Skip to Content

PUISI-PUISI MOCHTAR PABOTTINGI

Foto SIHALOHOLISTICK

SUATU MALAM DI HONOLULU

Seorang setengah baya

Melantunkan lagu-lagu Hawaii

Dengan gitar. Di sidewalk Waikiki

 

“Untuk tuan-tuan. Untuk nyonya-nyonya

Untuk tuan-tuan dan nyonya-nyonya!” serunya

Ke segenap turis yang lalu lalang

“Kunyanyikan sendiri

Beberapa lagu hasil piringan hitamku

Dari dua puluh lima tahun lalu.”

 

Di sepanjang deretan stalls penjual accessories

            dan perhiasan-perhiasan emas palsu

            para turis berkulit udang matang mengalir tiada henti

            dengan pakaian-pakaian santai

            dengan bikini atau sekedar handuk terlilit

 

Mereka menengok sejenak kepada sang penyanyi

Ada yang mengangguk-angguk tersenyum. Ada yang tercenung

Satu-dua melemparkan kepingan-kepingan dimes dan quarters

            yang jatuh di dekat topi tampung

 

Seorang dengan seragam penjaga Istana Eropa

Melangkah tegap dalam upacara bendera. Di King’s Village

Dengan ayunan-ayunan lincah senapan kuno

Mungkin mengimbau Captain Cook. Yang tewas di sini

Yang ruhnya bangkit kembali. Bersama Hawaii Five-O

 

Adapun tiga lengkung pelangi

Siang tadi. Di atas Magic Island dan Hanauma Bay

Telah direguk sekali teguk oleh para turis

Bersama Budweiser dan bergelas-gelas anggur

Di selonjoran lidah-lidah pantai. Di balik hotel-hotel mewah

Yang aman dan teduh

 

Adapun orang-orang Hawaii

Sudah lama tak kuasa membunuh ruh itu

Merekalah yang justru terus terdesak gusur

Pada hari-hari ini

Dari pantai ke pantai. Dari gigir ke gigir

Di tanah sendiri

 

Astaga!

Pastilah imajinasi gila

Yang meloncatkan ingatanku pada orang-orang Filipina

Dan orang-orang Betawi

Dan tak terhitung mereka. Di seluruh tanahairku

 

Sudah begitu kelu lidah kita untuk menyebut diri

Dengan nama sendiri

Honolulu, 1978

 

KERETA API TERAKHIR

Tak dihitung lagi matahari

Ketika kereta itu bergerak. Ke dunia yang lain

Cakrawala kehilangan ufuk. Orang-orang terpaku

di tempatnya

Belum pernah seribu musim turun begitu

dalam polka

dalam Pakanjara

dalam tamburnya sendiri-sendiri

 

Tiba-tiba tak ada lagi yang tersembunyi

Semua jadi teraba. Telanjang

Segala jadi bersuara. Bangkit

Menggusur jasad dan pikiran-pikiran kita

Konsep-konsep dan mimpi-mimpi kita

Dalam intensitas yang semakin tinggi. Dalam otomasi

yang sempurna

 

Maka hening pun tercabik-cabik

Maka eksistensi pun menyerpih-nyerpih

Jakarta, 1986

 

ZARATHUSTRA

Dari gelegak itu juga engkau berangkat, Zarathustra

Ketika sungai lahar menyerbu muara. Berdesis-desis

Bacalah!

Lalu kelepak cahaya langit pun singkap

Bacalah!

Lalu kalam darah pun gumpal

 

Di depan kita

Aksara telah tersalib. Darahnya raib

Dalam jeram sejarah

 

Kita harus belajar lagi

Untuk berkata

Amherst, MA, 1980

 

GRACIAS A LA VIDA

Camarku, camarku

Kaukah yang menggurat luka

Pada bianglala

 

Kaukah yang merenggut bait-bait

Dari musim. Menyebarkan sembilu

Di udara

 

Pada bayang-bayang

Masih memanjang juga namamu

Cintaku

 

Rinduku surai kemilau

Yang merekahkan bunga-bunga

Di dadaku

Menyalakan sejuta kristal

Pada rahimku. Yang tertawan

Yang kau tikam berkali-kali

 

Ya, Tuhan

Tetap saja daun-daun bernyanyi. Sambil luka

Gracias, gracias a la vida

Honolulu, 1986

 

SUARA-SUARA

Selalu dari rahim malam engkau bangkit mengusik aku

Hai suara-suara

 

Jadi duka belantara

Jadi lengking gerapai

Lalu aku pun bersimpuh di pusar aksara

Yang tak tertuliskan

 

Selalu aku tidak tahan untuk menagkapmu

Memelukmu

Relung-relung tak kunjung musim

Memupusku laron. Luluh dalam nyala

 

Selalu dari rahim malam engkau bangkit mengusik aku

Hai suara-suara

Jakarta, 1986

 

BURUNG-BURUNG TELAGA CAYUGA

Pada matamu rimba membukakan daun-daunnya

Memanggil matahari

 

Pada matamu padang ilalang menguraikan rambutnya

Menyebarkan harum telaga musim panas

 

Pada matamu kurasakan gelitik air sungai

Menciumi batuan kali

Dan mataku lalu terbenam pada matamu. Seperti matahari

Terbenam pada telaga. Hingga lahirlah bianglala

 

Dan itu pun terjadi

Begitu saja

Di tepi danau. Di tengah hutan

Engkau dan aku

Mengalir bersama sungai

Meregangkan batang-batang pohonan

 

Kita saling membakar

Dalam nyala

Letup-meletup. Jilat-menjilat

Dalam tamasya purba

Nun di pucuk-pucuk ombak

Nun di dasar-dasar lembah

Nun

Bersilancar

Bergulingan

Melesat ke angkasa

 

Ratusan kuda berpacu

Menembus gemuruh planit-planit

Angin jadi puluhan genderang

Dan sejuta seruling

Yang ditiup para malaikat

Pelangi jadi ribuan bendera

Yang mengibas-ngibas tatasurya

 

      Dan kita terus melesat

      Di tengah badai api

      Hingga kata pun tak sampai

      Hingga kita pun terhempas-hempas

      Terhempas-hempas

      Dalam samudra

 

Bukan kita yang bercinta, wanitaku

Melainkan kehidupan

Bukan kita yang berdosa, wanitaku

Melainkan penciptaan

Tatkala ia menggeliat

Tatkala busur fajar melepaskan selaksa panahnya

Tatkala bunga-bunga menghembuskan mantranya

Memenuhi angkasa

Dan meluluhkan kita ke dalam nafasnya

Honolulu, 1986

 

WAKTU

Waktu bukan lagi rantai tanya

      hidup yang tak bakal tersimpulkan

Waktu bukan lagi harap-harap cemas

      di mana kita selalu

      betah menunggui detik-detik yang panjang

Waktu bukan lagi sais

      yang tak hentinya mencambuki kita

      bagai kuda-kuda kereta

Waktu sudahlah sebuah lanskap sempurna

      di bawah terik matahari gurun

      dan kita dipaksa menatanya terus

      sudah lama kita bosan

1971

 

TENTANG MOCHTAR PABOTTINGI

Mochtar Pabottingi lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan pada 17 Juli 1945. Mencecap pendidikan di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Inggris di Universitas Hasanuddin hingga sarjana muda kemudian melanjutkan ke jurusan sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 1972. Ngambil master di Department of Sociology, University of Massachusetts dan program doktoral di Political Science Departement, University of Hawaii. Seterusnya menjadi peneliti di Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI). Mulai karir sastra dengan menulis cerpen di koran-koran Makassar sejak 1964. Sejak 1971, puisinya mulai muncul di Basis dan Horison. Tahun-tahun selanjutnya mulai muncul di Kompas, Tempo, dan majalah Prisma. Mochtar Pabottingi lebih banyak menulis esai dan artikel.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler