Skip to Content

PUISI-PUISI JAMAL T. SURYANATA

Foto SIHALOHOLISTICK

DENGAN SAJAK

dengan sajak kutitipkan rindu

laut pada pantai yang menggaramkan buihnya

 

dengan sajak kudedahkan cinta

bunga pada angin yang menyerbukkan putiknya

 

dengan sajak kularutkan mimpi

embun pada awan yang merelakan hujannya

 

dengan sajak kutadahkan pinta

perahu pada sungai yang menyisir arusnya

 

dengan sajak kutorehkan luka

hutan pada kota yang merabuk kepurbaannya

 

dengan sajak kudendangkan puisi

agar setiap kata menjelma semesta doa

 

dengan sajak kutarikan zikir

hingga segalanya merabuk dalam ketiadaan

2002

 

PADA AKHIRNYA

akhirnya kita tinggalkan pantai itu

dengan diam yang menghapus peristiwa

tanpa jejak tanpa segores sejarah

 

ada yang tetap tersembunyi di situ

bait-bait puisimu masih bisikkan cinta

pada angin yang selalu memburu gelombang

 

ada yang tetap tak terungkap di situ

meski bahasa telah lahirkan berjuta kata

untuk menerjemahkan tanda-tanda

 

akhirnya kita tinggalkan pantai itu

dengan bisu laut kekalkan jagat samudera

suara ombak yang selalu membentur di dada

 

maka simpanlah rindumu di pantai itu

pada kedalaman laut yang sembunyikan cinta

sebelum pasang kembali menyisir segala

2001



AFORISME SEKUNTUM MAWAR

pada duri yang menjaga tidurmu

kupinjamkan sebait sajak cinta

dunia kata yang menerbangkan mimpi

menuju keasingan demi keasingan

kota yang membawamu ke puncak peradaban

 

“aku hanya ingin menjadi diriku

selalu terjaga di antara duri-duri

rahasia yang tak perlu kaupahami

maka sudahilah,” katamu dengan mata nanar

seakan menyangsikan keakanan yang jauh

 

sekarang tak lagi kutulis sajak cinta

tapi kerinduan itu telah menghanguskan segala

bahkan mantra pun telah kehilangan tuahnya

 

“aku hanya ingin menjadi diriku

selalu terjaga di antara duri-duri,”

ulangmu sekali lagi dengan galau di dada

 

kalaupun tak lagi kutulis sajak cinta

cahaya rindumu sudah terpantul di situ

pada damai suara keilahian

1995

 

LAGU GELOMBANG

gemuruh yang senantiasa getarkan dada 

apungkan kapal-kapal mimpi hingga korona

selepas perih saat kelasi angkat sauh

 

gelombang yang selalu geram memukul dunia  

menepis zikirku hingga ke batas sunyi

pada damai pantai yang mengatas keniscayaan

 

o, keabadian yang terus merajut kisah cinta

yang meluluh sujudku dalam rindu berkepanjangan

debur ombakmu menggema sampai ke bising kota

seperti lagu gelombang yang tak sudah terbaca

 

seperti lagu gelombang yang tak sudah terbaca

sampai jua syahadatku mendampar di sunyi pantaimu

badai rindu yang terus menggelorakan api cinta

laut yang senantiasa terjaga dalam rahasia

1995


KUBAH HIJAU

di sinilah kulihat rumi menari-nari

mengitari titik damai sambil pejamkan mata

seperti laron tak jemu-jemu memuja cahaya

berputaran mengukir zikir sebagai hamba

 

di sinilah kutemukan rabi’ah bersunyi-sunyi

meneteskan airmata dalam kehangatan cinta

seperti balam biduan nyanyikan lirik rindu

tak sudah-sudah membentang sayap zahidnya

 

di sinilah kukenang al-hallaj dengan jubahnya

menunggu maut dalam senyum rela semata

seperti ismail memandangi kilat pedang ibrahim

yang segera mengayun menembus batas syahadat

 

di sinilah hafizh, zunnun, sa’di, sana’i

para pencinta yang mengatas ruang waktu

dari segala zaman dari segala peristiwa

menyatu dalam kata, keagungan asmaul husna

 

kunamai dia sebagai kubah hijau, rumahmu

ruang pertemuan segala makhluk segala rupa

bukan di sana karena ia ada di mana-mana

tapi di sini, di kedalaman hati para pencari

2002

 

PERJALANAN KESUNYIAN 

telah kutafsirkan namamu, wahai diam

dalam gaduh bunyian yang tabuhkan maut

dari kemersik daun-daun bersahut rindu

desah angin yang senantiasa berzikir

menyapu gelombang di keluasan lautmu

 

telah kubaca nun dari sunyi ke sunyi

puncak syahadat yang gigilkan peradaban

galau dunia dalam ketelanjangan malam

melepas dekor-dekornya menuju ketiadaan

wahai diam, segala kupulangkan padamu

 

ya, inilah kisah perjalanan sunyiku

biduk cinta sang fakir memikul mimpi

melukis kota-kota dalam dingin tahajjud

sebelum nafasku kehabisan ghirah-nya

 

inilah untaian gurindam sang perindu

selalu bernyanyi dalam gelora cinta

mengekalkan keindahan sunyi demi sunyi

lalu segala bermuara pada keabadianmu

2001


MENGARUNGI SAMUDERA

lihatlah, sayang, betapa lengang bidukku kini

setelah lelah memandangi pantai yang jauh

pertukaran abad yang terus dikunyah usia

seperti permen karet —kehidupan, kematian

berganti tangkap nyanyikan sawang di langit senja

mengiring burung-burung pada sarangnya

 

alangkah sunyi, wahai, alangkah kian sendiri

dalam debur ombak, guruh gelombangmu

meski empasan tajam memuncak amuk

tak terasa —ya, sungguh tak terasa

maka sekalian saja kurangkul segala cinta

ingin kusudahi rindu beribu rindu di dada

tanpa kerumitan filsafat dan matematika

 

kembalilah, ya, burung makrifatku

pengembaraan jiwa mengitari cakrawala

masuklah ke dalam sangkar damaiku

dalam biduk sunyi yang terus kukayuh

mengarung keluasan samudera tak berbatas

pelayaran panjang menuju puncak tiada

 

mengarungi samudera, rahasia al-fatihahmu

duhai, betapa dingin, betapa dinginnya

 2002

 

TENTANG JAMAL T. SURYANATA

Jamal T. Suryanata dilahirkan pada 1 September 1966 di Kandangan, Kalimantan Selatan. Menyesaikan pendidikannya di STKIP PGRI Banjarmasin, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, dengan skripsi berjudul “Sajak-sajak Ajamuddin Tifani dalam Sentuhan Sufistik: Hermeneutika Kerohanian Sebagai Titik Tolak Pengkajian” (1999) dan di Program Pascasarjana FKIP Unlam Banjarmasin dengan mengangkat tesis tentang “Cerpen Banjar 1980-2000: Tinjauan Struktur, Isi, dan Konteks Sosialnya” (2004).

Mulai menekuni dunia penulisan sejak akhir dekade 80-an, tetapi merasa kian serius baru sejak awal 90-an. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, kritik dan esai sastra, serta artikel umum lainnya pernah dimuat di Banjarmasin Post, Media Masyarakat, Radar Banjarmasin, Bali Post, Koran Tempo, Kompas, Swadesi, Wanyi, Ceria Remaja, Al-Zaytun, Matabaca, On-Pff, Gong, Matra, Basis, Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Kebuadayaan Kandil, dan Dewan Sastera (Kuala Lumpur, Malaysia).

Sejumlah puisi, cerpen, dan esainya ikut disertakan dalam beberapa buku antologi bersama seperti Festival Puisi Kalimantan (1992), Tamu Malam (1992), Bosnia dan Flores (1993), Batu Beramal 2 (1995), Kebangkitan Nusantara II (1995), Antologi Puisi Serayu (1995), Jendela Tanah Air (1995), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000), Wasi (2000), La Ventre de Kandangan (2004), Dian Sastro for President! (2005), Ragam Jejak Sunyi Tsunami (2005), Perkawinan Batu (2005), Jendela Terbuka: Antologi Esai Mastera (2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Sastra Banjar Kontekstual (2006), Tongue in Your Ear: Indonesian Poetry Festival (2007), dan sajaknya ”Datanglah Sang Cahaya” telah diterjemahkan ke dalam bahasa Portugal —dimuat dalam buku Antologia de Poeticas: Antologi Puisi Indonesia—Portugal—Malaysia (2008).

Selain menulis dalam bahasa Indonesia, ia juga menulis puisi dan cerpen dalam bahasa Banjar. Buku-bukunya yang sudah diterbitkan adalah Untuk Sebuah Pengabdian (Balai Pustaka, 1995), Mengenal Teknologi Penerbangan dan Antariksa (Adicita Karya Nusa, 1998), Di Bawah Matahari Terminal (Adicita Karya Nusa, 2001), Problematik Pembelajaran Bahasa dan Sastra (Adicita Karya Nusa, 2003), Galuh: Sakindit Kisdap Banjar (Cerpen bahasa banjar, Radar Banjarmasin Press, 2005), Penyesalan Sang Pemburu (Pabelan Cerdas Indonesia, 2005), Bulan di Pucuk Cemara (Cerpen, Gama Media dan LPKPK, 2006), Bintang Kecil di Langit yang Kelam (Cerpen, Tahura Media, 2009) dan Debur Ombak Guruh Gelombang (Puisi, Tahura Media, 2009)

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler