Skip to Content

PUISI-PUISI HANNA FRANSISCA

Foto SIHALOHOLISTICK

PASAR BERINGIN

ingat bertahun lalu, nenekku bersanggul debu

menukar sepotong baju dengan sekerat daging

penuh luka

 

tiga kali bibirnya bergetar pucat

mengunci hentakan dadanya yang mencuat

menjaga martabat

 

“ada dewa dan leluhur di vihara

mengendap-endap dan mengambil keriput mataku

menjadi batu di surga,” begitu kau berkata

 

anak-anak tak boleh melihat

rahasia jahanam

dari ribuan mulut pasar saling melontar

riang terbang berkata: “ia pergi bersama lalat-lalat lapar!”

 

nenek dan surga berdiri dalam bayang ikan

subur telur menyerbu mata yang kabur

sayur dan bumbu

meledak dalam karung beras yang berhambur

menjadi hujan

 

ini bukan nyanyian nelayan

tapi pelayaran panjang

kolam liur yang berenang menjelajahi lidah

 

bulan-bulan lalu pergi

tahun-tahun telah lenyap

nenekku bersanggul debu telah hanyut

dalam sejarah asinan asam maram

serta kecut belacan yang diubahnya jadi daging

sehari-hari

dalam teduh mimpi, tempat bertumbuh

anak-anak kelak

yang akan berdoa

dengan mata sejernih

mutiara

 

“kulitnya menyusut, meninggalkan daging

dan membungkus bajunya kembali

pada asal ia dilahirkan.”

 

Jakarta, Januari 2010

 

 

PUISI KACANG HIJAU

: ibu

 

Tubuh berdenting

jatuh

di air bening

dahaga menderas

merebus hati

di dasar belanga

 

Dalam gelombang panas

Ibu menambah kuah gula dan kelapa

bersarung merah daster tembaga

ia titipkan matanya

dalam liuk api

yang mententeramkan cinta

 

Hijau kulitmu

biru api nasibmu

pecah biji kacang

satu persatu

 

Hingga senja tiba

menunggu usia binasa

Ibu menungkan seluruh dirinya

ke dalam mangkuk, lalu menitipkan anak-anaknya

pada hidup yang akan menjadikannya

dewasa

 

“Ini kacang hijau

atau hatimukah,

yang kami makan hari ini,

bersama Tuhan yang selalu

kauajak

bicara.”

 

Jakarta, Desember 2009

 

 

HARI KUE BULAN

ANAK PEREMPUANKU:

 

Bicarakan pada kue bulan

ini hariku terang dalam kelam

 

Atas segala yang dinamakan kasih,

Engkau memintal bayangan tepung,

dalam apung biji teratai,

manis gula, dan kacang merah tembaga

Untuk segala pesta meriah:

“Aroma pandan harum di taman,

jemputlah cerlang cahaya bersama malam!”

 

Kita ini tengah membagi cinta,

dalam kenangan airmata, yang jatuh

di gugur daun terakhir, di bulan purnama

hari kelima belas

Mengenang sembilan matahari

yang jatuh dipanah Hou Yi

Mengenang cinta abadi Chang Er

yang menyeru ke puncak bukit Kunlun

Mengenang Peng Meng

yang menelusup di peraduan Chang Er

--- Peng Meng pencuri

obat sakti hidup abadi

 

Maka Chang Er lembut berkata:

“Demi cintaku pada Hou Yi,

dan obat yang hendak kaucuri

aku minum sendiri penawar hidup abadi,

biar ragaku terbang menuju bulan,

tapi cintaku menerang

sepanjang zaman.”

 

Menyulut dupa di atas altar Dewa

kue bulan dan semangka,

Dewi Bulan di bawah malam

Anak-anak bergelak-tawa

di tali kasih antar saudara,

kami berdoa untuk keabadian keluarga

 

RUMAH LELAKIKU:

Bicarakan pada kue bulan

ini hariku terang dalam kelam

 

Engkau yang mengapung dalam amarah tepung

di atas tebaran biji teratai merah, kuning telur

yang pecah dalam belanga

Udara didih tungku, menguap aroma pandan

kue bulan mengeras dibelah empat penjuru

dimakan dalam hidang aroma dupa

mengambang engkau di bawah malam

meminta doa Dewa-Dewi:

 

“Perih hatiku di cerlang bulan,

Jangan biarkan nisanku dijejak perempuan.”

 

Minum arak di bawah bulan. Berjudi antar lelaki,

Tertawa untuk kerabat, gembira selamat untuk semua,

Sejahtera kita! berkah rezeki kita! umur abadi kita!

 

Aku membayangkan lelakiku telah menjadi Hou Yi

yang menikam jantung dengan sembilan panah.

Jika Hou Yi abadi menerbangkan raga pada matahari

dan membentangkan jembatan setia menuju bulan

dengan cahaya sepanjang malam;

maka aku biar berkata:

“Engkau yang menemu Chang Er pada hari kelima belas

di bulan delapan saat daun terakhir gugur!

Lihatlah sembilan panahmu,

telah tertancap di jantung perempuan.”

 

 Aku menghormatimu, Dewi Bulan

Tapi di rumah hatiku tiada harum

Tiada gandum yang berubah jadi tepung,

adonan kue keramat,

yang kelak diarak kerabat menuju altar.

 

Lihatlah didih tungku

yang mengembangkan kacang merah

menjadi tembaga,

leleh manis gula, mengental pada mata,

bulat kuning telur telah dibelah empat penjuru,

bersama semangka yang mengalirkan darahku:

hingga menyeru ke puncak bulanmu

 

Bicarakan pada kue bulan

ini hariku terang dalam kelam

Jakarta, september 2009

 

Catatan: Hou Yi dan Chang Er adalah suami isteri yang bernasib tragis dalam legenda kue bulan. Mereka merupakan simbol keutuhan keluarga etnis tionghoa. Hari Kue Bulan dirayakan pada bulan delapan tanggal lima belas dalam kalender Lunar, tepat di malam bulan purnama. 

 

 

KONDE

Penyair Han

menyanggul sajak

dengan bunga Padma:

 

"Tuan, sekepal jantungku berdegup mencarimu,

menggunting urat hasrat dari nafasmu,

dan Tuhanku mengajari menyimak,

mengejar lekuk yang kauasinkan dari hatimu.”

 

 

KAPUAS

Air Kapuas menyapu dedaunan

kering di lidah hitam berkerak

menjulur panjang. Aku mencari jejak perawanku

yang diterbangkan gagak menuju hulu

Riuh sepanjang tepian tempat leluhurku mengajari mandi

sebelum tiba umur berahi

 

Air mengalir. Air mengalir

Kotoran ngambang, cerlang cahaya siang, peri dan mambang

yang mencuci pipiku

pagi dan petang.

 

Kini di genap umurku, kucari kembali

bulu dan rambut yang ngalir bersama gurauan lelaki

di seberang kali. Dadaku tumbuh setiap hari

Para gadis yang malu-malu, melumuri kulit

agar terang purnama

 

Bunga bakung daun kecubung,

Mimpi yang nyangkut di bunga kastuba

Ibuku bilang jika gadis tiba matang,

Pergilah ke laut mencari pandang

 

Bebek-bebek. Kayu dan ranting. Tepian air.

Air mengalir. Air mengalir. Kubangun jembatan

dari perih nafasku, asin ludah pahit daki moyangku

mengalir lurus menuju laut, mencari tanah baru

tempat kekasih melabuhkan cinta. Menemu daratan rindu

tempat membuang segala sendu.

 

Aku berdenyar dalam sedih dermaga kayu

Aku bersijingkat pada pilu bayang perahu

Aku mengadu di atas sahdu rindang perdu

Dalam gelap bulan sinting aku bilang:

besok aku pergi

dan kembali

menjelma bidadari

 

Sungai yang beku, ataukah waktu kejam melaju

menuju hulu? Bau lumpur lantaran jejak ibuku ataukah

gelap bajuku karena rindu?

 

Air mengalir. Air mengalir.

Kapuas menjelma hantu seperti dulu

Hitam nasibku, hitam nasibmu, menderas angin

menuju samudera biru.

Kalimantan Barat, Januari 2010

 

 

SANG NAGA

: Abdurrahman Wahid

 

Di hari lain aku menghela khilin

mengiring barongsai lincah menari

sementara angin berkibar melaju

mengibas-ngibas kedua telingaku

 

Aku kian berjalan menyeberangi naga

yang engkau bentangkan,

kali ini aku di samudera luas

dengan segala ombak menyisir arus

kadang harus tenggelam

kadang muncul ke permukaan

 

Jiwaku terombang-ambing tarian gelombang

melambungkan aku di tinggi awang

hingga aku lelah bertanya,

“Siapa aku sesungguhnya?”

 

“Engkau.

Engkau adalah putriku,

naga yang ditolak separuh badan,

untuk dimakan separuh yang lain,

Tapi kini datanglah! Kau aman

di pelukan hatiku.”

Jakarta, Januari 2010

 

SURAT BUAT PAHLAWAN
: Bebek Peking

Berjuanglah kekasih, di rentang tali
sepanjang sungai mengalir
yang mengikat lehermu, dalam tali simpul mati
agar rentang sayang dan kakimu bebas menari

Lepaskan lemak, lepas peluh dalam tubuh
Surga menanti di pintu yang teduh!


Arus deras yang mengalir di bawah kakimu, jangan takut
Tak akan hanyut badan ke muara,
tak kan putus rentang tali di simpul mati.
Maka bergeraklah wahai kekasih,
kepak sayapmu, rentang tubuhmu hingga hilang
lemah dan apak, yang kelak jadi bukti bahwa engkau
benar lelaki.

Adalah tugas lelaki,
menyiapkan cinta dalam kuali


Baiklah kukatakan ini: Jikalau ada pacar sempat mampir
dalam semalam, pamitlah sebelum tiba fajar.
Sebab tajam pisau di lehermu nanti,
akan menjadi doa terakhir bagi betinamu yang khawatir,
Katakan padanya, "Tak perlu khawatir.
Bukankah telah kutanam benih di rahim subur,
dan tugasmu adalah merawat telur?
Aku cinta padamu, di surga kita bertemu."

Tahukah engkau nasib anjing belum genap umur
sebelum diracik bumbu dapur?
Dibekap mulut dalam karung,
dibentur batu
agar darah tetap beku. Sebab kelezatan darah beku,
mengalahkan rasa malu dari kalbu. Mau kamu begitu?
Tahukah engkau nasib babi panggang
yang ditikam besi panjang sebelum maut
benar menjemput?

Sebagai kekasih, tugasmu ringan sekali
sebab meski leher diikat tali panjang sepanjang malam,
engkau masih bisa terus bernyanyi.
Tak kan ada makanan di perutmu,
sebab perut kenyang selalu menghalang kesempurnaan.
Deras sungai akan mengalirkan kasih,
dingin malam begitu indah.
Bernyanyilah.
Asal kaki selalu berjejak rindu,
mengepak semua bulu di riak menderu.

Bernyanyilah.
Kutunggu nasibmu di fajar subuh:
laparmu hilang, dagingmu kesat,
dan apak tubuhmu lenyap begitu cepat.
Begitulah kewajiban dan seluruh kebahagiaan dimulai,
hingga jasadmu terbaring
di dasar kuali

Jika tajam pisau membuatmu ngeri,
sesendok cuka di perut kosongmu segera membuatmu lupa.
Percayalah, jika cuka masam dituang
sebelum mata pisau membenam,
seluruh bulumu akan merinding berdiri.
Urat-urat perutmu memang terkoyak,
mengejang sebentar
dalam gelepar,
lalu meradang mengaburkan pandang.
Untuk itulah bulumu terpaksa berdiri.
Jangan takut sebab matamu pasti buta.
Tak perlu gentar jika telinga tak lagi mendengar.
Pisau tajam akan menolongmu
untuk mati.

Apakah itu sakit?
Dengarkan: sakit yang melampaui batas sakit
akan menghilangkan rasa sakit.
Sebab engkau memang tengah sekarat.
Tapi hal terpenting dari semua pelajaran: adalah bakti
dari seluruh bulumu sepenuh hati.

Bagaimana kelak kulitmu licin seperti bayi,
jika kau sembunyikan urat akarmu di balik bulu?
Bukankah setiap makhluk selalu ingin kembali
seperti bayi?

Orang-orang sungguh mencintaimu, kekasih.
Terimalah, segenap pujian hanya untukmu.
Hanya untukmu saja. Bila kelak
mereka bicara, "Daging ini sedap sungguh.
Tak lengket di lidah.
Licin tak ada bulu. Tandas tak ada bau."
Semua itu semata demi nama baikmu.
Engkau boleh tersenyum tentu.
Di alam tempat segala kebaikan.
Di mana Tuhan
selalu bersemayam.

Semoga engkau berbahagia.
Amin.

 

TAIWAN DI KOLAM MATAKU

: Singkawang

 

Debur Natuna mengais asin Laut Kuala

Ke hulu Roban amis tubuh melayarkan perahu

Teringat Vihara Ci Kung, gunung-gunung

menghuyung, buih terombang-ambing,

mencari arwah angin

dari Bengkayang.

 

Di muara Sungai Singkawang

ribuan amoi memandang Laut Cina Selatan

Mencari gelombang biru,

dalam indah pecah matahari,

hangat cinta yang terus menunggu

 

Pohon-pohon selalu tumbuh di sini

pacarku: subur mengirim sejuk

ranting-ranting lampion

menusuk mata kalbu

 

Riak air riak kolam mata ibu

mengalir lurus ke jantung hati.

 

Ke Singapura kalian menuju

di Teluk Taiwan kalian tertawan

Mengapung beribu, Si Anak Gadis

dipinang diburu: “Cari, di sinilah cari,

sayangku. Mata sipit untuk setubuh Tuan,

dan sekaligus sanggup berpeluh. Pekerja keras

tak kenal mundur. Telapak keras,

garis tangan hidup. Singkawang

surga pelancong, Tuan. Carilah jodoh,

ajak gadismu melintas seberang.

Jadikan pacar Si Mata Sipit

untuk berkencan bukan semalam,

jadikan saja istri untuk bekerja.”

 

Samudera biru, lautan luas nyanyi

sendu. Kolam air mata ibu,

mengalir lurus ke jantung hati

 

Di Taman Bougenville Si Jangkung

kelopak melayang murung.

Udara tuba pelataran Vihara,

dupa ibu doa bagi yang menderita.

Arwah leluhur melayang

dari Bengkayang, menuju Laut Natuna

ke Cina Selatan.

 

Di Kuil Surga Neraka

aku berpulang ke kampung halaman

Jejakku kini

lunas kutuliskan

Singkawang, Agustus 2009

 

DI DEPAN KUBUR KELUARGA

: di Hari Perayaan Hantu

 

Aku datang padamu dengan sepasang lilin putih

agar hidupku terang bercahaya

 

Tiga jenis buah, agar aku sehat senantiasa

Kua apam merah besar, agar jaya makmur sejahtera

Tak lupa seekor ayam jantan rebus

yang amat kausuka waktu di dunia

kupersembahkan semata demi berkahmu

 

Lihat aku bersimpuh, memberi hormat padamu

sepenuh hati, serendah-rendah derajat diri

lewat nyala tiga batang hio:

semoga namaku kelak seharum aroma dupa

 

Demi kehormatan keluarga, kubakarkan kau sedikit uang

yang kudapat susah payah dan kusimpan

hati-hati. Begitulah uang sedikit memang harus

disimpan teliti.

Kini aku bakar tanpa ragu, satu per satu,

di depan kemuliaan namamu:

agar kau sudi menukarnya bagiku, di alam nyata,

dengan kelipatan tak terhingga

 

Demi Dewa Chai Shen

yang berkeliaran pada malam imlek

Edan! Aku benar-benar edan!

Demi segala Dewa pemberi rezeki

yang berkeliaran sepanjang tahun

Lupa! Aku benar-benar lupa!

Baik kuakui aku hewan melata

yang pantas dimaafkan.

Di hadapan kuburan keramat

yang wajib dipuja, aku tak malu mengaku:

“Dulu, selagi kau hidup tak kurawat sedemikian rupa.

Dulu kau tiada berharta, sehingga kami pantas lupa …”

 

Tapi kini engkau lihat aku sungguh menangis

Kau telah mati di pelukan Tuh Thi Pak Kung,

Dewa Bumi dan Dewa Segala Rezeki,

Engkau terlihat begitu Berjaya.

Penuh ilmu ghaib

dan jampi-jampi:

bisa membuat kaya

 

Dengan nyala sepasang lilin putih

semoga hidupku bercahaya!

Dengan tiga jenis buah agar diriku sehat senantiasa!

Dengan merah apam besar agar diriku makmur sejahtera!

Aku berterus terang tanpa malu:

meminta segala yang kaupunya,

menjadi kaya

 

Tiga batang hio ke dua telah kubakar untukmu,

semoga namaku kelak semerbak seperti dupa

 

Nisan tegak

Nyala lilin cahaya berdetak

Dupa asap hio dan mantra

Debu asap uang menabur udara

Dari tembok pusara

Hingga pelataran gapura

Menjadi mantra

 

“Duhai arwah yang bersemayam dalam pusara,

Saudara kami penuh cinta. Terakhir kini kuminta.

Di luar nasib dan rezeki, bukankah ada nomor-nomor jitu,

angka angka meja judi, yang bisa engkau bisikkan

atas restu dari kemurahan para Dewa?”

 

“Engkau arwah yang dijauhkan dari duka lara,

kami telah datang memenuhi kewajiban,

memuliakan kubur yang jaya,

dengan syarat dan pinta,

menyenangkanmu semata.”

 

Bukakah hati kami pada ajaibnya angka-angka,

yang membuat kami kelak,

tidak perlu lagi bekerja.

 

Amin. Amin. Amin.

Sadhu. Sadhu. Sadhu.

Jakarta, September 2009

 

TENTANG KITA, 1

: pendamping hidupku, chin miauw fuk

 

Bulan berlabuh di samping dipan

Angin memang dingin, selalu menggigilkan tulang.

Di langit ada udara, ada bara,

tempat mendidihkan titik uap di tubuhmu.

Engkau terkapar sejak dijenguk panas dingin

yang enggan pulang.

Malam, siang, berganti dengan aneh dan selalu sama.

Gairah hidup memeras peluh.

Engkau tetap mendekap erat, bulan yang kini berkarat.

Aku melihatmu, engkau melihatku, kita saling pandang.

Duhai, apa yang sedang bergumul di depan mata?

Andai kubisa, ingin terjun dan tenggelam

dalam kubangan sakitmu.

Jika kau lihat bulan yang kini meluncur di langit,

di sana telah kusimpan derita seumur hidupku.

Untuk dirimu.

Sendiri.

Jakarta, 10 Juni 2009

 

 

TENTANG HANNA FRANSISCA (ZHU YONG XIA)

Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia) lahir 30 Mei 1979, di Singkawang, Kalimantan Barat. Menulis puisi dan prosa. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di Kompas, Koran Tempo, Suara Merdeka, Malang Pos, dll. Kumpulan puisinya ini masuk shortlist nominasi KLA tahun, kalau tak salah 2010. Tulisan-tulisan motivasinya bisa dijumpai di www.andaluarbiasa.com.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler