Skip to Content

PUISI-PUISI KORRIE LAYUN RAMPAN

Foto SIHALOHOLISTICK

KUTEMPUH JALAN-JALAN LENGANG

Kutempuh jalan-jalan lengang, derita-Mu
menghadang
Demikian tertib nasib menyalib
Dari pusat hari-hari-Mu yang rumit

Kutempuh jalan-jalan sepi, cinta mekar dalam
bunga-bunga sunyi
Hidup berbeban juang, sepanjang tubir hari-hari
yang garang
Tak berdalih, antara derita dan ketawa
Makna hidup latah cinta, gelepar-Mu yang
menggemuruh di dada
1974 

 

MAHAKAM

Senja pun membenam dalam tragedi
Abad ini
jalan ini semakin sunyi
Tapi kita tak sampai-sampai juga

Angin dari relung itu
Semakin runcing
Dan menciptakan garis ungu

Haruskah ke arah lain jalan pantai
kita kawinkan sepi
Antara dua badai?!

Tualang panjang ini
Semakin jauh semakin lengang
Langkah pun lelah menapak juang

Lalu kelepak yang menjauh
Longsong itu
Tanggalan pun jatuh

Tinggallah gerimis renyai
Dan bait-bait sunyi
Ketika jam pun sampai
Menunjuk-nunjuk tempat sepi
1974 

 

Z

Siapakah yang pulang dengan langkah masai
menyandang duka Adam yang pertama
mengempang arus sungai, membadung nasibnya?

Iakah itu pelancong tak bernama.
Menyusur semenanjung tenggara
istirah ke sini. Menawarkan senja dalam desau prahara
setelah lelah mengedangkan jaring nasib melawan bencana

Siapakah masih mengaliri aku, o, sungai derita
rakit-rakit sarat biduk-biduk dan tongkang, detak jantung luka
memeram musim memberat mengimpikan birahi pada pulungnya
lakah itu yang menggedor pintu dan jendela
malam-malam begini. Dukakah itu duka dunia
menyusur sungaiku yang terus mengaliri dasar jiwa

Siapakah yang pulang dengan langkah masai
menyandang duka Adam yang pertama
mengempang arus sungai, membadung nasibnya?
1974 

 

GERIMIS PAGI INI

Gerimis pagi ini
Adalah gerimis tangis zaman
Ketika sekawanan burung luka
Mencakar tangkai jantung derita

Gerimis pagi ini
Adalah gerimis tangis insani
Karena rahang-rahang kemerdekaan
Disekap moncong-moncong pertikaian
Dan tersumpal luka yang tak kunjung tersembuhkan

Gerimis pagi ini
Adalah gerimis tangis kita
Karena di tengah kelu dan borok dunia
Tuhan tetap mengulurkan berjuta sauh cinta
1974

 

DI TENGAH GALAU RIUH RENDAH ABAD INI

Aku terbanting atas lantai kehidupan
Karena beban seribu jalan
Sukmaku yang gelisah resah
Merangkai sajak tak tersua
Sementara tangan tegang kaku menyandang sunyi
Membusur panah ke jantung waktu
Cintaku yang perih dalam pusat pusaran segala rindu

Memang laut-Mu teramat dalam terduga segala cinta
Dataran lekang kemarau menunggu waktu demi waktu
Adakah kita mampu menyimak segala rahasia
Yang bermain antara gelap dan denyar cahaya?

Adalah semuanya berpulang kepada janji, kepada sunyi
Cinta yang memahat-mahat setiap bait abadi
Bagai hujan yang setia mencuci lantai bumi
Menyelesaikan sebait puisi

Aku terbanting di atas lantai kehidupan
Rebah di tengah galau riuh rendah abad ini
Dan luka-luka
1974

 

PERJALANAN INI

Perjalanan ini
menyusuri langsai-langsai kehidupan
menyusuri luka demi luka
menyusuri gigiran abad padang-padang lengang
menyusuri matahari
dan lautan abadi dahsyat sunyi

Perjalanan ini
menyusuri pantai sukma demi sukma
menyusuri geliat urat-urat hari
menyusuri dasar telaga lembah jiwa
dan tanah hitam coklat merah
sepanjang rentangan tali benang-benang nurani

Perjalanan ini
menyusuri perigi dunia terik kering
adalah jiwa kita yang lelah

Perjalanan ini
menyusuri bumi pahit manis dan langit asing
adalah kita yang sempoyongan menyandang berjuta beban

Perjalanan ini
menyusuri hutan bentangan sepi bentangan api
adalah kita yang menyandang luka dan seribu jalan
adalah kitayang mendukung senja dan sejuta salib
hitam
1974

 

BUNGA-BUNGA DAUN LURUH

Bunga-bunga daun luruh
Halaman ditinggal adzan
jalanan senyap lubuk terpendam
Ke ujung tangisan

Suara menyapa dalam luruhan
Beranda sunyi menatap halaman
Apakah engkau apakah bosan
Yang setia berdiri di sisi kesepian

Bunga-bunga daun luruh
Halaman itu sunyi ditinggal diam
Pelangi mencium lubuk dan kolam
Kita pun di sini ngungun dalam gerimis duka jatuh
Menghitung-hitung sukma hari-had dekat dan jauh
1974

 

KETIKA SOLI DEO GLORIA HAMPIR PENGHABISAN

Kampar waktu pun menghanyutkan kita
Dalam arus zaman
Selalu tiran berceloteh dengan makna ganda
Seakan pelog-pelog burung malang atas ranting yang rapuh
Terus memasang sarang dalam bringas angin puyuh

Di jingga transisi ini
Dewa-dewa mabuk matahari
Mentalkinkan riwayat
Menggiring gamelan yang tiba-tiba
mengatmosfirkan sunyi
Mencuci kemarau pekat

Di aula ini di depan audensia
Terdampar kampar waktu
Dan di tengah padang celoteh aneh ini
Kita saling tuding-menuding
Dalam lilitan benang mursal
Sementara di arah lain angin bangkit membagal
Pantai niskala. Terkesiap kita tiba-tiba

Tiba-tiba hingar. Ruang: Mahsyarl

(Selalu tertawa waktu membujuk-bujuk senja
Sambil membetulkan jam yang buru-buru
menunjuk-nunjuk jadwal)
1973

 

KOTA

Kotaku di sini
Gemuruh yang sunyi
Belantara kembara
ke dasar sukma
ke dalam

Kotaku di sini
Bermatahari berbulan
Di bendulnya aku berdiri
Mengaca diri kehidupan
ke lubuk-Mu dalam

Kotaku di gemuruh dada
Di ujung sukma
Megah
Api nur di sana
BaQa
Kotaku, kota kita
Kota umat
Ke mana suatu kali nanti kita berangkat
1973

 

SENJA DI PARANGTRITIS

Sayap-sayap camar, gaung-Mu berkabar
Serpotong awan luka
menyingkap wajah-Mu bercadar

Bias larut. Legam laut dan senja tertawa
Ada yang luruh di dada. Busuran ujung langit terbakar
Suratan-Mu mistery beribu khabar

Riap sunyi bayang-bayang. Menyusup bendul luka
Di pantai Nyai Roro Kidul. Menanti kekasih pawang
Dengan sekepal jampi mantera
1973

 

SANG WAKTU PUN TERBANGUN

Sang waktu pun terbangun dengan 100 matahari
Dan kucuran darah dari nganga liang-liang luka
Ketika ludah-ludah dunia yang amis
Jatuh rimis pada wajah-wajah kita yang terbakar

Sang waktu pun terbangun dalam angin runcing
Dalam suara gaib lorong-lorong hampa dan bahana cahaya
Ketika kapal-kapal kita pun merapat di dermaga luka
Dari suatu petang entah di mana

Sang waktu pun terbangun dengan 1000 bianglala
Dan nanah-nanah darah Semesta
Karena 29 anak panah
Merobek rahim jantung lukanya

Sang waktu pun terbangun dalam erangan ombak-ombak dunia
Dalam bayang bulan hitam ketika mega jatuh senja
Sang waktu pun terbangun dalam rabu dan nyali kita
Ketika bahana terakhir menikam dinding-dinding sukma semesta
Ketika di meja sebuah kitab terbuka siap dengan daftar nama-nama
1973

 

KITA

Manusia
Tanah
Bungkah-bungkah kata
Adam dan Hawa

Manusia
Tulang-tulang kapur tanah kubur
Rumput bunga layu
Tetes waktu berlalu

Manusia
Domba-domba di padang tanpa gembala
Tersesat sendiri
Ke ujung yang sunyi

Manusia
Tanah
Bungkah-bungkah kata
Adam dan Hawa
1973 

 

DARI A KE Z

Lengan-lengan yang capai
Suara gaib itu
Pohon-pohon kadasai
Berjajar membisiki waktu

Ujung cakrawala
Daun violet sayap rama-rama
Sepotong bulan sabit
Mengintip celah-celah luka berdarah

Riap lalang dan kaki-kaki kerbau
Lumpur rawa dan suara serangga
Gigir bukit yang sunyi
Menanti teka-teki
1973

 

ENGKAU DAN AKU

Dahulu kita bertikai
Antara jalanmu jalanku
Sekarang kita sampai
Antara dua siku

Dahulu engkau ke sana
Aku pun melangkah ke anu
Sang Kala memutar kompas di belakang kita
Sekarang engkau dan aku

Engkau memetik melati
Aku menyiapkan api
Engkau menangis di sini
Aku tak tahu akan pergi

Pintu belantara itu terbuka
Burung-burung rimba berkeliaran
Kita telah sampai di ujung jalan
Memandang tamasya di sana

Siapakah engkau siapakah aku
Siapakah kita yang tersedu di ujung jalan itu
1973 

 

CERMIN

Ada sejuta serigala
Memburu di cermin wajah kita
Lapar dan ganas
Gagak-gagak menyanyi ke arah rimba
Seperti menyayat-nyayat daging kita

Matahari meratap
Dalam remukan-remukan cermin dingin
Telaga mengaca darah hitam
Ada luka yang mengucur darah

Kita ditinggal ngungun bayang cermin ini
Serigala-serigala melulung
Gagak-gagak berteriak
Darah tetap mengucur dari luka demi luka
Kita tiba-tiba pecah dan terserak dalam cermin
wajah-wajah kita
(0, Yang Ada
Kita hanya berteriak, "aduh!" dan meraba-raba)
1973

 

PUISI

Jalan ini berdebu, kekasih
Terbentang di padang rasa
Enam belas matahari memanah dari enam belas ufuk
Siang pun garang sepanjang kulminasi

Bahak malam mengikut pelan langkah tertatih
Ketipak bulan putih
Di taman kekasih

Pengantinku
Antara kerikil dan pasir merah
Tersembunyi jejak-jejak yang singgah
1973 

 

KOTA KITA DI SINI

Kota kita di sini
Dijilat ruh-ruh hidup dan mati

Kota kita di sini
Petak-petak pahir manis dan asam
Menderu diketermanguan
Berpeluh manik-manik logam

Kota kita di sini
Diri kehidupan yang gelisah
Memanjat rumah demi rumah
1973 

 

RAHASIA

Seperti sejumlah kata
Yang menggelepar ke luar
Meniti buih demi buih
Dunia yang terlantar

Seperti sejumlah musim
Yang kering, basah, dan mandi cahaya
Merangkak pada sumbu
jantung kita

Seperti sejumlah risau, benci dan cinta
Yang berpendar pada waktu
Menggaram akar-akar nafsu
Antara Adam lagu impian ziarahmu

Seperti sejumlah kata
Yang menyalin nama-nama
Meniti buih demi buih
jiwa kita
1973

 

PINTU

Pintu biru diketuk dari luar
Siapakah yang berdiri di situ
Dengan suara yang lirih samar

Kujenguk dari jendela bersama angin gemetar
Hanya sebuah kenangan yang luka
Bernyanyi, bernyanyi ke ujung apar
1973 

 

TARAKAN

Pulau kecil mendongak langit
Dan mengaca taut yang tertawa
Angin di bandar dan pawang
Membaca mantera buaya

Tambur perang di dadanya
Mengetuk-ketuk jantung lukal
1973 

 

1973

Antara baunan jejak-jejak waktu
Dan 1.000.000 luka bayang
Kitalah musafir hilang
Mencari gelepar sisa pagi

Adalah perih luka
Garaman cuka peristiwa-peristiwa hari
Adalah 1001 tangan topan
Memukul jantung pelabuhan penghabisan

Tinggal torehan-torehan impian
Pada wajah dan seluruh tubuh
Bersimbah darah dan peluh
1973

 

DOA SEORANG BOCAH TUNA

Berikan padaku pagi
Cahaya dan kebun bunga
Sungai membelah cakrawala
Lubuk-Mu kaca

Berikan padaku siang
Terik didih warna kehidupan
Benua jauh dan tanjung pulau
Tugu-Mu yang kukuh di tengah desau

Berikan padaku senja
Cangkir kopi, perapian dan buku tua
Kacara rabun dan pantai sejarah
Bukit-Mu megah
1973

 

DALAM KIRAI SAYAP WAKTU

Dalam kirai sayap waktu
Engkaukah di situ
Suara samar lirih
Seakan-akan merangkai tasbih

Gugusan kebun apel
Suara serangga
Meramu kehidupan

Seekor serangga
Meramu daun hijau
Seekor serangga
Membangunkan rumahnya
1973 

 

KUTULIS

Kutulis dalam senyum
Hari-hari yang ranum
Sekepal puisi cinta
Membantun sukma kehidupan

Kutulis dalam tangis
Hari-hari yang manis
Sekepal puisi cinta
Gairah dada remaja

Kutulis dalam tawa
Hari-hari berlumur duka
Sekepal puisi cinta
Melayah bicara
1973

 

DARI RIMBA KEHIDUPAN

Hutan daun-daun pohon
Menjangan di sisi telaga
Ada jerit dari rahim bumi tertahan
Geliat menjangan diterkam lawan

Bundakah itu atau langit pemberi kehidupan
Atau Kau atau siapa bersisi api sunyi
Kegelisahan ini adalah pertempuran
Bila reda bila gapai penghabisan

Jauh ada senyap dekat sukma dedaunan
Desah bisik-bisik musim ke ujung kehidupan
Gelepar sayap rantai dari lubuk jauhari
Ke rongga telaga itu jerit yang sunyi

Menjangan, telaga, dedaunan hijau
Sejuta senja terbantun
Kau dan aku dalam ngungun waktu
Kau dan akul
1973 

 

SURAT

Surat ini
Kembang merah dalam hijau
Di bibir danau

Surat ini
Bunga putih dalam biru
Mekar di dasar benua
Dada penyair yang gelisah

Surat ini
Lukisan hari demi hari
Bisik riuh sukma kehidupan
Ke gigir telaga pualam

Surat ini
Untaian kalung khatulistiwa
Yang terserak di antara kita
1973

 

SERENADE HAMPIR PENGHABISAN

Dari pantai itu masih terdengar ujung siul
Dan lagu burung menyambut matahari dan mega timbul

Adalah taman dan bulan mengeras pada padas
Dan sepotong sajak dari bait terlepas

Selebihnya tapak kaki pada pasir tertimbun
Ketika angin mati gemetar menyinggahi rumpun
1973 

 

SEPASANG BURUNG

(Sepasang burung menyerbu pucuk-pucuk bakau
Sepasang burung berlagu menghalau kemarau)

Tinggal gemuruh. Gemuruh hari
Tinggal terik yang keluh kesah
Sepasang dua sejoli
Memandang awan singgah

(Sepasang burung melayah cemara-cemara kota
Sepasang burung berkisah tentang senja)
1972 

 

ADAKAH ENGKAU TETAP DI SANA

Adakah engkau tetap di sana
Memandang awan raib dan pasir penuh bulan
Adakah engkau tetap di sana
Memandang teka-teki nasib ini
Memandang gelepar sayap kata-kata
Yang disusun menurut abjad dengan raji dan setia

Adakah engkau tetap di sana
Memandang kelabu kota dan bumi yang gempita
Memandang burung dan dentur ombak dari rahim telaga
Yang menderu tak kenal waktu mendepak bingkai pematang kita

Adakah engkau tetap di sana
Memandang dan memandang lagi
Memandang bayang-bayang yang dihalau kemarau

Memandang senjakala
Dan iringan sayap-sayap kelelawar
Yang memintas-mintas senja samar
1972

 

MENUNGGU MALAM DI SINI

Menunggu malam di sini
Menunggu laut dan pantai legam
menunggu matahari
Dan seluruh gambar perwujudan

Menunggu malam di sini
menunggu genderang pembebasan
Yang ditabuh ruh-ruh
Dari puncak seribu menara

Menunggu malam di sini
Menunggu kapal-kapal dan sampan nelayan
Menunggu gelepar camar dan harum sayap rama-rama
Serta angin yang membersihkan pelabuhan di malam sisa

Menunggu malam di sini
Menunggu warna-warna mimpi
Yang dipukuli ombak
Menunggu malam di sini
Menunggu bisik-bisik harap
Menunggu langit pijaran api
Dan suara-suara gaib
Melayah ombak yang dahaga sendiri
1972

 

CERMIN

Ada sejuta serigala
Memburu di cermin wajah kita
Lapar dan ganas
gagak-gagak menyanyi ke arah rimba
Seperti menyayat-nyayat daging kita
Matahari meratap
Dalam remukan-remukan cermin dingin
Telaga mengaca darah hitam
Ada luka yang mengucur darah
Kita ditinggal ngungun bayang cermin ini
Serigala-serigala melulung
Gagak-gagak berteriak
darah tetap mengucur dari luka demi luka
Kita tiba-tiba pecah dan tersentak dalam cermin wajah kita
(O, yang ada
Kita hanya berteriak ‘aduh’ dan meraba-raba)

 

PERJALANAN

Bayangan kekasih yang tulus
Pergi bersama matahari
Bumipun pupus segala tuntas dan aus
Juga sunyi nyanyian kudus
Siapa yang menyeru dari balik hari
Mengetuk lukuk likukan nurani
Segala hanyut : jiwa dan hati
Tuhanku yang di pintu menanti ?
Irama yang salih menyeru malam putih
Gadiskukah yang di sana melambai sayup
Aku terhenyak aku masih merangkai tasbih
Menyisir peluru menyisih dosa hujan yang kuyub
Pada meja aku menghabiskan gelas
Tuak dan Tuhan dan kekasih yang tak ternoda
Menyanyikan keras-keras firman dari kitab pada nabi
Seru-Mu dari sunyi : ‘Fajar ! Fajar ! Matahari !’

 

ELEGI

Gerimis pun memahat-mahat kaca
jendela. Dan di luar pintu
kita masih setia menunggu
musim tak lalu !
Bunga-bunga. Aromanya mengeras
di atas lanyai bumi
Dan kematian selalu memanggil-manggil
usia ! dari balik jendela
nestapa. Mengelupas kita dalam dingin menggigil
Betapa pahit dosa dan cinta
di mulut kita
yang dikunyah : darah
Di jendela tinggal matahari.
Berahi dan bunga sepi.

 

AKU MEMILIH

Aku memilih tanah

Tapi ayahku berang

Ia memberiku sungai,

“Datangi sumbernya di udik sana,

Yang mancur di antara akar dan batu-batu.”

 

Aku memilih arus

Tapi abang memberiku air

“Ikuti arusnya sampai muara,”

Suaranya menghentak jiwa.

 

Aku ragu saat kudengar suara ibu

Yang mana harus kupilih

Muara atau sumbernya.

“Kau harus pilih kehidupan,”

ibuku tersenyum sambil meraba cahaya harapan

 

Aku gagu melangkah di antara tasik dan pegunungan

Di manakah kehidupan?

Adikku berseru, “Kau harus pilih hati dan cinta

Sumber segala cahaya.”

 

Di antara enggan dan keinginan

Aku bertanya rumah cinta

Di mana?

 

“Yang bersih hanya kasih,”

Kakekku berkata menunjukkan benih

Aku tengadahkan dada

“Di sini?” aku menunjukkan kepala

 

“Bahagia selalu ada di dalam sepi dan ramai,”

Nenekku menimpali sambil membersihkan kuali

Adakah kehidupan berbiak di antara tungku

Di dasar nyala api?

 

Aku menyusuri segala mula jadi

Fajar di kaki: di mataku jalan panjang sekali!

 

SERULINGMUKAH MENGHANYUTKAN TONGKANG

Serulingmukah menghanyutkan tongkang

Menggapai sungai

Menambur di arus deras

Menghamburkan lagu ke cakrawala bebas

 

Segala perih dini hari

Membersihkan beranda

Tanpa restu

Bayang wajahmu yang menunggu

 

Kelap-kelip mimpi yang diburu

Seperti penantian

Seperti perkawinan

Rahasia kado kehidupan

 

Waktu pun memuja

Sunyi yang tua

Segalanya padang rawa

Kematian tanpa kata-kata

 

Perpisahan tiada

Perih nadi, arus, dan air

Lidah yang dahaga

Duka anyir

 

Serulingmukah mengalun dalam tongkang

Mendarah luka

Segala fana menderai sungai

Menunjuk-nunjuk pelayaran muara

 

UPACARA BULAN

Upacara bulan di ranting-ranting jiwa

Memelihara serangga

Lalu matahari esok hari

Mendirikan kemah-kemah semut api

 

Para bidadari menarikan birahi

Di gerbang-gerbang kehidupan

Kaudengar ketukan demi ketukan

Di pintu-pintu hati kita?

 

Yang diserukan sauh pada lautan

Kapal dermaga kita

Yang diserukan mercusuar

Nyawa cinta yang gemetar!

 

Adakah kaudengar telepon hati

Yang berbicara tentang kejujuran budi

Dunia kita

Tentang sakit dan derita?

 

Upacara matahari di pusaran waktu

Memelihara padi

Di ladang-ladang berdarah

Di kota-kota kesangsian

 

Kecemasan purba melekat di dahi dan ubun kita

Tanda di pundak-pundak sejarah

Kaulihat langit merendah

Menyerbumu dengan kesangsian derita!

 

ROH ANGIN

Roh angin mencari akar pohon

Yang tertanam di pusat bumi

Sementara pohon-pohon hilang dari rimba

Meninggalkan luka zaman

 

Musik tanah menangisi kuburan

Menangisi gurun padang kesuburan

Kesetiaan diuji dunia yang tuli dan buta

Lewat derita dan kematian

 

Roh malam memburu sayap rindu

Mengejar kereta pulang

Sayup lagu “gugur bunga”

Tak alang kepalang

 

Tangkai-tangkai rahasia

Menulisi kegelapan tebing

Di nisan-nisan di batu-batu

Mengurai kecewa

 

Di halaman yang beku oleh derita

Roh pagi bangkit bersama cinta

Memanggilmu dalam doa

Mengubur luka

 

Roh segala roh bersatu dalam jiwa

Berenang bersama anak-anak bulan

Melepas lambaian keranda ke wilayah gulita

Mengusap tolakan gerimis keabadian!

 

KUALA LUMPUR

Suara seperti kehilangan suara

Antara lidah melayu dan logat eropa

Lift dan tandas

Banjir ilusi: hujan kota menderas!

 

Antara gedung dan oto menderu

Antara rumah dan sungai itu

Suara pesawat dan kereta api lalu

: Kita bertemu

 

Panjangnya garis sejarah

Memintas masa silam

Musim demi musim yang runcing

: Patah di tengah

 

Kini banjir kenangan

Negeri kuyub waktu

Seribu tamu para antrean

: Mengetuk pintu!

 

MANILA

Batu tengah kota

Air melimpah

 

Merembes tanah

Luka di dada

 

Gunung api

Pelabuhan sepi

 

Franky*

Rayap di tengah buku

------- 

* Sastrawan F. Sionil Jose

 

EPITAF

kepada (alm) soesilo murti

 

Serasa masih ada yang berkata-kata

Menyeru seperti lagu

Seperti sosok wajah tertawa

Bayang-bayang yang berlalu di pintu

 

Datang pada hidup dan pergi

Meninggalkan meja ruang hampa

Luruh bunga tak kembali

Pada rumah dan kawan sekerja

 

Lugas dalam tugas pekerjaan

Perihnya membenih dan menanam

Sumringah dalam laku kehidupan

Biru langit dan matahari terbenam

 

Ada kata-kata ada suara tersimpan

Ada kenangan ada gairah kerja menanti

Ada sepi ada duka tak terucapkan

Yang luruh diam-diam pada dataran hati

 

Yang berdiri depan pintu mengucapkan salam

Yang duduk di kursi melukiskan kata diam

Yang melangkah sendiri di jalan pulang

Yang menanam bunga kuntum-kuntum kasih sayang

 

Segala silam dalam cinta

: Indahnya kehidupan

Di atas jalan tak bertabur bunga

 

KATEKISASI

Hatiku yang hitam telah memetik bedil

Dengan tangan kekasih

Di ujung pelarian aku masih coba memandang: nihil

Terlihat dalam diriku pertempuran kaum salih

 

Dengan hati merah aku membakar matahari

Menggulir bola-bola nestapa

Tuhan terus memetik kecapi di hutan-hutan sunyi

Membungkas jiwa yang diam, o, sang pertapa

 

Kekasih terus bertanya tentang harga kesetiaan

Tentang kejauhan arasy-Mu

Aku menunjuk ke puncak terus ke bawah ke dataran

Kepada hidup dan jawaban yang tersimpan dalam kalbu

 

Kita berhenti pada luka

Tepi hari-hari mati

Kupersembahkan hati, jiwa semesta

Ayat-ayat fana, jantung tertidur pagi hari

 

 

LETUPAN BAMBU, TAMBUR UPACARA

Letupan bambu, tambur upacara

Menyala di air

Kaki-kaki telanjang

Giring-giring

Malam menari

Bulan

 

Bulan di langit-langit

Lou

Seribu ancak

Lilin

Pisang dan ubi

Balai-balai permandian

Daun lenjuang

Getang

Tarian malam

Mengupas malam

 

“Yang sakit bawa ke sini

Yang muntah dan mandul

Yang pekung dan lepra

Bawa ke sini

Yang kehilangan …

Seribu satu penyakit badan dan jiwa!”

 

Tambur mengeras

Dalam malam keras,

“Segala penyakit pergi

Encok, koreng gatal

Lumpuh dan penyakit mata

Jantung demam kura

Pergi semua

Ke hutan-hutan tak bertuan!”

 

Sepuluh penari

Sepuluh mangkuk lilin

Menari dalam gelap

 

Beras kuning

Terbang ke udara

Beras putih-hitam

Terbang ke udara

Sukma pulang ke sukma

 

Ancak piring upacara

Tambur leluhur

Lemang ketupat tumpi

Dibagi baki

Panggang ayam panggang babi

Salawat api

Yang merecik di dapur dupa

Akar wangi

Yang menutup serapah upacara

Balian mulut waktu,

“Pulang semua pulang

Yang tinggal punggawa

Penjaga badan jiwa!”

 

Malam mengucapkan tanah

“Hari! Hari!”

 

ADA

Ada belantara dalam diri kita

Durinya amat lebat

Ada laut dalam diri kita

Derunya tak kenal waktu

Ada api dalam diri kita

Nyalanya membakar segala

Ada dengki dan cemburu dalam diri kita

Perihnya mengiris dinding hati

Ada cinta dalam diri kita

Tumbuh dalam taman bunga-bunga terlarang

Ada yang tak terkatakan dalam diri kita

Ada: …!

 

 

KUBIARKAN

Kubiarkan tulang-belulangku

Mengadu kepada langit

Kubiarkan kuku dan rambutku

Mengadu kepada bulan

Kubiarkan mataku

Mengadu kepada matahari

Kubiarkan darahku

Mengadu kepada bumi

 

Kubiarkan! (adikku terus menari!)

 

Segala mengadu kepada tiada

Celaka!

Gerak batin dan jiwa

Mengadu kepada cuaca

Segala mengadu kepada keabadian

 

Kubiarkan! (hanya secercah isyarat dian!)

 

Segala gerhana di mulut

Segala gempa di telinga

Segala kerongkongan dahaga

 

Kubiarkan segala!

 

Kota-kota tak henti berjudi

Perawan kehilangan angin

Lalu matahari membela hawa

 

Terbakar jurang kehidupan!

 

Siapa namamu?

Kesunyian?

Siapa namamu?

Kematian?

 

Serempak segala mengadu pada darah

Siapkah?

Ibu atau wanita pujaan dunia?

 

Siapkah?

Kubiarkan!

Kau atau aku?

 

SISI MALAM

Sisi malam seperti belati

Seperti rampok

Mabuk kelaparan

Gadis yang ngidam tanpa suami

 

Perempuan yang memahat-mahat bahagia

Mengasah rahasia bunga

Menertawakan kesedihan

Di pintu marabencana

 

Sisi kehidupan yang tajam

Setajam pasar dan rupiah

Roh layang-layang kehidupan

Kecambah puisi para bedebah!

 

Lagu kabut derita yang padat

Mempermalam kota

Rahasia hitam di lorong-lorong

Menanak kengerian di ruang-ruang jiwa

 

Lalu cakrawala dan bintang kejora

Lalu lautan dan gelombang dunia

Tumpah di ladang-ladang minyak terbakar

Tahun-tahun tanpa akar

 

Sisi hari yang tajam

Lumpur gerak cahaya

Perjalanan di atas duri

Gadis yang ngidam tanpa suami

 

MANTRA PERKAWINAN ANYEQ HALING UBUNG DO DENGAN WAU NUKING UNG*

Inilah adat aveq, upacara perkawinan

Anyeq Haling Ubung Do dengan Wau Nuking Ung

Putra yang diturunkan Tamai Tingai Buring Aring

Dengan putri kayangan

Yang menjelja jadi manusia

Seperti kita.

 

Tamai Tingai Buring Aring

Dan semua arwah leluhur seperti kakek dan nenek

Datuk dan buyut kita

Sampai ke atas ke silsilah ketujuh belas

Yang memandang dari kejauhan

Ini kami menyapa dengan beras

Nyawa yang menjelma dari alam raya

Sumber kekuatan di dalam kehidupan

Beras yang berasal darimu

Kami hitung sampai delapan

 

Dengan daun savang akan menghilangkan

Dengan daun ureu akan melenyapkan

Noda dan beban yang melekat

Daki yang mengotori

Badan dan pernikahan agung

Anyeq Haling Ubung Do dengan Wau Nuking Ung

 

Segala kesialan dan derita,

Segala sakit penyakit dan malapetaka

Lepas dan lenyaplah bersama mendung hilang,

Seiring terbenamnya matahari

Yang pergi ke balik bumi

Kami dipulihkan menjadi putih bersih

Murni kembali seperti sediakala

 

Ini saya mengait dengan kawit aveng

Saya kait dengan kawit deset

Harap kami pada Tamai Tingai Buring Aring

Nasib dan kehidupan baik

Kelayakan sempurna dalam kehidupan

Anyeq Haling Ubung Do dan Wau Nuking Ung

Kekal selama-lamanya

******

Minumlah dari tuwung bambu

Air yang diciptakan Tamai Tingai Buring Aring

Air yang menyejukkan badan

Air yang memberi kehidupan

Air yang sejuk dan dingin

Yang mendinginkan sendi-sendi kehidupan

Agar Anyeq Haling Ubung Do dan Wau Nuking Ung

Damai bahagia selama-lamanya

Bersama damai bumi yang setia

Menerima segala tiba

******

Kini saatnya mengikat gelang manic

Pada pergelangan tangan pengantin

Ini ikatan nasib mujur kebaikan

Mengikat suasana kekeluargaan

Semuanya menyatu dalam kehidupan

Kukuh kuat tegar

Seperti manik yang indah

Melingkar di pergelangan tangan

Pengantin kehidupan

 

Tiba masa pengantin untuk menyantap

Nasi dan garam

Nasi yang memberi napas

Garam yang mengawetkan

Sehingga hidup jadi kekal kebajikan

Karena terlepas dari ketidakpastian

Semua keturunan lebih berarti

Laksana cahaya suar di gelap malam

Tak akan pudar

Seperti cahaya lentera damar api

Abadi

Selama-lamanya

*****

Inilah waktu kehadiran yang ditunggu

Bagi keluarga Anyeq Haling Ubung Do

Dengan Wau Nuking Ung

Menginjakkan telur

Menginjakkan dupa wangi

Menginjakkan kaki di tanah leluhur

Yang penuh rezeki

Gembur subur

Manusia dan tanah menyatu

Dalam kehidupan

Seperti tapak kaki

Menandai kehadiran

Di muka bumi pemberian para dewa

Bersatu untuk menerima berkat

Yang ditarik dari darat

Yang dihela dari sungai kita

Dari huma leluhur semua

Untuk kebaikan kehidupan

 

Seperti doa yang manjur

Kami sampaikan nasar

Demi umur

Bersama kehadiran Tamai Tingai Buring Aring

Pengantin menerima kemaslahatan

Yang abadi

Tanah ini adalah tanah janjian

Yang mengalirkan harapan

Kebajikan

Pengantin telah menyatu

Dalam kehidupan

Seperti awan menyatu dengan lautan

Seperti asap menyatu dengan api

Semuanya senasib sepenanggungan

Bersama berkat yang berlimpah

Tumpah ruah

Di dalam kehidupan

Anyeq Haling Ubung Do dan Wau Nuking Ung

Hadir kesejukan abadi

Seperti aliran sungai kekal

Dalam kerukunan dan kedamaian

Yang terikat di bumi

Dan di langit keabadian

Tuhan.

 

*Anyeq Haling Ubung Do dan Wau Nuking Ung diyakini merupakan cikal bakal suku Dayak Bahau yang kini mendiami pehuluan Sungai Mahakam, Kutai Barat, Kaltim.

 

MATA

isyarat yang menikam jantung hari

pisau, panah, pedang api firdausi

laut: kolam yang dasar tiada

cahaya yang diam-diam mengintip kita

 

 ZIARAH

telah kutempuh ziarahku setiap waktu

antara pulau kenangan dan jiwa yang bisu

telah kubangun rumah di bibir gelombang dan dada kota

kubangun jembatan antara kebeliaan tua jauhari

 

hari-hari menepi melawat bersama sauh

siapakah lagi yang mati di sekitar kampung jauh

memanggil bunyian alam dan gong penghabisan

memanggil tangis dan duka yang redam

 

sebuah legenda mimpi laut

tualang padang akal

kanak-kanak tertawa mengusap mainan mimpi pertama

babak lakon yang bengal

 

ziarah panjang kekasih sajak

di sini telaga matahari: duniaku terserak!

 

MAZMUR PAGI

wangi pengantin

napas hayat

: pelaminan

 

harum kehidupan

mengemaskan fajar

: lembah

 

merdunya nyanyian tanah air

lagu leluhur kita

: ”lapar! lapar yang baka!”

 

PINTU

bunyian termanis dari kata

ialah kecantikan

sebagai keindahan yang dapat menaklukkan

segala kekuatan

 

siapa yang lebih bijak dari alam

Tuhan?

Tuhan adalah keabadian

cinta yang menciptakan kedamaian

 

siapa yang lebih dari aku

ialah mau

syahwat yang memikul beban zaman

yang tak sampai jalan

 

apakah yang bernama nilai dan harga

emas? jiwa? atau yang bernama kejayaan

perasaan yang berjalan

likuan maya?

 

bunyian terpahit dari kata

ialah kecantikan

karena nasib ia menggorok leher sendiri

ketika diri kehilangan diri

 

diri yang berjalan menyongsong kehidupan

bernyanyi dari ufuk-ufuk hidup

kasih, ini alam murni lagu tak sampai

menyeru dari balik pintu-pintu tertutup!

 

SAJAK 2

segala memberat  dalam warna transparan

lambang, tema, kerinduan-mu menyapa

jalan berujung cakrawala, titian keabadian

gerak kehidupan, napas, kecintaan penyair tanpa batas

 

SKETSA

di luar gerbang hingar, lagu-lagu liar, bendera kain rombeng

hari-hari mengandung lapar, musim berdenyar, lonceng

                                                                             berkeloneng

bapa! bapa! petaka apakah ini, atau gethsemani

duka firdausi?

 

RUMAH SAKIT CIKINI 29 APRIL 1978

yang bangkit dalam waktu

dalam sabda

riang suara-suara gembira

 

kami berpaling kami menatap ke depan

dinding dan pilar-pilar pualam

jajaran firman dahulu kala

 

yang terjadi dari kata

cinta yang dulu juga

lubuk kasih setia

temali jiwa

 

kami melangkah kami memasang arah

jalanan dalam arus

damai yang kudus

 

yang mekar dari tanah janjian

bunga pohon-pohon hidup

khuldi keabadian

 

ROH YANG PERGI KE SWARGA

roh yang pergi ke swarga

dari lepasan derita

kerbau ditombak di belontakng

ayam disabung di halaman

babi disembelih

tuak-tuak mengalir

keringat mengalir!

 

irama titi dan tangis

menciptakan tangga

desahan napas kerbau

menciptakan pintu

yang menuju ke dunia atas

 

dalam kelahiran

hidup dimulai

upacara bayi merah

dalam perkawinan

 

hidup dimulai dalam hidup

pelahiran generasi

dalam kematian

hidup dimulai di dunia baru

dalam hidup baru

 

roh berjalan ke swarga

meniti benang-benang upacara

napas warisan leluhur

 

****

Belontankng: patung ulin untuk mengikat kerbau dalam suatu upacara tradeisional dayak

Titi: suara gong ditabuh sebagi tanda kematian

Swarga: surga, menurut kepercayaan dayak benuaq, orang yang meninggal harus dibuat suatu upacara agar roh atau jiwanya bisa masuk ke swarga.

 

AMUNTAI 16 DESEMBER 2007

Untuk Syarifuddin R dan Y.S. Agus Suseno

 

berdiri di tepi sungai ini

berdiri di tepi waktu

tepi tahun-tahun pergi

jembatan masa lalu

 

riak-riak sastra di kota pangeran

riak kisah-kisah dilupa

kapal atau perawan atau adzan

bersaing dengan jiwa bangsawan raja-raja

 

lalu pagi lalu siang

bersaing dengan hujan dan terik matahari

lalu sajak lalu kisah rancangan lama

menyelam di kedalaman sanubari

 

siapa membangkitkan batang terendam

cemas anggaraini antemas

perih nyeri burhanuddin soebely

zaman tanpa peduli?

 

air dan arus dan kapal angkutan

berlaju menembus waktu

masihkah kau di situ

memerih sedu tertahan-tahan?

 

yang berkhalwat dalam musim

berzikir melepas jisim

adakah masih rumah puisi

tumbuh kata-katamu baiduri?

Pilihan tampilan komentar

Pilih cara kesukaan Anda untuk menampilkan komentar dan klik "Simpan pengaturan" untuk mengaktifkan perubahan.
Foto Cindy sitarani

puisi yang judulnya "Daun

puisi yang judulnya "Daun Pohon yang Tersedu" kok ngga ada ya...? tolong di post dong...

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler