Skip to Content

PUISI-PUISI PUTU OKA SUKANTA

Foto SIHALOHOLISTICK

SURAT BUNGA DARI UBUD

Tak ada perangko buat mengirim

kutempel bunga di pojok amplop

 

Yang terhormat Dunia

aku tumbuh warna-warni

dari darah pelukis yang dibantai

harumku seharum namanya

Ubud, 13 Oktober 2004

 

TOLONG PAK PRESIDEN BARU

tolong hati-hati membawa pantat

jangan sampai basah kebanyakan dijilat

 

tolong hati-hati membeli kacamata

jangan salah pilih kacamata kuda

 

tolong sering-sering memeriksakan gigi

jangan sampai taring memanjang sendiri

 

tolong buatkan instruksi khusus

agar wajib memasang perangkap tikus

di tempat kerja dan di dalam dada

 

tolong wajibkan setiap pagi senam kepala

menengok ke kiri kanan, ke belakang ke muka

ke atas dan ke bawah, bagi orang kaya

tidak terkecuali polisi, politikus dan tentara

 

tolong pak presiden-baru ingatkan para lelaki

jangan lupa diri

agar ingat neneknya perempuan

agar ingat ibunya perempuan

agar ingat istrinya perempuan

agar ingat pacarnya perempuan

agar ingat punya anak perempuan

(maaf temanku yang gay, dan yang lesbian

ini simbol, bukan hanya perkelaminan)

kan kita tak akan ada kalau mereka binasa 

 

ah belum apa-apa terlalu banyak aku minta tolong

maksudku baik, agar jangan melupakan orang minta tolong

atau hanya dianggap anjing melolong

 

sekali lagi, aku minta tolong

jangan banyak berucap lho

masih banyak aturan diskriminatif lho

menjadikan aku tetap tahanan lho

tolong jangan tinggal lho

palagi hanya berucap lho

 

tabik pak presiden-baru

aku akan sering kirim puisi

tolong jangan dibalas dengan mengirim polisi

Jakarta, September 2004

 

MASA LALU

bukanlah duka, ia juga bukan getir yang keruh

bukan rindu, sesekali ya, rumah jauh yang kian menjauh

bukan hanya album mengusang tapi tulang belakang

 

masa lalu

pohon yang merontokkan daun-daun dendam

menguning, kering diserap serabut bumi

 

jika engkau bertanya: siapakah aku?

kujawab singkat, tetapi kuharap engkau tidak kecewa

: harapan

aku bukan Gautama yang membuang rakit setelah tak terpakai

aku adalah Gautama yang membangun nirbana sambil mencari

RM, November 2003

 

ZHOUZHUANG CINTA MEMBELIT KOTA

Di sini sungai membelit kota

seperti cinta membelitku

tapi begitu jauh, jauh

 

tukang sampan mengayuh dayung

menghanyutkanku yang sedang mencari

mencari, di sini aku mencari, di tanah air aku mencari

 

aku ingin berguru jadi sungai

berabad-abad mengalirkan cintanya

memeluk kota, menghanyutkan kesendirian

air kelabu, langit menyatu warna

lampiun di tepi kali mulai berbinar-binar

memberi arah denyut manusia

 

Jika aku pulang, di mana tempat berlabuh?

Zhouzhuang, 29.11.04

 

STOCKHOLM

buat sofyan waluyo dan z. afif

 

jelas ini bukan di pendopo taman siswa

orang-orangnya bermantel tebal berbahasa jawa

di sebuah gedung di huddingen swedia

tapak kaki di langit hujan bertanya

 

ada dosenku, ada kawanku, ada wajah haru

yang mana pilihan

yang mana tempat buangan

yang mana tanah air

kangen embun meneteskan air

 

anak-anak kehilangan kampung

internasionale mengapung

rinduku rindumu

penjelajah demam dalam bertemu

Huddingen-Amsterdam, November 2000

 

PATUNG LIBERTY

Kutatap patung Liberty

Teringat puisi tinggal di bui

New York, 2000

 

BUNG AGAM

engkau tidak pernah pergi

di manapun engkau kini

tertinggal puisi

tumbuh menggedor tirani

mencatat latini, bandar betsi, reformasi

kembaramu memahatkan puisi

hingga batas keampuhan insani

 

engkau tidak pernah pergi

tiba-tiba aku merasa sendiri

Jakarta, 2003  

 

BULAN DI ATAS TERAS

Bulat tembikar

bercahaya

relung sutra biru

dari teras beradu pandang

kedamaian rasa melintas sepintas

sebelum teringat kawan di pengungsian

 

Bulan di atas teras, bulan tembikar

lampu alami di atas penampungan

RM, 2007

 

 

SEMAKIN SERING

Semakin sering kita bertanya

tidak hanya di mana kita sekarang

kabut knalpot menutup pandang

bukankah masih di rumah kita berdua

Ragu, keraguan, gamang, kegamangan

 

Siapa engkau istriku?

siapa aku suamimu?

 

Pacu kuda, kuda dilecut berpacu

mengusung ide-ide, juga amanat Tuhan

telah menjadi mantel atau degup jantung

Ah, sudah waktunya mencari terminal

sejenak, setidaknya mengenang cinta

dalam kerinduan yang tak berwajah

Jakarta, 2006 

 

DINGIN VANCOUVER

kuintip dingin Vancouver dari celah tirai

dan kutempelkan tangan memberi salam pagi

ternyata lebih dingin rusuk penjara Tangerang

yang menggigit sampai ke sumsum, penghinaan

kemanusiaan lebih tajam dari salju

 

suara gagak menyambut remang pagi bersahutan

bukan isyarat kematian

walau di Bangladesh, Sri Langka, melantunkan kemiskinan

gagak Vancouver mengundang mata terbuka

jendela lalu lintas wacana

membiarkan dingin dilukis beragam nuansa

lantas, di mana temanku aborigin itu

buldozer putih meratakan peradabannya

 

di dompetku, kusimpan sebuah pusaka:

mengapa?

Vancouver, Oktober 2000  

 

KEMISKINAN

Di kamar 210

engkau mengusik tak hentinya

Ah, aku risih, beri waktu aku sejenak melepaskan diri

beri aku waktu sejenak mengaca diri

dalam kemewahan aku ingin melupakan kemiskinan, tau?

Ubud, 11 Oktober 2004

 

TENTANG PUTU OKA SUKANTA

Putu Oka Sukanta lahir di Singaraja, 29 Juli 1939. menulis sejak usia 16 tahun. Menerima hadiah Nemis dari Chili untuk cerita pendeknya Luh Galuh. Pernah dipenjara selama 10 tahun di zaman Orde baru tanpa diadili karena menjadi anggota Lekra (1966-1976). Kumpulan puisinya al: Selat Bali (1982), Tembang Jalak Bali (1986), Salam (1986), Tembok-Matahari Berlin; diterjemahkan ke dalam Bahasa jerman; Die Mauwer-Die Sonne Berlin (1990), Perjalanan Penyair (1999). Novelnya al: Merajut Harkat (1999), Di Atas Siang di Bawah Malam (2004), Kerlap Kerlip Mozaik (2001). Kumpulan cerpennya, al: Keringat Mutiara (1990), Rindu Terluka (2005), Bukan Kematian (2006).

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler