SINDHU
- buat: i.p.m
di sindhu
selembar daun waru
menyerpih
menjadi 17 suku kata
pada putih pasir
kau sebut itu
haiku yang menunggu
kehadiranmu
puisi dengan cahaya pelita pudar
mendadak lepas dari kilau tatap matamu
bagai mutiara yang hampir matang
kau rampungkan hening
dalam nyaman cangkang kerang
namun, di sindhu
yang sisa hanya lagu bisu
dan haiku
menyimpan rahasia
daun waru tua
2006
CAPUNG SAYAP UNGU
- buat Feybe Mokoginta
capung sayap ungu yang bertengger
di atas daun teratai
adakah itu bayanganmu
yang menujumku begitu rupa
dengan secercah cahaya keabadian
yang diturunkan langit warna abu
alir air adalah jalan terakhir
bagai kura-kura tua
yang semadi di selokan
di rerimbun belukar
apakah yang sisa dari daun waru
yang gugur di ujung waktu
kecuali sebait mantra
yang hilang makna
capung sayap ungu
dan segurat bayangan...
seperti kenangan yang punah
di hari ke tujuh
2006
BUKA SEDIKIT JENDELA
buka sedikit jendela
agar cahaya
merambat leluasa
pada mata kita
aku lupa
siapa yang memajang potret kita
bersandingan di dinding tua itu
tubuhmu memasuki tubuhku
pengembara tua yang terlunta
ribuan tahun memburu sumur cahaya
aku terkenang kartu
bergambar mawar putih
saat waktu leleh
dalam genggaman malam
kutemukan sumur itu
tubuhmu melunaskan hausku
sejauh perjalanan
dari kubur ke kubur
2001
LARIK OMBAK
selarik ombak
tertulis di anjungan
mengabarkan wajahmu
yang hijau
digerus air garam
beribu tahun lampau
mungkin kau putri duyung
atau peri air penipu
yang suka menjebak dan membujuk
pelaut-pelaut muda yang mabuk
wangi mawar laut di geladak
pelaut muda itu mungkin aku
yang tiba di anjungan dengan perahu
dan layar robek tercabik angin kemarau
yang berseru pada senja dan cuaca kelabu
: daratan! daratan!
aku merasakan daratan
melihat kerajaan
dan kau,
putri duyung yang menunggu
di atas singgasana mutiara
pada ranum bibirmu
tiram-tiram mengulum kelam
hiu-hiu bermata biru saling terkam
ikan-ikan cahaya padam
menggigil dan gemetar
aku menunggu
titah penghabisan
di kerajaan bawah laut
kini di anjungan
selarik ombak tertulis
bau amis dan bau garam
menggerus biru tubuhmu
2002
PENJAGA CAHAYA
yang luput dari diriku
adalah cahaya
saat sampai di tepi
berwaktu-waktu aku lemparkan kail
ke samudra yang sembunyikan ibu
rindu jadi api
membakar hampar laut
cahaya mengalir
matahari memeram cahaya
duka jadi mata kaki
bagi pejalan letih
o, beribu mimpi
yang merubung hidupku
jadilah nyata
jadilah nyata
1998
BUYAN
kabut:
jiwa nelangsa yang perlahan turun
menyungkupi sepasang bukit mungil dan
dua ekor walet yang menari di udara
menghayati getar dingin
dan getir pertemuan
puncak keindahan:
kematian kecil
yang merayap di celah rumpun perdu
mengintip senja penyap di bibir mawar
lalu malam muncul dari pejam matamu
membuka kanal yang membuih dalam diri
malam di perkemahan
si terkutuk mengendap di rerumputan
meliuk ke dalam liang tikus hutan
yang mendadak basah seperti embun
pada kelopak perawan
o, kemurnian hari
kembali mengingat wajah sendiri
penuh luka
dan pada terang unggunan api
pagi tiba membawa sampan-sampan
yang menanti kenangan
kembali menepi
1997
REQUIEM
mengapa harus ruhku
menuju ruhmu
kau ternganga di tepi cadas
memandang cemas
pada burung-burung
yang mematahkan sayapnya di udara
pada pusaran warna
adakah kau temukan keabadian
maut lekat
pada mata
pisu palet
teriaklah lantang
pilu melolong
seperti anjing
tersihir
bulan telanjang
kutemukan kau
pada tekstur cadas
menceburkan diri
dari jeram
kau meresap ke rekah batu
tidur seperti batu
bercinta dengan batu
mati dalam batu
mengapa harus ruhku
menuju ruhmu
kembali pada diri
aku hablur dirajam mimpi
mengutuk diri
mensyukuri diri
2002
ARTUPUDNIS
sepasang kijang hilang
di lengang ilalang
gerimis tandas
jadi kata-kata
mengalir deras
pada puisi terakhirmu
diam-diam
kau menjelma bunga
dikawinkan lebah madu
saat kau meneliti jejak
yang mengerak
di kulit kayu
pohon-pohon bakau
yang ranggas dedaunnya
sanur adalah palung masa lalu
bagi si penyu hijau
dan hiu bermata biru
aku terkenang pengembara
yang suka menyapa tukang jukung
dengan sajak anak-anak ombak
kau pun kabur
alur-alur puisimu
tak selesai kau tabur
waktu yang uzur
mendekam di situ
2002
BULAN PUN LAYU
- buat: pelukis kardana -
bulan pun layu
mengenang bayangmu
yang menggenang
di kubangan warna
kau beringsut ke arah kelam
tak pernah tahu
di mana perahu berlabuh
hanya tiang-tiang layar
hampir patah
dan angin garam
mengaduk kalbu
aku menyebut usia senja
kau mengulum senyum
dan kita tahu
jiwa hanya sesuatu
yang hablur
dalam didih waktu
warna ungu menjerit pilu
pada bidang kanvasmu
angin dari pantai selatan
bersuir-suir memanggil jiwamu
aku menemu sisa waktu
menguap dari hidupmu
warna-warna leleh
dalam gairah patah
seperti garis atau gurat
pada kening kelabumu
2003
TOYABUNGKAH
- buat: s.t.a -
dari jantung malam
lirih angin menyeru angan
penari berbibir embun
membujukmu memasuki
lorong hening
o, kabut yang mengurai rambut
di lembah batur
berapa sudah bibir embun
sesat dalam mulut malam?
peluh tubuh penari letih
menguap bersama lapar
dan lelah pendakian
kabut mencumbu danau
penari merintih
perih
mengekalkan malam
di jiwamu lebam
1995
PENJAGA KATA
(1)
hilang sudah kau
angan mendulang
sukmamu, segala lara
ingin abadi dalam pusara musim
fitrahmu hanya kata-kata hampa
tidurkan mimpimu di sela
iga yang segera rontok
demi memuja larik-larik sajak
aku hanya penyair tua di gua garba
kau pembaca rabun segala makna
nikmati saja janji-janji puisi
gelegak surga yang ingin kau raih
entah di atap langit ke berapa
raung itu kembali bergema
tapi kau yakini sebagai
ilusi yang nisbi
pemburu makna terkutuklah kau
upayamu sia-sia mengais sisa kata
ihwal yang senantiasa kandas
seperti rama-rama hangus
ingin tandas di sumbu lampu
(2)
pemuja bintang dini
upaya apa lagi mampu
imbangi segala igau
segala resah, segala keluhmu
ingin raih ufuk yang lapuk
nujumanmu kata-kata semu
irama yang ragu
ritma yang kaku
walau kau coba segala peribahasa
apa inginnya puisi yang melolong sepi
ngembara dari puing-puing bunyi
jangan titahkan waktu
ujung lorong kelabu
gaung gema yang sia-sia
angankan puisi sejatiku
semestinya cermin itu benar
akan membuka rahasia kata
memantulkan bayangmu yang gagu
pada segala warna musim
atau kau hanya penadah
halimun yang sirna
kini kilau benakmu
akan segera mengerak
tak mampu lagi
akhiri luka kata
(3)
fatamorgana apa lagi
alirkan kilasan-kilasan warna
jejak yang kikuk di simpang jalan
antara kampung kumuh dan kota tua
rahasia mimpimu terkubur
aku tak ingin kau jadi pecundang
pesakitan yang sekarat menunggu
ajal datang menjelang
mungkin masih mampu kau raih
angan penyair yang tintanya telah tandas
umpama pohon gugur daun
meranggas sembari memuja masa silam
untaian kenangan menyerpih
dulu pernah aku mengeram mimpi
endapan kerak yang telah menghitam
nujuman palsu aksara tua
gurat-gurat pun makin sempurna di keningku
apa lagi yang mesti diucapkan
nyanyian jiwamu makin sumbang
cuaca tanah leluhur telah lama kita lupa
embun pun tidak lagi bening
rasa pagi menghilang dari jiwaku
pudar serupa bayang-bayang samar
erang purba yang bikin ngilu
nujuman kelabu si tukang sihir
2005
BALI, BERI KAMI RUMAH
mereka bicara hal yang sia-sia
tak sadar malam mengepungnya
malam adalah hutan keramat
yang menyungkup jantung kita
sebongkah tengkorak purba
telah kau siapkan di depan altar tua
mari sempurnakan perjamuan
sebelum hutan, sawah dan kebun kita
jadi isi ensiklopedia dunia
“bali...bali...bali
beri kami rumah agar kami bisa kembali!”
pembawa warta letih
sejenak minum dari alas daun
kabar dari jauh
mengelupas selapis demi selapis
kulit dalam jiwa kita
LARON
tuhan, sampai kapan kau
meminjami aku sayap?
LIRIK UNTUK PENGIGAU
walau kau terus susuri malam
aku tak tahu sampai kapan
ruhmu menuju kilau abadi bintang
igau yang kekal serupa ajal
hembuskan kata-katamu di ujung lidah
wilayah mana tak kau jelajah
istana musim semi menutup gerbangnya
siapa mampu meraba arah waktu
alur yang melingkar serupa ular tidur
tapi peta telah kau buka
saat senja mati rasa di jiwamu
apakah arah, apatah tuju
nujumanmu tak lagi bermakna
amsal pun lupa ihwal kata
KUPU-KUPU
kupu-kupu kecil itu
tersesat ke dalam kamarku
di antara hiasan tanduk rusa
dan rak-rak buku ia meliuk-liuk
seperti tak tahu arah berpijak
sebuah potret masa muda
dalam pigura hitam yang tua
rnenatap fana padaku
kupu-kupu kecil itu menari
di atas huruf-huruf kaku mesin ketik
keningku membentur almari
saat aku ingin menyentuh
warna-warni sayapnya
keindahan di sebuah kamar
terbuka seperti taman musim semi
daun-daun bunga bungur
diam-diam gugur ke dalam belukar
malam mengendap di balik tingkap
sebentuk bibir di kaca jendela
kupu-kupu kecil itu menguap
ke senyap yang tiba-tiba lindap
ODE UNTUK PENUNGGANG KUDA
usiamu makin mendera, kuda tua
rneringkik letih di jalanan berbatu
begitu dungu kau di atas pelana
usir mimpimu sebelum tiba pagi
lelahkah kau berpacu
arak menunggu kau reguk
namamu terpahat di guci tua itu
di antara relief-relief purba
utas tali kekang pun putus kau hentak
pejamkan sejenak rindu-dendammu
agar kau mampu pahami
rahasia lubuk-lubuk puisi
agar kau bisa dendangkan sendiri
nyanyi anak-anak di jalanan desa
girang, girangkan hatimu selalu
gemakan siulmu di tebing-tebing cadas
iringi senja yang kembali ...
SARANG CAPUNG
kau memasuki sarang capung
peliharaan peri hutan
lebat tetumbuhan pakis
dann percik air terjun bagai butiran tepung
batu-batu di sepanjang sungai bernyanyi
lumut-lumut menguapkan harum tanah
aku terkurung dalam sarang capung
kembali bocah itu menawariku kalung
untaian butir-butir kerang
yang dipungutnya di pasir sungai
letih telah membawaku menjauh dari waktu
tak mampu lagi kugurat kata
pada batu-batu sungai
kata-kata yang akan mengabarkan kisahku
sejauh waktu menenun sarang laba-laba air
peri-peri hutan
mengantar ruhku ke tengah sungai
dari mana perjalanan baru kumulai
kudengar merdu nyanyi serangga hutan
kulihat bocah itu melambai
:selamat tinggal bumi!
CAMPUHAN, UBUD
- bersama phutut ea-
mengapa jalanku tiba-tiba buntu
ketika senja menjelma
bunqa alang-alang
yang tumbuh di tebing karang
di bawah, ricik air bagai mantra purba
yang dilantunkan para pendeta
atau mungkin baris-baris aksara
yang digurat sang kawi
mengapa jiwa serupa angin
mengalun dari buluh-buluh bambu
pada akhirnya kau pergi
aku pergi
mereka pergi
tapi hanya jalanku
vang tiba-tiba buntu
disumbat gumpalan masa lalu
yang tidak juga enyah
PARANGKUSUMO
tapak kaki kuda, pasir-pasir, bunga pandan
dan sampailah pada hamparan biru
yang berwaktu-waktu kuburu
ibu parangtritis, bapa merapi, putera keraton
satu garis sunyi menggebu dalam seru angin
pada pagi pada malam pada jam-jam siangku
membawa birahi dari kucuran peluh, terik doa
dan tandas airmata
mengharap kau tiba dengan kereta kencana
menapak udara
campuran pasir, laut dalam diri
simpang siur wajahmu, sayup-sayup rambutmu
seribu kuda putih meringkiki detik-detik sunyiku
waktu waktu kuburu pencarianku kuburu
sampai ruhku menemumu
TENTANG WAYAN SUNARTA
Wayan Sunarta, lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. menyelesaikan studi Antropologi di fakultas Sastra Udayana. Sempat studi seni luki di ISI Denpasar. Kumpulan puisinya, Impian Usai (2007) dan Pada Lingkar Putingmu (2005), kumpulan cerpennya, Cakra Punarbhawa (2005), Purnama di atas Pura (2005) dan Perempuan yang Mengawini Keris (2011). Meraih Krakatau Award 2002 dari Dewan Kesenian Lampung dan dianugerahi penghargaan Widya Pataka 2007 dari Gubernur Bali.
Tulis komentar baru