tiba

 

dan jalan setapak, mendaki

yang dulu selalu kau jaga dengan teliti

kini padam

tak lagi dapat kau baca

nyanyian bergema di sana

rindu

ataukah

duka

 

HIJRAH

Telah kusiapkan keletihan

Akan sebuah perjalanan yang panjang

 

Telah kusiapkan kelaparan

Menghadap hari-hari yang garang

 

Telah kusediakan kekecewaan

Bila harapan dilumpuhkan

 

Telah kusiapkan duka

Lagu kita di perjalanan

 

 

ALLAH

Dia yang sendiri menyebut sendiri namanya sendiri setiap hari

dalam diri

Dia yang sendiri menyebut sendiri namanya sendiri setiap hari

di ujung lidah

Allah

Dia yang sendiri menyebut sendiri namanya sendiri setiap hari

rampung sudah

sunyiku

Di mana-mana

Allah

Allah

Allah

 

 

?

 

inikah saatnya

tidurmu sepanjang malam akan menjadi lengang

ladang-ladang mimpimu punah terbakar

tinggal sehelai pelangi berjingkat di langit pagi

ambillah

balut lukamu, Sri

 

 

LAMPU

Lampu

di bukit sendiri

tikamkan cahayamu

ke kelam laut tak bertepi

 

Lampu

di laut malam hari

terkatung-katung cahayamu yang sunyi

 

Lampu sendiri

berkelip dalam diri

padamkan mimpi

sebelum pagi

 

 

SKETSA

Tiga kupu-kupu kecil

dengan debu di sayapnya

menuliskan

kerlap-kerlip riwayatnya

ke dalam sajakku

 

Sekor Tedung mendesis

dengan bisa di lidahnya

menuliskan keragu-raguan dunia

ke dalam koran-koran kota

 

Semuanya terasa

seperti sembilu yang di tanganmu

menusuk ke dalam jantungku

 

 

SURAT-SURATKU KEPADA GUSTI NARA

Masih ingatkah engkau surat pertama yang kukirim kepadamu. Di

sehelai kertas kumal kutulis dengan pensil, di sana kunyatakan :

Gusti Nara aku cinta kepadamu.

Dan di dalamnya kuselipkan uang 50 sen.

Kau pun berlari ke bawah pokok asam di kaki bukit, dengan hati

berdebar kau membacanya. Tapi seorang kawanmu akhirnya men-

jadi pangkal bala, ia mengadukan hal itu kepada guru. Kau masih

ingat guru merotan telapak tanganku?

Aku menjerit dan melompat dari jendela.

Sejak itu aku tak datang-datang lagi ke madrasah.

 

Sekarang rumah sekolah di kaki bukit itu sudah rubuh. Tapi

pokok asam - tempat pertama kau membaca suratku dan membe-

lanjakan uang 50 sen kepada pecal mak Siti - masih berdiri dengan

kukuh, dan aku pun masih ingat kepadamu.

 

Di landai bebukitan itu kini tumbuh pohon dan ilalang. Anak-anak

tidak lagi bermain layang-layang seperti ketika landai itu masih

tanah lapang dan aku di sana termangu menantimu dari ladang.

Nara, mereka semua sudah jadi dewasa - tentu - dan tinggal di

Jakarta.

 

Terakhir kudengar kau di Waterford-Connecticut menjadi guru.

Dan si bule, senator yang suamimu itu akan mondar-mandir Con-

necticut-New York. Suratkabar selalu memberitakan kecamannya

terhadap perang Indochina ke II, tapi lupa pada kesepianmu. Dan

kau pun tak pernah menulis ke Indonesia, kepadaku. Sedang aku

tahu pasti murid-muridmu tak cukup memberikan keceriaan ke-

padamu. Lantas kau mencoba melerai kesepian itu dengan mem-

baca novel-novel Agatha Christy, Emile Zola, Lady Chatteley's

Lover-DH Lawrence dan Papilon Henri Charriere serta kakek tua

Hemingway tapi kau lupa membaca Profil and Courage JF Ken-

nedy.

 

Dan tidak kau temui di sana desah cemara di Bulak Sumur, debur

ombak pantai padang tidak seperti di Dover Beach.

Meskipun pasti kau tidak akan membenamkan tangisan ke bantal-

bantalmu yang harum. Kau tidak lagi cukup remaja untuk itu

terlebih-lebih sangat berbahaya bagi penyakit matamu.

 

Tapi juga aku tak dapat menceritakan kebanggaan kampung kita.

Ladang-ladang di sini sudah tak ada lagi. Tanah-tanahnya sudah di-

beli sebuah maskapai perminyakan.

Highway sepanjang Bukitbarisan itu tak jadi siap. Menteri pem-

bangunannya ditangkap, terlibat korupsi. Setelah itu tak ada lagi

yang berniat meneruskannya.

 

Meskipun negeri pekan kemis di kaki bukit kawin itu sudah men-

jadi objek pariwisata tapi Mursal Esten dalam pemilihan tahun lalu

ditolak menjadi menteri perdagangan. Ia kini berdagang hasil-hasil

ukiran kawan-kawan yang tak tamat ASRI.

 

Wisran sudah meninggal, jabatan terakhirnya ketua RT di lapai.

Tapi salah seorang anaknya memimpin tonil keliling.

 

Leon Agusta penyair yang gondrong itu sekarang di Kuala Lumpur,

ia menjabat rektor pada universiti kebangsaan.

 

Wunuldhe Syaffinal berhasil menjadi penyair terkenal, ia telah

pun menulis beberapa novel yang sangat laris di negara-negara

ASEAN, tapi gagal menjadi polisi.

 

Abrar Yusra dan Chairul Haran sudah pindah ke Lubuk Alung

berkedai di pinggir jalan.

 

Rusli Marzuki Saria dan Hamid Jabbar kini memimpin pesantren

wanita di Kayu Tanam.

 

Tapi nasib malang menimpa Ibrahim Sattah, ia tenggelam dalam

perjalanan antara Laut Cina Selatan dan Tanjung Pinang tanpa

menyandang salib.

 

Irsyadi Nurdin Yassan kehilangan satu suku kata namanya kemu-

dian kehilangan nyawa.

 

AA Navis sekarang memimpin Horison. Majalah sastra dan kebu-

dayaan itu sudah beroplag puluhan juta dan menjadi bacaan wajib

di Universitas Riau.

 

Seluruh seniman besar yang di Jawa dulu – yang masih hidup –

sudah menjadi pembesar dan kini mereka mengerjakan apa yang

dulu ditentangnya.

 

Yang lain-lain sebagaimana adanya terlihat pada negeri sedang ber-

kembang : bencana alam

                bencana manusia

 

Nara, masih ingat kau anak-anak Koes Plus?

pada sebuah bait dari Nusantara, mereka bernyanyi:

                        “tanahnya subur seperti tubuhku”

Dan tubuh mereka yang menyanyikan itu ceking-ceking.

 

Gusti Nara,

Aku sampai kini belum juga nikah, meskipun dokter bilang aku

tidak impoten tapi orang-orang tua kalau tidak kaya di Indonesia

tidak laku.

Kudengar juga kau tak punya anak, mandul. Tak apa.

 

Kalau sekali ada kesempatan dalam hidupmu kembali ke kampung

dan umpamanya aku sudah tiada. Lihatlah sebuah rumah di kaki

lembah itu. Di halamannya kutanam sejuta bunga yang belum

kuberi nama, di landai bebukitan itu kutanam cengkeh dan kulit

manis, sebuah kolam di bawahnya hidup bermacam-macam ikan.

 

Tolong kau uruskan ke penghulu dan camat sertipikatnya agar

tanah ini jangan sempat diambil maskapai perminyakan itu, mes-

kipun lautan minyak di bawahnya berombak dengan dahsyatnya.

 

Gusti Nara,

Cuma itu pesanku

Aku sudah sangat tua

Kalau umurku masih dalam beberapa tahun ini tentu aku

akan menyurat lagi kepadamu

Barangkali saja kau mau tahu tentang perkembangan musik pop

di kampung kita

 

Gusti

Kembalilah ke Indonesia

1975/1978

TENTANG EDIRUSLAN PE AMANRIZA

Ediruslan PE Amanriza lahir di Bagan Siapi-api, Riau, 17 Agustus 1947. Mulai menulis sekitar tahun 1967. Sajak-sajaknya yang ditulisnya di masa remaja banyak dimuat di Mingguan Mimbar Demokrasi, Bandung. Selain menulis cerpen, juga menerbitkan novel, diantaranya: Jembatan (kekasih sampai jauh), Nakhoda, Ke Langit, Koyan, Panggil Aku Sakai, Taman, Jakarta di Manakah Sri, Di Bawah Matahari, dan Istana yang Kosong. Sehari-hari bekerja sebagai wartawan, tercatat pernah bekerja di majalah Tempo, Selecta, Singgalang, dan Majalah Fokus, Jakarta.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler