Skip to Content

PUISI-PUISI FAISAL KAMANDOBAT

Foto SIHALOHOLISTICK

MISTERIUM TREMENDUM ET FASCINANS

segalanya telah terungkap

walau kita tertahan kebisuan

matamu mengatakan segalanya

lebih dalam dari bayang-bayang

yang menampilkan cahaya

 

tak perlu darah menjadi luka

tak perlu bunga dibebani makna

kau dan aku sepasang isyarat

yang menjalin ada dan ketiadaan

dalam hasrat penghabisan

 

waktu kehilangan jejaknya

ruang tak dapat memutuskan

di mana kita berada: pertemuan ini

memusnahkan kau dan aku

dalam pengalaman di seberang dunia

2004

 

LELAKI DI ATAS BUKIT

Buat Acep Zamzam Noor

 

aku membayangkanmu

berdiri di atas bukit

dengan telapak terluka

seperti nabi golgota

menuai kudus

dalam ayat yang murung

 

di sana mukamu kalah

lenganmu pecah

dadamu dihunus sajak-sajak

matamu terbius matahari

mulutmu yang terbuka

seakan menyerap dunia

ke dalam duka

 

aku ingin menjabatmu

tapi tanganku tak diberkati

aku ingin mati bersamamu

tapi aku tak punya tuhan

yang mewartakan penyelamatan

 

aku terberai di mana-mana

kesetanan kata-kata

di lindap mataku

sajak-sajak tertimbun

bagai maut

di kakiku bayang-bayang

mencabik-cabik langkahku

 

aku menyebut namamu

saat darahmu berlayar

menuju taman lambang

di mana kudapati sosokmu

terbaring dalam hening

menunggu tuhan bertindak

untuk memeras lukamu

jadi puisi mengalir

2003

 

AKU MENCINTAI KALIAN

aku mencintai kalian

yang setia pada kesunyian

aku ingin menjadi bagian

dari malam-malam kalian

yang panjang serupa sungai

menyentuh rasa lapar

bagai ciuman di urat leher

 

pada kesunyian

kita bersandar hidup

pada kesunyian

kita dipertemukan

seperti urat-urat menyatu

di dasar jantung

seperti laut menerima

limpahan sungai-sungai

 

aku mencintai kalian

yang setia pada kesunyian

menunggu sebuah nada

jatuh membelah

seperti tetes embun

di punggung batuan

seperti puisi terkata

di rekah mulut yang duka

 

aku ingin mengembara

dalam kesunyian

mengarungi rasa lapar

dana menatap nanar mata kalian

seperti pulau terkepung lautan

dan tak seorang pun

berlayar di sana

 

sebab aku telah berada di sana

dengan puisi-puisiku

jauh sebelum kalian datang

membawa rasa lapar

dari lembah atau pantai:

pada kesunyian

kita bersandar hidup

dari kesunyian

setiap tindakan dimulai

2007  

 

KEBUN BULAN

inilah kebun

tempatku memimpikanmu

saat malam tiba

bintang-bintang berpijar

bulan di pucuk daun-daun

menggugahku

mengenangmu kembali

 

lebih halus dari engkau

merias diri sendiri

lebih ikhlas dari ibu

melahirkanmu di bumi

aku berkaca pada matamu

membaca sajak

sambil membuka

kamar-kamar jiwamu

 

langit terasa lebih rendah

dari yang dulu

tanah terasa lebih basah

dari yang sudah

bunga-bunga gaib tumbuh

di dalam hari

menjelma taman

tempat kita saling berbagi

 

sebelum angin pasang

mencemaskan

sebelum aku ditegur

satu kenyataan

bahwa kau gadis manis

sederhana

yang telah mati tertanam

2001

 

JERUSSALEM

dari bukit zaitun

kuusap kota berdebu

gedung-gedung lempung

seperti keramik tua

dengan anggur dan bedil

aku masuk ke dalamnya

darahku menetes

demi gaib iman

 

di istana sulaiman

kuat haikal dan kubah padat

bayangan balqis tengkurap

kota segi empat

menebarkan nazar-nazar sunyi

terluka

mengamini para nabi berdoa

 

di gang-gang gelap

firman tercecer

bagai arak atau mukjizat

saat daud bernyanyi

melunakkan besi

lalu musa membelah pantai

isa menghidupkan orang mati

dan anak quraisy naik ke langit –

nabi-nabi datang

membius batu dan binatang

 

jurussalem

arakan orang ziarah

raut pilu paras tengadah

dalam sembahyang minta surga

demi iman

saling menista dan menikam

1998

 

 

BAYANGAN

sebelum aku pergi darimu

dan melepaskan lenganmu

dari lenganku

sebelum kita berjarak

dan di antara kita

cinta yang besar tergeletak

seperti mayat memohon ampunan

dengan lengan seputih awan

atau garam

 

pada saat itu kita tak peduli

peringatan yang ditiupkan angin

atau gelombang atau planet-planet

meski kita telah mendengar

lewat ribuan peristiwa

yang mengalir di darah kita:

bahwa cinta, dan mungkin hanya cinta

membuat manusia tak punya cukup mata

atau telinga atau hati

untuk mempercayai bukti-bukti

 

kita tak lagi merasakan lapar

yang memekik di jalanan, hutan

atau di dalam diri kita

seperti naga yang bahagia,

kita tak lagi percaya

pohon itu tumbuh dan sungai itu ada:

segalanya khayali,

juga bumi yang dipijak

tak hanya dengan kaki

tetapi juga tangan, jantung, kepala

yang tegak bagai batu

 

kini, setelah cinta

dibiarkan menanggung sekarat

pada leher dan tulang-tulangnya,

setelah cinta tak ada lagi yang memeluk

dan mempercayai,

segala yang dulu khayali

membuka telinga dan mata kita

yang diliputi kemayaan

 

segalanya kembali nyata:

matahari melewati almanak

dan hari-hari melintas

bagai kawanan burung

sungai-sungai mengalir di bawahnya

menampung batu yang sekeras bintang:

tapi di mana aku di tengah semua itu,

dan di mana kau dapat kutemukan?

 

sementara dari balik kehilangan besar

yang kita tanggung

dua lengan putih menggapai-gapai

bagai tangan kematian

mengaduk-aduk dada dan perut kita

seakan tengah mencari surga,

roti, atau apa saja yang tersisa

dari pertemuan panjang yang sia-sia

 

tak ada banyak pilihan

ketika cinta dan kematian

telah menjelma sepasang lengan:

kita hanya bisa memainkan

satu adegan: kita biarkan mereka

mengambil hidup yang kita kenakan,

sedang dari mereka akan kita curi

sepasang jiwanya yang abadi

2006

 

MASA TUA

Buat Max Arifin

 

langit terbuka, malam pun turun

menaruh masa tua di kepalamu

bagai piala pemberian orang suci

sepulang jauh mengembara

bersama matahari dan bayang-bayangnya

 

demikianlah waktu memahat hidup

menulis nasib di mana saja

waktu adalah pena liar

yang mencatat setiap peristiwa

di urat dagingmu yang lembut

tintanya terbuat dari darah

yang merah oleh luka

 

suatu kali kau menatapku

seakan tengah mencari masa muda

yang pernah akrab dahulu

namun kau tak menemukan apapun

selain seorang remaja yang takjub

menyaksikan warna maut di rambutmu

 

aku ingin menyentuh warna itu

tetapi sang waktu mencegahku

dengan tongkat kebesarannya

 

di bawah bintang redup

kau bacakan sebuah buku

yang berkisah tentang padang pasir:

tuhan menggelar alam ini untuk kita,

katamu, dan kita sepasang musafir

yang meratap, tersenyum, dan bernyanyi

menyaksikan siang dan malam

berguguran di belakang

 

lalu kau tutup buku itu –

seperti puisi, hidup ini sederhana:

aku tak perlu takjub padamu

dan kau tak perlu gemetar menatapku

2005

 

 

ALANGKAH TOLOL PATUNG INI

alangkah tolol patung ini

membiarkan matahari lewat begitu saja

seandainya ku membuat siang

dari lampu neon

ia tak tahu bahwa itu mustahil

 

bagaimana menjadi manusia

kalau tak tahu terbuat dari debu?

telah kucipta jasadnya dari tanah

tapi patung ini tak juga

menjelma diriku

 

sejak itu aku percaya

batu pecah akan berdarah

memancarkan duka

dari takdir keheningannya:

betapa sakitnya menjadi batu!

betapa sakitnya menjadi mayat!

aku tak tahu

yang kutahu darahku merah

dan menghitam saat tubuh ini membatu

 

menarilah segala yang tak kekal

menarilah aku menerbangkan nyawaku

betapa telah kupanggil mautku sendiri

melalui patung batu ini

kucari-cari bintang pelipur

di sekeliling mataku

tapi bintang adalah batu:

maut menyala di angkasa kosong!

2003

 

API

api itu cahaya

yang mencipta bayang-bayang

sosok gelap paling setia

membuntuti sang tuan

 

bagai maut menciumi

segala yang hidup

segala yang ada

menjadi dambaan ketiadaan

 

bukan mimpi

aku menulis puisi ini

bukan pula api

2001    

 

WASIAT

kata-kata, aku tak mampu

hidup lebih lama darimu:

teruskan hidupku

gemakan jiwaku yang punah

 

dalam mati kata-kataku bernyanyi

mengantar darahku yang hilang

 

kata-kata, aku tak mampu

hidup lebih lama darimu:

tiuplah seruling di hati yang patah

sentuhlah bibir yang rindu bergetar

 

kata-kataku hanyut di masa depan

meninggalkanku dengan lambung tertidur

 

jika kau dapati kata-kataku

tergeletak di tepi jalan, tegurlah

maka aku yang telah mengabu

akan berdenyut dalam jantungmu

2003

 

TENTANG FAISAL KAMANDOBAT

Faisal Kamandobat lahir di Majenang, Cilacap, 31 Desember 1980. Menempuh hidup dengan nyantri di pondok pesantren di beberapa daerah: Magelang, Kediri, Tasikmalaya, dan Yogyakarta. Sejumlah puisi, esai dan prosanya pernah muncul di Kompas, Suara Merdeka, Koran Tempo, Media Indonesia, Bali Post, Minggu Pagi, Jurnal Cerpen Indonesia, Horison, dsb. Juga dimuat dalam antologi bersama al. Hijau Kelon (Kompas).

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler