Skip to Content

PUISI-PUISI SITOR SITUMORANG

Foto SIHALOHOLISTICK

Lahir 21 Oktober 1924 di Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Pendidikannya: HIS di Balige dan Sibolga, MULO di Tarutung, dan AMS di Jakarta. Ia memperdalam studi sinematografi di Los Angeles, California, Amerika Serikat (1956-1957). Bermukim di Singapura (1942), Amsterdam (1950-1951), Paris (1952-1953). Sejak 1984 dia tinggal di Leiden dan Den Haag, Belanda.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, dia menjadi wartawan Suara Nasional (1945), Waspada (1947), Berita Nasional, dan Warta Dunia. Dia pun pernah menjadi pegawai Jawatan Kebudayaan Departermen P&K, dosen Akademi Teater Nasional Indonesia, ketua Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia (1959-1965), anggota Dewan Nasional, anggota Dewan Perancang Nasonal, anggota MPRS, dan anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan Departermen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (1961-1962).

Bukunya yang sudah terbit: Pertempuran dan Salju di Paris (1956) kumpulan cerita pendek; mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN untuk prosa yang terbit tahun 1955-1956. Peta Perjalanan (1976) kumpulan sajak; mendapat Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta tahun 1978 untuk buku puisi yang terbit tahun 1976-1977.

Sitor menulis puisi, cerita pendek, esei, lakon dan menerjemahkan beberapa karya sastra asing. Dia pun menulis puisi dalam bahasa asing.

Bukunya yang lain: Surat Kertas Hijau (1954), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1956), Zaman Baru (1962), Dinding Waktu (1976), Angin Danau (1982), Jalan Mutiara (1954), Pangeran (1963), Sastra Revolusioner (1965), Sitor Situmorang Seorang Sastrawan ’45 Penyair Danau Toba (1982), Danau Toba (1982), dan Pertempuran dan Salju di Paris (1956).

 

MATAHARI MINGGU

Di hari Minggu di hari iseng
Di silau matahari jalan berliku
Kawan habis tujuan di tepi kota

Di hari Minggu di hari iseng
Bersandar pada dinding kota
Kawan terima kebuntuan batas

Di hari panas tak berwarna
Seluruh damba dibawa jalan

Di hari Minggu di hari iseng
Bila pertemuan menambah damba
Melingkar di jantung kota
Ia merebah pada diri dan kepadatan hari
Tidak menolak tidak terima

 

KEBUN BINATANG

Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang, boneka dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Si anak ini punya ketakutan

Hari-hari kemarin
Punya keinginan
Berumah ufuk, ombak menggulung

Hari-hari kandungan
Tolak keisengan
Ramai-ramai di kebun binatang

Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan

Hari-hari datang
Hari kembang di kebun binatang
Hari bersenang
Pecah dalam balonan

Kembang, boneka dan kehidupan
Kembang dan kerinduan
Si adik ini ingin teman
Boneka ini punya kesayuan

 

AMOY-AIMEE

Terbakar lumat-lumat
Menggapai juga lidah ingin
Api di pediangan

Terkapar sonder surat
Mati juga malam dingin
Lahirnya hari keisengan

Mari, cabikkan malam Amoy
Jika terlalu – ingin malam ini
Besok ada mentari sonder hati

Belum apa-apa hampa begini
Jauh dalam terowongan nadi
Berperang bumi dan sepi

 

DIA DAN AKU

Akankah kita bercinta dalam kealpaan semesta?
- Bukankah udara penuh hampa ingin harga? -
Mari, Dik, dekatkan hatimu pada api ini
Tapi jangan sampai terbakar sekali

Akankah kita utamakan percakapan begini?
- Bukankah bumi penuh suara inginkan isi? -
Mari, Dik, dekatkan bibirmu pada bisikan hati
Tapi jangan sampai megap napas bernyanyi

Bukankah dada hamparkan warna
Di pelaminan musim silih berganti
Padamu jua kelupaan dan janji

Akan kepermainan rahasia
Permainan cumbu-dendam silih berganti
Kemasygulan tangkap dan lari

 

LERENG MERAPI

Kutahu sudah, sebelum pergi dari sini
Aku Akan rindu balik pada semua ini
Sunyi yang kutakuti sekarang
Rona lereng gunung menguap
Pada cerita cemara berdesir
Sedu cinta penyair
Rindu pada elusan mimpi
Pencipta candi Prambanan
Mengalun kemari dari dataran….
Dan sekarang aku mengerti
Juga di sunyi gunung
Jauh dari ombak menggulung
Dalam hati manusia sendiri
Ombak lautan rindu
Semakin nyaring menderu….

 

PERHITUNGAN

Buat Rivai Apin

Sudah lama tidak ada puncak dan lembah
Masa lempang-diam menyerah
dan kau tahu di ujung kuburan menunggu kesepian

Aku belum juga rela berkemas
Manusia, mengapa malam bisa tiba-tiba menekan
dada?
Sedang rohnya masih mengembara di lorong-lorong

Keyakinan dulu manusia bisa
hidup dan dicintai habis-habisan
Belum tahu setinggi untung bila bisa menggali
kuburan sendiri

Rebutlah dunia sendiri
dan pisahkan segala yamg melekat lemah
Kita akan membubung ke langit menjadi bintang
jernih sonder debu

Detik kata jadikan abad-abad
Abad-abad kita hidupi dalam sekilas bintang
Sesudah itu malam, biarlah malam

Bila hidup menolak
Ia kita tinggalkan seperti anak
yang terpaksa puas dengan boneka
Mereka akan menari dan menyanyi terus
Tapi tak ada lagi kita
Sedang mereka rindu pada cinta garang
Mereka akan menari dan menyanyi terus
Tentang abad dan detik yang ‘lah terbenam
Bersama kita, tarian perawan janda …

 

DUKA

kepada Chairil Anwar

manakah lebih sedih?
nenek terhuyung tersenyum
jelma sepi abadi
takkan bertukar rupa

atau petualang muda sendiri?
gapaian rindu tersia-sia
tak sanggup hidup rukun
antara anak minta ditayang

sekali akan tiba juga
takkan ada gerbang membuka
hanya jalan merentang
sungguh sayang cinta sia-sia

manakah lebih sedih?
nenek terhuyung tersenyum
atau petualang mati muda
mengumur duka telah dinujum

 

KALIURANG TENGAH HARI

Kembali kita berhadapan
Dalam relung sepi ini
Dari seberang lembah mati
Bibirmu berkata lagi
Napasmu mengelus jiwaku
Tersingkap kabut dataran
Dan kutahu di tepi selatan
Laut 'manggil aku berlayar dari sini

Tunggulah, aku akan datang
Biar kelam datang kembali
Dengan angin malam aku bertolak
Ke negeri, kabut tidak mengabur pandang
Mati, berarti kita bersatu lagi
1948

 

CHATEDRALE DE CHARTRES

Akan bicarakah Ia di malam sepi
Kala salju jatuh dan burung putih-putih
Sekali-sekali ingin menyerah hati
Dalam lindungan sembahyang bersih

Ah, Tuhan, tak bisa kita lagi bertemu
Dalam doa bersama kumpulan umat
Ini kubawa cinta di mata kekasih kelu
Tiada terpisah hidup dari kiamat

Menangis ia tersedu di hari Paskah
Ketika kami ziarah di Chartres di gereja
Doanya kuyu di warna kaca basah
Kristus telah disalib manusia habis kata

Ketika malam itu sebebelum ayam berkokok
Dan penduduk Chartres meninggalkan kermis
TErsedu ia dalam daunan malam rontok
Mengembara ingatan di hujan gerimis

Pada ibu, isteri, anak serta Isa
Hati tersibak antara zinah dan setia
Kasihku satu, Tuhannya satu
Hidup dan kiamat bersatu padu

Demikianlah kisah cinta kami
yang bermula di pekan kembang
Di pagi buta sekitar Notre Dame de Paris
Di musim bunga dan mata remang
Demikianlah kisah kisah hari Pasah
Ketika seluruh alam diburu resah
Oleh goda, zinah, cinta dan kota
Karena dia, aku dan siteri yang setia
Maka malam itu di ranjang penginapan
Terbawa kesucian nyanyi gereja kepercayaan
BErsatu kutuk nafsu dan rahmat Tuhan
Lamabaian cinta setia dan pelukan perempuan

.....Demikianlah
.....Cerita Pasah
.....Ketika tanah basah
.....Air mata resah
.....Dan bunga-bunga merekah
.....Di bumi Perancis
.....Di bumi manis
.....Ketika Kristus disalibkan
1953

 

SURAT KERTAS HIJAU

Segala kedaraannya tersaji hijau muda
Melayang di lembaran surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh

Segala kemontokan menonjol di kata-kata
Menepis dalam kelakar sonder dusta
Harum anak dara
Mengimbau dari seberang benua

Mari, Dik, tak lama hidup ini
Semusim dan semusim lagi
Burung pun berpulangan

Mari, Dik, kekal bisa semua ini
Peluk goreskan di tempat ini
Sebelum kapal dirapatkan
1953

PARIS-JANVIER

..........Kepada clochard*

Di udara dingin mengaum sejarah
Bening seperti es membatu di hati
Ada taman menari di siang hari
Yang luput dari tangkapan malam rebah

Di dasar sungai mengendap malam baru
Mengiang di telinga pekik pemburu
Antara senja dan malam
Merentang luka yang dalam

Inilah Paris, kota penyair
Gua segal;a yang terusir
Laut lupakan sesah
Dalam dekapan satu wajah

Terbawa dari segala mata angin
Berdiang pada cinta, terlalu ingin
Kelupaan sebuah kota
Di mana duka berwujud manusia
Dan bahagia pada manusia tak punya
1953
*clochard (bahasa Perancis): gelandangan

 

THE TALE OF TWO CONTINENTS

Satu rasa dua kematian
Satu kasih dua kesetiaan
Antara benua dan benua
Tertunggu rindu samudra

Dua kota satu kekosongan
Dua alamat satu kehilangan
Antara nyiur dan salju
Merentang ketidakpedulian tuju

Semoga kasih tahu jalan kembali
Pada pintu yang membuka dinihari
Ke mana angin membawa diri

Kekasih, semoga kau
Dapat kepenuhan cinta dalam aku tiada
Terpecah dua benua, suatu kelupaan di
...Sisik samudra.
1953

 

KRISTUS DI MEDAN PERANG

Ia menyeret diri dalam lumpur
mengutuk dan melihat langit gugur
Jenderal pemberontak segala zaman,
Kuasa mutlak terbayang di angan!

Tapi langit ditinggalkan merah,
pedang patah di sisi berdarah,
Tapi mimpi selalu menghadang,
Akan sampai di ujung: Menang!

Sekeliling hanya reruntuhan.
Jauh manusia serta ratapan,
Dan di hati tersimpan dalam:
Sekali 'kan dapat balas dendam!

Saat bumi olehnya diadili,
dirombak dan dihanguskan,
Seperti Cartago, habis dihancurkan,
dibajak lalu tandus digarami.

Tumpasnya hukum lama,
Menjelmanya hukum Baru,
Ia, yang takkan kenal ampun,
Penegak Kuasa seribu tahun!
1955

 

LA RONDE

I
Senandung lupa pertemuan malam
Dengan dirinya, memisah di kamar
Meninggi musim hingga salju
Jatuh, hingga bertambah lapar

Dua kisah tak bertubuh
Rasuk-merasuk bau kehadirannya
"Sekira mati begini," bisik gelap
Di puncak nikmat, hingga ke subuh

Terbaring di dada malam. "Milikku seluruh,"
erang detik mengalir dalam ciuman,
kegemasan bibir meraba waktu
memadat jadi tubuh perempuan.

Meninggi musim hingga ke subuh
Jendela dibuka melihat salju jatuh

II
Adakah yang lebih indah
dari bibir padat merekah?
Adakah yang lebih manis
Dari gelap dibayang alis?

Di keningnya pelukis ragu:
Mencium atau menyelimuti bahu?
Tapi rambutnya menuntun tangan
Hingga pinggulnya, penuh saran

Lalu paha, pualam pahatan
Mendukung lengkung perut.
Berkisar di pusar, lalu surut
Agak ke bawah, ke pusat segala.

Hitam pekat, siap menerima.
Dugaan indah.

Ah, dada yang lembut menekan hati
Terimalah
kematangan mimpi lelaki!

III
Kau dewiku, penghibur malam hampa
Segala perbuatan siang yang sia-sia
Kebosanan abadi jadilah lupa
Dan badan hancur nikmat terasa!

Di matamu api ingin tak puas
Membakar tulang, hingga ke sumsum diperas.
Kuserahkan pada binatang malam hari,
Nafsumu, semakin buas dan menjadi.

Adakah candi pedupaan lebih mulia
Dari kesucian pualam tubuhmu?
Adakah lebih pemurah dari pangkuanmu
Dan panas rahmat dirangkul mulut dosa?

Padamu seluruh setia dan sembah
Sajak penyair dan mimpi indah!
Kelupaan sesaat, terlalu nikmat
Pada siksa ingin semakin melumat.
1955

 

LAGU GADIS ITALI (PANTUN BERKAIT)

.............Buat Silvana Maccari

Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemputlah abang di teluk Napoli

Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Sedari abang lalu pergi
Adik rindu setiap hari

Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Andai abang tak kembali
Adik menunggu sampai mati

Batu tandus di kebun anggur
Pasir teduh di bawah nyiur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur
1955

 

MALAM LEBARAN

Bulan
di atas kuburan
1955

 

MATINYA JUARA JUDI

Telah berlaku agaknya
Hukum leluhur, tapi
Janganlah beri nama nanti
Pahlawanku mati apa
Di akhir kisah.

Dengarlah
Cerita orang tua-tua
Kusampaikan pada pembaca

Di seluruh negeri ia terkenal
Juara Judi tak ada bandingannya
Selalu menang dan
Dimenangkan
Segala ucapannya
Tak ada yang berani
Tiada yang mau membantah
Terlebih ketika minum arak
Di kedai-kedai

Selain Juara Judi
Ia pemburu pula
Kalau bukan harimau,
Babi atau rusalah mangsanya

Ulung dalam tari
Membuat ukiran indah sekali
Serta memetik kecapi ....

Dan bila marah berbahaya serapahnya
Tapi dari segala korban
Isterinya yang paling menderita

Dua anaknya
Satunya putera satunya puteri
Tapi tak satu jadi kesukaannya
Kata orang, “Mana ‘kan pula,
Anak lahir, bapaknya di tempat judi.”

Tibalah saat puteranya akan dikawinkan
Halnya dirundingkan
Si putera: Aku masih terlalu muda.
Si Bapak: Kawinlah sesukami, asal jangan
perempuan buta.
Si Ibu: Kawinlah, Nak, baik ada temanku.

Adik perempuannya
Tak sepatah pun berkata.
Hatinya terbelah antara Ibu penyabar
Dan si Bapak yang kejam
Namun dicintai sepenuhnya hati.

Si putera akhirnya kawin
dengan gadis pilihan ibunya
Si Bapak mendongkol sejak semula
Karena bukan pilihannya

Tahun berganti tahun
Musim berganti musim
Juara Judi semakin tua
Puterinya pun dewasa
namun tak kunjung jodoh
Pula menantu ternyata mandul
Cucu diharap tak juga datang.

“Mana hanya satu anak laki
Menantu pilihan ibunya ternyata ladang mati
Mampus kau semua.”
Demikian kutuk Juara
Di saat pulang dari gelanggang judi.

Puteranya tak peduli
Putuskan pergi merantau
bersama isteri

Berkata pada ibunya;
“Tak akan aku pulang
Jangan aku ditunggu
Atau Bapak mati dulu.”

Tinggallah ibunya sendirian
ditemani adiknya
Tak ada yang meminangnya
Orang takut menghadapi bapaknya

Yang kini jarang kembali
asyik berburu di hutan berhari-hari
Menghindar gelannggang judi
diburu kenangan pada putera satunya
di rantau jauh

Di desa suatu ketika
sSampai kabar
Menantu mandul meninggal di rantau

Si Ibu yang menerima kabar
Menghempas badan ke lantai:
“Demikianlah nasibku
Kelahiranku yang kasip
Ditinggalkan orang hidup
Ditinggalkan orang mati.”

Puterinya yang diam di sampingnya
merasa sebatang kara

Juara lama tak pulang-pulang
Pindah ke desa lain
Kawin lagi
Harapkan anak laki pengganti
Penyambung keturunan
Sebelum ia mati

Juara mendapat tiga anak
Dari isteri barunya
Semua perempuan
Tak ada laki

Suatu hari
ketika sakit berat
Pawang yang diundang
berkata:
“Adakan pesta korban
Undang isteri pertama
begitu pula puterinya
Mintalah pengampunan mereka
demi leluhur.”

Dengan berat hati
Juara kirim pesan
Agar isteri dan puterinya datang
Lalu ia menanti

Pesuruh pun pulang
Bawa berita meragukan:
Hati Juara dirundung bimbang
Isteri dan puteri
Mungkin datang, mungkin tidak
ban biar lupa gundahnya
Juara pergi berburu
di hari anak-isterinya
dikabarkan tiba

Ia berburu di lereng gunung di hutan
di luar desa
Sepanjang hari
sampai sorenya

Menjelang malam
Di kampung ternyata anak-isterinya tiba
Tapi Juara tak tahu
asyik berburu rusa

Malamnyaia digotong
berlumuran darah
Katanya diterkam harimau
“Tak dapat lagi ditolong
Ajal menuntut sudah” – kata orang desa
Lalu ia dibaringkan

di tengah rumahnya dulu
di mana anak isterinya telah menunggu

Yang menyambutnya dengan kagu ratap:
“Kembali sudah, kembali juara
Juaraku pulang dari berburu rusa ....”

Pahlawan kita lalu mati
di pangkuan isteri yang ditinggalkan

Demikianlah desa kami
kehilangan pahlawannya.
1955

 

SI ANAK HILANG

Pada terik tengah hari
Titik perahu timbul di danau
Ibu cemas ke pantai berlari
Menyambut anak lama ditunggu

Perahu titik menjadi nyata
Pandang berlinang air mata
Anak tiba dari rantau
Sebaik turun dipeluk ibu

Bapak duduk di pusat rumah
Seakan tak acuh menanti
Anak di sisi ibu gundah
- laki-laki layak menahan hati -

Anak disuruh duduk bercerita
Ayam disembelih nasi dimasak
Seluruh desa bertanya-tanya
Sudah beristri sudah beranak?

Si anak hilang kini kembali
Tak seorang dikenalnya lagi
Berapa kali panen sudah
Apa saja telah terjadi?

Seluruh desa bertanya-tanya
Sudah beranak sudah berapa?
Si anak hilang berdiam saja
Ia lebih hendak bertanya

Selesai makan ketika senja
Ibu menghampiri ingin disapa
Anak memandang ibu bertanya
Ingin tahu dingin Eropa

Anak diam mengenang lupa
Dingin Eropa musim kotanya
Ibu diam berhenti berkata
Tiada sesal hanya gembira

Malam tiba ibu tertidur
Bapak lama sudah mendengkur
Di pantai pasir berdesir gelombang
Tahu si anak tiada pulang
1955

 

PENDARATAN MALAM

Tentara tak berbekal mendarat
Di malam disuburkan lapar
(Bila fajar bawa berita
kayu apung istirahat mereka)
Tentara tak berbekal mendarat
Di malam disuburkan lapar

 

JAKARTA 17 AGUSTUS 45 DINIHARI

Sederhana dan murni
Impian remaja
Hikmah kehidupan
berNusa
berBangsa
berBahasa
Kewajaran napas
dan degub jantung
Keserasian beralam
dan bertujuan
Lama didambakan
menjadi kenyataan
wajar, bebas
seperti embun
seperti sinar matahari
menerangi bumi
di hari pagi
Kemanusiaan
Indonesia Merdeka
17 Agustus 1945

 

BARBARA DI PINGGIR SUNGAI HOLLAND

Tak tahu lagi sungainya:

Waal, Maas atau bernama Rijn.

Kapal barang kosong –

angan ikut mudik

 

ke jantung Eropanya, berpapasan kapal

sarat muatan – hatinya – bersamaku hilir

bermuara di samudra kembara

Atlantik berpadu Pasifik

 

hidup yang dihidupi

sejauh tualang

 

musim yang diselami

sedalam rindunya.

 

 

 

SI ANAK HILANG

Seorang kaya mempunyai dua putra,

Dua remaja berlainan perangai,

Si Bapak sama-sama sayang,

Bagaimana akan memisah darah?

 

Putra sulung rajin lagi tekun,

Bertani, bertukang, merawat hewan,

Sepanjang hari bekerja di kebun,

Memelihara warisan nenek moyang.

 

Putra bungsu suka ke tempat pesta,

Pesiar di mana orang muda berkumpul,

Padi di ladang, hewan berbiak di gunung,

Menjadi haknya, tanpa kerja.

 

Malam pergi, pulang di pagi buta,

Kerja si Bungsu sepanjang tahun,

Tinggalkan si Sulung membanting tulang,

Kembali malam menutup kandang.

 

Akhirnya desa terlalu sepi,

Bagi si perlente, jagoan pasar,

Putus kata – Ia akan ke kota, pergi,

Berbekal warisan pemberian Ayah.

 

Kota jaya penuh warna dunia,

Membuat si Bungsu mabuk bahagia,

Makan, minum, bersenda gurau,

Dengan sahabat pandai berlagu.

 

Harta pun habis – Negeri dilanda lapar,

Wabah mengamuk membawa sengsara,

Teringat si Bungsu, betapa senangnya,

Andai ia pelayan saja di rumah Ayah.

 

Untuk hidup, si Bungsu ambil kerja,

Pelayan di rumah orang, tingkat terendah,

Kandang hewan jadi penginapan,

Untuk makan, diberi sisa makanan.

 

Si Bungsu lalu sadar, ia harus pulang,

(melambai kampung halaman)

Dekat Ayah di antara budak belian,

jadi pembantu si Abang

 

Suatu sore ia dari jauh datang,

Nampak pada Ayah di pematang,

Tempatnya tertunggu tiap sore,

Doakan si anak teringat pulang.

 

Si Ayah berlari menjumpai anaknya,

Dipeluknya sambil tersedu-sedu,

Si Bungsu terharu, lalu sujud:

“Ayah, aku berdosa. Aku pantas budakmu.”

 

Si Ayah segera memanggil kerabat,

Minta sapi-domba disiapkan korban,

Merayakan hari bahagia umat –

Anakku hilang, kembali ke pangkuan!

 

Dari ladang, kembali si Sulung,

Mendengar orang ramai berdendang,

Ayahku pesta, apa gerangan hal baru,

Alasan beria, di luar pengetahuanku?

 

Tetangga berkata: Belumkah kau tahu?

Adikmu pulang, dari perantauan,

Karenanya kita pesta, menuang madu,

Minum anggur sepuas hati.

 

Si Sulung berpaling, pergi menyendiri.

Di tengah ladang sedih berdiri,

Pikirkan nasib, betapa sia-sia,

Habiskan umur kerja dengan setia.

 

Si ayah merasa, si Ayah melihat,

Anak setia bermuram durja,

Ia datangi, membujuk penuh kasih:

Tak kau bahagia anakku sayang?

Adikmu pulang, setelah lama hilang!

Kasihku padamu. Hartaku semua

Adalah milikmu. Adikmu ini

lebih dari domba, pantas dikasihani!

 

Si Sulung berpaling, lalu lari ke rumah,

Menjumpai adiknya, berdiri di ambang,

Mereka berhadapan, tangan hendak membunuh,

Lunglai – membelai ubun adik tersayang.

 

WEIMAR

sejuta pohon pinus

menyebar harum bumi

di dadanya yang mulus

kucium sepenuh hati

 

Goethe hanya kenangan

di abad luar jangkauan

Schiller sudah tiada

tinggal musim bunga

 

Mengorak dari tubuhnya

sepanjang hari

 

menghimbau cinta

sepanjang malam hingga di pagi

 

SAN FRANSISCO

selusin sajak Zen

menggumpal di garis Golden Gate

di lengkung hari terbenam –

dalam samadi Pasifik

 

DUNIA LELUHUR

Hutan jadi bayang-bayang

roh leluhur

merasuki tubuh

 

kutanam bambu

biar hangat kampung halaman

 

daunnya hijau

lebih hijau kala rimbun

 

Ditenun angin

roh bertengger di ubunubun

 

mata tombak

tertancap di dataran

 

kurajut benang hidup

waktu yang kulalui

 

jejak pemburu

di pegunungan

 

burung

di malam berbulan

 

hidup dari sepi

minum dari daun ilalang

 

jadi jin

jadi ijuk

jadi tanah liat

jadi batu

jadi danau

jadi angin

tali dipintal

titianku ke dunia sana

 

URAT BONA PASOGIT

sebatang beringin, tempat leluhur

di bayangnya bermusyawarah hal hidup

dan hal baka

sebuah mata air dari batu karang

sumber pelepas dahaga 7 keturunan

kali 7 keturunan, aku pun lahir

sebuah rumah asal disebut parsantian

perlambang jagat tiga tingkat

bumi atas bumi tengah bumi bawah

dari halamannya sejemput tanah keramat

kutiup nafas

bakal alas jasad bakaku tegak

di atas segala bumi leluhur

Ompu Raja Bunbunan

pengawal adat lembaga di Tanah Urat

 

 

NAMA DAN PERTANDA

Dari anakku kuambil nama,

Dari istriku kuambil cinta,

Bagiku jadi pertanda,

Bagiku jadi manna.

 

Manna yang memberi hidup,

Pertanda yang menyuluh jalan,

Sepanjang malam pengembaraan,

Hidup tak menemukan tujuan.

 

Di padang pasir kutemukan lagi,

-- Pulang dari pembuangan –

Menuju lembah – telah dijanji,

Seperti Israel menuju Kanaan.

 

Ke sana aku pulang segera,

Menemui sanak saudara sejati,

Lepas dari perbudakan manusia,

Menuju kebebasan kasih murni.

 

Telah nampak bukit dan hutan,

Negeri kerinduan di tepi langit,

Melambai dari seberang dengan tangan,

Fajar di atas air menggamit.

 

Pertanda telah menuntun jalanku,

Manna di gurun menuntun hidupku,

Anakku telah memberi aku manna,

Ibunya telah memberi aku cinta. 

 

DI HUTAN LINTONG

jalan setapak ini

jalan ayah, jalannya nenek

jalan nenek dari neneknya

 

jalan berawa berlumut

samar di dasar hutan

jalan ziarahku kini

 

ke pemukiman 8 generasi

kini kosong terbuka

di tengah rimba

 

tanpa hewan tanpa manusia

tinggal batu peti tengkorak

di benteng berbambu ciut

 

tinggal angin tinggal embun

degup jantungku

dikejut anggrek liar

 

dan kawanan rusa

di bekas ladang-ladang dulu

makan rumput muda

 

di malam purnama

 

DANAU TOBA

Aku rindu pada bahagia anak,

Yang menunggu bapaknya pulang,

Dari gunung membawa puput,

Sepotong bambu tumbuh di paya-paya.

 

Pada perahu tiba-tiba muncul sore,

Dari balik tanjung di teluk danau,

Membawa Ibu dari pekan,

Dengan oleh-oleh kue beras

bergula merah.

 

Aku rindu pada malam berbulan,

Kala si tua dan si anak mandi

sinar purnama,

Berkaca di permukaan danau biru –

Sebelum air mengelucak di musim kemarau

 

Aku rindu pada bunyi seruling gembala,

Bergema di bukit memenuhi lembah,

Pada permainan di gua-gua batu

penuh lebah,

Kala api panen mengusik hewan

di tengah sawah.

 

Aku rindu. Aku rindu pada tebing

hijau,

Tempat ikan emas bercengkerama,

Di antara lumut menggeliat bening,

Seperti taman zambrut dalam impian.

 

Aku rindu pada batu-batu besar dan hitam,

Muntahan lahar dari perut bumi,

Pada pemandangan tua ribuan tahun,

Si gembala domba, termenung

di atas batu.

 

Aku rindu bau-bau di musim

panen,

Gelak si tani purba membakar jerami,

Rindu pada si nelayan pulang dari

danau,

Menyandang pukat dan ikan di sore hari.

 

Aku rindu pada suara kakak,

Memanggil aku pulang makan,

Rindu pada resah bambu di benteng

kampung,

Melambaikan daunnya pada

angin gunung.

 

Aku rindu pada adikku, yang rindu padaku,

Aku rindu bunyi palu tukang perahu

Aku rindu lenguh sapi, pada bau

kerbau,

Aku rindu, rindu suara Ibu,

terkubur di pinggir danau.

 

Aku rindu lonceng gereja bertalu-talu,

Rindu gemanya merayap-rayap

di udara,

Menyongsong malam, mengumumkan satu-satu

Kematian,

Merayakan Perkawinan – serta Kelahiran,

Pada malam Natal, kisah tiga Raja

dari Timur,

Datang menghormati Anak Manusia,

di sana, di tepi Danau Toba, kelahiranku.

 

PESAN RUTH PADA TIAP PERAWAN

Ke mana kau pergi, ke sana aku pergi,

Di mana kau tinggal, di sana aku tinggal

Bangsamu akan menjadi bangsaku,

Tuhanmu akan menjadi Tuhanku.

 

Aku daging dari dagingmu, Hidup

seia-sekata, dalam suka dan duka,

Tetap bersama kecuali ajal memisah –

Ku-iakan Tuanku, demi perintah Allah.

 

Hujan dan matahari, musim akan

berganti. Kasihku akan kekal.

Siang dan malam, tahun-tahun pun

berganti. Rambutku saja yang berubah.

 

Harta? Lihatlah burung di langit

Tak kurang suatu apa. Padanya

Tuhan tak lupa. Pandanglah bunga,

tumbuh di ladang. Demikianlah kita,

dari kasih Allah akan dapat pahala.

 

CATATAN 1961 TERSISA

di pelataran atas gerbang istana kaisar

wu pi phu – presiden negara –

deng xiao ping – sekjen partainya –

 

menerima para gubernur dan

tamu-tamu dari 6 benua

 

langit malam diterangi kembangapi

menggelegar seperti gemuruh pedang

1000 jengis khan dari padang udara

bergema sampai jauh di lautan

 

tentara mongol atau lasykar han?

sejarah terbalut kaligrafi sajak

di kaki patung raksasa mao –

tak mampu aku baca artinya

 

di wajah tuan rumah

yang terbalut pekat malam

nampak lakon sekilas

percikan kembangapi

di langit yang bisu

 

siapa penakluk, siapa yang ditaklukkan?

siapa pemenang, siapa yang dimenangkan?

- kelir berganti -

dalang, penonton, pengamat

samasama terbalut langit bisu

 

SENJA DI DESA

Buat Bakri + Banda

 

Senja di desa-desa

Antara kampung-kampung

dan matahari dijunjung

gadis-gadis remaja:

Periuk bundar-bundar

tanah liat terbakar

tempaan tukang tua

matahari senja.

 

Antara sumber air

dan gerbang perkampungan

terlena jalan pasir

pulang dari pancuran ...

gadis-gadis remaja

Bulan di kepalanya.

 

JALAN BATU KE DANAU

Lewat Tarutung dan Siantar

ada dua jalan baru

menuju danau

Aku tahu

 

Lewat Tarutung dan Siantar

ada dua jalan batu

menuju kau

 

Aku tahu

 

Dari Taruntung dan Siantar

ada dua jalan rantau

ke pangkuanmu

 

Aku lalu

 

Dari Taruntung dan Siantar

ada dua jalan rindu

Teringat kau

 

Aku tak tahu

 

PAUL ELUARD

- Besar penyair karena duka -

Hatinya pemberontakan

Senyumnya kedamaian

Saudara bersaudara

 

Manusia serat kasih

Singgah sehari putih

Merpati terbang lalu

Sesudah itu salju

 

 

PARIS-LA-NUIT

Malaikatku, malaikatku

Turun menyelimuti senja

kebosanan

Menggeliat dalam beribu lampu

lusuh

Duka yang melapuk pada dinding hati

menjadi ragi

anggur nafsu

hingga darah bening

dan berlagu

 

Malaikatku, malaikatku

Dari asap pembiusan iseng

Menguap ia di malam tipis

Melepas dari kelabu rumah-rumah kota mati

musim rontok

Warna musim mengalun dalam angin jatuh

berbisik: Anak dulu sudah jadi gadis.

Angin, menyapu daun serta meluluh

bayang ingin jalan,

Lincah menggigil dalam tangis.

 

Kabut iseng kotaku

Terbalut dalam duka perawan keputihan salju,

kala bangun: hanya malaikat tak kenal dosa

 

Malaikatku

terbalut tilam sutera malam dosa

pada hati binatang kota belantara.

Harimau piaraan di buah dada,

isengku mendendam pada genitmu,

Menatap dalam hutan malam candu

Khayal serigala ingin yang kulepas

berbiak dan meraung dalam mulut godamu

Memuntahkan benih keisengan baru

pada mulut yang mengutuk puas.

 

Tawa jahanam di buas bibirnya menyelinap

Malaikatku

Lalu jejak di ambang malam berderap

Tanda hari baru bangkit: telanjang subur

Dari jurang pelaminan kubur

Cahaya dari awan kelesuan mati:

 

di wajah paginya rambut terurai kubelai

 

Lalu bangun di tengah hari perutnya

Memuntahkan dan menjilat lagi benih keisenganku

 

CONDITION

Kami telah berharap dengan kehangatan tunas di musim hujan, dan bila kami kecewa seperti anak, tidak pun karena kebohongan lagi, hanya karena ketiadakamanan kata, perumus ingin berhubungan dalam balutan pengertian. Juga perpisahan tiada lagi menyedihkan sejak mati sendiri tak mematikan rindu, ya, rindulah nafas yang menguap dari segala yang kami belai atau hancurkan, sejak kami melepaskan hak merasa asing di pembuangan,sejak pembuangan itu saja Yang merasakan raut senja dan fajar benda yang dilupakan dan memberati diri....

 

 

JAKARTA

Buat Sumantri

 

Diriku rawa

Panas membatu di putih dinding

Semua punya arti, manusia dan malaria

 

 

PANTAI

Pada F.P. Thomassen

 

Ibu, telah kulihat pantai

Telah kulihat laut pandai berkata-kata

 

Telah kulihat kapal enggan berlayar

Serta matahari bersinar

 

Ibu, telah kulihat tubuh gadis mandi

Jangan kau lagi berkata

Kau mau beranak

 

Telah kulihat pantai pasir

Membujur dalam diri

 

Putih sekali

 

MIMPINYA

I

Pada segala surat menanti nama

Pada segala surat dinanti nama

 

II

Pada segala air terpasang layar

Pada segala air terkulai layar

 

III

Pada segala mata menanti cahaya

Pada segala mata dinanti cahaya

 

 

MATINYA JUARA TINJU

Telah berlaku pula

Hukum dewata

Janganlah beri nama

Ia mati apa

Dengarlah ceritanya

Cerita orang tua-tua

Kusampaikan pada pembaca

 

Di seluruh negeri terkenal ia juara

Juara yang selalu menang

Dan orang mengalah saja

Mendengar segala ceritanya

Tiada yang berani

Tiada yang mau

Membantah kata-katanya

Di kedai-kedai

Ketika minum tuak garang

 

Selain juara ia pemburu pula

Kalau bukan rusa, babi hutanlah mangsanya

Mana juara, pula pemburu

Pandai menari

Membuat ukiran indah sekali

Serta memetik kecapi...

 

Ia suka mabuk

Dan bila ia mengutuk

Tak ada yang tak kena

Tapi dari segala mangsa

Istrinya yang paling menderita

 

Dua anak dilahirkannya

Satu laki, satu perempuan

Satu pun tak ada kesukaan bapaknya

Berkata orang: “Mana ‘kan pula

Anak lahir, bapak di penjudian.”

 

Tiba saat anak laki dikawinkan

Hal itu dirundingkan

Si anak: Aku terlalu muda.

Si bapak: Kawin sesukamu, asal jangan yang buta

Si ibu: Kawinlah, Nak, baik ada teman

Si gadis diam

Tak sepatah pun keluar

Hatinya terbelah antara ibu penyabar

Dan si bapak yang kejam.

 

Akhirnya jadi juga

Dengan gadis pilihan ibunya

Dan si bapak mendongkol sejak mula

Hanya karena bukan pilihannya

 

Tahun berganti tahun, juara semakin tua,

Anak gadis dewasa, tapi tak juga kawin.

Pula menantu tak memenuhi ingin

Cucu ditunggu tak datang-datang juga.

 

“Mana hanya satu anak laki

Menantu pilihan ladang mati

Mampus kau semua.”

Demikian kutuk juara

Di hari-hari kalah judi

 

Si anak laki tak peduli

Putuskan pergi merantau

Berkata pada ibu tersedu:

“Tak akan aku pulang, jangan ditunggu

Atau bapak harus mati.”

 

Tinggallah ibu

Bersama anak gadis

Tak ada yang meminang, takut bapak bengis

Yang kini hanya berburu

Lupakan judi

Dan ingat anak yang pergi

 

Lama ditunggu

Datang kabar dari jauh

Menantu mati di rantau

Dari kerongkongan ibu lepas keluh:

“Demikianlah nasib

Kelahiran yang kasip

Ditinggalkan yang hidup

Ditinggalkan yang mati.”

Lalu ia menanti

Di bayang-bayang bulan redup

 

Mereka hidup berdua kini

Juara lama telah pergi

Kawin lagi

Harapkan anak lelaki

Sebelum mati

 

Tak ada yang kembali

Juara dapat anak tiga

Tak ada laki-laki

Dan pada suatu hari

Ia merasa tua

Datu berkata:

“Adakan pesta

Doakan rahmat dewata

Undang istri pertama

Tapi anak terutama.”

 

Juara dengan hati berat

Kirimkan surat

Minta datang anak dan istri

Lalu ia menanti

 

Pesuruh pulang

Bawa berita bertentangan

Anak datang, anak tak datang

Hati juara dirundung kesangsian

Mungkin datang, mungkin tidak

Dan supaya lupa

Ia pergi berburu

Di hari anak ditunggu

Mungkin datang, mungkin tidak

 

Ia berburu di lereng gunung

Di luar kampung

Sepanjang hari

Ia menanti

 

Menjelang malam hari

Di kampung tiba anak-istri

Juara tak tahu

Asyik berburu

 

Di malam hari ia digotong

Dada berlumur darah

Berkata orang: “Tak dapat lagi ditolong

Ajal menuntut sudah.”

Lalu dibaringkan di tengah rumah

Dekat anak dan istri

Lama dinanti

Lalu mati

 

Kembali sudah, kembali juara

Juara pulang dari berburu rusa...

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler