Skip to Content

PUISI-PUISI F. RAHARDI

Foto SIHALOHOLISTICK

GAMBAR-GAMBAR DI DINDING KAPEL

gambar-gambar kecil di tembok kapel

sangat banyak berkata-kata padaku

tentang jamannya

tentang tangan-tangan yang menggarapnya

ada lampu-lampu

ada jendela-jendela yang mengantar sinar

            dari luar

dua-duanya membantu

berjam-jam mataku terpaku

badanku pun makin gemetar jadinya

menatap tokoh-tokoh di gambar itu

betapa besar mereka

betapa banyak yang dikatakannya

dan kami menjadi domba-domba yang bodoh

terperangkap

di kapel yang kecil ini.

Sukabumi, 3/11-‘74

 

SIGRAMILIR

tembang megatruh

mengalir dari ubun-ubunku

empat puluh buaya

empat puluh dewa

menanggalkan jubah-jubahnya

dan dengan jimat tergenggam

menyergap kurban-kurban

bunga kantil jantan

bunga kantil betina

sepasang sirih dan madu mawar

dikunyah dan dihirupnya

dalam derap lamat-lamat

surga pun tersingkap

18 Mei ‘74

 

HUJAN DI PENGHABISAN MUSIM

laksana kepingan mawar yang putih

langitpun mekar dan rontok

di atas kota itu

matahari mengibas-ngibaskan jambulnya

yang basah dan lembab

tak ada yang dapat ditertawakan

tak ada yang patut kita tangisi

jenguklah

dari jendela kamarmu yang longgar

seekor camar melintas di udara

di antara tetes-tetes yang malas

anginpun habis

dan dahan-dahan mahoni

mengacungkan canggalnya

lurus ke atas

Sumowono, 1974

Pernah dimuat di Harian Kompas, 6/1-76

 

GUNUNG SAKARINI

1. malam hari :

bagai cahaya pecah di jelaga

seperti pancaran obor di lapangan

sebuah desa kecil mengertap di gigirmu

gajah yang lelah, terbungkuk-bungkuk

            melangkah

beban yang menghimpitmu lumayan beratnya

kandang sapi yang gelap

ladang-ladang kurus

sebuah gubuk penunggu jagung

alangkah sepinya

perapian itu – sepinya.

 

2. siang hari :

tak ada yang ganjil di tempat ini

batang-batang sengon mengejang di tanjakan

jalan setapak ke desa

laki-laki memikul tahi sapi

begitu setia dia pada keyakinannya

pada matahari, pada musim

pada impian-impian di tikar pandan

di kelokan, alang-alang liar berdansa

            dengan angin

tak ada yang ganjil di sini

tak ada yang aneh di tempat ini

tak ada

16 Mei 1974

Pernah dimuat di Harian Kompas, 6/1-‘76

 

ZOHRAH PAGI DAN SEBUAH HALTE BIS KECIL

bercahayalah ia di gelap remang begini

membelalak : biru-hijau-kuning-merah

tenang tak berkedip-kedip

di gelap remang begini

meretih dahan basah daun dijilat api

kami nyalakan lagi unggun ini, perdiangan ini

bangku-bangku tunggu yang bisu

dan di atasnya kami berbaring dengan lesu

dan kelihatanlah papan-papan hitam

pengumuman tentang was-was akan arti-arti

            mimpi

di jalanan kota ini

deretan rumah, bangunan-bangunan sekolah

toko-toko kecil yang diam, kantin yang sepi

di aspalan ini embun pun mencair

bau semu : warung-warung kopi

            kedai-kedai nasi

pelita jaga yang sunyi

mengapa Kau ijinkan

roma kami tegak berdiri

dihantui ketentuan-ketentuan hari nanti

dan teka-teki tentang nasib anak-istri?

taksi itu membatu di trotoir

siapa bersama sepoi dingin ini?

sunyi : anjing-anjing di tempat sampah

dan sisa-sisa malam berangsur-angsur

ia kabur

di langit arah timur

Boja, 14 Juli 1969

Pernah dimuat di Majalah Basis, September 1972

 

SI SEPI

kupotong si sepi dengan

gergaji kubedah

kuremuk kuamuk

si sepi yang

hampir mati

kubunuh

kusempurnakan

sepinya

1975

Pernah dimuat di majalah Horison, April 1978

 

PASAR BOGOR

ada beberapa onggok rambutan yang kuning

di pinggir jalan

ada beberapa buah kol di keranjang seorang ibu

ada beberapa buah los sayuran yang ramai

dan sesak

kios-kios rokok, toko-toko kelontong

dan di sebuah tikungan seorang tukang sampah

kecapaian

terlalu berat beban yang dipikulnya

sebuah gerobak dorong; beberapa buah sapu

anak-anak kecil dengan cepat berlalu

berjingkat-jingkat mereka

menyelinap di kerumunan orang-orang itu.

Bogor, Januari 76

Pernah dimuat di Harian Suara Karya, 6/2-‘76

 

DALAM BIS

angin dan langit bersatu di jendela bis

suhu merendah dan seorang ibu yang tua

terbatuk-batuk di depanku;

senja makin lama makin kekal rasanya

tikungan demi tikungan – tanjakan yang terjal

apakah artinya sebuah perjalanan?

hanya untuk memuaskan keinginan atau

sekedar menuruti langkah kaki yang tak

tentu ini?

akhirnya sama saja; mereka yang diam itu

atau yang hanyut dalam obrolan yang

mengasyikkan

sopir serta kondektur itu

menyerah pada sang waktu

betapa sepinya; mereka itu turun satu persatu

tanpa menoleh

tanpa bertanya ini atau itu

dan tak satu pun yang menegurku.

Bogor, Januari ‘76

Pernah dimuat di Harian Suara Karya, 6/2-‘76

 

SEHABIS NONTON JAM DUABELAS

seperti dilepas dari kurungan

kamipun bubar dan bergegas

mengenali wajah-wajah kami sendiri

di aspalan yang keras

lampu-lampu sudah surut sinarnya

pintu-pintu sudah terkancing seluruhnya

haruskah aku menuju ke rumah itu lalu

memanggili namamu

o, malam

tangan-tangan dingin di atas pundakku

langkah yang letih

lorong-lorong mengejang

dan patah di tikungan

Amb. 15 Mei 1979

Pernah dimuat di Harian Kompas, 10 Juni 79

 

AKU RINDU

itu sudah sejak dulu

tapi karena yang kurindu jauh

: jauh sekali

maka dengan bermacam akal

kuhibur diriku

aku menyanyi

kuhibur kupingku

aku nonton

kuhibur mataku

alangkah baiknya nyanyian dan tontonan

tapi aku rindu lagi

lalu akupun menghibur

tapi rindu lagi

dan sebab akalku habis

aku menyerah

lalu berindu-rindu.

3 Februari 1975

 

SELAMAT TINGGAL SUSTER ANTON

tapi itu tak kuucapkan; aku hanya diam

dan tanganku pun tak sempat kulambaikan

ketika dia turun dari delman

dan matahari masih di antara pohon-pohonan

aku hanya bisa tersenyum perlahan

begitu kaku

o jarak

sangat jauh kami kau pisah-pisahkan

dia berbaju putih berkerudung putih

erat-erat memegang tasnya

mengapa

mengapa tak ada yang bisa kukatakan padanya

mengapa aku hanya diam saja

mulutku terbungkam – sekat terkutuk

hanya hatiku bisa berbunyi

selamat tinggal suster anton

lirih sekali.

Jakarta, 5/11-‘74

 

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

tubuh seorang laki-laki diukur dan ditimbang

berapa panjang dan berapa besarnya

ini penting

supaya dia dapat melihat, apakah dirinya

terlalu kurus atau terlanjur kering

jadi mudah untuk menentukan langkah-langkah

selanjutnya bukan?

 

tubuh seorang wanita dicoba dan dicatat

berapa lebar dan berapa besarnya

tidak usah malu

supaya masyarakat tahu mengenai dirinya

cukup kuat ataukah sangat nikmat

hingga nantinya tidak terjadi

salah paham atau yang lain

mengerti?

 

tapi yang paling penting

laki-laki dan perempuan harus diikat

dan ditempeli kartu di dada kirinya

sebagai tanda

apakah dia benar-benar jahat

atau hanya terlibat

1975

Pernah dimuat di Majalah Horison, April 1978

 

SUATU HARI DI BULAN JANUARI

seratus ton kapas yang putih dan ringan

dihalau angin dari pohonnya

dan diterbangkannya ke langit

berbondong-bondong

 

seratus ekor gagak yang hitam dan gelap

melayang-layang di langit

mengikuti arak-arakan kapas

sambil menjerit-jerit

 

langit pun menjadi pucat dan gelap

karena angin

arak-arakan kapas

dan gagak.

26 Januari 1974

Pernah dimuat di harian Kompas, 6/1-74

 

APA YA SEBABNYA, APA

apa ya sebabnya

kata-kata itu kok penting

dikumpulkan dan dibundel jadi kamus

begitu aku bertanya pada yang ahli

tidak pernah dijawab

aku pun kemudian pulang dan dingin

 

apa to sebabnya

malang ayam kok dipukuli

apa to salahnya

sopir oplet kok dicacimaki

begitu tanyaku pada yang berwajib

aku dijawab

lalu pulang dan ngantuk

 

sebabnya apa to

he, sebabnya apa

aku kok selalu takut

was-was saja

akan ada kejadiankah

aku tidak bertanya pada siapa-siapa

dan bersetubuh

 

tuli semua

orang-orang ini

apakah rusak kupingnya

yang kiri

apakah terganggu

yang kanan

tidak bisa dipakai

aduh oom, aku cinta

 

yang bersangkutan harap hadir

yang berkepentingan supaya maklum

yang bertanggungjawab siapa sih

ada kejadian kok diam

apakah sulit berkata

atau sedih

begitu aku menuduh khalayak ramai

semua ramai dan semrawut

 

memang sulit hidup bersama

di asrama misalnya

tidur malam jam sepuluh

di penjara misalnya

mereka main bal

dan aku sebenarnya ingin sekali bertanya

atau ke surga atau ke neraka ya

aku ini kelak kalau mati

dijawab tegas

aku letih dan rematik

apa sebabnya, apa sebabnya

jawablah

mengapa matahari terlambat

mengapa kata-kata

kalau dibandel menjadi kamus

rahasia apa gerangan

yang tersimpan di sana

rahasia gaibkah

aku bertanya-tanya begitu pada diriku

tidak dijawab

aku mencret di sawah

dan tersenyum

 

apa ya sebabnya

apa to yang sebenarnya

telah terjadi pada diriku

selama ini

jawablah

 

sebabnya saja

aku ingin tahu

ini kok begini

ini kok begitu

sedang yang lain kok

tidak sama

begitu aku bertanya pada yang tahu

dijawab

tapi lucu dan tidak masuk akal

aku meringis

 

maka akhirnya aku bertanya

pada yang maha tahu

apa to sebabnya diriku ini

kok begini

dan tidak begitu

hanya sepi

maka aku pun kesepian

dan

muntah-muntah.

3 Peb. 75

Pernah dimuat di Majalah Horison, Juli 1977

 

HALO – DAN DIA DIAM

kabarnya

dia berkerabat dengan hujan

(hujan yang bagaimanakah yang dipilihnya)

hujan gerimis, rintik, kecil-kecil

hujan angan-angan

hujan keras

hujan badai besar-besaran

atau renyai saja

dan datang sore-sore

jatuh di ladang

bertaburan di hutan

menyemprot kota-kota

membasahi rumah-rumah yang bocor atapnya

rumah siapa

di mana

di manakah letaknya yang persis

rumah itu

 

adakah tertera di peta

adakah tersurat di kitab-kitab

bagaimana mestinya sambutan itu

yang pantas

halo begitukah

 

dia berwarna hitam

(hitam yang bagaimanakah

yang bagaimana )

hitam sungguh-sungguh

dan gelap

seperti rambut binimu itu

atau hanya kelabu saja

hitam samar-samar

hitam sedikit-sedikit

hitam manis

dan tanganmu meraba-raba

makin sempurna

malam pun makin sempurna

matahari dan bulan

lampu-lampu dan bintang padam semua

di luar masih hujan

lengkaplah warnamu

hitam sungguh-sungguh

lalu kusambut dia sopan-sopan

halo

dan dia diam

 

dia bernama sepi

sepi yang mana

sepi yang bagaimana

sepi yang hebat

karena kita terpelanting ke mari

di bawah matahari ini

atau sepi kecil-kecilan saja

sepi yang ringan

yang datang sore-sore

di kala nganggur

lagi tak ada kerjaan

maka kusapa dia ramah-ramah

halo

dan dia diam

mengapa dia diam

mengapa tak bersuara

mengapa hujan

mengapa malam warnanya hitam

mengapa matahari dan bulan

mengapa lampu-lampu

mengapa bintang

padam semua

mengapa sepi

halo

dan dia diam

 

benarkah sepi itu nama aslinya

atau hanya samaran

sekedar titel

embel-embel yang manis

julukan yang angker

hanya kau yang tahu persisnya

halo

ngomonglah

dan dia diam

 

atau kuping kita yang rusak

atau mata kita kurang awas

atau teguran kita tak sopan

atau yang mana yang salah

halo

jawablah

dan dia diam

 

karena dia bernama diam

karena memang tak dapat

bersuara

begitukah

karena bisu

karena belum tiba

waktunya

waktu

(?)

waktu itukah yang harus kita tunggu

apakah yang kita tunggu

mengapa kita tunggu

dia

 

siapa

siapa dia

halo

dan dia diam

4-12-‘73

Pernah dimuat di Majalah Horison, Agustus 1975

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler