Skip to Content

PUISI-PUISI HARTOJO ANDANGJAYA

Foto SIHALOHOLISTICK

SONNET BUAT IKA
Siapakah kau, mengikut daku dari bukit ke bukit
tidakkah tahu, dari puncak ini tinggal nampak gugusan alit
rumah yang dulu berkilau
kebun yang dulu menghijau

Pulanglah. Jangan lagi kaubisikkan kisah
tentang dua anak berlarian di kebun rumah
menangkap nyanyi indah
memburu mimpi putih di pagi merah

Engkau yang asing bagiku
tidakkah tahu, di bukit lain itu
biru puncak memanggil daku

Pulanglah. Bila canang bertalu
di kotamu engkau ditunggu
rindu ibu dan raih kasihmu
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)

Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973


SALAM TERAKHIR
.....Buat Solo
.....Kota tercinta di tanah air

Kalau aku datang lagi padamu
kota yang melambai dalam rinduku
ialah karena bertahun yang lalu
aku lahir, bermain dan bercinta di bawah langitmu

Wangi napas bumi dan udara rawan musim hujan
dan matahari yang kini bersinar, pucat dan gemetar
menyambut padaku dengan haru kenangan
hari-hariku di masa kanak yang sayup samar

Kau bagiku, kota yang melambai dalam rinduku
lebih dari seorang kekasih, seorang ibu
Rinduku kepadamu
ialah rindu yang dihidupkan kenangan masa kanakku

Kukenali kembali kini jemaring jalanmu
di sini dulu baris demi baris sajakku
melambaikan tangannya, di antara hingar dan deru
kehidupan yang lewat lalu

Kalau aku tak ada lagi nanti
di belakangku akan tinggal kau, tegak berdiri
bersama sajak demi sajakku yang menyimpan namamu
dan salam hatiku yang menjabat hatimu

Ialah salam terakhir seorang penyair:
di sini pernah aku lahir
di sini telah kuisi satu takdir

Dan sesudahku kehidupan pun terus mengalir
dan sesudahku angkatan demi angkatan pada mengembang lahir
dan zaman demi zaman bergantian membuka tabir
makin indah dan indah, seperti pernah kumimpikan di baris syair
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973

RAKYAT
.......Hadiah hari krida
.......Buat siswa-siwa SMA Negeri
.......Simpang Empat, Pasaman

Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan ladang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap daro cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka

Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka

Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta

Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973

PEREMPUAN-PEREMPUAN PERKASA
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
..........dari manakah mereka
Ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula datang pesta kerja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta,
..........ke manakah mereka
Di atas roda-roda baja mereka berkendara
Mereka berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
..........siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)

PERARAKAN JENAZAH
Kami mengiring jenazah hitam
depan kami kereta mati bergerak pelan
orang-orang tua berjalan merunduk diam
dicekam bayangan hitam
makam muram awan muram
menanti perarakan ini di ujung jalan

tapi kami selalu berebut kesempatan
kami lempar pandang
kami lempar kembang
bila dara-dara berjengukan
dari jendela-jendela di sepanjang tepi jalan:
lihat, di mata mereka di bibir mereka
hidup memerah bemerkahan

Begitu kami isi jarak sepanjang
antara rumah tumpangan dan kesepian kuburan
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973

PANTUN MEMORI
.....Buat nisan ibunda

Kembang kutabur dalam ziarah
kembang cintaku salamku yang ramah
Begitu kau berkubur dan kita pun berpisah
dekat padamu merangkul nenek marhumah

Bayang-bayang sepi dan hati menunduk di sini
dan jauh di seberang kali ada orang mengaji
Begitu kau pergi aku mengangguk mengerti:
mati ialah janji, sudah terpahat dalam diri

Burung pun pulang ke sarangnya karena senja tiba
ada cahaya yang meredup kembali menyala di pokok kemboja
Begitu kau rela demi usia yang tua
terlalu tua buat hidup yang selalu meremaja
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973

NYANYIAN PARA BABU
Inilah nyanyian kami, suara hati kami
terjemahan kehidupan kami dalam bahasa esei puisi
kami ucapkan lewat penyair ini

Kami adalah sisa-sisa penghabisan dari zaman perbudakan
perkembangan kemudian dari budak belian
yang terdampar di abad ini dan dilupakan

Kami babu. Berjuta kami terberai di benua demi benua
dan samar-samar kami pun mendengar suara purba
yang berkata: “Tuhan bekerja. Dan segala yang ada
dilahirkan dari kegirangan raya. Kegirangan hidup
.....kegirangan kerja.”

Maka kami pun bekerja, di mana juga kami berada
Kami bekerja. Tidak melacurkan diri dan tidak
.....Meminta-minta
Namun kamilah yang di abad ini bekerja tanpa lindungan
kami terluput dari naungan undang-undang perburuhan:
kami bekerja tanpa jam kerja yang ditetapkan
Kami bisa dipakai kapan saja
dan buat apa saja
kami serba guna

Kami benda di mata tuan dan nyonya:
keranjang-keranjang sampah lemparan segala perintah
tungku-tungku hitam tak pernah padam
kami hangus dibakar kerja siang dan malam

Kami babu. Di mana lampu bersinar lima watt tak terang
di sanalah bilik kami. Sebuah bilik di ujung belakang
dari rumah nyonya dan tuan. Sebuah bilik dengan satu ranjang
satu bantal. Sebuah bilik yang terbuka, begitu papa dan telanjang

Di situlah kami tidur buat sepertiga malam
di sanalah kami kubur dalam tidur yang dalam
segala kepedihan kami yang tak pernah diakui
segala kerinduan kami yang tak pernah dimengerti

Dalam hidup kami tak satu pun kami punya
dalam hidup kami segalanya milik tuan dan nyonya
Mereka pun bisa masuki hidup kami hingga ke sudut-sudutnya
dan seperti bilik kami hidup kami telanjang terbuka

Bila malam di luar pagar datang bujang yang kami cinta
kami tak bisa bermesraan sedikit lama
karena kapan saja waktu dan tenaga kami bisa dipakai tuan dan nyonya
Dan demikian kami pun tak punya hak buat bercinta

Bila tuan dan nyonya dan selingkung keluarga dalam gembira
kami mesti pula tersenyum gembira
karena senyum gembira kami adalah buat tuan dan nyonya

Bila mereka lagi berkabung dalam duka
kami mesti pula melinangkan air mata
karena air mata kami adalah buat tuan dan nyonya

Maka habislah segala
dalam hidup kami. Tak satu pun tersisa:
waktu kami, tenaga kami
bahkan senyum dan air mata kami
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
1. Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973
2. Horison Sastra Indonesia 1 Kitab Puisi, Taufiq Ismail dkk (ed.), Jakarta 2002.

MINANG
Inilah tanah, di mana Sabai dilahirkan
di mana Malin, si durhaka, menerima kutukan
di mana kaba ialah sebagian dari kehidupan
dan beragam pantun mengalun dalam nyanyian

Sepi di sini sepi batu dan sepi gunung
Sepi hutan-hutan hijau melingkung
padang-padang lalang sejauh mata merenung
di atasnya mengambang rawan suara salung

Ada rindu di sini seperti sunyi melengkung
sudah kutahu lewat ratap suara salung
Ada restu di sini dalam hidup sepi di kampung
sudah kutahu lewat sayup suara lesung

Di sini cintaku matahari yang bekerja di ladang-ladang sepi
hujan dan bunga tanah mengendap di bumi
malam kawal petani hingga subuh hari
di sini cintaku tenaga sunyi yang menghamilkan padi
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973

KWATRIN TAK BERNAMA
Alangkah amannya kita di sini
jika tak ada lagi mata yang mengintai
kita berdua jadi bocah kembali
di sini di lingkung padi mengalun permai

Apalah salahnya, sesekali kita berlupa
sesekali kita kembali jadi bocah manja
tidak tahu bencana yang bakal tiba
tidak sempat berpikir tentang dosa

Kita bisa bercerita di sini tentang apa saja
aku tentang rumahku jauh di kota
engkau tentang kucingmu si belang tiga warna
atau ayammu yang mati dekat perigi tua

Dan jika angin mengalir perlahan dari bukit-bukit selatan
membawa desir suara air di tepi hutan
kita terdiam: matamu memandang sepotong awan
dan hatiku terbenam dalam genangan jernih sebuah impian
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973

KOTA-KOTA TERCINTA
Kota-kota tercinta
antena-antena pemancar beragam suara
antena-antena penangkap hingar dunia
timbunan kegiatan dan tempat kesibukan bermuara
di mana siang yang membakar memeluhkan keringat kerja
mengepulkan debu dan bau bensin di udara
dan malam yuang menyegarkan memulihkan kembali segala tenaga

kota-kota yang kadang bertekun dalam kerja
dan kadang ketawa dan alpa
yang di sibuk siangnya menghitung merencana
membuat grafik, menulis angka-angka
dan di senggang malamnya menyalakan lampu-lampu pesta –

kota-kota di mana pengemis dan jutawan anak kandungnya
di mana dalam peluknya yang mesra
pelacur menyimpan sendunya
dan penyair menyusupkan rindunya –

kota-kota yang mengasuh aku dalam peradabannya
dan melambaikan padaku kibran biru mimpi-mimpinya
yang melatih aku bersepatu
mengajar aku membaca buku-buku
dan membuat aku menuliskan dalam sajak segala yang kurindu –

kota-kota ini
di manakah akan kulihat kembali
kalau aku mati nanti

Aku akan melihatnya kembali
– kalau aku mati nanti –
dalam jiwaku sendiri

seperti panorama-panorama dalam mimpi
seperti tamasa-tamasa dalam puisi
seperti peta-peta, yang terkembang dalam diri
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973

CATATAN JAKARTA

..........buat mendiang Ch. A.

Di sini dulu kau jalan
di lorong-lorong Jakarta, jantung tanah tercinta
di sini dulu tanganmu memahatkan
dalam baris syair
bangsa muda lahir
baru bisa berkata:
merdeka, merdeka
Kita punya tanah air

Chairil. Berjuta suara padamu memanggil
di sini dulu ketika kau jalan
di hari-hari pertama kemerdekaan

Berjuta suara padamu memanggil
ketika rakyat bangkit, tanah air dibebaskan
ketika merdeka diserukan, mengawang di atas bunyi bedil

Dan kini aku berada di sini, di Jakarta
di sini juga kudengar suara
tapi kini ialah deru berjuta
rakyat yang bekerja

Aku di sini bersama mereka
yang bekerja
di panas matahari katulistiwa
bersama rakyat
aku memahat
puisi hitam coklat
puisi debu, batu dan keringat

Aku berada di sini, bekerja dan menyaksi
segala yang berjalan, yang tumbang, yang tumbuh berkembang
Aku berada di sini, bekerja dan menyaksi
di tanah tercinta suatu bangsa sedang berjuang
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973

1964
Di manakah akan kuselamatkan kini
suaraku yang lembut bernama puisi
ketika, seperti Brecht pernah berkata:
bicara tentang pohon pun hampir suatu dosa

Di manakah akan kuselamatkan kini
suaraku yang sayup bernama puisi
ketika, seperti kini kita derita:
bicara tentang kebenaran adalah dosa

Maka aku pun tahu kini
kenapa Voltaire dibenci
tinggal ia di Ferney, di Bumi Swiss
jauh dari Perancis

Maka aku pun mengerti
kenapa Pasternak sepi sendiri
dan Mayakowsky
akhirnya bunuh diri
1973
(Tahun penerbitan kumpulan puisi Buku Puisi)
Sumber:
Buku Puisi, Hartojo Andangdjaja, Badan Penerbit PUSTAKA JAYA-Yayasan JAYA RAYA, Jakarta, 1973

 

DARI SEORANG GURU KEPADA MURID-MURIDNYA
Adakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdianku kepadamu.
Kalau hari Minggu kau datang ke rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidupku di rumah tangga

Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
horison yang selalu biru bagiku
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua

Pilihan tampilan komentar

Pilih cara kesukaan Anda untuk menampilkan komentar dan klik "Simpan pengaturan" untuk mengaktifkan perubahan.
Foto Zahra Utami

Sangat baguss

Sangat baguss

Foto Zahra Utami

Sejarah akan terus "berulang"

Sejarah akan terus "berulang"

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler