Skip to Content

PUISI-PUISI WING KARDJO

Foto SIHALOHOLISTICK

ENDLESS TAPE

Seperti sekian lagu yang

berulang-ulang, seperti

sekian mimpi kembali

mengganggu.

 

Hidup lebih baik apakah itu?

Hidup lebih baik apakah

itu ketaatan mesin

pada program

 

Kau tak lebih

dari musik kamar

yang gemetar, telantar.

 

Menggelepar lapar

hidup, atau jadi

sekrup

 

BUKIT

Bukan kebetulan hidup kaurisaukan

meski makan dan penginapan

sudah terjamin hingga

tahun depan

 

Dalam gelisah tidur, mimpi mendaki

bukit telur, kapan kapal pecah, laut

berdebur. Bagaimana bisa tekebur

hidup bisa begitu saja lebur.

 

Pentingnya hati terkunci di laci,

lahir sajak seperti arak,

yang terpendam dalam-

 

dalam, diperam

cahaya bulan.

Bulan.

 

SCHEVENINGEN

Laut, lautkah itu

yang kauberikan padaku

seperti yang kaujanjikan

dulu, sepi dan tak berarti

 

Laut, lautkah itu

gemerlap dan perak

di tiap ombak, pecah dan

bersatu dalam keluasan waktu

 

Laut

lautkah itu, yang

kauberikan padaku

 

dan

hanya itu

saat kau berlalu!

 

BILA MALAM HUJAN

Untuk Andy Djuandi

 

Bila malam hujan turun di halaman, aku ingat padamu, angin bertiup

daun-daun bergoyang. Ranting, dahan, batang, pohon semua kuyup.

Di dalam tanah, kau yang berselubungkan kain kafan kedinginan?

Tak bisa bergerak, tak bisa berteriak manja meminta selimut.

 

Air tetes dalam liang lahat. Semua basah dan lembab dalam tanah

bila hujan turun di halaman aku ingat pada yang tiada, daun-daun

bergoyang, pohon pisang, daun talas, kembang anggrek

dan semua tanaman yang dirawat ibumu.

 

Tapi kau tentu tak terkurung di bawah tanah

kesepian dan tanpa teman. Kau masih juga

menjinakkan kuda,

 

memacunya di bukit-bukit, di lembah ngarai,

di pantai landai, dalam udara terbuka

hawa selalu nyaman seperti sorga.

 

SURGA

Ke Paris!

(menghindari

sipilis) Amsterdam

God damn!

 

Sementara

Iqra buka celana

aku menunggu depan

etalase kaca.

 

(yang tirainya

menutup dan membuka)

 

Aku sengsara, sengsara

bukan karena neraka

tapi surga di mana-

mana!

 

SUMBER

Selalu kureguk sinar matamu

keyakinan menghargai hari

Tak sangka helai demi

helai daun turun

 

mengubur tubuhmu dengan

kelam. Begitulah matahari

terbaring, membakar

rumput kering.

 

Langit bernafas sunyi,

meniupkan lagu

kering. Kala

 

bel berdering, kukira kau

pulang, kubuka pintu,

angin melengos bisu.

 

ALWAYS IN THE MORNING

1

Surat-surat apakah yang kautulis

pagi, malam, tak henti-henti pada dunia

mati, hingga alam kembali menciptakan

lagi dirimu dari tanah, air, api dan udara?

 

Siapa yang pertama

bangun dari tidur mimpinya? Eva

membuka mata, menyisihkan selimut,

menggeliat, matahari sudah setinggi hati!

 

Angin lembut, daun

hening, rambut terurai bening.

Kapan lagi kalau bukan kini?

 

Tahun demi

tahun lewat, kaukah

itu ibu dari segala rindu?

 

2

Siapakah anak yang hilang

tersesat dalam hutan dongeng,

bayi itu yang kautimang-timang,

kaujaga serta kaubesarkan dulu?

 

Surat-surat apakah

kauterima untuk mengganti

yang pergi, menghibur diri

dari yang alpa sekian tahun?

 

Potret-potret kabar apa

kaupandang pagi, siang, malam

bila lampu mulai menyala membakar

 

apa-apa yang fana menjadi

baka, kenangan yang berpusat dalam

diri, begitu pelan bicara dan hati-hati.

 

PIKNIK 55

Kereta terakhir menderit

di ujung stasiun. Telah habis hari ini

perjalanan bersama, senja di balik bukit-

bukit kelabu. Telah lalu umur hari, satu dari

 

panjangnya rasa. Jauh berbeda

udara pegunungan daripada kota

yang satu ketenangan, yang lain keriuhan,

ketekunan dalam kerja, kesibukan dalam nyala.

 

Dua-duanya sama-sama

menghidupi kelanjutan,

kehijauan tumbuhan

 

dan harapan. Masih luas

lapangan dan subur

turun keakanan.

 

 

CAFE DE FLORE

1

Mestinya kita jumpa lagi setiap petang

mestinya kita ketemu di bawah bintang

kita datang dan kita pulang

dengan keindahan kenang

 

Kita datang dan pulang, kita selalu cinta

lagu-lagu garang, cognac yang kuteguk

waktu kau pergi tak menghalau kau

yang selama ini membayang

 

Mari kita jelajahi bumi, tulang

daging, urat mimpi yang jalang

mari kita bercinta dengan

kepenuhan indra

 

sebab hidup hanya sehari

lalu terbang

 

2

Mestinya maklum, sajak-sajak yang kutulis

bukan permainan kata, tapi darah membusa

dalamnya bersinggasana, seperti

di wajahmu kecantikan bertahta.

 

Jangan sia-siakan harapan penyair

ia selalu setia, sebab hatinya cair

deras dan jernih bagai airmancur

jujur dan bebas dari dusta

 

Walaupun dalam dukana, lampu

membujur berjajar-jajar, kita

ketemu lagi esok dan lusa

 

Cinta tak terbatas pada kata-kata, meski

dunia dalam gerhana, benua kita

senantiasa mandi cahaya.

 

LE LAC LEMAN

Untuk Toeti Heraty           

 

bagai sebuah buku yang halaman-halamannya telah kaukenal, dan nomor-nomor urutannya

pun kauhafal, sebuah kalimat bisa berhenti pada satu tempat dan berlanjut pada

suatu peristiwa yang hanya terjadi dalam kepala, merentang bagai tabir

rahasia, dan sebuah sajak lahir sebab percakapan yang alpa.

 

1

Telaga basah dan burung

berterbangan, angsa

meluncur, angin

musimgugur.

 

Kau kedinginan dan angin melecut

bagai kebosanan. Terhenyak

di cafe, kau lelah antara

cangkir-cangkir kopi

 

dan cognac. Katamu kau ingin menyingkir,

tapi lelaki itu tak henti-henti bicara

tentang tanah hitam di selatan,

 

tentang hutan perawan, tentang hewan-

hewan liar di kawasan cadangan.

Begitu menjemukan!

 

2.

Gerimis terus turun, lewat kaca kautatap

taman, daun bertimbun. Tak sadar

terlontar ajakan,”Antarkan

aku ke penginapan!”

 

Telaga basah dan sampan berjajar

musim gugur bergetar, kala

terbuka segala cadar, hutan

pun di negeri selatan

 

(dan beberapa lembar catatan

harian) malam itu

terbakar.

 

Terang di dalam, terang

di luar dan menyala

lama sekali.

 

AH, OMBAK LAUT DAN DARAT

HAMPARKAN HASRAT, BIRU, KUNING

1

Tahun-tahun hanya tinggal kenangan

Berjalan menyusur Sungai Themes,

memandang gedung, menara

serta jembatan. Merpati

 

terbang dan lonceng tua berdentang. Kesaksian

zaman masih juga berdiri, megah dan anggun,

sedang kita yang pernah menatapnya (Monet,

kau dan aku) mesti berlalu dengan waktu.

 

Lewat malam laut, ferry dan keretaapi terbukalah

pagi. Matahari musim semi layak mimpi.

Tapi yang dulu kujumpa di kapal,

 

antara Jakarta dan Genoa, berkata menyesal,

“Lupakan saja cinta (tak ada apa-apa antara

kita). Kujanjikan persahabatan yang kekal.”

 

2.

Maka London dengan taman-tamannya jadi alum.

Gerimis senja turun, lampu-lampu mulai benderang

hingga mesti kucari perlindungan dari sepi dan

hujan misalnya di sebuah bar remang di Soho.

 

Hanya tambah pedih saja luka. Perempuan-perempuan

begitu hanya pandai merentang jerat, kejam dan

jahat. Tahun-tahun hanya tinggal ingatan, samar

seperti senja. Percakapan tergantung di udara.

 

Dan rumahmu di luar kota, alangkah dingin! Alang-

alang dan rumputan. Lantas kita jalan lagi bagai

bayang-bayang ruh yang merindukan kepenuhan

 

lintas ruang dan waktu. Ah, tinggal ombak-ombak biru,

daratan kuning, hamparkan pula langit bening,

tempat jiwa berbaring.

 

REQUIEM

1

Sejak kau bernama perempuan

dan angan-angan, suaramu tinggal sunyi,

dataran padang dengan bulan redup, merekam

misteri manusia menuju kelam kematian. Wajahmu

 

tubuhmu, busuk dan hancur, masalalu yang pernah

rindu perlindungan, hangat bantal kemesraan

bercumbu dengan denyaran cahaya yang

menyusuri pelupuk, kehalusan kata

 

yang bersalin bisu, ke mana harus

kucari wajah kebenaran, selain

dalam penyerahan?

 

Hidup permainan dalam kelam

permainan sungguh

mencari cahaya.

 

2.

Kelam dan sinar bergumul, rasuk merasuk

dalam dunia materi, benda harum

dunia, sunyi dalam cermin pecah.

Boneka, surat tanpa alamat,

 

kartu bergambar, majalah hiburan, rambut,

parfum, malam bertemu malam, malam

siang tanpa batas, menyilaukan, sinar

luput dari genggaman, beriak

 

dan beriak atas kain kapan,

putih mengembang

langit bersih dan

 

sepi dari bisik-bisik gelisah, tak

tahu jemu melekat dalam

kemualan daging

 

3.

Dering tilpun memanggil dan menutup sejenak

lelaki seperti sekutu dan seteru yang tak

bosan-bosannya memberi dan menagih,

mengajak dan beranjak. Malam,

 

siang mengaduh bisu, keluh beku menghancurkan

jangat lambat-lambat. Malam rambut hitam

dan kau makin asing dari jagat mereka

yang dulu bersarang dalam rimbun

 

harum taman mawarmu. Burung-burung

bernyanyi pagi dan sepi dalam cahaya

tiada cahaya, sepi tiada api, sepi

 

perempuan di ranjang dengan duri-duri

dan lampu layu, bayangan hari

tiada hari, api tiada api.

 

POTRET SOEKARNO OLEH HATTA

Sebagai pencinta seni ia ingin memandang semuanya dalam keindahan,

dalam suasana harmonis, dalam kesatuan yang bulat. Jiwanya luka

melihat keretakan hingga persatuanlah yang menjadi pokok dan

akhir dari segala tujuannya.

 

Karena mementingkan garis-garis besar saja, ia tak menghiraukan

detail, sekalipun pasal yang menentukan. Ia mengira yang indah

dalam pikirannya adalah realitas. Itulah sebabnya ia terbentur

dalam kenyataan. Ada keretakan jiwa antara politikus

 

dan seniman. Sebenarnya aneh sebab sebagai arsitek,

sebagai seniman ia mampu melihat lukisan

sampai ke detail-detailnya. Ia tunjukkan

 

mana yang kurang, mana yang belum sempurna, dan

sering dengan petunjuk-petunjuknya ia menyuruh

melakukan perubahan dan perbaikan.

 

MESIN DAN ROBOT

1

Mesin-mesin dan robot bekerja lebih baik daripada buruh

tak perlu makan, tak perlu minum, tak perlu tidur, bisa

bekerja penuh sehari-semalam dalam tempat terang,

dalam tempat gelap dengan irama yang tetap.

 

Hanya diperlukan tenaga ahli, tak banyak, sekedar

melayani mesin agar terus berjalan. Bukankah surga.

Tak ada lagi tuntutan, tak ada lagi keluhan,

ancaman mogok yang seperti momok.

 

Di zaman ini segala jalan, lancar seperti sekunar. Kekurangan

modal? Panggil kapital asing, sebentar tentu datang mengulurkan

tangan. Lantas bikin proyek, misalnya membuka tambang, dan

 

agar aman, undang tenaga luar. Toh, kita mampu bayar. Sedang

lahan milik negara, kita hanya minta bagian, persis seorang

calo. Praktis dan sederhana, peran kita sebagai bangsa.

 

2

Mesin-mesin dan robot tak punya istri, tak punya anak, tak

perlu takut pulang ke rumah tanpa bawa uang, tak perlu

kuatir dirongrong mertua dan sanak. Mesin-mesin dan

robot tak usah pulang ke rumah. Kalau nganggur tidur

 

di tempat kerja, tak baca koran di kantor, tak curi-curi waktu buat

main kartu. Majikan hanya menggerutu kalau kehabisan cerutu

atau bahan baku. Kewajiban pada negara? Sisihkan sekian persen

sebagai pajak, bisa kurangan kalau bayar uang siluman.

 

Pertanggungjawaban hanya dalam rapat persero, kalau perusahan terbatas.

Ini kan perusahaan keluarga, seperti tertera dalam undang-undang negara:

perekonomian berasaskan kekeluargaan? Karena dalam lingkungan

 

terbatas, tak perlu pengawas. Usaha masih nasional, tak merugikan

kepentingan sosial. Layanan dan barang hanya buat orang-

orang berada. Wah, mewah dan mahal.

 

TENTANG WING KARDJO

Wing Kardjo lahir di Garut, 23 April 1937. SD dan SMP di Tasikmalaya. Sma Katolik Garut, B-I Bahasa Perancis di Jakarta (1959). Sambil jadi guru di SMA Kanisius Jakarta, hendak melanjutkan kuliah di UI, tetapi jadi korban perpeloncoan hingga terpaksa masuk RSUP bagian syaraf. Setelah sembuh, Wing melanjutkan ke Unpad. Tahun 1977 ke Paris mengikuti program doktor. Ia memperoleh gelar “Docteur de Specialite en Etudes Extreme-Orientale” dari Universite Paris VII dengan disertasi Sitor Situmorang: la vie et l’Oeuvre d’un poete indonesien. Pernah duduk sebagai redaktur di Indonesia Express, Bandung dan Khatulistiwa / Indonesia Raya, Jakarta. Tahun 1984 hingga 1990 diundang ke Jepang sebagai guru besar di Tokyo University of Foreign Studies, dan sejak 1991 hingga sekarang sebagai guru besar di Tenri University, Tenri, Nara. Kumpulan puisinya Selembar Daun (Pustaka Jaya, 1974), Perumahan (Budaja Djaja, 1975). Juga menerjemahkan: Pangeran Kecil karya Antoine St. Exupery (1979) dan Sajak-sajak Perancis Modern dalam dua bahasa (1972).

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler