Skip to Content

PUISI-PUISI MAFTUHAH JAKFAR

Foto SIHALOHOLISTICK

Lahir di Batuputih, Sumenep, Madura, tanggal  15 Desember 1975.  Alumnus Pondok Pesantren Annuquyah, Guluk-guluk, Sumenep, Madura. Kini sedang menempuh pendidikan di IIQ (Institut Ilmu Alquran), Ciputat, Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam. Selama di Pesantren Annuqayah ia aktif  merintis dan membina Sanggar Az-Zalzalah bersama beberapa santriwati peminat sastra yang lain. Kumpulan puisi tunggalnya, Lubuk Lau, diterbitkan pada tahun 1995.  Puisi-puisinya dipublikasikan pada beberapa media, terutama Jawa Timur. Juga dalam sejumlah antologi bersama, seperti Malam Seribu Bulan (1993), Tetesan Nurani (1994), Tanah Kelahiran (1994) dan Nuansa Diam (1995). Dia diundang ke Penyair Madura dalam Forum (Forum Bias, Sumenep, 1994) dan Temu Penyair Se-Madura (Sanggar Nuansa, Sumenep, 1995). 

 

AIR YANG MENETES DARI TAHAJUD CINTA

menulis bara api
dengan air yang menetes
dari tahajud cinta
adalah sebentuk doa
untuk menghilangkan lelah semesta
setelah seharian berdesakan
pada setiap lipatan koran
dan genangan keringat
yang tak henti-henti
mengaliri jalanan
mengajarinya tentang tanya
ia membangun mimpinya menjadi menara
lihatlah anak-anak itu
ia bergerak sendirian
dari lelah dan keringat
tanpa muara
sebab angin tak pernah ramah menyapa
maka biarlah aku menulis bara api
dengan air yang menetes dari tahajud cinta
sebab ia adalah sebagian catatan peristiwa
yang harus ditegakkan oleh anak-anak kita yang papa
Sayang, bila air itu menetes lagi
dari tahajud cinta kita
biarlah menjadi sebentuk doa
sebab cinta lebih abadi dari segalanya

1998

 

KEPOMPONG DI UJUNG MUSIM
Kepompong di ujung musim
teriaknya hanguskan dingin
karena batu-batu yang hendak dipijakinya
tenggelam dalam dering telepon
hingga tak ada lagi yang mendengarnya

Kepompong di ujung musim
berdesakan dalam antrean panjang
meski daun-daun pada pohonan
menguning dan berguguran

Kepompong di ujung musim
berteriak dan tertawa
dalam kebisingan peristiwa

1998

 

PETA YANG BELUM SELESAI
Pulau pecah
runtuh di bening air matamu
yang membalut pucat bianglala
menjadi buih sejarah hitam dan putih
berkeliling membasuh
setiap bibir pulau dengan cinta
seperti peta yang belum selesai
aku belajar mengabadikan namamu
lewat jarum jam
yang tak henti-henti berputar
hingga hujan menganak sungai
pada pagi yang kemarau
pada peta yang belum selesai
1998

 

RAKAAT
pada rakaat sunyi
kueja hujan dan terpejam
dalam mabuk waktuku hilang
bumi kelahiran menghijau di kemarau
tak tahulah, musti kuapakan engkau
meski bukit salju menjadi gugusan dendam
sebab selendang wahyu
mengalungkan kemegahan iman
dalam keindahan sembahyang

pada rakaat kedua
kupatungkan aku
bahwa puisiku telah tak mampu
menghitung dentang waktu
kumaki mimpiku
sementara malam dan zikir berpelukan
aku kembali mabuk oleh dendam
tentang detik-detik kematian

SURAU TUA
: buat Ibu

seperti es yang mencair
di surau tua kita
kini rinduku bara
karena kesejatian
yang kau taburkan
di gelora darah anak-anakmu
telah menjadi salju
menjadi bongkahan sejarah yang abadi
kini ibu, jarak yang kian panjang
tak pernah terjangkau
dengan kabel-kabel telepon
bangunan-bangunan menjulang
dan tembok-tembok beton
membuat jarak ini kian jauh

hanya tersentuh dengan kesejatian pula
adakah yang berubah dari surau tua kita kini, ibu ?

bila hujan tak lagi siram
ladang jagung kita
aku akan mengenangmu lewat doa-doa
dan tanyaku senantiasa
kapan saat perjumpaan itu tiba
1998

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler