Skip to Content

PUISI-PUISI PIEK ARDIJANTO SOEPRIJADI

Foto SIHALOHOLISTICK

KETIKA MANCING

pagi bening begini hening

di tepi rawa pening

betapa senang mancing

plung kulempar kail berumpan cacing

 

cuma sebentar

ikan telah menyambar

tersangkut di ujung pancing menggelepar

di pangkal siang ikanikan lapar

 

siapa tak betah

terlingkung gunung sangat indah

ya illahi kauberi juga aku hiburan hari ini

di setebah lembah begini sepi

 

KETIKA MENGIKUTI ANGAN

kitri

mari kita tebas tumbuhan rawa begitu subur

biar akarnya tidak mencakar dasar lungsur

 

kitri

mari kita keruk segenap lumpur

biar hidup kita lebih makmur

 

kitri

mari kita tabur benih ikan

biar berbesaran dan berbiakan

 

kitri

mari kita kerja sementara menanti musim tiba

biar anakanak kita menjaringi hasilnya

 

kitri

usulku betapa indah

mengangguklah

 

KETIKA MENDENGAR TANGIS

kaudengarkah tangis bocah itu sejak tadi

suaranya menebari desa sunyi

merambati bibirbibir air sepi

mungkin ibunya ke pasar kota belum kembali

 

ajaklah kemari kita bawa nembang gambang suling

di tepi rawa pening begini hening

sementara dari dangau kita menghalau gelatik dan pipit peking

yang mau neba merusak bulir-bulir padi mulai menguning

 

jiwanya kan terajun tembang kita

raganya kan terselimuti udara begini segarnya

pasti sebentar saja dia pulas di sini

meski jarumjarum mentari lepas menusuki kulit bumi

 

biarkan dia mendengkur tetap di pangkuanmu

sementara kita terus berlagu

barangkali dia kan mekarkan mimpinya yang indah

tentang dunianya yang sumringah

 

MEMUSAR PADA DIRI

kudengar

dengus angin gunung

kapan kuikuti kembaranya

 

kulihat

langit seperti tempurung

kapan kugapai cakrawala

 

kusadari

berdiri di pinggang gunung

diriku sebutir debu di dunia

 

kurasakan

demikian keras detak jantung

kapan usai menggetar dada

 

kurenungkan

allah yang mahaagung

kapan aku kembali padanya

 

ADA JARAK

berdiri di pinggang bukit meniti garis alit

pertemuan bumi dengan langit

sadar ada jarak antara sini dengan sana

tapi entah berapa jauhnya

mungkinkah kita meraih satu titik di cakrawala

 

berdiri di pinggang bukit meniti jalan jarum jam

sementara bernapas lepas dalamdalam

sadar ada jarak antara kini dengan nanti

tapi entah berapa lamanya

mungkinkah kita menangkap satu detik di ujung waktu

 

berdiri di pinggang bukit kini di sini

berdampingan tersaput sepi

siapa tahu pasti

berapa panjang jarak hati kita

berapa lama tegangan rasa tahan menanti putusnya

 

JALAN TUNTANG

mendung tebal menjemputku

mengucapkan selamat datang

ketika aku sampai ke jalan tuntang

yang masih seperti dulu juga

lengang menjelang senja

 

kuperlambat langkahku

menatapi pepohonan

tepi jalan tambah tua

menggoyangkan rerantingnya

menyampaikan salam

 

gerimis luruh menyapu debu

di jalan ini pernah juga luruh rinduku

pada perawan ayu yang kini

mungkin sudah punya menantu

bila dulu kami jadi berumah tangga

 

kuusapusap jalan beraspal dengan sepatuku

barangkali masih menyimpan bekas

telapak kaki kami berdua

di jalan ini kami sadap malam

dan hatiku kulabuhkan padanya

 

mungkinkah kabut tipis itu

bisa menghapus kenangan di jalan ini

ketika kugandeng gadis menggelitiki hati

waktu aku masih jejaka

dan sekarang entah di mana dia

 

MENANTI WAKTU PISAH

barangkali ada sisa waktumu

yang kausediakan bagiku

lalu kita menangkap sepi di tepi kota

menancapkan mata di gunung telamaya

 

bukankah kau telah tahu

setiap kabut lewat kemelut batinku

mungkin kau pun ingin menumpahkan hati

sebagai bekal yang kubawa pergi

 

sementara angin mendesir

betapa aku gelisah

karena ketika mentari menggelincir

kita pasti berpisah

 

DALAM RINDU

ambarawa sudah jauh di bawah

udara dingin jenuh menjamah

masihkah hatimu kemelut

sebab bumi tersaput kabut

 

sementara menanti mentari bersinar

marilah kita diam sebentar

mengisi rongga sepi

menangkap bahasa sunyi

 

nah kaudengarkah

risik bumi

angin menyibak ampakampak

turun dari puncak bukit biru

 

nah kaudengarkah

risik hati

meningkah batin bergolak

seberkas rasa mengorak rindu

 

 

DI JALAN JENDERAL SUDIRMAN DI SEBUAH LOTENG TUA TIGA LELAKI MENYANYIKAN LAGU LAPALOMA

tiga lelaki ketemu pada suatu hari

penyair pelukis dan penyanyi

si penyair mengerti musik dan seni rupa

si pelukis tahu lagu dan sastra

si penyanyi penikmat lukisan dan puisi

 

dalam mengisi sepi loteng tua

pecahlah percakapan mereka

 

tentang iqbal tagore dan li tai po

tentang rembrandt dan picasso

tentang schubert dan mozart

hingga lupa waktu terus merambat

 

ketika jam dinding terdengar samar

si penyair memetik gitar

menentukan nada dan irama

lalu ketiganya tegak dekat jendela

dari mulutnya mengalir lagu lapaloma

 

pandang menembus sawang

mengejar megamega

tatapan menebar jauh

pada batas kota dan desa teduh

menyaksikan keluasan wajah bumi

di hati mekar ucap syukur kepada illahi

 

rasa keindahan yang bersembulan

lebur pada panorama alam gubahan tuhan

dan lagu lapaloma terus terbang

entah di mana bersarang

 

KETIKA BERDIRI DI SINI

ah terbayang masa mudaku dulu

bersama orang tua hidup di kaki gunung membiru

sementara bapak nembang pangkur di tengah sawah membajak

aku istirah di pematang sempat membuat sajak

 

kini memandang bulir padi runduk bergoyangan

di pinggir rawa pening begini sepi

sementara mengusir burung beterbangan

di sekerat bumi ini aku ingin memetiki puisi

 

MENATAP MENDUNG KETIKA SENJA

mungkin seperti mendung itu

merunduk dari punggung gunung

cepat diterpa angin turun

menyergap kota

dalam hening

 

begitu pun maut nanti

merunduk dari balik pintu waktu

di kamar tibatiba ketika senja

menyergap aku

dalam terbaring

 

TENTANG PIEK ARDIJANTO SOEPRIJADI

Piek Ardijanto Soeprijadi lahir di Magetan, 12 Agustus 1929. Berprofesi sebagai guru. Menggeluti senis sastra, seni drama dan seni musik. Oleh HB Jassin dimasukkan ke dalam golongan angkatan 66. Kumpulan puisinya: Burung-burung di Ladang (1983), Percakapan Cucu dengan Neneknya (1983), Desaku Sayang (1983), Lelaki di Pinggang Bukit. Tulisannya juga terkumpul dalam Apresiasi Sastra dalam Nilai-nilai Luhur Budaya Bangsa.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler