Skip to Content

PUISI-PUISI GUS TF SAKAI

Foto SIHALOHOLISTICK

MANUSIA CACING

Mencari tapal tuahku. tanya, tanya, tanya
Kehilangan tahun, musim bertarung dengan cuaca
Ambar di jalan, kesturi di halaman, dupa di taman
Jadi debu di tangan. “Permainan?” tanyamu. Aku orang
Tak berlabuh, buat apa tahun jika kita tak saat. Hanya
Sari hidup (batas) cinta dengan akhirat
Tahun keluar dari orbit
Perjalanan yang luas, keluhmu. Satu titik. Tanya,
Tanya. Siapa menyambung apa, memburu perburuan apa
Dagingku (beraga) di atas sukma berjiwa. Makna,
Kuliti aspal jalan raya. O traffic light
Hendak ke mana
Tahun keluar dari manusia
Tanya, tanya, tanya. Cacing saja

 

KITA PERNAH

Kita pernah berkenalan. Musim hujan, air
Memanjat selokan. Sebut aku kepasrahan,
Katamu, timbul-tenggelam dalam genangan
Dalam genangan, api menjilat rumah-rumah jamban
Wajahmu pucat, dan ketakutan. Sebut aku ketabahan
Katamu. Kayu dan arang mengerut dan mengerang. Engkau
Kemanakah bakal pulang? Berhari-hari berbulan-bulan
Kutunggu kau di koran-koran
Di koran-koran, seperti biasa, kau tidak ada. Gedung
Gedung didirikan dengan ketenangan. Demikian indah
Begitu megah deras pembangunan. Kota-kota tumbuh
Dari kegaiban. Tapi kita
Tapi kita pernah berkenalan. Berulangkali

 

HAL TAK PENTING

Kami tidur setiap malam seperti kami bangun setiap pagi.
Apa yang bisa kami makan hari ini?
Kentang, tomat, daging, kiriman roti dari Bakery.
Semur, opor, sup, sangat cocok dengan nasi.
Ada juga keripik ikan pari, cemilan kami setiap kali duduk di depan televisi.

Kami duduk di depan televisi seperti kami duduk di depan kerabat.
Lihat.
Leher koyak, kepala somplak, di kaki meja tergeletak sepotong kapak.
Adakah ia kapak yang kemarin kami pinjam dari tetangga?
Darah mengalir, menetes ke cangkir, memadat mengental
seperti agar-agar.
Lihat. Ia mengiris, dan mencowelnya, seperti kami mengiris dan mencowel mentega.
Ia menjilat, dan mengulumnya, seperti kami menjilat dan mengulum gula-gula.
Adakah ia memang rasakan betapa legitnya?
Adakah ia memang kerabat --bagian dari kami juga?
Kami tertawa-tawa.
Tergeli-geli seperti bukan dengan televisi.

Tapi selalu, setiap senja, seorang lelaki turun dari taman kota.
Dari pintu pagar, ia berteriak, ''Tidakkah mengherankan bahwa kita hidup?''

Sungguh tak penting.
Ia manusia.
Si gila.
Berita sore yang kami nanti: Seberapa banyak saham kami naik hari ini?
Payakumbuh, 1997

 

DAGING

Angkasa luas inilah yang menggelembungkan balon di kepalaku.
Bongkahan planet melayang, seperti gumpalan dada yang mengerang.
''Siapa Anda? Punyakah Anda secebis kisah tentang dunia? Tolong.''

Tidak.
Tak ada kisah tentang dunia.
Kecuali dongeng, semacam konon, yang diterbangkan oleh sepotong daging di jagat raya.
''Ini bulan, kuserpih dari seratku yang malam.
Ini matahari, kubeset dari kulitku yang siang.
Pada keduanya ada gerhana, tempat kau berpikir tentang tiada.''

Tentang tiada?

''Aku manusia! Diriku lahir karena ada. Siapa Anda?
Takkan aku bertanya kalau di mataku Anda tiada.
Takkan aku berkata kalau gugus galaksi gelap saja.
Takkan aku berpikir kalau semuanya sia-sia.
Siapa Anda?''

''Sudah mereka katakan aku cuma dongeng.
Sudah mereka katakan aku cuma konon.
Tapi aku daging. Daging, yang setiap hari engkau telan engkau muntahkan...''
Payakumbuh, 1997

 

ADAKAH

''Adakah engkau memiliki ibu?''
Sungguh ia sangat malu dengan pertanyaan itu.
Kata orang, ia muncul dari malam, dalam kelam, dari mitos penuh hantu.

''Adakah engkau memiliki anak?''
Sungguh ia sangat takut dengan pertanyaan itu.
Kata orang, ia punya anak tapi si anak tak pernah memiliki bapak.
Ia memiliki Putri, memiliki Putra, tapi tak pernah mendapat apa pun dari mereka.
Setiap malam, sebelum tidur, tak henti ia berdusta.
''Bu, dari mana kita? Mengapa kita ada?''
''Entah. Dari tanah. Tidurlah!''
Si Putra seperti tidur.
Si Putri Bagai mendengkur.
Si Putra mimpi jadi hujan.
Si Putri mimpi jadi genangan.
Tidakkah kita dari air?
Lihatlah. Cacing dan katak selalu muncul pada tempat yang baru digenangi hujan.

''Dari air!'' Si Putri tersentak dan berteriak.
Tapi si Putra, setiap pagi, tetap merasa bahwa mereka muncul dari televisi.

''Adakah engkau memiliki ibu?''
''Adakah engkau memiliki anak?''

: Ah, alangkah kacau pertanyaan itu.
Payakumbuh, 1997

 

MITOLOGI

Saat kanak-kanak, ia gemar melihat dirinya dalam cermin di kamar Ibu.
''Itulah kamu,'' kata si Ibu seraya menerbangkan seekor burung ke dalamnya.
Burung itu cantik, pupilnya terang, paruhnya merah muda.
''Sebagai teman, tentu, bila Ibu tak ada.''

Saat ia mulai remaja, cermin itu dipindahkan Ibu ke kamarnya.
Setiap ia berkaca, burung itu berkicau berputar-putar di atas kepala.
Apakah yang dikatakannya?

Atau adakah yang diinginkannya?
Bila dirinya tak ada, kadang ia merasa burung itu kesepian;
dan tentu menderita.

Saat dewasa, sebab entah sibuk bekerja, ia mulai jarang berkaca.
Burung itu, entah memang karena ia lupa, jarang pula tampak olehnya.
Bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, mereka bagai bukan bagian dari bersama.
Tapi suatu ketika, dalam usia separo baya, ia melihatnya.
Burung jelek, kusam, tak ubahnya kelebat suram dalam hidupnya.
Betulkah itu dia?

Kini ia telah tua.
Di depan cermin, pedih, ia sering merindukannya.
Burung itu -- burung itu, memang, sebenarnya tak pernah ada.
Payakumbuh, 1997

 

KARENA BUKAN ENSIKLOPEDI

Suatu ketika --entah bila-- aku bukan bagian dari alam raya.
Tentang apakah manusia tentang apakah dunia, bagiku semua kosong saja.
Tak ada pikiran tentang hidup karena aku tak bakal berurusan dengan mati.
Tak ada apa pun kata dalam bunyi karena aku bukan bagian dari ensiklopedi.

Suatu ketika --entah bila-- aku bukan bagian dari alam raya.
Anda melihat bintang, aku belum ada dalam kerlipnya.
Anda melihat laut, aku belum ada dalam ombaknya.
Adakah Anda, seperti mereka, mendapatkan belum dalam tak ada?
Setiap waktu, setiap ketika, mereka mendengar diamku dalam suara.
Melengking, merintih, jauh menuju tiada.
Payakumbuh, 1997

 

DAGING AKAR

         akhirnya, siapa kausebut kini: Si serat dingin

ataukah daging yang terjanji? Seperti takdir, sosoknya

rebah membuntuti. Hanya pada waktu ketika bergerigi,

akan bisa kutangkap ia: Saat mengerut dalam diri.

 

         akhirnya, siapa kautangkap kini: Si serabut mati

ataukah sel yang berjalin? Seperti lilin, nyalanya lirih

terpantul cermin. Hanya di pedih-akar ketika terpilin,

akan bisa kuraih ia: Jawaban lain untuk dunia lain.

Johor bahru, 1999

 

PENDATANG

         Nanti, ketika aku pergi, akan tiba pendatang lain

dengan kalimat lain. Mungkin mereka jelaskan, segenap

misteri kehidupan; tetapi tidak tentang mereka sendiri. Selalu,

kata mereka, “Ada lampu. Tapi bukan buat disuluh dalam diri.”

 

         Namun, karena bertetangga, kau senantiasa terus tergoda

untuk tahu tentang mereka. Ada kalanya lupa, tetapi lebih sering

kau saling suruh berbaku-hasut mendesak mereka. Sampai suatu ketika

mereka berkata, “Ada mitos. Tapi semua cuma dongeng tak berguna.”

 

         Besoknya, terkejut, kausaksikan semua: puing-puing hangus,

tubuh-tubuh gosong, rumah-rumah rata. Di tengah sangit udara, kau

tiba-tiba ingat kejadian semalam, dan berkata, “Lampu itu! Ada nyala

di dada mereka!” semua pun lalu menangis. Menangis, sejadi-jadinya.

Payakumbuh, 1999

 

MITOLOGI

         Saat kanak-kanak, ia gemar melihat dirinya dalam cermin

di kamar Ibu. “Itulah kamu,” kata si Ibu seraya melepaskan seekor

burung di dalamnya. Burung itu cantik, pupilnya terang, paruhnya

merah muda. “Sebagai teman, tentu, bila Ibu tak ada.”

 

         Saat ia mulai remaja, cermin itu dipindahkan Ibu

ke kamarnya. Setiap berkaca, burung itu berkicau berputar

putar di atas kepala. Apakah yang dikatakannya? Adakah

yang diinginkannya? Bila dirinya tak ada, ia merasa

burung itu kesepian; dan tentu menderita.

 

         Saat dewasa, sebab entah sibuk bekerja, ia mulai

jarang berkaca. Burung itu, entah memang karena ia lupa,

jarang pula tampak olehnya. Bertahun-tahun,

 

berpuluh-puluh tahun, mereka bagai bukan bagian

dari bersama. Tapi suatu ketika, dalam usia separo baya, ia

melihatnya. Burung jelek, kusam, tak ubahnya kelebat muram

 

dalam hidupnya. Betulkah itu dia?

 

         Kini ia telah tua. Di depan cermin, pedih,

ia sering merindukannya. Burung itu – burung itu,

memang, sebenarnya tak pernah ada.

Payakumbuh, 1997

 

SETIAP TERJAGA

         Setiap terjaga, ia berkata, “Celaka,

kenapa aku terbangun di tubuh yang sama?”

 

Tapi tidak. Setiap tidur, sel dalam dagingmu

menggeliat mengupas rupa. Selalu ia merasa

ada yang lekat seperti lendir, membelit,

 

dan terus membelitnya

 

         Setiap terjaga, ia berkata, “Celaka,

kenapa aku terbangun di zaman yang sama?”

 

Tapi tidak. Setiap tidur, waktu dalam dirimu

berderak memangkas dunia. Selalu ia merasa

ada waktu lain bagai gelambir, menjerat,

 

menjerat, tak henti mengepungnya.

Payakumbuh, 1998

 

BUKAN BAGIAN

         Suatu ketika – entah bila –

         aku bukan bagian dari alam raya. Tentang apakah manusia,

tentang apakah dunia, bagiku semua kosong saja. Tak ada pikiran

tentang hidup karena aku tak bakal berurusan dengan mati. Tak ada

apa pun kata dalam bunyi karena aku bukan bagian dari ensiklopedi.

 

         Suatu ketika – entah bila –

         aku bukan bagian dari alam raya. Anda melihat bintang,

aku belum ada dalam kerlipnya. Anda melihat laut, aku belum ada

dalam ombaknya. Adakah Anda, seperti mereka, mendapatkan belum

dalam tak ada? Setiap waktu, setiap ketika, mereka mendengar

 

diamku dalam suara. Melengking, merintih, jauh menuju tiada

Payakumbuh, 1997

 

USIA

maka tertahan aku: di bandul jam. Semua getar

melamban jadi gema. “Siapa

yang memecah kulit, keluar dari cangkangnya?”

 

dan kulihat engkau, tapi tak ada. Seperti bunga

dipindahkan: dari tangkai ke jambangan. Bagaimana

mungkin, kehilangan datang menaklukkan keberadaan?

 

dan aku meronta, mengerang dari dada. Secabik serat

melenguh: mengiris ruang dalam diriku. O, bagaimana

mungkin, masa depan menyurut, mengekal masa lalu?

 

maka tertahan aku: di bandul jam. Semua getar

melamban jadi gema. “Siapa

yang mengupas kulit, kelucas dari keriputnya?”

Payakumbuh, 1996

 

SI BISU, SI LUPA

         Letih mengembara, capek berkelana, akhirnya ia putuskan

jadi Si Bisu. Ketika itulah ia tahu: Tiap kali bicara, sebenarnya

mengurangi hidupnya. Maka mulailah ia tinggal dalam pikiran;

dalam kenangan. Menciptakan dunia sendiri, seperti musik

dibuntal melodi, melengkung-ngambang dalam ruangan

 

segala dekat dalam jangkauan.

 

         Capek mengembara, puas berkelana, akhirnya ia putuskan

jadi Si Lupa. Barulah ia tahu: Tiap kali mengenang, sebenarnya

getar riang kian berkurang. Maka mulailah ia tinggal dalam alpa;

dalam lupa. Menciptakan dunia kedua, seakan hidup kemarin

 

tak pernah ada. Dan ia mengulang, mengulang lagi kehadirannya.

Payakumbuh, 1997

 

 

TENTANG GUS TF

Gus tf lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat pada 13 Agustus 1965. meraih Sih Award dari Jurnal Puisi tahun 2002. Buku puisinya yang lain adalah Sangkar Daging (Grasindo, 1997). Sejumlah puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Arab dan Jerman.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler