Skip to Content

PUISI-PUISI ESHA TEGAR PUTRA

Foto SIHALOHOLISTICK

TUKANG PUISI

beberapa gelitik lagi kau akan sampai

pada tempat yang bernama sakit

sekian mantera, bakal tuah

penebar fitnah ke daging, telah mengapung

dalam sumur. aku cuma ingin kau bermandi

dengan sumpah gaek yang cair

sungguh sebegitu tajamnya jangkrik berbunyi

tapi ini malam adalah kuasa ucapku

lecut aku berpuluh kata umpat

maka berkali-kali lipat kata pengikat

bakal lesat dan menghuni serat dagingmu

maka sebelum pengikat itu bergetah,

berlendir, dan pecah dalam badanmu

sumpahlah dengan sebaris kalimat:

karibkan aku dengan lembab puisimu!

Kandangpadati, 2007

 

TALI HUJAN

di hari yang paling pucuk,
tali-tali hujan putus
dan cuaca berupa diam yang paling rahasia

 

manakala sajak menggulung jadi kepompong
basah di punggung daun
sebuah suara dalam lembut bahasa menggema
dari ladang, dari rangkap musim, dari leburan
gabuk pohon dan urat tanah.

 

mungkin dirimu,
“sesuatu yang berkarib dengan genangan air,
genangan laju mirip sungai,”
barangkali kau
“sesuatu yang dikutuk
untuk cuma jadi gema ladang”

 

kaukah seruan liar itu,
bakal membuat tali-tali hujan
menyambung diri dengan genangan air?

barangkali kau cuma seekor kecebong,
atau mungkin kunang-kunang sepi
yang mengetuk tiap pintu pohon
untuk bertamu
dan bertemu kekasihmu

Jalan Tunggang, 2008

 

DURI DALAM KOPI

 

masokhis. sebut aku duri dan kau akan menemukanku

sebagai lelaki tanpa mata hati, lelaki di gulungan ombak

lelaki yang berseluncur lewat matamu. sebab hari telah

lain, sayang, rinai telah membenamkan pulau-pulau kita

dan kau berdayung dalam diri yang amuk. tetap aku duri

menusuk waktu dengan lirikan yang runcing

 

sadistik. menemukan lurah berbatu, kita. matamu yang lain

menelan jejak di sepanjang jalan. dedaun itu remuk

dan sisa kopi dalam plastik tinggal dedak, juga bayangan silam

lurah telah mengubahku jadi maut, sayang, dan percakapan

akan kutelan sebagai lengah yang tertinggal

Kandangpadati, 2007

 

TIDUR TANAH

semalamam kuurai cara pucuk daun tersumbul

untukmu. lewat puisi yang gemetar berucap aksara.

kelak, di sesak kamar yang tak berjendela ini

seketika lafalanku fasih

tentang akar sampai pucuk batang

kan kubentangkan tubuh rimba

dengan aroma daun dingin

di tidur tanahmu yang padat

Padang, 2007

 

SELEPAS BERTEMU

kau lepas lembah arau kau lepas lembah anai

ingatanmu gumpal di lekuk tebing di landai pantai

*

kami lepas lambai kau ingatlah panjang jalan

sajak harum bakal orang mencium titip di tiap kelokan

dan bunyi saluang dan tuah dendang bawalah

agar kau ingat pada ranah tempat raja pernah bertitah

*

di bukit jirek nan penuh jejak sepatu orang-orang bersenapan

kau ceritakan muasal sakit nasi kapau dalam tiap suapan

 

kami lepas lambai kau ingatlah panjang jalan

tentang tuan yang merebus daun kopi agar dibiarkan

 

dan bunyi ketipak terompak kuda penarik bendi

suatu kali bakal jadi gaungan lindap dalam setiap diri

*

agar kau nikmat agar kita bersua di lain masa

simpan dulu pandangan lama lepas dulu kedipan mata

isyarat pecah bulan dan terserak di batang kuranji

 

kulantunkan itu dendang agar kau tak memutus tali

kami lepas lambai kau ingatlah panjang jalan

dari penyeberangan bakal tersiar kabar persuaan

 

dan melupa dulu melupalah dulu tiap kelokan yang diingat

biar mengurung itu rindu lalu jadi buncah yang teramat

Kandangpadati, 2008

 

GAUNG DI BADAN

sekiranya suara itu tak menggaung dalam badanku

suara yang himbau-menghimbau, menjagakan tidur

bahkan membuat geletar di lamunanku – geletar emak

yang menyauk gelegak air nasi, tersebab tangisku

lengking di kering air dadanya – takkan jadi ini puisi

 

bukankah aku tualang di tajam lidah hikayat berpisau

mematah risau yang memucuk tumbuh cerita baru?

kuraut batang bermiang, rindu berkasih. juga tubuh

berminyak air ini kugulai sebagai hidangan, peneman

para tuan dan nona di lepau, sambil bergelak-tawa

aku tak bersilat lidah di nasibku yang tidak

cuma merindu, tentang kampung, lalu lalang

orang orang bingung di jejalanan, koridor dan

ruang kelas. di mana percakapan mengenai waktu

selalu digenangi kopi dan keripik ubi

 

sekiranya suara tak menggaung dalam badanku

puisi tak akan mau berkekasih

Kandangpadati, 2007

 

SETUSUK SAJAK

aku akan datang padamu, sebagai pemikat balam, atau

sebagai pemanggul kayu hutan yang senantiasa berdiri setia

di belakang guyuran hujan. meski waktu berlalu serupa

nasib yang gagal menyusun kusutnya benang kenangan

aku akan tiba padamu menyerupai bentuk kayu, batu

atau sayap kecil yang baru ditumbuhi bulu

 

kuberikan bahasa, sebagai pengirim pesan yang berkabar

lewat bunyian. kuberikan makna, agar kau selalu tahu

hendak ke mana jalur angin mengantarkan basah air

yang hilang dari gerai rambut panjangmu

 

barangkali kau akan hafal sudut kecil dari lukisan abadi

yang setiap saat selalu kukuaskan padamu. “si pemikat balam

atau si pemanggul kayu hutan. lihatlah, agar suatu kali kau

sadar bahwasanya apa yang telah dibenamkan waktu, sulit

untuk dihela kembali.”

maknailah. aku sendiri tak tahu, apa harus saat ini datang

jalan ini terlalu lapang. sebagai apakah aku harus menemuimu?

2008

 

PENARI PIRING

berulang kali diri membilang bunyi piring diketuk kulit damar

saluang ditiup pula oleh para penghela dendang. di mana rahasia

kejadian lama disurukkan? di salempang induk beras, di kopiah

tuan kopi, atau di saku baju para penggetah burung rimba?

 

dan masih suara piring diketuk kulit damar, tingkah-bertingkah

dendang tanjung sani dinyanyikan. tapi alamat diri tetap hilang

terbuang di panjangnya jalan. jalan yang bertarian dua badan

nan dipisah antara rantau dan kampung. apakah itu

bayangan laut tempat pecahan piring diserakkan?

Kandangpadati, 2008

 

ORANG LADANG
tujuh petang menukak punggungnya, di bukit
ingin mencakau alang-alang. niat tinggal kalimat
tujuh petang gigih menikam, menyansam,
mirip ragam umbi yang ditanak dalam periuk
teruka ini tinggal batas, tinggal jejak, sebab di bukit
ia tumbuh dan menyusup ke dalam lempung tanah

tujuh petang menukak punggungnya, di ladang
ada yang tak pernah hafal desau biola, segelas anggur
atau niat untuk membangun rumah pasir di tepi pantai
sebab ia orang ladang. ia lesap ketika mengejar tupai dan beruk,
dia rapal musim petik kopi
dan ketukan yang berkali pada pintu dangau
ia tahu siapa yang tiba

maksud hanya menukak tanah lalu tanam. menanam
lalu petik. tapi sepi berkuasa terlalu dalam
ia ingin bertuju pada sebuah jalan batu, simpang
dengan udara masam, ilalang kering merabuk
ke sebuah tempat di mana tupai dan beruk berdamai,
bersamanya. mereka akan berkejaran di bukit
dalam botol anggur,
lalu mereka akan lelap di desau biola

tujuh senja adalah ia yang ingin berladang
pada sebuah tanah yang bernama puisi
yang berlari, yang terhenti, ia tetap orang ladang
Kandangpadati, 2008

GARIS LADANG

di ladang kita berpandang, bersahutan suara, saling berebut

tali puisi. ladangku rumpang ladangmu lempang. hah,

jadinya aku cuma bertanam rumput gajah. biar dijarah

perempuan malang yang di pinggangnya terselip sebilah sabit

(aku tahu ia bakal merambahnya secara diam-diam bila

seminggu saja aku tak berkunjung ke ladang) sebab matamu

merah apel, dan di sini aku tak bisa membibitnya. tapi bakal

kusayat dalam perih, kuiris dengan tajam. sebab jemarimu

telah biasa menujah pucuk kopi dan kulit manis

di tiap musim bertukar

 

dalam manis tebu, dalam pahit empedu, di mana garis

ladang bakal bertemu dengan lagu yang menandakan

dinginnya suara gunung? orang kata cuma di silungkang

tempat bertenun adalah mengasah waktu, tempat perempuan

berparas kelabu dan senyum yang makin batu. di sanalah

cerita dingin yang teramat dijahitkan. dengan benang ragu

 

tapi bukankah di air lembah, dingin juga menujah? biarlah

lurah bersuara tentang puisi yang direbut malang. tentang

peristiwa sunsang, peristiwa yang berlainan perut, peristiwa

yang saling menikamkan usus. dan semua itu berupa tali puisi

yang dipintal secara pasi, dengan tangan masih disusup gabuk

aku jadi si peragu, jadi gugu, di lambungku tertanak batu. sebab

kita dua ladang yang bersahutan garang. dan cuma di puisi

beradu suara. sebab matamu merah apel dan aku telah

bertanam rumput gajah. mengingat ulah seorang perempuan

yang di pinggangnya terselip sebilah sabit. tapi tak apalah,

tali puisi bakal memanjang

biar diulur dan ditarik setiap kali bersahut diri

Kandangpadati, 2008

 

CANGKANG
begitu desau biola lembab itu
disapu habis bulan yang basah
maka terlantar pohon-pohon
untuk melebarkan daunnya
di luar masih basah,
lembab juga belum tentu
bakal menetaskan
telur-telur ingatan kita

yang terpaut dalam cangkang cuaca
yang makin asing bermain selimut.
aku menginginkan sepi yang dulu,
bahkan berkali-kali sepi
berikanlah,

tapi bukan sepi telur
dalam cangkang di musim basah.
Kandangpadati, 2008

JALAN PUISI
fragmen 6

—daun
jemariku angin, tak kuusap pipimu yang daun
kumasuki pokok tanpa mengetuk helaimu
ah, kularikan sajalah hijaumu.

—pantai

tepianmu yang pantai kujejaki
seiring laut menipu dengan pasangnya
adakah gelombang memberi tanda?

—jalan puisi

jalan puisi. yang menyebut kedalaman
kekasih yang menjemput puisi. bak urat bakau melembab
dan getah pekat yang menyekat hari

YANG BERSAHUTAN DARI TANJUNG
sepasang kekasih
saling berebut maut di ujung tanjung
sepasang kekasih
saling menghela kalut dari arah laut
sepasang kekasih
saling menikam sayang dengan tajam kerang
sepasang kekasih
tak jadi berpadu sebab malam dipasung badai

 

tapi siapakah gerangan yang berani bersahutan dari
ujung tanjung? (tempat para hantu
menanggalkan kepalanya)

 

kulihat ada seseorang yang ketakutan, ia menyuruk di balik
rimbun rumpun betung sambil memanggul pisau panjang
yang karatan. ia menatap ke arah angin datang dan
berseru, “hei tuan yang berparas hantu, raja para rompak
dan bandit, dimanakah si sayang dimakamkan setelah kau
selesai berucap: kumaling jantungmu!”

Harau, 2008

 

 

TENTANG ESHA TEGAR PUTRA
Esha Tegar Putra lahir di Solok, Sumatera Barat, 29 April 1985. Besar di Nagari Saniangbaka, nagari kecil di tepian Danau Singkarak. Puisinya tersebar berbagai media nasional dan daerah. Buku puisinya berjudul Pinangan Orang Ladang (2009). Studi di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang.

 

/SETUMPAK SAJAK/

darimanakah rima pantun berbunyi bersibantun

kalaulah bukan orang jauh yang melantun

duh, tubuh dipisah serupa ubi patah di tampuk

bilamana peristiwa lama tinggal gaung batang berlubang

—malanglah kita semua, yang lupa berpantun berseloka.

sungguh kita tak sedang memisahkan garam dari air laut,

tak sedang meremas asam di atas talam tembaga,

tak berusaha meminang unggas betina untuk si jantan.

aduhai berpantun…. memasang sunting-pasang kopiah

bagi nada ingatan yang hendak berpiuh dendang lama.

hei, orang jauh. dihela juga hendaknya kisah malang si anak dagang.

sambil menyeruput kopi dan rokok sebatang, mari mengingat

pulau pandan jauh di mata dan batang cempedak di tepi bandar

yang ditanam anak orang bukittinggi. agar pertalian lama terkebat erat

dan kalimat di gelanggang tak sekedar riuh persabungan ayam

pantun bakal menari, berpiuh setumpak sajak, berdekap kuat gurindam.

inilah pantun si anak dagang, menumpang di biduk rumpang

menyeberangi teluk, merenangi selat, agar beralamat

pada lengang kampung:

 

/SEKODI PANTUN/

ke pulau perca membeli lada

lada dibeli pencampur gulai

mulanya pantun hendak direnda

dari bismillah kita memulai

anak bincacak anak bincacau

pandai menggesek rebab pesisir

kalaulah tuan hendak meracau

janganlah pantun ini dicibir

pinang merebah ke parak orang

batang bergabuk digurik kumbang

perihal cinta minta diulang

berkalang tanah badan di petang

berkulik elang bukit langkisau

pertanda hujan segera datang

kalau direntang si benang risau

tak bakal terpijak tanah kampung

tuan kopi pergi ke padang

membeli baju corak melayu

mengapa dinda berdiri seorang

ingin rasanya kanda merayu

bujang pariaman pergi merantau

menggoda gadis sambil menggalas

dalam badan angin menghalau

sebab di kampung kenangan tumpas

disuruh ke surau mengaji nahu

malah rebana ramai ditepuk

ini derita siapa yang tahu

sebab di badan sakit menumpuk

parang dibeli di pasar lereng

bikinan orang tanjungbarulak

jikalau datang sakit meradang

diberi obat jangan menolak

pisang setandan masak didulang

peneman duduk kita di lepau

inilah pantun pengiring dendang

untuk diingat bujang di rantau

teluk bayur di pantai padang

labuhan olanda dan orang siam

janganlah buruk pantun dipandang

bakal peredam rindu yang dalam

tuan datuk makan di lepau

rendang dipesan dendeng yang datang

dalam mimpi dinda menghimbau

makin memuncak rinduku kampung

kapal merapat di bandar muar

kapiten berdiri di ujung geladak

hendak dengan apa rindu dibayar

di rantau dagang belumlah tegak

membeli kambing di muarapanas

pasarnya ramai alangkah riuh

kiranya cinta dimana bertunas

biarlah rasa menunjukkan arah

anak ayam main di semak

diintai musang berbadan legam

dalam hujan ingatan merebak

dinda seorang bisa meredam

di tengah sawah angin merendah

layang-layang tak jadi terbang

di badan rasa sudah terdedah

harapan dagang bakal menghilang

bunga tanjung tumbuh di tepian

harumnya diarak angin gebalau

apalah arti di rantau sendirian

kesana-kemari tak ada menghirau

induk beras pergi ke pasar

membeli kemeja lengan panjang

dagang belumlah cukup besar

masih terkejut dihardik orang

berliku jalan ke bukittinggi

di lembah anai singgah dahulu

jangankan dagang terbang meninggi

di rantau masih menahan malu

tegak menjulang gunung merapi

kokoh merentang gunung singgalang

jikalau dagang tidak menepi

alamat badan benar menghilang

ke bakauheuni kapal disauh

dari merak kita menumpang

inilah pantun si orang jauh

bakal pengobat rindukan kampung

Jalantunggang, 2009

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler