Skip to Content

PUISI-PUISI SLAMET SUKIRNANTO

Foto SIHALOHOLISTICK

JACKPOT

Hidup ini: adalah jackpot dimainkan

Logam demi logam masukkan. Tarik –

Sebatang kretek dinyalakan. Asap-asapmu

Berhari. Berbulan. Bertahun. Dan selanjutnya –

Sebelum. Dan sesudahnya selesai semua!

1970

 

PETANI

Seorang bapa

meneteskan air mata

di pojok rumah.

Kandang kerbau kosong

Setahun sudah. Ia tabah

(lelaki jangan menangis)

Namun: kini

sampailah batas

memandam gejolak dalam

Meraih samar

Hari-hari tiada makar

Membuah dalam diri. Menyerah?

Ia menyatu hati

Dengan padas, batu dan besi

Kerikil hanyut –

di dasar arus hatimu!

Sambil mengacungkan golok bermata dua

Ia teriak ke penjuru angkasa

Gemanya memantul dinding langit

Ada dendam kukuh menggigit!

Pada ihwal yang datang

Ia berlarian sejak subuh

Langkah panjang menghentak lantai

menyilang menggapai

dari ujung ke ujung

dusun dan ngarai!

Ke mana tempat bertanya?

Belum usai luka –

ia kehilangan lagi

Rumput

semak

ilalang – dan padang tandus ini!

1976

 

TELAH AKU SAKSIKAN

                Laut

menyerahkan ombak

pada dada dan pundak

ketika panas siang

nafas arus menderas

menggetarkan jalan darah ini

Tuhan, di pantai ini juga

tapak kaki telah hilang

ketika angin rendah

mendorong gelombang

Telah aku saksikan

laut pasang naik

laut pasang surut

(tangis bayi)

asin garam membasahi kaki

(tangis anak-anak)

gemuruh air meninggikan ratap

(tangis pengungsi)

membasahi karang ini

pulang balik perahu cemas

tak mampu menyentuh daratan

bagai dirimu yang mabuk lautan!

Sungguh aku tak mengerti

betapa awan gelap

gelap apa; gelap siapa

kawasan memajang sepi

dihalau gemuruh zaman ini!

Tanjungkarang, Juni 1980

 

KEPADAMU KUSAMPAIKAN

Kepak merpati terbang di jaring mentari

Putih-putih bagai berlayar mega megah abadi

Kepak gagak terbang di jaring mentari

Hitam-hitam bagai awan memendam duka yang dalam

                Sungguh, dik, hidup mesti begini

Tentang kasih, maut menagih

Memendam, di dasar hati, antara kau dan aku.

1967

 

MAHGRIB PUN SAMPAI

Mahgrib pun sampai. Di luar jendela

Senja terbata-bata

Sebelum ayat-ayat terakhir

Sebelum sujud usai

 

Tuhan. Aku sendiri

Menggugurkan gelisah

Hari ini

Terimalah tutur fasih kami

(Di luar gugur

Daun trembesi)

 

Tuhan. Sudah sempurna

Angka-angka pada jari

Telah sempurna ayat-ayat suci

Tinggal aku sendiri. Di luar jendela

Semakin sunyi.

1969

 

PERBAWATI - SUKABUMI

Karena mendung tergeser dari langit

Tundalah kantukmu barang sejam

Mari! Mengurai cahya terang di bukit

Tubuh menggigil dan dingin yang menggigit

Sebelum tiba saatnya

Api pendiangan bakal padam

Bakal kehilangan hangatnya bara

Sebab dalam kegelapan itu

Antara kita tiada mampu

Melahirkan kata-kata

Jiwa dan jiwa yang mengembara

Entah ke Sorga entah ke mana?

Bicaralah lidah yang arif

Adakah kau bawa dendam itu juga

Yang memberat dari pusat kota.

Di sini di antara dua bukit

Percakapan telah bangkit

Dari lembah yang dalam

Mengatas menggapai awan

Mengurai kisah dan peristiwa

Mengeja kembali yang lampau

Dan meraih yang remang

Yang bakal datang

Seperti udara dingin

Mendobrak tulang

Di tengah senyap malam

Ada yang tetap menggetarkan batinmu!

Bicaralah lidah yang arif

Adakah kau bawa dendam itu juga

Yang memberat dari pusat kota?

Perkemahan Budaya Perbawati – Sukabumi, 27 Oktober 1977

 

KATAKANLAH PADAKU

Katakanlah padaku

Kalau hanya desau anginmu

Bicara sonder kata

Jam makin sarat memutar jarummu

Engkau pun tahu

Kehampaan sungguh pun mencari maknanya

Di luar dirimu, di luar diriku

Kemudian ulurkan tanganmu

Goreskan pada dinding masa lalu

Mari

Bergegas lewat

Tanpa tapak

Tanpa jejak

 

1968

 

 

ANGIN SUDAH LAMA TERHENTI

 

Angin sudah lama terhenti

Derak gerbong-gerbong lenyap

Peluit kecil. Di kejauhan

Mencakar-cakar langit.

Percakapan terhenti

Pasangan-pasangan pergi

Debu-debu berteduh di kaki

1971

 

PEREMPUAN

Bagaikan sungai

Ketika sampan menyusuri

Gaib mimpi –

 

Menderas ke hilir

Menembus kabut

Menggapai lemah

Dunia lain –

 

Hanyut dalam senandungmu

Menguraikan was-was

Atau cemas: masuk gerbang

Yang menggetarkan

Pilar-pilar batin

Petualang sesat

Kejantanan dirimu!

Juga yang tak terucapkan

Kegelapan dan samar.

 

Dataran enggan terang

Bulan mencelupkan wajahnya

Di dasar pusaran kali.

Hanya hati yang hendak

pergi! Meninggi

Namun tertahan

Melingkar –

Bolak-balik

Dan surut tenggelam

Dalam gelegak arus

Batinmu!

 

Lelaki:

bagaimana bakal dikabarkan kembali?

1974

 

AYUNAN

Berayun, pelan, berayun, buyung

Ada saatnya kita mempermainkan waktu

Maju-mundur menyentuh ujung ruang

Mendesak kekosongan

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Sambil pejamkan mata barang sejenak

Nikmati sekilas kegelapan dan binar-binar temaram

Sebelum hapus oleh kilatan pijar terang

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Hirup puas udara segar lapangan

Sebelum angkasa menciut, racun gadus berdesakan

Membangun jasad tidur yang letih

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Andaikan sempat bertutur berkepanjangan

Tentang mengurai jiwa yang kusut

Bagaimana mengulur di arena keluasan?

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Adakah burung-burung akan singgah, seperti yang sudah

Menuturkan pengembaraan di alam tak bertepi

Dan sorga tinggal dijangkau setapak lagi

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Ke mana arah gema mencari pantulan

Janganlah lengah pengamatan jauh jauh

Dan alamat lengkap pusat sasaran

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Alun irama berturut tanpa suara

Perahu lepas mengarungi laut bayangan

Senandung ihwal pendaratan

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Susul-menyusul awan di dinding langit

Menebal pada cadar tirai tamasya

Membenahi gelombang gumpalan makna

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Tahankan dahaga meratapi dinding tenggorokan

Lukisan telaga sumber pusaran

Sekeping wilayah memancar kebeningan

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Pandanglah menatap, di balik segalanya

Panahlah dengan bijak kabut remang di sana

Dan tiliklah seandainya semesta memagar batas

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Suara-suara lirih tiada memantul gema

Ada yang meraih lepas

Menghambur wilayah terbuka

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Bila tiba di belakang, undurkan semusim lagi

Masa lampau yang lengkap dalam kuburnya mengerang

Menggapai, meraih detik-detiknya yang hilang

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Bila tiba di muka, ujung jari kaki menyentuh

Batas tepian dengan fana

Esok hari kan di sana, jika musim memberi pertanda

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Pegang kuat-kuat tambang-tambang keyakinan

Peganglah kuat-kuat tambang-tambang angan-angan

Balikkan ke empat penjuru, dengan mata menantang.

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Adakah yang tersisa dari bersit megah

Ketika cemas menikamkan ujungnya

Dan gontai melangkah harimau luka

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Bagaikan menyeberangi arus kali

Di sini kemudian reda melecut lepas

Bagian lain yang mengandung gaib

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Ada yang menggeser, bayangan terlempar jauh

Tanpa bekas di dataran ini

Adakah tragedi lakon menggelar bumi?

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Pagar kawat merantai tepi

Adakah gelegak getaran arus

Masuk ke dalam. Menembus

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Bagaikan dewa ruci melayang menjelajah samudra

Kadang menukik menggigir lembah ajaib

Melahap daun kering lantunan suci

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Tengok jam berapa sudah, hari masih tinggi

Dan nyanyian belum surut sudah

Mengajak bersenda mengayun waktu

 

Berayun, pelan, berayun, buyung

Sebenarnya dirimu tidak jauh dari bumi

Tetapi betapa sulitnya menapakkan kaki

Hanya sehasta jarak kita, hanya sehasta...

1972

 

KIDUNG AKHIR TAHUN

Seorang tua jalan sendiri

Meninggalkan gerbang duniawi

Tak ada yang lain, kecuali pergi

Lewat jalan akhir dan sunyi!

1966

 

TENTANG SLAMET SUKIRNANTO

Slamet Sukirnanto lahir di Solo, 3 Maret 1941. putra pelukis R. Goenadi. Pendidikannya di jurusan Sejarah Asia Tenggara Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dikenal juga sebagai tokoh demonstran 1966, menjadi Keuta Presidium KAMI pusat (1966-hingga bubar), anggota DPRGR/MPRS (1967-1971) mewakili mahasiswa. Tahun 1973 menjadi redaktur harian Sinar Harapan. Kumpulan puisinya: Kidung Putih (1967), Jaket Kuning (1967), Gema Otak Terbanting (1974), dan Bunga Batu (1979).

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler