Skip to Content

PUISI-PUISI HELVY TIANA ROSA

Foto SIHALOHOLISTICK

TENTANG HELVY

 

Helvy Tiana Rosa lahir di Medan 2 April 1970. Ia menyelesaikan S1 dan S2 di Fakultas Sastra/ Fakultas Ilmu Budaya, UI dan kini merampungkan S3 bidang Pendidikan Bahasa, di Universitas Negeri Jakarta. Selain dikenal sebagai sastrawan, ia adalah Dosen Fakultas Bahasa dan Seni, UNJ.  Helvy menulis 50 buku, antara lain: Bukavu ( LPPH, 2008), Tanah Perempuan (Lapena, 2009) Ketika Mas Gagah Pergi… dan Kembali (ANPH, 2011), Mata Ketiga Cinta (ANPH, 2012), dll. Beberapa karyanya telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Arab, Perancis, Jerman, Jepang dan Swedia, dll. Ia sering diundang berbicara serta membacakan karya-karyanya di dalam dan luar negeri, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, Hong Kong, Jepang, Mesir, hingga Amerika Serikat.  Helvy banyak terlibat dalam membidani kelahiran penulis muda di berbagai pelosok daerah di Indonesia dan mancanegara, melalui Forum Lingkar Pena (FLP) yang ia dirikan 1997, karena itu The Straits Times menyebutnya Pionir (2002), Republika menyebutnya Pelopor Sastra Islam Kontemporer Indonesia (2002) dan Koran Tempo menjulukinya sebagai Lokomotif Penulis Muda Indonesia (2003). Prof. Monika Arnez dari Universitas Passau, Jerman, menyatakan Helvy adalah salah satu figur paling penting dalam kebangkitan sastra Islam kontemporer di Indonesia dalam tiga dekade terakhir (2007).   Los Angeles Times (2007) menyebut karya-karya Helvy mengangkat persoalan HAM khususnya bagi wanita dan anak-anak di daerah konflik.

Helvy merupakan Sutradara Teater Bening (1990-2003)—teater kampus yang seluruh anggotanya perempuan dan mengadakan berbagai pementasan di Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, dll. Tahun 2008 ia mendirikan Bengkel Sastra UNJ yang rutin pentas keliling dengan membawakan naskah-naskah sendiri. Helvy pernah mendapat 30 penghargaan tingkat nasional di bidang penulisan dan pemberdayaan masyarakat, antara lain cerpennya “Jaring-Jaring Merah terpilih sebagai Cerpen Terbaik Majalah sastra Horison dalam satu dekade (1990-2000), Bukavu masuk10 Besar Khatulistiwa Literary Award (2008), Nova Award (2004), Ummi Award (2004), Tokoh Perbukuan IBF Award dari IKAPI (2006), Tokoh Sastra Era Muslim Award (2006), Kartini Award sebagai salah satu The Most Inspiring Women in Indonesia (2009), SheCAN! Award (2009), dll. Anggota Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006) ini merupakan Anggota Majelis Sastra Asia Tenggara (sejak 2006), Wakil Ketua Liga Sastra Islam Dunia, untuk Wilayah Indonesia (sejak 2009), Anggota Komisi Pengembangan Seni Budaya Islam, Majelis Ulama Indonesia (sejak 2011).  Helvy adalah satu dari 500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh di Dunia hasil riset Royal Islamic Studies Centre, Jordan (2009, 2010, 2011).

 
SAJAK FEBRUARI

1
cinta adalah rasa
yang kuucap dalam setiap desah
dan cuaca
tak sampai-sampai getarnya padamu

2
setiap hari embun meneteskan kesetiaannya pada pagi
seperti aku yang tak pernah berhenti menari
dalam mimpi tentangmu
dan jatuh

3
maka kutanyakan pada mungkin
ia memandangku dengan mata kaca
mengecup luka dan berkata
pergi dan pakailah kerudung airmatamu
sebab tak ada tempat untuk cinta di sini

4
Engkaukah itu yang berkata?
Semua pejalan di bumi, semua pencinta
pasti akan menderita
tapi bagaimana agar tiap gerak berarti
hingga malaikat pun sudi mengecup
semua luka kita yang mawar

engkaukah itu yang berkata, cinta?
sementara diam-diam kita berikan
keping luka dan risau kita
pada angin yang tak desau

5
Di dalam bis yang membawa banyak orang,
Kau cari aku hari itu.
Tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu sejak pertemuan pertama kita
Mengapa kau sisakan peta buram yang sama
hingga aku tak pernah bisa menatap punggungmu

Di antara dinding dingin di sekitar kita
kau cari aku hari itu
tapi kau tak tahu
aku telah mencarimu bermusim-musim
dan selalu hanya pilu
yang memeluk dan membujukku
Pulanglah, kau sudah begitu lelah

6
Begitulah
kata telah lama berhenti
pada napas dan airmata
Di manakah kau, di manakah aku?
Labirin ini begitu sunyi
dan cinta terus sembunyi

7
Seperti gelombang yang setia pada lautan
aku telah lama kau campakkan
ke pantai paling rindu itu
tapi sebagai ombak aku memang harus kembali
meski dengan luka yang paling badai

8
Begitulah perempuanmu
memintal lalu menguraikan kembali
kenangan di sepanjang jalan kaca yang retak itu
Kau mungkin lupa pernah
menitipkan kilat asa di mataku
yang menjelma beliung
namun tak perlu bulan, lilin atau kunang-kunang
selalu kutemukan jejak juga napasmu
di jalan raya kehidupanku

Membayangkan wajahmu aku pun bermimpi
tentang matahari lain yang menyala suatu masa
Mungkin kita bisa saling memandang lama
melepas beliung abai yang menyiksa selama ini

9
:Aku telah berjuang untuk melupakanmu

Seperti baru kemarin kau datang dan kita bicara
sambil menatap ubin, dinding dan pohon jambu itu
Kau bilang tak mungkin, sebab
ada yang lebih penting kau selesaikan

Seperti angin yang tak sadar disapa waktu
aku berpura tak mendengar
Dia akan datang, kataku.
Tapi katamu, kau akan datang setelah urusan selesai.
Bagaimana kalau dia yang tiba lebih dahulu?
Siapakah yang harus kuabaikan?
Siapa yang perlu kulupakan?

Kita terdiam mengamini ubin, dinding dan pohon jambu
suara sapu ibu kos di ruang tamu, kendaraan lalu lalang
beberapa mahasiswa dengan jaket kuning melintas
mungkin sebentar lagi gerimis

Dalam sepi itu tiba-tiba kita pun teringat
perkataan seorang sahabat
Katanya kita punya sesuatu, semacam hubungan indah,
yang tak bisa dirumuskan

Ketika kau pulang senja itu
aku tahu mungkin kita tak akan berjumpa lagi
untuk waktu yang lebih dari lama
Menyakitkan, tapi bukankah
tak semua kebersamaan
harus jadi monumen
kadang lebih baik dibuang
biar usang dalam tong sampah

10
Dan akhir adalah permulaan
kau aku tak pernah menapaki mula
juga mungkin tak pernah sampai
pada selesai
seperti puisi yang kutanam
di kuntum hatimu

11
Hai
katamu aku tetap perempuan itu
tak henti menyelami lautan huruf
demi yang Maha Cinta

dan kau sangat tahu
atas nama cinta pula
telah kuputuskan berhenti
menuliskan kenangan tersisa
titik tanpa koma
pada Februari ke lima

Depok, 1995

 

CINTAMU PADAKU

Cintamu padaku

adalah kerinduan waktu

memeluk bisu di batu-batu

saat gerimis jatuh

 

THAWAF

Labbaik Allahumma labbaik

 

Ada yang berjejalan di dalam

Dada. Cahaya. Embun

Terik. Maha. Kau

 

MATA KETIGA CINTA

Apakah dua mataku

yang kau larung dalam malam?

lalu hari-hari pun terbenam

dalam secangkir kopi tanpa gula

daun-daun jatuh di luar jendela

dan sunyi menyanyikan lagi

lagu gerjaji

 

dengan masih terpejam

hanya dengan mata ketiga cinta

kulihat sebuah wajah di jantungmu

: Dia yang kau bilang tak bernama

 

SALAM NEGERIKU,

Aku memeluk merah putih, berdiri di sini, menatap para

pemimpin tercintaku.

Kini kata-kata mereka hampir angina.

Mereka cari nurani di balik kursi.

Aku bertanya-tanya, apa mereka tahu di mana menempatkan

Tuhan dan rakyat dalam diri serta diskusi-diskusi itu.

Bisakah mereka istirah dari perseteruan, karena waktu telah

semakin debu. Kota-kota berteriak parau, merdeka!

 

KEPADA TUAN TERORIS

Kau masih berteriak-teriak gelegar ke setiap penjuru,

menciutkan nyali banyak negeri. “Usamah, Abdullah, Umar,

Muhammad, Ibrahim” itu nama-nama para teroris,

katamu dan kau menyebut penuh prasangka nama-nama

para ulama dalam daftar yang sungguh panjang

Pada saat yang sama, kau sang pemimpin polisi dunia,

menikmati pertunjukan di Palestina sambil memaki para

pejuang kemerdekaan Palestina sebagai teroris serta

bersalaman dengan Sharon sang penjagal

Padahal Palestina berjuang untuk merdeka dari kebiadaban

Zionis Israel

 

TAMAT.

Jendela waktu

noktah kecil

debu Januari

dan kopi yang berhenti

mengepulkan

sebuah wajah

: Bagaimana rasanya rindu yang selesai?

 

KANGEN

Telah kutuliskan puisi-puisi itu

sejak usiamu 26 tahun

ketika pertama kali kita bertukar senyum

pada jarak pandang yang begitu dekat

 

Kau ingat,

saat kubisikkan mungkin aku tak perlu matahari,

bulan atau bintang lagi

cukup kau, cahaya yang Dia kirimkan untukku

 

Ah, apa kau masih menyimpan puisi-puisi itu?

 

Belasan tahun kemudian

aku masih menikmati

mengirimimu puisi

hingga hari ini

aku pun menjelma hujan yang enggan berhenti di berandamu

bersama angin yang selalu kasmaran

 

Kau tahu, aku masih saja menatapmu

dengan mataku yang dulu

lelaki sederhana berhati samudera

yang selalu membawaku berlabuh padaNya

 

Pada berkali masa, kau pernah berkata,

"Aku tahu, Aku hanya ingin menikahi jiwamu selalu"

(HTR)

Pilihan tampilan komentar

Pilih cara kesukaan Anda untuk menampilkan komentar dan klik "Simpan pengaturan" untuk mengaktifkan perubahan.
Foto REZKYTA SARI

kalau saya mau beli buku

kalau saya mau beli buku puisi mata ketiga cinta kalau boleh tau dimana ya ?? soal.nya di mall panakukang makassar ngak ada .....!?

Foto nasrul arifin

gimana si biar bisa bikin

gimana si biar bisa bikin puisi yang bagus kaya karya senior2 jendela sastra?
@member baru

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler