Skip to Content

PUISI-PUISI KURNIA EFENDI

Foto SIHALOHOLISTICK

NUSA DUA

Pagi di sini ditandai dengan embun yang meleleh
Di kaca jendela. Aku termangu dekat taman
Tuhan menitipkan pesan lewat sinar matahari
Engkau, di kamarmu, mungkin belum sepenuhnya
Terjaga. Fajar di sini satu jam lebih segera
Matahari yang sama -- seperti ketika di halaman rumah --
Mendaki pura. Memercik cahaya. Memantulkan cinta
Mungkin kesepian itu diukir pada pintu masuk
Kubaca seperti airmatamu, seperti penantianmu
Aku masih termangu dekat taman. Menghirup
Aroma kopi Bali dan kurasakan sedu-sedanmu
Masihkah kau peluk kekosongan itu?
Matahari yang sama-- yang membakar hari-hari kita
Terayun ke horisonmu. Berat oleh rindu dan birahi

 

WHITE MUSK

: Ilya Deharina

Tak pernah kautahu, di balik rimba kabut, aku memanggil namamu Sudah sejak dulu. Ketika mata-air disiapkan dari celah bukit, dan diperintahkan menggambar peta, membelah bumi menuju lautan Berulangkali kupanggil namamu: Ilya! Ilya! Dan angin meniup berjuta butiran pasir, mengaburkan mata, memperpanjang langkah pengembara Sampai kutemukan masyarakat Ibrahim, sampai kutemukan wangi keringatmu Sebagaimana kuhirup getah kaktus, setelah bertahun-tahun melintasi gurun Akankah terjadi malam ini, setelah lelah mendaki gunung di atas gemerlap lampu kota? Menyongsong udara yang susut menuju kerendahan suhu Dan senantiasa hatiku menyerukan namamu: Ilya! Ilya!
Akankah kulepaskan tanganmu, sehabis kubuktikan setiap darah cintaku di mata Nadhira? Sementara keresahan terus menciptakan mimpi-mimpi panas Seolah kita berada di balkon sebuah rumah mediterania Tak pernah kautahu: sesudah kikis seluruh api romantisme, segalanya telah menyatu menjadi sukma yang menjerit. Memanggilmu. Memanggilmu, Ilya Hingga runtuh seluruh tulang yang menyekap jiwaku. Dan kuserahkan sebagai Nadhira, buah hati yang kita cintai Akankah terjadi malam ini? Segala yang kupikirkan. Segala yang kaubayangkan Segala yang kita rencanakan sejak dulu. Sejah dulu
Jakarta, 10 November 1997

 

RAMBUTMU, HERLINA

Aroma hujan pada rambutmu, terhisap bagai candu
Di luar matamu: hanya gelap, malam yang mengendap
Pohon-pohon dengan seribu bayangannya
mempertegas warna larut di tanah basah Kayutanam
Percakapan masih meloncat-loncat, di antara gelas kopi
dan biji durian. Saat yang erotis, Warih yang mulai memperlihatkan
sihir kata-kata, Putu Fajar dengan ketenangan area; membuat Julia
berada pada bentangan jarak birahi yang meronta
Ketika satu demi satu orang 'menyeberangi malam'
Mungkinkah mereka diterima sebuah tempat lain, dengan
samar cahaya dan sentuhan tangan yang lain pula?
Mungkinkah - seperti keinginanmu - waktu terhenti
dan Kayutanam menjadi pemuda abadi?
Aroma hujan kembali tercium dari rambutmu
Tetes air yang ditampung dari sisi tenda, dari suara tawa kita
Dimabukkan cuaca yang terus gemetar, dibakar cahaya lampu
yang terus mencakar
Kayutanam, 9 Desember 1997

 

PERNAH ADA HARI

(1)
Pernah ada hari ketika kita tak punya apa-apa selain cinta yang dituang ke dalam cangkir untuk diminum bersama, lalu tumpah ke mana-mana, dan kita tertawa menyadarinya Pernah ada hari ketika kita tak punya apa-apa selain selembar kertas untuk menuliskan seluruh perasaan, sampai berjuta huruf saling tindih dan menerbitkan ilusi yang tak terpikirkan sebelumnya.
Pernah ada hari :
kita demikian sibuk mencari alamat, sebuah ranjang dengan sprei yang masih menyimpan aroma tubuh kita, tergambar dalam peta penuh nama-nama Itulah anak-anak yang pernah dibayangkan lahir dari rahimmu, dan kelak mengelilingi kehidupan Pernah ada hari ketika kita mencari bulan yang tersesat di rimba gelap.
Karena ia satu-satunya saksi sewaktu kita mencicipi sepercik dosa. Di lidah masih terasa manisnya, terasa pedihnya

(2)
Pernah ada hari ketika Tuhan menjentikkan jari, dan kabut debu menyatu, menggumpal, membentuk batu galaksi, satu di antaranya bernama bumi.
Pernah ada hari ketika Tuhan mengusir kita dari sumber cahaya, dan mengembara berabad-abad dalam gelap Di mata masih terasa silaunya, terasa nanarnya
Jakarta 10-11 Maret 1998

 

MY PEOPLE

''Happy new day, my people.''
Kukecup kening dingin, hampir berair Ada keluarga cacing berencana datang menghampiri Setelah lalat-lalat itu Cahaya pun menyempit menjadi garis Sebelum akhirnya jatuh kelam Hitam seperti gedung yang hangus terbakar Lengkap dengan bau sampah yang menyengat Dan buih deterjen tak mengalir (Buntu di ujung pintu, seperti politik negeri ini, beberapa waktu lalu) ''Happy new day, my people.'' Bukankah seharusnya kunyalakan lilin kemenangan?
Dan menyantap hidangan pesta dengan menu rezim baru Tapi, sudahlah: ini kesedihan 'kecil' Yang lain telah bertimbun, tak tertulis namanya, berbaris ke nirwana, beberapa waktu lalu Lapar penghabisan telah menjadi kendaraan bagi mereka Bisa saja berangkat dari Irian Jaya, Palembang, Sukabumi Atau sudut-sudut sunyi sebuah kota raya Atau lewat jalan api:
terpanggang karena ingin menghindar dari lapar struktural Airmata telah menghayutkan bekas kehidupannya
''Happy new day, my people.''
1998

 

MENGENANG BANDUNG DARI JAUH

Jalan-jalan basah menuju puncak bukit, hutan kecil, rimbun daun
Jalan-jalan rindang dengan pohon yang setia menjadi payung
Jalan-jalan yang teranyam rumit, gang-gang dengan rumah yang rapat
Jalan-jalan yang seperti beku, garis-garis wajah kota yang tak berubah
Jalan-jalan dengan lalu-lintas sibuk, warna-warni terhenti, bergeser lambat
Jalan-jalan yang hangat oleh kafe, aroma kopi-krim, suara kenes mojang Priangan
Jalan-jalan yang sendu dan larut di bawah embun malam, sinar lampu yang temaram
Jalan-jalan dengan lintasan cepat, waktu dan peristiwa tumpang-tindih
Jalan-jalan gembur, ladang subur penuh tanaman sayur
Jalan-jalan berhias gelak tawa anak muda, aroma keringat mahasiswa
Jalan-jalan dalam denyut rahasia, malam dengan musik fusion, ciuman berkelebat
Jalan-jalan menukik sunyi pada tebaran kabut, samar uap jagung rebus
Jalan-jalan berserak warna bunga: ucapan selamat dan warna perak kematian
Jalan-jalan tak tentu arah, memisah dari mata angin
Jalan-jalan saling bersilang, menembus hatimu, menderu suara di hatiku, terseret
gelombang waktu, kini membayang dalam genangan airmata
Ketika semua menjadi jauh
Seperti sebuah jarak
Jakarta, 5 November 1999

 

MEMBACA ISYARATMU

Kita masih di ranjang yang sama, namun kudengar
cerita yang berbeda.
Desir halus seperti pisau yang mengiris,
dan kupanggil ia sebagai hati yang cemas
Mungkinkah: geraham waktu telah mengunyah seluruh
kenangan, lantas ditelan sirna oleh kesibukan?
Dan jalan panjang itu, seolah mulai ditumbuhi rumput liar
Tak terbaca lagi jejak kemarin, dulu, atau yang sangat lalu
Kekasih, kita masih di ranjang yang sama, namun kurasakan
ada detak jantung yang lain
Milik siapakah?
Sampai kini kau masih jujur, seperti air Niagara, hanya ingin terjun
dan tak hendak punya pilihan lain
Engkaulah, sebuah alasan untukku tetap setia pada janji depan altar
Engkaulah, sebuah alasan agar kupelihara bara cinta tetap menyala
Engkaulah, yang membuatku terbangun tiba-tiba, dan:
menangkap kesunyian tengah malam, lalu suara langkah kaki asing
mendekati mimpimu
Pernahkah terpikir olehmu, ingin kutangkap anak panah itu
Sebelum menghujam hatimu? Pernahkah?
Percayalah, kita masih di ranjang yang sama
Dan telah tiba waktu untuk menengok setapak yang pernah kita lalui
Mungkin panggilan kudus masa lalu membuat kita ingin pulang
Menuju bahtera yang disusun dari setiap elemen cinta
Menghayati (kembali) seluruh kisah yang kita miliki
1998

 

KESAKSIAN BURUNG

(1)
Pagi ini, prenjak, dan serombongan anak pipit mengabarkan tamu yang akan datang dari hati yang jernih ''Ia berpakaian putih, wajahnya salih.
Di tangannya tergantung tasbih. Ia mengusap hati yang pedih.''
Dan kita segera sembunyikan airmata Bekas duka yang lengket, setelah hari-hari buta oleh asap pekat Kita rindukan hujan yang sembunyi di balik awan ''Datanglah lebih cepat. Ruang tamu telah siap.
Seribu hari yang lalu doa telah ditebar. Mengharap kedatanganmu.''
Lalu, seperti yang tampak sekarang, langit bersih bagai sutera biru muda. Apakah hukuman telah reda?

(2)
Dan sepasang kedasih, membuat garis pada kesunyian hari Pekikan lagunya bagai saksofon yang ditiup oleh bibir maut ''Siapa lagi, kawan? Siapa lagi yang dipanggil menghadap-Nya?''
Kita ingin meronta. Menghindar dari nasib. Dan memulai sesuatu yang baru dengan wajah yang lain. Tapi, bukankah Mata-Nya tak pernah sanggup ditipu?
Sepasang kedasih itu terbang ke utara Ia sebut nama-nama yang akrab di telinga. Karena terlalu sering dihujat oleh media-massa. Karena mereka mencuri sebagian besar milik kita Tapi, sayup terdengar penolakan-Nya Ia, di rumah yang Suci, tampaknya tak ingin lantainya ternoda

(3)
Yang dinyanyikan kenari adalah semua lagu kanak-kanak Ia meminjam masa lalu, diputar lagi, agar kita tersenyum Ketika langkah kecil banyak menulis jejak di kebun, dan embun terpercik menjadi noktah sejarah. Kenari mencatat semuanya Ya, bermainlah disini: di teras yang basah Sisa hujan meninggalkan gambar bunga, menghias konfigurasi batu Pohonan yang berparas cantik memberikan rantingnya Seraya menuai pahala, pagi demi pagi

(4)
Dengarlah: di antara debur ombak, jerit camar memeriahkan senja Mereka bersatu dengan langit lembayung, meminta matahari segera berbaring. Setelah itu: ditaburnya serbuk garam ke atas lautan Agar biru warna airnya.
Mereka mengendarai angin, memainkan musik dengan partitur taifun, dengan komposisi el-nino, dengan perkusi tsunami Gelombang samudara menari-nari di sekitar pantai Mengharap-harap mekar sang rembulan

(5)
Di penghujung malam yang matang oleh keheningan Tinggal sepasang mata burung hantu, sang penjaga setia Tak tergoda oleh kesibukan kelelawar yang menghisap sari buah Ia bagai raja tenung, belajar tanpa kenal waktu Dibacanya gelagat alam. Karena ia tahu:
Perburuan ini tak selesai sampai ajal menghampiri Ia mengerti, siapa beo si peniru yang piawai Ia juga paham, mengapa permati menjadi lambang keabadian sejoli Yang ia tak tahu: mengapa dirinya senantiasa terpahat sebagai relief malam
Jakarta, 12 Desember 1997

 

KEPADA DIKO REYHAN

Butir salju mulai terseret pergi
Di tikungan fajar, telah menunggu sesosok musim
Yang dengan cekatan meminta daun-daun semi kembali
Itu sebabnya, sepanjang pagi
Keluarga burung pelatuk sibuk membangun rumah
Untuk menyimpan percik matahari
Di antara kulit kayu pohon-pohon yang bergembira
Sebenarnya, di sela suara tambur jantung
Samar kudengar ketukan di pintu rahim
"Tuhan, demikian santun cara-Mu mengirim anugerah
membuat kami semua berdebar
dan menanti tak sabar."
Itu sebabnya, sebagian airmata kusiapkan untuk cinta
Kepadamu, anakku
Bukankah engkau akan jadi kekasih semua orang?
Lihatlah airmata yang menggenang
Seperti leleh salju yang mulai terseret pergi
Dan kami selalu saja berdoa
Jakarta, Februari 2000

 

KEPADA ANNEGRET NITZLING

Kuhitung rambut jagungmu di pangkuan
Tak juga selesai sampai cinta ini memutih
Engkau ingat: ada serpih salju di pelupuk mata, karena kau tetap
berdiri di ambang taman
Meski kurasakan napasmu menderu hingga daun pintu
Kau bertahan, ingin lagu itu berhenti pada chorus yang benar
"Aku akan pulang tanggal 19," katamu seperti tetes hujan
Ada Natal menunggui cemara cantik di ruang tamu, puisi-puisi
yang berserak di lantai teracotta, di belahan bumi yang lain
Tiba-tiba rindu mengental di gelap kopi -
seperti malam-malam sebelumnya
Kita sepakat, dengan kata-kata, sulit mengutarakan perasaan
Sangat ingin kumasuki lorong panjang di matamu:
Koridor lengang berdinding marmer crema-marfil
Hingga tiba di pembaringan dengan kelambu benang katun
di sebuah rumah gaya Tudor, di sebuah kota dengan banyak menara
yang tertanam pada atap bangunan
"Aku harus pulang tanggal 19,"
Suaramu bergema di rongga dada, karena engkau meniupkannya
ke pori-pori. Dan mengaliri setiap pembuluh darah
Tunggulah barang seabad: aku belum selesai menghitung
jumlah helai rambut emasmu
Jakarta, 30 Desember 1997

 

JANJI

Suatu hari saya akan datang padamu dengan raut muka ramping berucap lembut dan tatapan lunak Sebelum berubah pikiran. Tentu Kami tak akan bicara banyak setelah letih berdiri dalam antrian panjang untuk mendapatkan seliter beras dan minyak. Tak akan! Bahkan hendak berhemat kata, karena suara serak, sehabis teriak di depan kantor tenaga kerja. Kami tiba-tiba tidak mengerti mengenai tata-krama menyampaikan aspirasi. Kami mendadak pandai mencaci-maki. Tapi dengarlah tangis bayi kami, ketika susu seolah menghilang dari muka bumi.
Namun kami cukup tenteram, karena para pemimpin masih memberi senyum setiap tampil di televisi. Sehingga kami ramai-ramai menyumbang emas keringat-airmata-darahkami. Dan wajib saling bahu-membahu untuk mengenal betul siapa lawan sesungguhnya.Ya. Tak seharusnya kami kehilangan akal.
Suatu hari saya akan datang padamu dengan gairah yang meletup-letup: bagai ribuan sirip api dan riuh bunyi gemerincing: mirip rantai pada kedua kaki
1998

 

HUJAN 1/2 JAM

Tetes terakhirnya tertinggal di genting apartemen Atap Merah:
Ketika itu kau menulis surat
Dengan kertas buram, pensil 2 B, huruf latin tegak
Mengingatkan aku pada jarum-jarum ilalang, setelah
ratusan acre ombak ladang gandum, dan burung-burung
yang diusir dengan berbagai tetabuhan
Dan kapas-kapas berhamburan dihembus angin
yang terlambat
Hari belum sore benar
Tapi percintaan telah sampai pada puncaknya
Sisa bunyi titik air menjelma detik --waktu yang perlahan menarik diri
Ranjang menjadi sunyi kembali. Rambutmu kusut,
bagai sprei yang terlihat dari balkon
Dan cuaca membeku di jendela
Ketika itu seluruh kalimatmu mengandung tanya:
Di bumi mana sebenarnya kita berpijak
(Hujan setengah jam telah memberikan banyak kisah, yang
sempat menyingkirkan beberapa reportase rutin)
Ketika itu, kau melipat surat dengan tergesa
Menulis sebuah alamat asing di atas sampulnya
Sementara itu, kita berjalan ke arah lain:
sebuah aliran waktu yang baru
Jakarta, 29 Desember 1997

 

DAUN-DAUN MUSIM GUGUR

: Tris Neddy Santo

Setangkai daun mapple yang telungkup
Bersaing warna dengan kuning senja
Di antara baris-baris pohon yang mulai renta
Angin musim gugur menyapa dengan kecupan dingin
Seperti ini puisi dibacakan, dan mereka berpaling
Meski airmata di pelupuk tak sanggup berdusta
Sore cepat menabur warna
Orang-orang melangkah sedih
Dengan busana yang menyentuh tanah, dihitungnya
hari yang terbuang di kantor-kantor bank
Atau pada meja yang selalu penuh arsip
Mungkin, pekerjaan datang seperti kelahiran bayi
di negara dunia ketiga: tak putus-putus
Mungkin perasaan sudah waktunya digosok kembali
dengan beberapa perjalanan tanpa beban
Suratmu terakhir kali, bisa jadi telah kehilangan huruf
Terletak masai, mirip setangkai daun mapple
yang akhirnya terlempar oleh deru mobil
Semakin banyak saja hutangku padamu:
Rindu yang akhirnya berbunga waktu
Atau dendam
Untuk sekedar menampik keinginan bertemu
Sudahlah --tahun bagai tak sabar menanti metahari
tenggelam. Setelah itu: seolah dimulai lagi penciptaan bumi
Untuk menulis kembali nama-nama di atas daun
Untuk menangkap kembali peristiwa reranting jatuh
di musim gugur...

 

PROSCENIUM

: Nungky Kusumastuti

Mimpi itu berakhir. gugur di luar panggung Ketika selendang dilipat dan kembali disimpan Rias yang leleh bersama peluh, membercak di jari kaki Musik pun berhenti. Terusir dari ruangan Lampu-lampu seperti bintang yang letih menjelang pagi Kini terasa, kenyataan menambah perih luka Jam yang takluk, detiknya runtuh Saatnya bergabung dengan yang lain: yang menertawakan, yang mengulurkan tangan, yang lewat saja Penonton dengan sisa tepuk tangan, mulai beranjak pergi Mengingat sedikit yang terjadi di sini Atau langsung melupakan karena waktu terus mendesak Mereka pun sebenarnya orang-orang kalah Mimpi itu berakhir: serupa dengan layar yang ditutup Warna suram, sekali lagi, menguasai ruang Menguasai hati. Menguasai petak-petak sunyi peristiwa Ada keinginan bernyanyi, menghibur laki-laki yang sibuk menyapu di antara kursi-kursi Dan tak sengaja menendang kaleng minuman Gema panjang suaranya memanggil nyaring Tapi, rasa riang itu betul-betul sembunyi Adakah malam yang lain lebih baik dari ini?
Sehingga sepasang kekasih sanggup mengenang dan saling menuang cinta bertubi-tubi Adakah?

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler