Skip to Content

PUISI-PUISI LK ARA

Foto SIHALOHOLISTICK

TAK ADA LAGI

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali merasakan sinar bulan
Yang dingin oleh rindu

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali mendengar rintih angin
Di air danau

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali memandang kuburan tua
Tempat istirahat nenek moyang ku

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali menyaksikan embun turun
Membasuh wajah rakyatku

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali merasakan gema doa
Dari orang yang menderita
Doa yang membumbung ke langit
Bersatu dengan awan
Bersatu dengan matahari
Lalu turun kebumi
Mendatangi rumahmu
Memberi salam padamu
Masuk kehatimu
Bicara tentang keadilan

Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Kecuali bekas masa kanak-kanak
Yang tertutup debu

Tak ada lagi yang ku cari disini
Kecuali melihat bayang sejarah
Perlahan tenggelam
Tak tertulis

Tak ada lagi yang ku cari disini
Tak ada lagi
Selain menyaksikan kasih Mu
Yang terus menyirami bumi
Lho’Seumawe – Takengon, Januari 1986

 

166 NAMAKU

166 namaku
Aku bukan angka
Bukan pepohonan dan rimba

166 namaku
Aku bukan angka
Bukan sungai dan segara

166 namaku
Aku bukan angka
Bukan besi dan baja

166 namaku
Aku bukan angka
Bukan langit dan angkasa

166 namaku
Aku bukan angka
Bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang disirami ibu-bapa
Kuncup bunga
Yang digayuti embun dinihari
Kuncup bunga
Yang diusap mentari pagi

Ya aku bukan angka
Tapi kuncup bunga
Yang ingin mekar
Ingin mengirim wangi sekitar
Jakarta, 1985 

 

SEDEKAH

Tujuh puluh bencana
Mengarah pada kita
Bagai mana menolaknya

Tujuh puluh sakit
Mendera kita
Bagaimana menyembuhkannya

Tujuh puluh pencuri
Mengganyang harta kita
Bagaimana mencegahnya

Tujuh puluh amarah Tuhan
Membakar kita
Bagaimana menghindarkannya
Bahkan membakar nadi kita
Bagaimana memadamkannya

Hampir kita lupa
Untuk itu semua
Ada satu cara
Sedarhana dan bersahaja
Mari kita bersedekah
Sedekah menolak bencana
Menyembuhkan sakit
Mencegah pencuri
Menghapus amarah Tuhan

Sedekah mencipta
Keakraban handai taulan
Sedekah mencipta
Suasana sejuk antara kita
Ia embun pagi
Menetes ke hati
Jakarta, 1985

 

SEORANG TUA BERJALAN

Setiap hari ia berjalan
Dijalan itu juga
Setiap hari ia berjalan
Badan sedikit terbungkuk
Langkah satu-satu
Di jalan itu juga

Ada senja
Menyamarkan jalannya
Tapi ada bintang
Terbit menolongnya
Semua tak ia minta
Tapi turun begitu saja
Di jalan itu juga

Ada matahari terik
Meneteskan keringatnya
Tapi ada angin
Meniup tubuhnya
Datang begitu saja
Semua turun begitu saja
Di jalan itu juga

Setiap hari ia berjalan
Di jalan itu juga
Dibawah langit itu juga
Pohon, dedaunan
Tiang listrik, aspal jalanan
Begitu ramah padanya
Kadang seperti menegurnya
Selamat pagi
Atau selamat sore
Atau selamat malam

Oarng tua itu
Melangkah dan melangkah
Di jalan itu juga
Setiap langkah
Ia mengucap Allah
Jakarta, 1986

 

JABAL GHAFUR

Untuk N.A.R.

Kulalui petak sawah yang luas
Padinya hijau melambai padaku
Kulalui kebun kelapa
Tinggi pohonnya
Daun menggapai awan
Lalu turun
Menggapai hatiku

Kulalui desa-desa tua
Desa perjuangan masa lalu
Disana tersenyum ayah bundaku
Lalu kutembus kabut debu
Kutembus juga sejarah gelap masa lalu
Kutembus semua yang menghalangiku
Aku harus bertemu dengan mu
Aku juga sangat rindu padamu
Engkau adalah kekasihku
Engkau adalah
Rumah di bawah langit biru
Disitu menitik kasih Tuhan
Aku terpana
Aku bertanya siapa namamu
Lalu pepohonan, gunung di jauhan
Sungai dan lautan gelombang berseru
Semua berseru
Jabal Ghafur, Jabal Ghafur
Sigli, 25 Januari 1986

 

UNTUK DO KARIM

Pagi ini
Seperti ada yang menitik ke bumi
Barangkali embun
Atau gerimis sunyi
Atau desah syair sepi

Pagi ini
Seperti ada yang bergumam di bumi
Barangkali suaramu
Atau jerit luka
Atau tusukan syairmu
Ke hulu hati

Pagi ini
Seperti terdengar kersik angin
Atau percik keringat bumi
Mengguratkan namamu
Di pualam abadi
Sigli, 20 Juli 1986

 

SINAR

Tuhan
Aku perlu matahari
Sinar yang kau hamparkan
Bagi umat semesta
Tapi aku perlu juga
Sinar mata kekasih
Sinar mata yang menggorek dosa
Dan menggantinya
Dengan amal dan iman
Lamprik, 9 Agustus 1986

 

DI TANGSE

Siapa yang masih mendengar suara
Yang bangkit dari rumput
Siapa yang masih mendengar suara
Yang mengalir dari air
Siapa yang masih mendengar suara
Yang menjerit dari tanah
Dari daun
Dari pohon
Dari duri
Dihutan Tangse ini
Suara serak parau
Suara wanita
Yang berkata
Jangan sentuh aku
Jangan
Meski aku haus
Dan kau tawarkan air minum
Jangan sentuh aku
Meski lukaku menganga
Dan kau ingin membalutnya
Jangan
Jangan sentuh kulitku
Kerena kau kafir
Musuhku
Banda Aceh, 2 Agustus 1986

 

MENCARI JEJAK

Malam itu
Aku
Seperti terlempar
Di kotamu

Aku memang tidak punya apa-apa
Dan tak mencari siapa-siapa
Jendela dan pintu
Telah tertutup untuk ku

Angin dengan leluasa
Merubuhkan tubuhku
Di emper-emper toko
Dan got jalanan

Tapi mimpiku mengalir
Bersama sunyi
Mencari jejakmu
Sampai dini hari
Penayung, 8 Agustus 1986 

 

BILA KELAK

Wahai
Bila kelak
Kau berangkat
Memetik bunga
Dan menari
Sepanjang jalan raya
Lemparkan aku di pasir

Aku akan tinggal di pasir
Aku akan berumah dipasir
Aku akan tidur di pasir
Aku akan mengutip nyanyianmu di pasir
Aku akan meraba kasihmu di pasir
Di pasir
Rindu kita akan tetap mengalir
Jakarta, 1986 

 

PERJALANAN MALAM

Seperti awan
Menjamah punggung bukit di jauhan
Begitu jemariku
Penuh kasih
Penuh rindu

Sebuah perjalanan malam
Sudah kita lalui
Perjalanan rindu
Antara awan dan bukit
Antara kau dan aku
Jakarta, 1986

 

KENING BULAN

Kening bulan
Bagai perak berkilau
Bersinar oleh cahaya iman
Yang selalu melekat
Di sajadah

Kening bulan
Bagai perak berkilau
Mendekatlah
Kepada angin kembara
Yang nestapa
Yang mencari
Dan mengembara
Di belantara dunia

Mendekatlah
O kening bulan
Angin kembara
Ingin mengecupnya
Untuk melepas risaunya
Jakarta, 1986

 

KASUR

Kau rajut daun
Dengan benang kasih
Kau susun pasir
Dengan nada rindu
Menyiapkan kasurku
Untuk tergolek tidur
Dan mimpi
Di sampingmu
Ujung Bate, 1986

 

LAUT SIGLI

Semua keluh kukirim kepadamu
Semua risau kubenam kelaut mu
Rasa kesal dan benci kusampaikan kepadamu
Rasa kawatir dan takut kuceritakan padamu
O, laut Sigli

Semua derita ku tumpahkan kepadamu
Semua rindu kunyanyikan untukmu
Rasa sunyi dan nyeri kukirim padamu
Rasa takluk dan menyerah rubuh kepangkuanmu
O, laut Sigli
Izinkan aku memanggilmu
Ibu

Sigli, 21 Juli 1986

 

BANDA ACEH

Yang masih ku ingat tentang dirimu
Adalah pahatan sejarah di batu
Dalam goresan bisu
Yang kuraba dengan rindu
Ujung Bate, 8 Agustus 1986

 

IYA

Angkasa yang sepi
Lihatlah
Ibu terbang
Sebelah sayapnya
Iya
Bumi yang tua
Lihatlah
Bapa berjalan
Sebelah kakinya
Iya
Matahari, bulan, dan bintang-bintang
Yang semua nampak serta
Terbungkuk-bungkuk menerangi
Ibu dan bapa menempuh jalannya

 

CATATAN PADA DAUN

Kau mencatat pada daun
Sebuah pesan
Ketika langit sempat biru
Tanpa awan
Setelah kau pergi
Jauh
Kubaca pesanmu
Lalu kusimpan
Jauh
Dalam diriku
Kini pesan itu
Mengalir dalam darahku
Dan bila aku mati
Ia kusimpan di syair sunyi

 

DENGAN SETIA YANG MARAK

Biar perjalanan jauh masih
Dan badan terkulai lunglai
Namun hasrat jati dihati
Tetap marak pada tujuan
Kamboja di dalam taman
Menaungi jasad kejang dan dingin
Tergeletak diam pada lahirnya
Pada batinya meneruskan perjalanan
Sungguh teramat jauh ujung
Oleh ramai onak dipangkal jalan
Tapi relai sakit dan senang
Di jalanan Ia tentukan
Langkah barulah berarti dilangkahkan
Dengan setia jang marak kepadaMu, Tuhan

 

SALAM 1

Salam kepada pintu terbuka yang tersenyum memandang kita
Salam kepada kerikil yang menciumi kaki kita yang bersih dan kotor
Salam kepada bunga di dalam pot dan bunga di luar pot yang memberi
Wangi harum kepada kita
Salam kepada rumput yang hijau yang jadi permadani
Salam kepada kendi yang berisi air dingin yang membasuh tangan, kaki,
Dan wajah kita
Salam kepada tangga yang tinggi yang diam dan setia
Salam kepada lantai yang rapat dan renggang
Salam kepada tikar yang berkembang dalam warna-warni
Yang mengasyikan mata
Salam kepada seisi rumah, lelaki, perempuan yang besar dan kecil
Salam kepada kita semua
Salam

 

DI GERBANG KAMPUS ITU

Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba berdiri
Di gerbang kampus itu
Ia tengadah ke langit
Lalu menjerit
Suaranya hilang entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari bintang
Jatuh kebumi
Berserakan di bumi
Menjadi syair

Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Tiba-tiba terengah
Di gerbang kampus itu
Setelah ribuan kilometer berlari
Mencari
Lalu tertunduk
Menangis
Tangisnya kemudina hilang
Entah kemana
Tapi tiba-tiba menetes kata
Dari batu
Tergulir ke bumi
Menjadi puisi
Yang abadi

Seorang setengah baya
Entah dari mana datangnya
Kemudian pergi
Entah kemana
Di subuh hari
Ketika seorang mahasiswa
Membuka pintu gerbang kampus itu
Ia lihat kertas lusuh
Di sana tertulis
Tuhan, berkahi usaha mulia ini
Jakarta, 1986 

 

KUTACANE

sebuah kota berpagar gunung

matahari terik langit biru

tanah subur bersyukur

memercikkan tanaman

berkat keringat tumpah

dari gagang cangkul

lelaki kuat

atau dari sabit langsing

di lengan halus

gegadis jingga

 

sebuah kota digelitiki sungai

bersemu malu gadis jelita

bulan muda di kaki langit

membungakan senyum

melihat nelayan mengembangkan jala

dari perahu

atau tangan-tangan teracung

menahan pancing di atas air

 

sebuah kota mekar oleh dongengan

mimpi-mimpi disuburi cerita nenek moyang

setiap pintu rumah tahu

kisah beru dihe dan sipihir

kasih tak sampai

atau silayar tunggal dan beru jinem

kasih satria di ujung pedang

atau beru pagan

putri jelita tanpa bandingan

 

sebuah kota

tanpa patung-patung megah

hanya menyimpan kuntum luka

amis darah di rumpun bambu

benteng tua tinggal kenangan

 

 

 

LAWEE BULAN

hati gelisah reda oleh kecipakmu

airmu jernih rela menerima

tubuh berlumpur hitam keringatan

 

dada sepi hangat oleh nyanyianmu

lenggangmu lapang

tubuhmu putih ramping

melenggokkan angan ke labuhan mimpi

 

pagi sebelum fajar

mencium wajahmu sejuk

gadis-gadis merebahkan pipi

menyentuhkan tubuhnya di arusmu

bertanya

berapa banyak pemuda di muara

yang rubuh mempertahankan negeri

 

sungai bulan kala senja

sebelum tudung malam terkembang

menampung keringat dan daki

menyambut jari-jari dan dada terbuka

menyirami kaki kanak-kanak

dan membasuh mata para janda

 

sepanjang malam sungai bulan

memerciki batang padi

mengedipi bintang-bintang

angin bersiul

lawee bulan lawee bulan

 

 

LAUT TAWARKU

di lereng-lereng gunung menujumu

di atas bus yang menderu

detak hati kian keras

kuatir nasibmu

sore itu

 

parasmu diusap senja

alangkah tenang

salam sederhana kau ulurkan padaku

tanpa iringan gelombang

ataupun pikatan kecipak riak

pertanda bulan akan mengambang

 

dalam sunyi malam

sebelum fajar

perahu nelayan lesu

pulang ke pangkalan

setelah semalaman direndam dingin

kulihat baju-baju lusuh

dan mata diberati kantuk

 

jalan yang meliku ke pangkuanmu

wangi oleh kenangan lama

kian terasa

sentuhan riang riak-riakmu

pada mukaku yang meminati

 

jalan menurun ke jantungmu

lembut oleh siraman embun

yang menetes teduh

tanpa suara

menjamah langkahku

satu satu

kala kuturun ke tepian

dengan debaran mesra di hati

 

BUAT PAMONG

kami sudah tahu

kami akan nyanyi indah sekali

jadi jangan senandungkan lagu biru

kami sudah tahu

bapa butuh tugu buat diri

percuma itu semua merdu

malam tak selalu purnama

bintang timbul bintang tenggelam

 

kami mau bapa datang dengan seluruh diri

kami akan terima dengan seluruh hati

kami tahu rasa kami tahu warna

 

nanti bila datang malam bapa

jangan takut

kami telah jadi penyair

kami telah jadi pelukis

segala kata dan nada dipahatkan nanti

tembaga atau emas tugu buat bapa

sejarah bakal tentukan

 

ANGIN HUTAN CEMARA

angin hutan cemara

ditegur fajar

buru-buru bangkit

menyongsong petani

yang bergegas naik

ke lamping gunung

ke ladang luas

di mana harapan berkecambah hijau

semakin hijau

 

angin hutan cemara

siang-siang

mengantar harum bunga

ke tiap tangga

dengan kipasnya riuh

mengibas panah surya

yang terpacak di punggung pekerja

melegakan dada

untuk nyanyi-nyanyi kecil

diselang-seling ayunan cangkul

 

angin hutan cemara

sore hari

habis perjalanan jauh

walau lelah

masih sempat

melipur pengambil kayu

atau nelayan di sungai

dan pengembala di padang-padang hijau

meringankan langkah mereka

menuju rumah dan rumah tangga

 

angin hutan cemara

biasanya gemerisik

hanya sesekali menderu

tapi kian kalinya mengingatkan

enam puluh ribu hektar

cemara menderai

tak jemu-jemu menderai

minta diolah

namun tak pernah diacuhkan

walau dua puluh tahun lebih

kita merdeka

 

angin hutan cemara

ceramah namun ramah

menawarkan bagia

bagi tiap orang

yang ingin mencicipinya

 

KABAR

dalam caya senja

suratmu tiba

baris-baris puisi

berdiri

menatapku

bola-bola matamu

memandangku

memandang

 

angin cemara

senja itu

mengusikku

menggeraikan rambut

duh, kian putih juga

aku kembali

ke matamu bening

ke kisah kotamu kini

agung oleh menara

lampu warna-warni

tapi di lorong-lorong gelap

rakyat merintih

ditindas beban berat

ya, anakku

di caya matamu sayu

derita rakyat kecil

kusaksikan

dalam caya senja

suratmu tiba

baris-baris puisi

bola-bola matamu

memandangku

ya, anak

rangkullah ibu

 

GUNUNG SINGAH MATA

dari puncak Singah Mata

memandang ke bawah

ke lembah pagi

ke liku-liku senyap

 

dari puncak Singah Mata

menyaksikan awan

berguguran

berkas-berkas caya

turun ke rimbun pohon

burung-burung

hinggap dan terbang

kijang-kijang berkejaran

di panas bertelau

pekik dan ciap

meriangi siang hari

panorama abadi

mengusir keresahan

 

dari puncak Singah Mata

memandang ke gunung di depan

di sampingnya jalan meliku

tadi pagi kita lalui

tanpa engah

 

tiap jengkal tanahnya

mengandung perih

darah dan keringat

riwayat derita

di bawah sangkur penjajah

 

 

SUNGAI PESANGAN

airmu jernih

kaca alam yang permai

kala angin lena

dalam genangan siang

 

dengan kemilau

caya surya

kau elus kaki tebing

yang berkukuh

dalam tapanya bisu

 

kadang arusmu gemuruh

menempuh batu-batu

seakan tergesa

membawa berita

putri hijau

berbaju ular

bakal bangkit

dari danau

 

arusmu pun gitu deras

gitu tergesa

hingga tak engah

ada gadis

membungkuk di tebing

termangu mencari

bayang cintanya hilang

dalam golak air

di antara batu-batu

 

riakmu kecil-kecil

putih-putih oleh bulan

adalah selingan mesra

dari umbang-ambing peristiwa

 

RAHMAT

angin lembut

yang menjamah ladangmu

menyepoikan puisi

membisikkan lagu juang tanpa akhir

 

alunan sungai

yang membelah sawahmu

mengapungkan puisi

caya-caya semangat dan keyakinan teguh

 

pada hujan renyai

turun ke bumi

mendesah napas puisi

dendang petani lagukan kerja berkepanjangan

 

panas mentari

yang menyiramimu

menaburkan puisi

himmah dan hikmah yang kekal

 

bersyukurlah

bersyukurlah

Tuhan tak putus melimpahkan rahmat-Nya

 

 

TENTANG L. K. ARA

Menamatkan SD dan SMP di tanah kelahiran, Takengon, Acah, L. K. Ara melanjutkan belajar di Taman Madya, Taman Siswa, Medan, sembari bekerja sebagai pengantar koran. Kemudian masuk perguruan tinggi jurnalistik Medan. Ke Jakarta, mula-mula bekerja sebagai guru SMP “Sinar Kemajuan“ (1959), menjadi pegawai di kantor Kabinet Perdana Menteri dan tahun 1963 pindah ke Balai Pustaka. L. K. Ara punya perhatian yang besar pada sastra darah Gayo dan telah mengumpulkan puisi, melengkan (prosa liris), pribahasa dan teka-teki dan menghasilakn lebih kurang 20 judul khasanah sastra daerah Gayo. Karyanya yang telah terbit antara lain: Angin Laut Tawar (1969), Kumandang (1971), Serangkum Saer Gayo (1980), Namaku Bunga (1981), Anggrek Berbunga (1982), Kur Lak Lak (1982), Buah-buah di Kebun (1982), Senandung Burung-burung (1982), Senjata Pusaka Kita (1983), Umbi Sahabat Kita (1983).

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler