Skip to Content

PUISI-PUISI RAMADHAN KH

Foto SIHALOHOLISTICK

PEMBAKARAN

1
Pacar!
Coklat matamu subur,
Coklat darah tanah Cianjur.

Tapi pacar!
Yang meneteskan air hujan
di bawah alismu hitam,
hanya kedua molek tanganmu
dan aku dengan mesra dibalur madu.

Dan pacar!
Bulan perak telah bertukar bara api.
Dan aku dan aku lagi
yang mesti membalik tanah
seperti neteskan air hujan di mata kedua belah.

Pacar!
Yang lain tak ada.
Kau dan aku hanya.

2
Kalung melati kemenangan,
dibelitkan di leher jenjang,
tapi cuma bulan yang merayu,
kemarin dan hari ini tetap gerah merebah.

Dan tenggelamnya matahari
hanya malam menyepi,
kurban dinanti menyendiri
untuk di hari pagi.

Patahnya malam,
hanya berarti pengungsian
ditusuk di bagian yang paling lunak.

Dara!
Kalau mau ganti cerita,
jangan menanti turunnya hujan!

Dara!
Kalau mau ganti warna,
mesti ada pembakaran!

3
Penyair
kayu pertama
di tumpukan pembakaran.

Penyair
abu landasan
di tumpukan reruntuhan.

Dara!
Bimbang hanya
mencekik diri sendiri!

Dara!
Takut hanya
buat makhluk pengecut!

4
Siapa cinta anak,
jangan jual
tanah sejengkal.

Siapa cinta tanah air,
jangan lupakan
bunda meninggal.

Siapa ingat hari esok,
mesti sekarang
mulai menerjang.

5
Keris tempaan Dewi Cikundul,
diembunkan di bulan pagi.
Minumlah setetes darah sangkuriang,
satukan ketiga sungai di hari suci.

Keris tempaan Dewi Cikundul,
diraut di bulan pagi.
Kalau jumpa bukan yang dicari,
balikkan ketujuh gunung berapi.

6
Dara
sudah lari bersembunyi
sejak senja.
Kota ditikam menyendiri.

Tiada ranting kebahagiaan,
burung malam tiada terbang.
Tiada daun kebebasan,
juga sedapmalam ketakutan.

Bunda,
setengah darahku yang tinggal,
kukira mesti kuhabiskan seperti dulu;
sayang,
kalau gadis-gadis mesti jadi perawan tua,
sebab malam ketakutan
tak menemukannya dengan pria.

Bunda,
setengah darahku yang tinggal,
kukira mesti bercecer di jalanan;
sayang,
kalau dengan bulan tak bisa lagi bersua,
sebab malam ketakutan
tak mengizinkan untuk bercanda.

7
Juga belati di batu laut,
tak setajam
cianjuran di atas petikan pantun.

Dan untuk kebebasan jiwa
kuserahkan hidup dan bayi merah.
Bunda bilang dan ajarkan
Kesabaran membawa roh ke alam sorga.
Penyair paling setia m
engajak sekali waktu untuk bersikap.

Juga belati di batu laut,
tak setajam
cianjuran di atas petikan pantun.

 

DENDANG SAYANG

1
Di Cikajang ada gunung,
lembah lengang nyobek hati,
bintang pahlawan di dada,
sepi di atas belati;
kembang rampe di kuburan,
selalu jauh kekasih.

Di Cikajang ada kurung,
menahan selangkah kaki,
bebas unggas di udara,
pelita di kampung mati;
fajar pijar, bulan perak,
takut mengungkung di hati.

Di Cikajang hanya burung,
bebas lepas terbang lari,
di bumi bayi turunnya,
besar di bawah mengungsi;
sepi di bumi priangan,
sepi menghadapi mati.

2
Sejoli ciuman sepanjang malam
di kepanasan tanah priangan.

Mengharap fajar menambah umur.
Siang mengulang kerja,
biar antara kejepitan hati.

Sejoli geletak antara semak,
mengulang takut menghadap maut,
serangga menyusup di lubang-lubang.

Masih tanya apa sampai bulan pagi
bertemu di pelukan paling akhir,
kepastian hanya dalam harap dan berharap.

Sejoli ciuman sepanjang malam
di kedinginan pantai selatan.

3
Bumi ini dibawa ke alam hijau
dan perang tiada
di atas tali-tali kayu berlubang.

Sumur segala derita,
bersamaan semua berpelukan.

Bumi ini dibawa ke alam hijau
dan perang tiada
di atas hati-hati dara berluka.

Sumur segala sayatan,
penampung tangis bertukaran.

4
Kemboja putih di senja hari,
Rama-rama hitam jatuh di pangkuan janda muda.
Kemerahan di ufuk barat,
Membawa menyusur dari pantai ke pantai.

"Tengok dataran tanah priangan, Gadisku manis".
Ayah dipaku di lima tempat, B
unda berlari dari tepi ke tepi,
Tiada menemu teratak lengang.

"Tengok dataran tanah priangan, Gadisku manis". D
an si dara tiada bisa berkata,
Pacar gugur tiada menemu kuburannya.
Dan si dara hanya bisa meraba,
Membelitkan kalung kenangannya.

5
Gadis dendang di ladang pisang,
belum tahu manis jantungnya.

Aduhai!

Gadis dendang di matahari,
hanya bisa tahu teriknya.

Aduhai!

6
Kijang
jadi buruan,
ladang.
kesepian.

(Malam hitam
gemetar. )

Kijang
minta pengurbanan,
tanda
kejantanan.

(Bulan perak
memudar. )

7
Aku tutup rapat pintu dan jendela
untuk tidak tahu lagi derita
dibawa angin dan cahaya.
Tapi kembang hitam dan awan hitam
terselip selalu di tali rebab menikam.

Dihitung pacar di jari,
di satu musim larat dinanti.
Tapi derita sepanjang cerita,
pacar yang tak bisa dihitung,
larat yang tumbuh sepanjang tahun.

Tangis dan air di kelopak mata,
kalau bukan untuk diriku,
diuntukkan buat pacarku.

 

TANAH KELAHIRAN

1
Seruling di pasir ipis,
merdu antara gundukan pohon pina,
tembang menggema di dua kaki,
burangrang - Tangkubanprahu.

Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun

Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit.
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya merah ke pewayangan.

Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.

2
Harum madu
di mawar merah,
mentari di tengah-tengah.

Berbelit jalan
ke gunung kapur,
antara Bandung dan Cianjur.

Dan mawar merah
gugur lagi,
sisanya bertebaran
di kekeringan hati.

Dan belit jalan
menghilang lagi,
sisanya menyiram
darah di nadi.

3
Kembang tanjung berserakan
di jalan abu menghitam,
ditusuk bintang di timur,
hati luka di pekuburan.

Mau pergi, Nak?
-Ya, Ma. Ke mana?
- Entah, turutkan jejak lama.
Tak singgah dulu, Nak?
- Ya, Ma,
singgah cucurkan air mata.

Kembang tanjung berserakan
dipungut gadis berdendang.

Gede mengungu di pagi hari,
bintang pudar, bulan pudar,
si anak tinggalkan pekuburan,
bersedih hati.

Kembang tanjung berserakan,
dan melayu di tali benang.

4
Berbelit membiru jalan
ke Gede dan Pangrango,
lewat musim penghujan.

Gadis-gadis menyongsong pagi
di pucuk-pucuk teh yang menggeliat,
di katil orang lain menanti.

Berbelit membiru jalan
ke Gede dan Pangrango,
lewat angin dari selatan.

Ujang-ujang menyongsong hari
memikul kentang ubi galian,
dengan belati orang lain menanti.

Berbelit membiru jalan
ke Gede dan Pangrango,
juga penyair dinanti tikaman orang.

5
Hijau tanahku,
hijau Tago,
dijaga gunung-gunung berombak

Dan mawar merah
disobek di tujuh arah,
dikira orang menyanyi,
lewat di kayu kecapi.

Hijau tanahku,
hijau Tago
dijaga gunung-gunung berombak.

Dan perawan sendirian,
disamun di tujuh jalan,
dikira orang menyanyi,
tangiskan lagu kinanti.

Hijau tanahku,
hijau Tago,
dijaga gunung-gunung berombak.

6
Seruling berkawan pantun
tangiskan derita orang priangan,
selendang merah, merah darah
menurun di cikapundung.

Bandung, dasar di danau
lari tertumbuk di bukit-bukit.

Seruling menyendiri di tepi-tepi
tangiskan keris hilang di sumur,
melati putih, putih hati,
hilang kekasih dikata gugur.

Bandung, dasar di danau,
derita memantul di kulit-kulit.

7
Setengah bulatan bumi
kusilang arah membusur,
Nyatanya
aku hanya pengembara

Seruling dan pantun
di malam gelap
menyeret pulang
turun di kali Citarum.

Dan aku kembali
ke pangkuan asal.
Bunda,
dan aku kembali
ke pelukan asal.
Kiranya
dengan tambah tua!

 

TANAH KELAHIRAN 2

Harum madu
Di mawar merah,
Mentari di tengah-tengah
Berbelit jalan
Ke gunung kapur
Antara Bandung dan Cianjur
Dan mawar merah
Gugur lagi,
Sisanya bertebaran
Di Kekeringan hati
Dan belit jalan
Menghilang lagi,
Sisanya menyiram
Darah di nadi

 

NYANYIAN UNTUK YANG DILUPAKAN

Tuhan yang menciptakan seni dan bumi,
air dan udara dan api
menciptakan semua kita yang ada,
selalu hormat dan cinta padamu.
Langit dan dedaunan gemelepar,
bulan danbintang hidup berkhitmat selalu
bagimu dan bagimu dan bagimu
Sebanyak daunan digantung di dahan pohonan
untuk memeriahkan istana yang asing dan tetap asing bagimu
meja bangket dan kemwahan dibuka,
berbatasan dengan lingkaran dunia yang pahit, duniamu.
Bulan dn bintang yang setia dan tetap setia padamu,
meredupkan lampu-lampu yang banyak dusta dan penipuan.
Namamu tergoreskan di setiap rangka tulang bangunan dan keuntungan
kendatipun tidak dicanangkan, malahan dilupakan.
Kaulah sebenarnya yang lahirkan kemerdekaan,
tanpa idamkan taman dan tugu kemerdekaan.
Kaulah sebenarnya yang bangkitkan pembebasan.
Butir padi, garam dan perlindungan
ladang daratan, air dan kekuatan,
adalah kepunyaan dan kelahiranmu.
Warisanmu adalah sungai, tanaman,
warisanmu adalah tiap tegukan dan santapan.
Kau adalah kapten barisan yang selalu ada di depan
untuk kemerdekaan dan kemanusiaan.
Kau adalah pertahanan utama yang selalu pantang menyerah
untuk pembebasan dan keagungan.
Pahlawan kemerdekaan, kaulah satu-satunya pahlawan kemerdekaan,
dan tiada yang lainyang lebih patut pakaikan mahlota kemerdekaan !
pejuang perdamaian, kaulah satu-satunya pejuang perdamaian,
dan tiada yang lain yang lebih patut kenakan bintang perdamaian.
Waktu pestol pertama meletus untuk kemerdekaan,
adalah pestol jantungmu yang ditembakkan.
Waktu bendera pertama berkibar untuk pembebasan,
adalah bendera semangatmu yang diacungkan.
Waktu kurban pertama diminta untuk keagungan,
adalah nyawamu yang pertama dikurbankan.
Kau adalah alas dan puncak semua pujian dan pujaan;
Sejak fajar sampai jadi sasaran penipuan dan pencekikan.

 

TANAH KELAHIRAN, 1

Seruling di pasir ipis, merdu

antara gundukan pohon pina,
tembang menggema di dua kaki,
Burangrang - Tangkubanprahu.

Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di air tipis menurun.

Membelit tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit.
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya merah ke pewayangan.

Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.

 

TANAH KELAHIRAN, 2

Harum madu
di mawar merah,
mentari di tengah-tengah.

Berbelit jalan
ke gunung kapur,
antara Bandung dan Cianjur.

Dan mawar merah
gugur lagi,
sisanya bertebaran
di kekeringan hati.

Dan belit jalan
menghilang lagi,
sisanya menyiram
darah di nadi.

TANAH KELAHIRAN, 5
Hijau tanahku,
hijau Tago,
dijaga gunung-gunung berombak

Dan mawar merah
disobek di tujuh arah,
dikira orang menyanyi,
lewat di kayu kecapi.

Hijau tanahku,
hijau Tago
dijaga gunung-gunung berombak.

Dan perawan sendirian,
disamun di tujuh jalan,
dikira orang menyanyi,
tangiskan lagu kinanti.

Hijau tanahku,
hijau Tago,
dijaga gunung-gunung berombak.

TANAH KELAHIRAN, 7
Setengah bulatan bumi
kusilang arah membusur,
Nyatanya
aku hanya pengembara

Seruling dan pantun
di malam gelap
menyeret pulang
turun di kali Citarum.

Dan aku kembali
ke pangkuan asal.
Bunda,
dan aku kembali
ke pelukan asal.
Kiranya
dengan tambah tua!

 

DENDANG SAYANG, 1
Di Cikajang ada gunung,
lembah lengang nyobek hati,
bintang pahlawan di dada,
sepi di atas belati;
kembang rampe di kuburan,
selalu jauh kekasih.

Di Cikajang ada kurung,
menahan selangkah kaki,
bebas unggas di udara,
pelita di kampung mati;
fajar pijar, bulan perak,
takut mengungkung di hati.

Di Cikajang hanya burung,
bebas lepas terbang lari,
di bumi bayi turunnya,
besar di bawah mengungsi;
sepi di bumi priangan,
sepi menghadapi mati.

DENDANG SAYANG, 4
Kemboja putih di senja hari,
Rama-rama hitam jatuh di pangkuan janda muda.
Kemerahan di ufuk barat,
Membawa menyusur dari pantai ke pantai.

"Tengok dataran tanah priangan, Gadisku manis".
Ayah dipaku di lima tempat,

Bunda berlari dari tepi ke tepi,
Tiada menemu teratak lengang.

"Tengok dataran tanah priangan, Gadisku manis".

Dan si dara tiada bisa berkata,
Pacar gugur tiada menemu kuburannya.
Dan si dara hanya bisa meraba,
Membelitkan kalung kenangannya.

DENDANG SAYANG, 5
Gadis dendang di ladang pisang,
belum tahu manis jantungnya.

Aduhai!

Gadis dendang di matahari,
hanya bisa tahu teriknya.

Aduhai!

DENDANG SAYANG, 7
Aku tutup rapat pintu dan jendela
untuk tidak tahu lagi derita
dibawa angin dan cahaya.
Tapi kembang hitam dan awan hitam
terselip selalu di tali rebab menikam.

Dihitung pacar di jari,
di satu musim larat dinanti.
Tapi derita sepanjang cerita,
pacar yang tak bisa dihitung,
larat yang tumbuh sepanjang tahun.

Tangis dan air di kelopak mata,
kalau bukan untuk diriku,
diuntukkan buat pacarku.

 

PEMBAKARAN, 1
Pacar!
Coklat matamu subur,
Coklat darah tanah Cianjur.

Tapi pacar!
Yang meneteskan air hujan
di bawah alismu hitam,
hanya kedua molek tanganmu
dan aku dengan mesra dibalur madu.

Dan pacar!
Bulan perak telah bertukar bara api.
Dan kau dan aku lagi
yang mesti membalik tanah
seperti neteskan air hujan di mata kedua belah.

Pacar!
Yang lain tak ada.
Kau dan aku hanya.

PEMBAKARAN, 3
Penyair
kayu pertama
di tumpukan pembakaran.

Penyair
abu landasan
di tumpukan reruntuhan.

Dara!
Bimbang hanya
mencekik diri sendiri!

Dara!
Takut hanya
buat makhluk pengecut!

PEMBAKARAN, 6
Dara
sudah lari bersembunyi
sejak senja.
Kota ditikam menyendiri.

Tiada ranting kebahagiaan,
burung malam tiada terbang.
Tiada daun kebebasan,
juga sedapmalam ketakutan.

Bunda,
setengah darahku yang tinggal,
kukira mesti kuhabiskan seperti dulu;
sayang,
kalau gadis-gadis mesti jadi perawan tua,
sebab malam ketakutan
tak menemukannya dengan pria.

Bunda,
setengah darahku yang tinggal,
kukira mesti bercecer di jalanan;
sayang,
kalau dengan bulan tak bisa lagi bersua,
sebab malam ketakutan
tak mengizinkan untuk bercanda.

TENTANG RAMADHAN K.H.

Ramadhan K.H. lahir di Bandung dan dibesarkan di Cianjur. Ia mulai belajar menulis pada zaman Jepang atas dorongan kakaknya, Aoh K. Hadimadja. Pernah menjalani profesi sebagai wartawan olahraga. Ia juga selama 13 tahun menjadi wartawan “Antara”. Juga pernah menjadi redaktur majalah Kisah, Siasat, Siasat Baru dan majalah Kompas. Juga turut mendirikan dan menjadi redaktur majalah Budaja Djaja. Pernah tinggal di Paris dan Spanyol. Menerjemahkan karya Federico Garcia Lorca. Romannya berjudul Royan Revolusi. Priangan Si Jelita, kumpulan sajaknya ini, memdapat hadiah pertama dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional untuk tahun 1957-1958.

Pilihan tampilan komentar

Pilih cara kesukaan Anda untuk menampilkan komentar dan klik "Simpan pengaturan" untuk mengaktifkan perubahan.
Foto Anonymous

puisi

aku kira puisi untuk bulan ramadhan

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler