Skip to Content

SERIAL WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 EPISODE 030: DOSA-DOSA TAK BERAMPUN

Foto SIHALOHOLISTICK
files/user/3199/WS030.jpg
WS030.jpg

SATU

 

MESKIPUN tanah Jawa dikenal sebagai pusat perkembangan ilmu silat dan kesaktian, namun beberapa daerah di tanah air telah pula mendapat nama harum berkat kehebatan para tokoh silat serta kesaktian yang mereka miliki. Salah satu di antaranya adalah daratan Aceh di Ujung Utara Pulau Andalas.

Dalam serial Wira Sableng berjudul “Raja Rencong Dari Utara” telah dikisahkan munculnya seorang tokoh silat sakti  mandraguna, bernama Hang Kumbara, bergelar Raja Rencong Dari Utara. Di situ dikisahkan bagaimana Raja Rencong berusaha mendirikan apa yang disebut Partai Topan Utara. Dia mengundang berbagai tokoh silat yang ada di pulau Andalas bahkan dari outau Jawa untuk datang ke Bukit Toba guna mengadakan pertemuan dan membicarakan rencana besar itu. Padahal di balik semua itu Raja Rencong mempunyai maksud keji yakni hendak membunuh semua para tokoh silat yang hadir. Bilamana para tokoh itu berhasil disingkirkan maka dia akan menjadi raja diraja rimba persilatan.

Raja Rencong mulai dengan menghancurkan Pesantren Suhudilah. Para pengurus pesantren yakni Kiyai Hurajang, Kiyai Selawan dan Kiyai Tanjung Laboh mati di tangan Raja Rencong. Padahal tiga Kiyai itu merupakan orang-orang berkepandaian tinggi bahkan telah dianggap sebagai Datuk rimba persilatan.

Kiyai Suhudilah sendiri, pucuk pimpinan Pesantren Suhudilah akhirnya tewas pula di tangan Raja Rencong. Tak ada satu kekuatanpun yang dapat membendung kehebatan Ilmu Kuku Api dan pukulan Topan Pemutus Urat yang dimiliki Raja Rencong. Dengan dua ilmu luar biasa itu dia malang melintang dalam rimba persilatan pulau Andalas.

Setelah Pesantren Suhudilah disapu bersih maka Raja Rencong menggasak satu komplotan manusia-manusia jahat yang dikenal dengan sebutan Gerombolan Setan Merah. Semula Raja Rencong bermaksud mengambil lima tokoh Setan Merah untuk menjadi para pembantunya. Tetapi ketika mereka menolak dan menghina. Raja Rencong membunuh kelimanya yakni Setan Cambuk (Pemimpin Gerombolan Setan Merah), Setan Pedang, Setan Pisau, Setan Darah dan Setan Rencong.

Dalam kehidupannya yang penuh darah dan maut itu Raja Rencong mempunyai seorang anak gadis bernama Pandansuri yang memiliki kecantikan luar biasa, tetapi kekejaman dan keganasannya tidak kalah dari Raja Rencong sendiri.

Apa yang terjadi di rimba persilatan pulau Andalas itu sangat menggelisahkan hati seorang tua berusia hampir tujuh puluh lima tahun. Orang ini dikenal dengan nama Datuk Mata Putih, tokoh silat yang sangat disegani di pulau Andalas pada masa itu. Kedua matanya berwarna putih. Hampir tak terlihat lensa mata yang hitam. Tapi dia tidak buta. Dia merasa menyesal karena Rencong Emas yang kini dimiliki oleh Hang Kumbara alias Raja Rencong Dari Utara adalah pemberiannya kepada Hang Kumbara sebagai anak muridnya. Dan kini dengan Rencong Emas sakti mandraguna itulah sang murid malang melintang menimbulkan keonaran, menurunkan tangan jahat, melakukan pembunuhan serta perbuatan keji lainnya di mana-mana.

Karena tak dapat berpangku tangan lebih lama maka Datuk Mata Putih meninggalkan goa pertapaannya mencari sang murid. Dalampertemuan di Bukit Toba, Datuk Mata Putih menasihatkan Hang Kumbara agar bertobat dan tidak lagi melakukan kejahatan karena itu tidak sesuai dengan perilaku seorang tokoh silat, apalagi mengingat dia adalah muridnya sedang sang datuk sendiri begitu disegani dan dihormati sesama tokoh persilatan.

Dengan dalih bahwa dia hanya membalaskan sakit hati kematian ayahnya yang dibunuh secara kejam semena-mena Hang Kumbara menganggap dia punya hak melakukan balas dendam. Namun kemudian dendam terbalaskan itu menjadi dendam berangkai. Para tokoh silat memburunya. Mau tak mau dia terpaksa mempertahankan diri dan menghancurkan semua orang yang berusaha menuntut balas.

Apapun alasan yang dikemukakan Hang Kumbara, semua itu tak dapat diterima oleh Datuk Mata Putih, dan mengharap agar muridnya yang tersesat kembali ke jalan yang benar. Namun Hang Kumbara menjawab: “Salahkah murid, sesatkah murid kalau murid murid membunuh belasan manusia yang bertanggung jawab atas kematian ayah, bahkan ibu, adik-adik, calon istriku dan seluruh anggota keluarganya...?!”

Datuk Mata Putih menyahuti: “Orang-orang yang bertanggungjawab atas semua itu jumlahnya hanya sepersepuluh saja dari jumlah manusia yang telah kau bunuh secara keji! Apa pertanggungan jawabmu atau alasanmu atas yang sembilan persepuluh lainnya? Yang kau bunuh tanpa pangkal sebab atau kesalahan atau dosa apa pun juga?!”

Karena putus asa melihat kekerasan kepala muridnya itu maka Datuk Mata Putih memerintahkan Raja Rencong untuk mengembalikan Rencong Emas yang dulu diserahkannya dan ikut bersamanya ke pertapaan. Tentu saja Raja Rencong menolak perintah tersebut. Maka perkelahian antara guru dan muridpun tak dapat dihindarkan lagi.

Ternyata Datuk Mata Putih tidak dapat menghadapi kehebatan sang murid. Guru yang malang ini akhirnya tewas oleh tusukan Rencong Emas, senjata sakti yang diciptakannya sendiri yang kemudian diberikannya pada Hang Kumbara! Kematian Datuk Mata Putih menggemparkan dunia persilatan terutama di belahan utara pulau Andalas.

Suatu hari berkumpullah empat orang tokoh silat terkenal di puncak gunung Sinabung. Mereka adalah Panglima Sampono selaku tuan rumah. Dia dikenal sebagai tokoh silat yang pernah membaktikan diri pada Sultan Deli hingga akhirnya walaupun dia tidak bertugas lagi di Kesultanan, gelar Panglima tetap melekat pada dirinya. Orang kedua ialah Datuk Nan Sebatang lalu Lembu Ampel dan yang terakhir Sebrang Lor. Lembu Ampel adalah tokoh silat berasal dari pulau Jawa tapi selama beberapa tahun terakhir telah menetap di pulau Andalas. Keempat orang ini bertemu untuk membicarakan masalah besar yang tengah dihadapi dunia persilatan saat itu yakni merajalelanya Raja Rencong dengan segala keganasannya.

Sebrang Lor sendiri adalah seorang tokoh silat dari daratan Malaka yang menyeberang ke Andalas untuk membalas dendam kesumat. Menurut keterangannya Raja Rencong telah gentayangan ke Malaka, membunuh tokoh-tokoh persilatan di sana yang tidak mau tunduk dan bergabung padanya. Bahkan ketika kembali ke Andalas, Raja Rencong telah pula menculik dua orang gadis.

Keempat orang itu menyadari bahwa Raja Rencong memiliki kepandaian tinggi luar biasa. Sekalipun mereka berempat belum tentu dapat mengalahkannya. Karenanya harus dicari akal yang sebaikbaiknya. Atas saran Panglima Sampono diputuskan untuk menculik Pandansuri yakni anak Raja Rencong. Bila anak gadisnya dikuasai maka sang ayah besar kemungkinan bisa ditundukkan.

Di sebuah kaki bukit empat tokoh silat tadi menghadang Pandansuri. Terjadi perkelahian hebat. Meskipun memiliki kepandaian sangat tinggi yang didapatnya dari Raja Rencong namun akhirnya Pandansuri terdesak. Tetapi sewaktu si gadis siap untuk diringkus, muncullah Pendekar 212 Wiro Sableng memberikan pertolongan. Murid Eyang Sinto Gendang ini sama sekali tidak mengetahui siapa adanya Pandansuri dan apa urusan empat orang itu mengeroyok sang dara. Dia memberikan pertolongan hanya karena tidak suka melihat ketidak adilan. Empat lelaki berkepandaian tinggi mengeroyok seorang gadis berkerudung. Kalau tidak ditolong niscaya si gadis akan celaka.

Begitu dirinya terhindar dari tangkapan lawan, Pandansuri segera melarikan diri setelah terlebih dulu mengancam akan memberitahukan kejadian pengeroyokan itu pada Raja Rencong.

Setelah Pandansuri meninggalkan kaki bukit, maka kemarahan kini tertumpah pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Perkelahian pecah kembali. Kini Wiro yang menjadi sasaran keroyokan. Pendekar ini mempertahankan diri dengan mengandalkan Rencong Perak milik Pandansuri yang terlepas mental dan berhasil disambarnya sewaktu gadis itu berkelahi menghadapi Panglima Sampono dan tiga tokoh lainnya itu.

Dalam perkelahian yang berlangsung cukup lama itu akhirnya Wiro berhasil menotok ke empat lawannya. Namun dia kemudian jadi terkejut setelah mengetahui kalau gadis yang barusan ditolongnya adalah anak Raja Rencong. Padahal Raja Rencong adalah manusia durjana yang sedang dicari-carinya. Dia sengaja menyeberangi lautan, datang dari tanah Jawa ke pulau Andalas untuk menumpas Raja Rencong yang jahat itu! Setelah meminta maaf Wiro tinggalkan ke empat tokoh silat tadi masih dalam keadaan tertotok.

Perbuatan-perbuatan biadab Raja Rencong yang menggegerkan dunia persilatan akhirnya sampai pula ke telinga Sultan Deli. Maka dikirimkannyalah Dipa Warsyah seorang perwira tinggi untuk menangkap Raja Rencong hidup atau mati. Namun ternyata sang perwira bukan saja tidak berhasil menemukan Raja Rencong Dari Utara malah dia akhirnya menemui ajal di tangan Pandansuri, tewas dihantam pukulan ilmu kuku api yang ganas. Di tempat yang sama terbunuhnya perwira tinggi Kesultanan Deli itu Pendekar 212 Wiro Sableng bertemu pula dengan Pandansuri. Melihat keganasan yang dilakukan sang dara tentu saja Wiro merasa tidak senang. Apalagi sikap Pandansuri setelah dulu ditolongnya dari keroyokan Panglima Sampono sama sekali tidak menunjukkan itikad baik atau mengucapkan terima kasih. Maka tak dapat ladi dihalangi terjadinya perkelahian antara kedua orang ini.

Setelah terdesak hebat akhirnya Pandansuri melarikan diri. PADA hari dan tanggal yang telah ditentukan diresmikanlah berdirinya Partai Topan Utara. Puluhan tamu yang diundang tampak menaiki perahu menuju bukit Toba. Mereka umumnya terdiri dari orang-orang dunia persilatan. Bahkan banyak diantara mereka merupakan tokoh-tokoh silat ternama. Semua mereka tidak menduga bahwa kedatangan mereka menghadiri peresmian berdirinya partai darah itu hanyalah untuk mengantarkan nyawa belaka. Karena sebenarnya Raja Rencong Dari Utara sudah menanam niat untuk membunuh mereka semua! Para tamu duduk di sebuah tempat yang dinamakan Arena Topan Utara. Arena itu terletak di bawah sebuah bangunan tua. Sesuai dengan rencana yang diatur, Raja Rencong akan pergi ke mimbar dan Pandansuri akan menqgerakkan satu alat rahasia. Alat rahasia ini akan menghancurkan bagian atas Arena Topan Utara dan semua orang yang ada dalam Arena dengan sendirinya akan tertimbun hidup-hidup.

Apa yang dirundingkan ayah dan anak dalam kamar rahasia itu sempat terdengar oleh Pendekar 212 Wiro Sableng yang berhasil masuk menyusup ke tempat kediaman Raja Rencong. Tetapi celakanya kehadiran Wiro sempat dirasakan oleh Raja Rencong. Maka diapun melakukan penyelidikan sebelum menuju Arena Topan Utara. Satusatunya tempat bersembunyi adalah sebuah kamar. Wiro segera masuk ke dalam kamar ini. Dinding, lantai dan langit-langit kamar terbuat dari batu kasar dan seluruh ruangan penuh berselimut debu.

Di tengah ruangan duduk seorang lelaki tua bermuka biru dan berpipi sangat cekung. Tubuhnya yang kurus tertutup sehelai jubah biru yang luar biasa besarnya hingga bagian bawah jubah ini menutupi hampir separuh lantai ruangan batu. Kedua tangan orang tua aneh ini buntung sebatas siku dan salah satu telinganya sumplung. Di lehernya terikat sehelai rantai baja yang ujungnya dipantek dan ditanam pada dinding batu di belakangnya. Kedua matanya tertutup. Sikapnya tak ubah seperti seseorang yang sedang bersemedi.

“Hai... Orang tua, kau siapa?” bisik Wiro. Dia kawatir kalau Raja Rencong muncul dengan tiba-tiba.

Orang tua yang dibisiki membuka kedua matanya. Astaga1. Wiro merasakan tengkuknya dingin. Kedua mata itu hanya merupakan sepasang rongga yang dalam dan mengerikan.

“Anak tolol!. Lekas sembunyi dalam jubah di belakang punggungku!” berkata orang tua.

Wiro sadar kalau dirinya terancam bahaya yakni jika Raja Rencong menemukan-nya di ruangan batu itu. Maka tanpa pikir panjang dia segera melakukan apa yang dikatakan orang tua itu. Menyusup masuk ke dalam jubah biru yang sangat besar. Meskipun orang nyata menolongnya namun Wiro masih belum dapat memastikan apakah orang tua itu musuh atau kawan. Karenanya diam-diam dia mengerahkan aji pukulan sinar matahari di tangan kiri sedang tangan kanan menggenggam hulu Kapak Maut Naga Geni 212.

“Anak, aku bukan musuhmu! Mengapa musti meraba senjata segala?” tiba-tiba orang tua bermata buta itu mengiangkan pertanyaan ke telinga Wiro.

Suara mengiang itu! Luar biasa sekali. Tentunya orang tua ini seorang sakti mandraguna. Mengapa kedua matanya bolong begitu rupa, lalu dua tangan buntung dan ditambah rantai baja yang mengikat lehernya?

Tiba-tiba pintu terpentang dan terdengar bentakan Raja Rencong.

“Tua renta buta! Siapa yang masuk ke sini?!”

Orang tua itu terdengar menghela nafas dalam. Lalu terdengar suaranya halus sekali seperti suara anak perempuan.

“Jika aku sampai tidak melihat orang masuk kemari itu bukan karena ketololanku. Tapi karena memang kedua mataku buta.

Sebaliknya jika kau yang punya mata dan telinga sampai tidak mengetahui, malah bertanya padaku itu adalah satu ketololan yang tak ada taranya! Apakah kau memang melihat ada orang lain di tempat ini?!” Ucapan itu membuat Raja Rencong melontarkan kata-kata kotor.

“Eh, sudahkah kau periksa Hang Kumbara?” tanya orang tua itu.

’Tutup mulutmu setan tua!” sentak Hang Kumbara alias Raja Rencong Dari Utara.

Disentak begitu si orang tua ganda tertawa dan menyahut:

“Bukankah hari ini hari peresmian Partai Topan Utara?”

“Kunyuk peot!” kembali Raja Rencong menyentak. “Kau tahu apa tentang segala macam partai!”

“Aku memang tidak tahu apa-apa! Tapi aku mempunyai firasat bahwa partaimu itu akan runtuh sebelum saat peresmiannya. Dan kau sendiri akan mampus!”

“Ya! Aku akan mampus! Tapi sebelum mampus untuk ke seratus kalinya terima dulu tamparanku!”

Plaak!

Tamparan yang dilayangkan Raja Rencong keras luar biasa. Tubuh orang tua itu terasa oleh Wiro menghuyung tapi dia tidak roboh. Bibirnya yang pecah mengucurkan darah. Darah Pendekar 212 Wiro Sableng menggelegak mengetahui orang tua yang telah menolongnya diperlakukan seperti itu. Segera saja dia hendak melompat keluar dari dalam jubah. Tapi di telinganya terdengar suara ngiangan seperti nyamuk.

“Jangan tolol anak muda!”

Mau tak mau terpaksa Wiro mendekam terus di dalam jubah lebar itu. Kemudian terdengar pintu kamar ditutupkan. Raja Rencong telah keluar.

“Sekarang kau boleh keluar!” terdengar si orang tua berkata.

Wiro cepat keluar lalu menjura hormat seraya berkata: “Terima kasih atas budi pertolonganmu. Siapakah kau ini sebenarnya...?”

Orang tua itu tertawa. Tampak gusinya yang tanpa gigi lagi.

“Sewaktu kudengar orang berkelebat menuju belakang bangunan tua, sewaktu kudengar kau mengangkat rerumpunan semak belukar lalu menyusup turun dalam lorong rahasia, hatiku gembira. Kukira kau adalah Tua Gila. Tapi dari langkahmu kemudian segera kuketahui bahwa kau bukan Tua Gila. Tapi, aku yakin kau pasti ada sangkut paut dengan orang tua itu. Mungkin sekali kau muridnya. Betul...?”

Wiro Sableng melengak. Kehebatan orang tua cacat ini sungguh luar biasa. “Kau betul. Secara kebetulan aku bernasib baik dan mendapat beberapa jurus pelajaran ilmu silat dari Tua Gila. Kalau aku boleh bertanya, bagaimana kau tahu setiap gerak gerikku?”

“Ilmu yang tinggi adalah seribu mata seribu telinga. Tapi semua itu berakhir dalam kesia-siaan. Buktinya diriku ini!”

“Kenapa kau sampai seperti ini?” tanya Wiro.

“Muridku sendiri yang melakukannya!” jawab orang tua itu.

“Muridmu?” kejut Wiro.

“Tak perlu terkejut atau heran anakmuda. Dunia ini penuh dengan orang-orang sesat den murid murtad!”

“Kalau aku boleh bertanya siapakah muridmu itu?”

“Masakan kau tak bisa menduga. Siapa lagi kalau bukan Hang Kumbara!”

“Maksudmu Raja Rencong Dari Utara?” “Itu gelarnya!”

“Benar-benar manusia terkutuk!” desis Wiro geram. Sekali dia menggerakkan tangan kanannya, rantai baja yang tertanam di dinding batu tanggal. Wiro lalu melepaskan bagian rantai yang mengikat leher orang tua itu.

“Terima kasih anak muda. Aku bisa bernafas lebih lega sekarang.Tenagamu luar biasa sekali...”

“Orang tua, aku tak punya waktu banyak. Tugasku adalah untuk menghancurkan Partai Topan Utara. Berarti juga memusnahkan Raja Rencong. Kalau tugas itu selesai aku akan kembali kemari membawamu keluar dari tempat terkutuk ini! Maukah kau menerangkan siapa namamu?”

“Ah, aku berterima kasih akan maksud baikmu itu. Tapi diriku yang cacat dan pikun ini tak perlu kau pikirkan. Yang penting selamatkan orang-orang itu. Dengar anak muda, namaku Nyanyuk Ambar. Dulu aku diam di Gunung Singgalang. Sampai munculnya Hang Kumbara manusia laknat itu. Dia datang mengemis ilmu padaku. Diluar tampaknya dia seorang pemuda baik-baik.

Lagi pula kuketahui kemudian sebelumnya dia berguru pada Datuk Mata Putih, seorang sahabatku. Maka kuambil dia jadi murid dan kuajarkan berbagai ilmu silat serta kesaktian. Tapi siapa nyana kalau manusia itu sebenarnya sejak lama mendekam satu maksud jahat. Yaitu ingin menguasai dunia persilatan di pulau Andalas ini dengan menghimpun sekian banyak tokoh lalu membunuh mereka secara keji! Aku ketahui kemudian bahwa sahabatku Datuk Mata Putih telah menemui ajal dibunuh oleh manusia keparat itu. Aku sendiri tidak terlepas dari kekejamannya. Hanya saja aku masih dibiarkan hidup dengan dalam cacat seperti ini!”

“Jadi Hang Kumbara juga yang memutus kedua tanganmu?” tanya Wiro.

“Bukan hanya lenganku, anak. Bukan hanya lenganku! Coba kau singkap jubah biru ini di bagian kaki.”

Wiro menyingkapkan jubah biru Nyanyuk Amber. Astaga!

Ternyata kedua kaki orang tua itu juga buntung sebatas lutut!

“Hang Kumbara yang melakukannya...” desis orang tua itu. “Dia juga yang mencongkel kedua mataku!”

“Manusia jahanam!” Kedua tangan Wiro terkepal. “Orang tua, aku bersumpah untuk membunuh manusia itu! Tapi mengapa dia melakukan hal itu padamu?”

“Seperti Datuk Mata Putih, aku datang padanya dan memberi nasihat agar meninggalkan jalan sesat. Menghentikan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh silat tak berdosa. Alasan itu sudah cukup baginya untuk melakukan kekejian ini padaku. Dia membokongku dengan totokan. Dalam keadaan tak berdaya tangan serta kakiku dipotongnya.

Kedua mataku dikoreknya. Lalu aku dimasukkan ke dalam ruangan ini dan dirantai!”

“Belum pernah aku melihat dan mendengar manusia seganas Hang Kumbara. Tempatnya jelas di neraka!”

Si orang tua tertawa mengekeh. “Kau pergilah cepat! Jangan terlambat! Kalau orang-orang itu sampai menemui ajal, celakalah dunia persilatan!”

Mendengar kata-kata itu Wiro segera tinggalkan ruangan batu dengan cepat.

***

 

DUA

 

DI TENGAH-TENGAH Arena Topan Utara terletak sebuah mimbar. Di belakang mimbar itu berdiri Raja Rencong Dari Utara. Matanya menyorot memandang ke arah tamu-tamu yang hadir. Semua orang yang hadir di situ terbagi dalam tiga golongan. Golongan pertama ialah golongan hitam yang secara nyata-nyata bergabung dengan Raja Rencong. Golongan kedua adalah golongan putih yang telah ditaklukkan dan dipaksa untuk masuk serta menghadiri berdirinya Partai Topan Utara. Baik golongan hitam maupun golongan putih di atas semuanya telah masuk perangkap Raja Rencong.

Golongan ketiga yang ialah golongan putih yang sengaja datang ke tempat itu untuk membalaskan dendam kesumat kematian kawan-kawan mereka yang telah dibunuh oleh Raja Rencong, puterinya atau para kaki tangannya.

Raja Rencong melirik pada sebuah tombol merah yang terletak di kayu mimbar dekat tangan kanannya. Sekali dia menekan tombol ini maka tubuhnya akan melesat ke atas, keluar dari ruangan itu lewat sebuah celah yang terbuka pada bagian atap ruangan. Lalu pada saat yang sama lantai Arena Topan Utara-akan longsor ke bawah, menyusul runtuhnya atap. Semua orang yang ada dalam Arena akan tertimbun hidup-hidup. Tak bakal ada satu orang pun yang bisa menyelamatkan diri karena berbarengan dengan runtuhnya atap serta amblasnya lantai, satu ledakan besar akan menghancur luluhkan tempat itu! Setelah memandang berkeliling maka Raja Rencong membuka mulut memberi kata sambutan.

“Para hadirin sekalian. Pertama sekali aku Raja Rencong Dari Utara mengucapkan terima kasih atas kedatangan saudara-saudara di tempat ini. Dalam mendirikan Partai Topan Utara ini, aku sama sekali tidak akan melihat asal-usul, atau menilai saudara-saudara ini dari golongan mana. Bagiku, jika saudara-saudara telah bersedia datang dan hadir di sini maka berarti saudara-saudara semua sudah bersedia masuk menjadi anggota Partai Topan Utara!”

Pernyataan Raja Rencong itu membuat para tokoh silat golongan putih yang datang untuk membalaskan dendam kesumat menjadi gempar. Dalam keadaan suasana berisik tiba-tiba melesatlah ke atas Arena empat sosok tubuh. Mereka adalah Panglima Sampono, Datuk Nan Sabatang, Lembu Ampel dan Seorang Lor. Tiga kawan tegak berjejer sementara Panglima Sampono melangkah tegap ke hadapan mimbar. Suasana yang tadi berisik kini menjadi sehening di pekuburan. Ketegangan menggantung di udara!

“Manusia-manusia tidak tahu peradatan!” teriak Raja Rencong marah sekali. “Perbuatan kalian naik ke atas mimbar tanpa izinku merupakan penghinaan besar bagi semua anggota Partai yang hadir di sini!”

Panglima Sampono sambil bertolak pinggang menjawab dengan suara garang.

“Ketahuilah, kami berempat datang kemari bukan untuk menghadiri peresmian segala macam partai kentut busuk! Tapi untuk meminta pertanggungan jawabmu atas kematian sobat-sobat kami para tokoh silat golongan pucih!”

“Kalau itu maksud kalian, rupanya kalian berkenan untuk menyusul mereka ke akhirat!” tukas Raja Rencong. Dia berpaling ke arah Arena sebelah timur dan berseru: “Empat Tombak Sakti! Lenyapkan pengacau-pengacau ini!”

Empat orang berpakaian seragam hitam melompat ke atas Arena. Tampang mereka galak buas dan angker. Begitu naik ke arena begitu mereka hantamkan tombak ke arah kepala Panglima Sampono dan tiga kawannya! Pertempuran pecah! Tampaknya kedua pihak saling berimbang. Serangan datang silih berganti.

Lima belas jurus berlalu. Korban pertama roboh. Dia adalah orang ketiga dari Empat Tombak Sakti. Meregang nyawa di ujung pedang Sebrang Lor.

Menyusul kemudian Panglima Sampono berhasil membantai orang kedua dari Empat Tombak Sakti. Kini pertempuran berlangsung antara Datuk Nan Sabatang melawan orang ke satu sedang Lembu Ampel melawan orang ke empat. Ternyata dua orang terakhir dari Empat Tombak Sakti ini tidak mampu menahan serangan-serangan gencar dua tokoh silat golongan putih itu. Setelah lima jurus berlalu keduanya tergelimpang menemui ajal! Rahang Raja Rencong tampak menggembung. Gerahamnya terdengar bergemeletukkan.

“Tongkat Baja Hijau!” teriak Raja Rencong. “Bunuh empat keparat itu!”

Sekelebat sosok tubuh berpakaian hijau melesat ke atas Arena. Orang ini berbadan tinggi langsing. Usianya agak lanjut dan tubuhnya bungkuk. Di tangan kanannya dia memegang sebuah tongkat sebesar betis terbuat dari baja asli. Warna hijau yang membungkus tongkat baja itu adalah lapisan racun ganas yang dahsyat!

“Tunggu apa lagi! Habisi mereka!” teriak Raja Rencong.

Tongkat Baja Hijau mendongak dan perdengarkan tawa mengekeh. Tongkat di tangan kanannya di ketuk-ketuk ke lantai Arena. Hebat sekali. Semua orang merasakan bagaimana lantai yang mereka injak terasa bergetar. Panglima Sampono dan kawan-kawan segera maklum kalau manusia berjubah hijau itu memiliki kepandaian tinggi sedang senjata di tangannya mengandung bahaya maut! Tongkat Baja Hijau memandang pada keempat orang di hadapannya dengan mimik mengejek dan menganggap rendah.

“Kalian akan maju satu-satu atau berempat sekaligus? Lebih baik berempat agar aku tidak banyak membuang waktu dan tenaga!”

Mengelam paras ke empat tokoh silat itu. Panglima Sampono bergerak melangkah. Tapi Sebrang Lor mendahului ke hadapan Tongkat Baja Hijau.

’Tampangmu tak banyak berubah! Tapi pendirianmu kini berlainan!” berkata Sebrang Lor. “Setahuku dulu kau adalah tokoh golongan putih. Sungguh disayangkan kalau kini kau menjadi bergundal Raja Rencong, murid murtad pembunuh guru! Majulah, biar aku rasakan hajaranmu!”

Tongkat Baja Hijau tertawa bergelak.

“Sebrang Lor! Tempatmu jauh di Malaka! Sulit nyawamu akan kembali ke sana!”

Habis berkata begitu Tongkat Baja Hijau menyerbu ke muka. Sinar hijau menggebu dari tongkat bajanya. Sebrang Lor Cepar cabut pedang berkeluknya. Maka pecahlah perkelahian hebat. Tapi kehebatan itu membawa malapetaka bagi diri Sebrang Lor. Serbuan tongkat baja hijau laksana air bah, menderu-deru mengurung dirinya, menutup jalan serangan dan lambat laun membobol pertahanan tokoh silat dari Malaka itu. Dia hanya sempat bertahan sampai empat jurus.

Di jurus ke lima tongkat lawan menggebuk bahu tanpa dia bisa dikelit atau ditangkis. Sebrang Lor menjerit. Tubuhnya tercampak ke luar Arena. Nyawanya lepas!

“Manusia iblis! Aku lawanmu!” teriak Datuk Nan Sabatang menggeledek. Tubuhnya berkelebat dan keris biru di tangannya meluncur sebat ke arah teng-gorokan Tongkat Baja Hijau!

“Jangan omong besar Datuk!” ejek Tongkat Baja Hijau. Sekali tongkatnya disapukan Datuk Nan Sabatang tersusut ke belakang. Wajahnya pucat.

“Ha... ha! Aku muak berkelahi satu lawan satu! Ayo Sampono dan Lembu Ampel! Kalian berdua ikut majulah!” Sambil menyerang Datuk Nan Sabatang,

Tongkat Baja Hijau membagi serangan pula pada Panglima Sampono dan Lembu Ampel. Mula-mula kedua orang itu tak mau membalas apalagi terjun ke kalangan pertempuran. Tapi karena diserang terus menerus mau tak mau akhirnya mereka terpaksa juga turun ke gelanggang!

Bagi orang-orang yang hadir di tempat itu nama Panglima Sampono dan kawan-kawannya adalah nama-nama besar. Namun sewaktu menyaksikan berhasil mendesak ke tiga lawannya itu maka kini dapat diukur betapa tingginya kepandaian kaki tangan Raja Rencong ini.

Dalam jurus ke sepuluh terdengar pekik Datuk Nan Sabatang. Tubuhnya melesat. Kepalanya pecah dihantam tongkat lawan. “Sekarang giliran kalian berdua untuk mampus!” seringai Tongkat Baja Hijau pada Panglima Sampono dan Lembu Ampel. Didahului oleh teriakan menggeledek Tongkat Baja Hijau keluarkan jurus serangan yang luar biasa hebatnya. Ujung tongkatnya seperti bercabang dua.

Satu menggebuk ke arah kepala Panglima Sampono, satunya lagi ke batok kepala Lembu Ampel! Dan dua orang ini seperti kena tenung, hampir tak punya kesempatan untuk selamatkan nyawa masing-masing!

Para tamu yang hadir menahan nafas.

Dalam detik yang tegang itu di mana maut sudah siap mencengkam dua korban, tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih disertai suara siulan nyaring. Satu gelombang angin yang bukan olah-olah dahsyatnya menderu laksana topan membadai. Beberapa tokoh silat yang ada’d i pinggiran Arena merasa tubuh mereka bergetar. Di saat itu tahu-tahu terdengar pekik Tongkat Baja Hijau. Orang bersama tongkatnya mental keluar Arena menghantam dinding ruangan dengan keras. Ketika jatuh ke lantai tubuh Tongkat Baja Hijau tidak bergerak lagi. Mukanya hancur! Di tengah Arena semua mata menyaksikan seorang pemuda berambut gondrong sebahu, berpakaian dan berikat kepala serba putih tegak menyeringai. Bajunya yang tidak berkancing menyingkapkan dadanya yang penuh otot. Pada dada sebelah kanan ada rajah tiga buah angka, berwarna hitam kebiruan.

***

 

TIGA

 

SEPASANG mata Raja Rencong Dari Utara membeliak seperti hendak melompat dari sarangnya. Kumis tebalnya berjingkrak dan rahangnya menggembung. Suara menggembor terdengar di tenggorokannya.

“Pemuda keparat! Siapa kau!” bentak Raja Rencong sementara semua orang yang hadir di tempat itu ada yang berdecak kagum tapi banyak yang melengak heran karena tidak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi saking cepatnya gerakan-gerakan di atas Arena.

“Siapa aku tidak penting! Aku mau bicara!” jawab pemuda rambut gondrong seenaknya dan membuat semua orang kini jadi tambah kaget melihat keberanian pemuda yang tak dikenal itu.

“Keparat! Kau minta mampus!” teriak Raja Rencong menggeledek. Lalu dia berseru garang.

“Sepasang Pengemis Gila! Bunuh budak ini!”

Dari Arena sebelah kanan melesat dua orang berpakaian kotor compang camping penuh tambalan dan berambut acak-acakan. Tubuh mereka menghambur bau tidak sedap. Inilah dua tokoh silat jembel sinting yang berjuluk Sepasang Pengemis Gila. Keduanya berteriak-teriak seperti monyet terbakar ekor. Dalam gerakan yang tidak karuan tiba-tiba mereka menyerang Pendekar 212 Wiro Sableng, pemuda yang tegak di tengah Arena. Di saat yang sama mendadak dari samping kiri melompat pula seorang berpakaian merah. Dari mulutnya menyembur arak merah yang menyerang ke seluruh jalan darah di tubuh Panglima Sampono dan Lembu Ampel!

Dua tokoh silat lanjut usia ini tentu saja terkejut dan serentak sama pukulkan tangan ke depan. Namun sebelum dua pukulam sempat mencari sasaran, sebelum semburan arak menimbulkan celaka, mendadak sontak terjadilah satu peristiwa yang membuat semua orang bangkit tertegak dari kursi masing-masing.

Tiga jeritan terdengar susul menyusul. Tiga sosok tubuh mencelat mental seperti dilabrak topan prahara lalu terbanting ke dinding, mental lagi dan jatuh di-antara orang banyak! Apa yang telah terjadi?

Ketiga Sepasang Pengemis Gila dengan berteriak-teriak menyerang dirinya dan selagi Datuk Arak Sakti menyembur ke arah Panglima Sampono dan Lembu Ampel, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu hantamkan kedua telapak tangannya sekaligus ke arah orang-orang yang menyerbu. Arena Topan Utara seperti diguncang gempa, laksana dilanda badai. Pendekar 212 telah melepaskan pukulan sakti bernama “dewa topan menggusur gunung”.

Nama angker pukulan sakti itu tidak nama percuma belaka. Itulah pukulan sakti mengandung tanga dalam tinggi yang dipelajarinya dari Tua Gila. Dan betapapun hebatnya Sepasang Pengemis Gila serta Datuk Arak Sakti namun mereka tak sanggup bertahan. Ketiganya mencelat mental, terlempar ke dinding batu dan menemui kematian dalam cara mengerikan!

Di antara para hadirin tak satu pun yang bergerak. Semua mata terpentang lebar ke arah Pendekar 212. Hal yang sama terjadi juga dengan Raja Rencong. Dia tegak hampir tak bergeming. Dia tahu betul, dua pukulan tangan kosong yang tadi dilepaskan si pemuda tadi adalah pukulan “dewa topan menggusur gunung.” Dan setahunya hanya satu orang yang memiliki pukulan dahsyat itu yakni seorang kakek sakti yang dipanggil dengan sebutan Tua Gila. Ternyata kini pemuda tak dikenal itu memiliki ilmu yang sama. Ada sangkut paut apakah antara pemuda ini dengan orang tua itu?

Diam-diam Raja Rencong merasakan dadanya berdebar dan lututnya bergetar. Aneh! Benar-benar aneh! Setahunya Tua Gila sudah lama meninggal dunia dan selama hidupnya orang tua itu tak pernah mempunyai seorang muridpun. Bagaimana kini ada pemuda memiliki ilmu pukulan sakti itu? Sepasang mata Raja Rencong bergerak berputar ke arah hadirin. Dia sangat kawatir kalau-kalau Tua Gila tahu-tahu sudah ada pula di sana di antara para tamu. Namun dia tak melihat orang tua itu. Hatinya lega sedikit.

Sebagai tuan rumah yang telah menyandang nama besar, tentu saja Raja Rencong tidak mau perlihatkan rasa jerih. Dia merasa sudah saatnya untuk menekan tombol merah di atas mimbar sebelum kekacauan baru muncul. Tak apa kehilangan dua tiga kaki tangan dan pembantunya. Asal sesaat lagi semua orang yang ada di situ akan menerima kematian termasuk pemuda gila di tengah Arena.

Sambil tertawa mengekeh Raja Rencong menggerakkan tangannya lalu berteriak keras: “Manusia-manusia tolol! Selamat jalan ke neraka!”

Lalu jari telunjuk tangan kanan Raja Rencong menekan tombol merah sekuat-kuatnya. Tapi tak satu pun terjadi. Raja Rencong menekan lagi. Lagi dan lagi. Bahkan kini menghantamkan telapak tangannya keras-keras ke tombol merah itu. Namun atap di atas Arena tidak membuka dan papan Arena yang dipijaknya tidak melesatkan tubuhnya ke atas. Juga lantai Arena di mana para tamu duduk tidak roboh sedang langit-langit bangunan tidak runtuh! Di hadapannya dilihatnya Wiro Sableng menyeringai. Lalu suara gelak membabak keluar dari mulut pemuda itu.

“Raja Rencong! Ada yang tidak beres rupanya?!”

Pertanyaan itu membuat Raja Rencong membesi wajahnya. “Apa maksudmu?!” sentaknya.

“Ah! Kau tahu apa maksudku! Kau panik! Lantai ruangan ini tidak amblas! Atap tidak runtuh! Ha... ha... ha! Kau sudah menekan tombol rahasia tapi pesawat celaka yang hendak membunuh semua orang yang hadir di sini tidak bekerja!”

Bukan main marahnya Raja Rencong Dari Utara. Didahului menggereng seperti harimau lapar terluka dia jentikkan sepuluh jari tangannya.

Sepuluh larik sinar merah menyambar Pendekar 212 Wiro Sableng. Sebelumnya Wiro telah menyaksikan keganasan ilmu kesaktian ini yaitu ketika dikeluarkan oleh Pandansuri. Kini kalau Raja Rencong sendiri yang memainkannya tentu jauh lebih dahsyat. Karenanya murid Sinto Gendeng segera melompat ke atap ruangan dan dari atas lepaskan pukulan “sinar matahari”.

Arena Topan Utara laksana disambar petir dan geledek ketika pukulan sinar matahari saling bentrokan dengan sinar merah ilmu kuku api. Dua ilmu kesaktian yang dilancarkan dengan kekuatan tenaga dalam sangat tinggi begitu saling beradu melesat ke kiri lalu memecah ke arah empat penjuru. Jerit kematian terdengar di bagian itu. Sembilan tokoh silat golongan hitam hangus mengerikan. Delapan tokoh golongan putih meregang nyawa mengenaskan! Bau hangusnya tubuh-tubuh yang terpanggang memenuhi tempat itu. Kekacauan meledak!

“Para tamu semua!” tiba-tiba Wiro berteriak lantang. “Kalian sekarang tahu kalau Raja Rencong punya maksud tersembunyi. Secara keji sebenarnya dia hendak membunuh kita semua yang hadir hadir di sini! Kenapa tidak berebut pahala mencincangnya beramai-ramai?!”

Mendengar teriakan Wiro Sableng itu semua tamu menjadi terbakar hati masing-masing, apalagi yang sejak semula memang tidak suka terhadap Raja Rencong dan hadir di situ untuk menghukumnya. Laksana air bah, tokoh silat golongan hitam dan putih bergabung menjadi satu dan menyerbu Raja Rencong yang masih tertegun di atas mimbar dengan dada berdenyut akibat bentrokan tenaga dalam dengan Wiro lewat pukulan sakti tadi.

Raja Rencong adalah tokoh silat sakti luar biasa. Keberaniannya dan kebengisannya tidak beda dengan setan. Namun melihat sekian banyak para jago silat menyerbunya dia jadi gugup. Nyalinya meleleh. Tanpa pikir panjang lagi dia berkelebat larikan diri. Tapi arah larinya telah dihadang Wiro Sableng yang saat itu sudah menggenggam Kapak Maut Naga Gen i 212.

“Keparat! Mampuslah!” teriak Raja Rencong.

Sreett!

Raja Rencong cabut Rencong Emasnya. Sinar kuning bertabur. Di waktu yang sama puluhan senjata datang menderu Ketua Partai Topan Utara itu. Kapak Naga Geni 212 di depan sekali dengan sinarnya yang menyilaukan disertai deru laksana ribuan tawon mengamuk!

Trang!

Rencong Emas dan Kapak Naga Geni 212 beradu. Bunga api memercik. Raja Rencong mengeluh tertahan. Tangan kanannya terasa panas dan getaran menjalar sampai ke pangkal bahunya. Sebelum dia sempat memasang kuda-kuda baru laksana kilat Kapak Naga Geni 212 sudah berkiblat kembali di depan hidungnya sementara di sekelilingnya puluhan macam senjata datang menggempur.

“Huaaah!” Raja Rencong membentak garang. Kedua tangannya kiri kanan membuat gerakan yang dinamakan “sepasang kincir sakti menghadang bumi”. Ini bukan saja merupakan satu jurus pertahanan yang ampuh tapi sekaligus merupakan jurus serangan mematikan.

Rencong Emas di tangan kanan mengeluarkan sinar kuning berbuntal-buntal sedang lima jari tangan kiri tiada hentinya menjentikan ilmu kuku api. Tiga orang tokoh silat tergelimpang roboh dihantam pukulan kuku api. Tapi hanya sampai disitulah Raja Rencong sanggup menunjukkan keganasannya.

Sambaran Kapak Maut Naga Geni 212 yang menyilaukan mendesaknya. Angin senjata itu bukan saja menutup pemandangannya tapi kedua matanya juga terasa perih.

Sesaat kemudian terdengar jerit Raja Rencong! Telinga kanannya putus dibabat Kapak Naga Geni. Racun yang ganas langsung merasuk ke peredaran darahnya. Sadar bahaya yang dialaminya Raja Rencong cepat menotok beberapa urat penting di tubuhnya agar racun tidak menjalar menuju jantung. Lalu dengan segala kehebatan yang dimilikinya Raja Rencong mengamuk membabi buta. Dua tokoh lagi roboh di tangannya, satu si antaranya adalah Lembu Ampel. Tokoh ini menjauhkan diri ke sudut ruangan. Dadanya luka parah akibat tikaman Rencong Emas. Dia sadar racun jahat senjata itu sebentar lagi akan meranjam tubuhnya. Didahului oleh satu teriakan keras menyebut nama Tuhannya, Lembu Ampel akhirnya jatuh ke lantai tak bergerak lagi.

Amukan orang takut dan putus asa seperti yang dilakukan Raja Rencong tidak berjalan lama. Ketika Kapak Naga Geni 212 menyusup di antara serangan-serangan yang dilepaskannya. Raja Rencong terdengar menjerit. Dia merasakan tangan kirinya panas sekali. Ketika dilihat ternyata tangannya itu telah buntung disambar Kapak Naga Geni 212.

Raja Rencong menjerit lagi. Belasan senjata datang menusuk, menikam dan membacok sekujur tubuhnya. Tubuh itu seperti dimandikan dengan darah. Tapi hebatnya Raja Rencong masih tegak, bukan saja bertahan malah masih sanggup membuat gerakan-gerakan pembalasan. Wiro yang sudah kehilangan kesabarannya segera putar Kapak Maut Naga Geni 212. Suara seperti ribuan tawon mengaung laki disusul kembali jeritan Raja Rencong.

Darah muncrat dari mukanya yang hampir terbelah. Tubuh dan wajah yang hampir tidak berbentuk lagi itu menggeletak di lantai Arena Topan Utara. Darah bergelimang di mana-mana. Masih banyak para tokoh yang melampiaskan dendam kesumatnya menghujani tubuh tak bernyata Raja Rencong itu dengan berbagai senjata, tendangan ataupun pukulan. Wiro maklum segala sesuatunya kini telah berakhir. Pemuda ini cepat tinggalkan tempat itu, lari menuju sebuah kamar di mana pesawat rahasia untuk membunuh para tokoh persilatan berada. Di situ menggeletak Pandansuri, puteri Raja Rencong dalam keadaan tertotok.

Apakah yang terjadi dengan dara berkerudung ungu ini? Seperti diceritakan sebelumnya Wiro Sableng telah bertemu dengan Nyanyuk Amber, orang tua sakti guru Raja Rencong yang berada dalam keadaan dirantai tak berdaya. Setelah melepaskan orang tua itu dari rantai yang mengikatnya Wiro memergoki Pandansuri di kamar pesawat rahasia. Terjadi perkelahian. Dalam waktu tiga jurus Wiro berhasil membuat gadis itu tak berdaya dan menotoknya hingga ketika ayahnya menekan tombol sebagai tanda agar dia menggerakkan pesawat rahasia, sang dara tak mampu melakukannya.

“Pemuda keparat! Apa yang terjadi di luar sana! Aku dengar suara gaduh!” Pandansuri mendamprat begitu Wiro masuk ke dalam ruangan.

Pendekar 212 menyeringai.

“Kabar buruk bagimu. Ayahmu menemui kematian di Arena Topan Utara. Riwayat keganasannya berakhir hari ini!”

Pandansuri merasakan tubuhnya seperti hendak meledak. Sepasang matanya dibalik kerudung membeliak dan wajahnya tampak mengelam merah.

“Kurang ajar! Pasti kau yang membunuh ayah!”

“Aku dan puluhan tokoh silat yang hendak dicelakakannya!” sahut Wiro.

“Kau membunuh ayah! Berarti kau harus mati di tanganku!”

Wiro tertawa.

“Kenapa kau masih keras kepala dan tidak mau sadar? Apa kau ingin menemui nasib sama seperti ayahmu? Mati mengerikan di tangan puluhan tokoh silat yang masih ada di luar sana?”

“Aku tidak takut mati! Lepaskan totokan di tubuhku! Mari kita berkelahi sampai seratus jurus!”

“Aku tak punya waktu melayani orang kalap sepertimu. Sebelum pergi aku hanya ingin melihat wajahmu yang selalu tersembunyi dibalik kerudung ungu itu!”

“Kurang ajar! Kalau kau berani melakukan itu...!”

Tapi tangan Wiro sudah bergerak menarik kain kerudung tipis yang menutupi wajah Pandansuri. Begitu kerudung terlepas terkejutlah Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Aih... Kiranya parasmu cantik sekali...!” Wiro basahi bibirnya dengan ujung lidah dan garuk-garuk kepalanya yang gondrong. “Hanya sayang aku tak bisa menikmati kecantikan parasmu berlama-lama. Aku harus pergi dari sini bersama Nyanyuk Amber. Selamat tinggal dara jelita...”

“Tunggu!” teriak Pandansuri. “Lepaskan dulu totokan di tubuhku!”

Wiro putar langkahnya, menatap paras Pandansuri sesaat lalu berkata: “Kalau totokan di tubuhmu kulepaskan apa kau akan menyerangku dan mencari perkara baru?”

“Demi setan aku tidak akan melakukan apa-apa selain membaca sepucuk surat!”

“Hemm... Ini adalah aneh!” ujar Wiro. “Kau hendak membaca sepucuk surat. Dari siapakah? Tidak sangka kalau dara segalakmu ini bisa punya pacar...!”

“Aku memang tidak punya pacar dan surat itu bukan dari siapa-siapa. Tapi dari ayahku sendiri! Ayahku yang kalian bunuh itu!” jerit Pandansuri.

“Baiklah... Tapi kalau kau bersumpah aku tak mau kau melakukannya atas nama setan. Kau pasti punya Tuhan. Bersumpahlah atas NamaNya!”

“Aku bersumpah demi Tuhan!” teriak Pandansuri.

Wiro melangkah mendekati. Tangan kanannya bergerak melepaskan totokan di tubuh sang dara. Tapi tangan kirinya diam-diam menyiapkan pukulan sinar matahari. Untuk berjaga-jaga kalau tiba-tiba Pandansuri membokongnya setelah lepas dari totokan. Ternyata gadis itu memang tidak menyerangnya. Begitu tubuhnya bebas dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sepucuk surat Tanpa memandang pada Wiro dia berkata: “Ayah berpesan. Surat ini hanya boleh kubuka jika sesuatu terjadi dengannya. Yakni kalau dia menemui ajal...”

Sang dara membuka, lipatan surat lalu membaca apa yang dituliskan Raja Rencong di situ.

Pandansuri,

Kalau aku sudah mati maka itulah saatnya kau harus mengetahui rahasia besar tentang dirimu. Sebenarnya kau bukanlah anak kandungku. Kau kuculik ketika masih kecil. Ayahmu adalah Kepala Kampung Pasirputih. Kembalilah padanya dan tempuhlah jalan hidup yang baik.

Orang yang pernah menjadi ayahmu

Raja Rencong.

Surat itu terlepas dari pegangan Pandansuri. Air mata menggelinding membasahi pipinya.

“Hai... ada apakah saudari? Mengapa kau menangis?” tanya Wiro.

Pertanyaan itu justru membuat Pandansuri menjadi mengeras isakannya Wiro mengambil surat yang tercampak di lantai lalu membacanya. Pendekar ini kemudian menarik nafas dalam.

“Sekarang jelas bagimu. Kau berasal dari orang baik-baik. Karenanya musti kembali ke jalan yang baik. Mari kita tinggalkan Bukit Toba ini...” Wiro memegang bahu Pandansuri, bantu gadis itu berdiri lalu mengembalikan surat yang tadi dibacanya.

Keduanya melangkah menuju kamar Nyanyuk Amber untuk membawa orang tua itu sama-sama meninggalkan Bukit Toba, mengikuti puluhan tokoh silat yang lebih dahulu pergi meninggalkan tempat angkara murka tersebut.

***

 

EMPAT

 

HANYA beberapa ketika setelah para tokoh silat, Wiro Sableng, Pandansuri dan Nyanyuk Amber meninggalkan Bukit Toba, langit di atas bukit itu tampak menghitam ditutup gumpalan awan mendung. Dikejauhan terlihat petir menyambar hampir tiada henti. Lalu dentuman geledek seperti hendak melumat bumi dan air danau. Tak lama kemudian hujan lebatpun turun. Demikian derasnya hingga menutup batas pemandangan manusia. Di-bawah hujan lebat begitu rupa, dari arah tenggara danau tampak melesat sebuah perahu kecil ditumpangi satu orang. Hujan yang lebat menutupi pemandangan hingga tak jelas siapa adanya orang diatas perahu itu. Namun begitu hujan mulai mereda dan pemandangan menjadi terang sedikit, kelihatanlah sosok tubuh di atas perahu kecil tadi. Ternyata dia adalah seorang nenek berpakaian rombeng, bertubuh kurus kering. Rambutnya yang putih diikat di atas kepala membentuk secuil konde. Berlawanan dengan pakaiannya yang buruk rombeng, dibahunya tersandang sebuah selendang hitam besar berhiaskan bunga-bunga dari benang emas.

Di tangan kanannya nenek aneh ini memegang sebuah tongkat bambu kuning kecil. Bambu inilah yang dijadikannya sebagai kayu pendayung. Walaupun cuma sebuah bambu kecil namun hebatnya benda ini menjadi pendayung yang ampuh luar biasa. Perahu yang dikayuh tampak melesat membelah air danau yang bergelombang akibat hujan yang baru saja turun deras.

Di tangan kirinya si nenek memegang sebuah tabung kaca berbentuk bulat dan sangat ramping bagian tengahnya. Tabung kaca ini diisi dengan pasir. Pasir di bagian atas tabung mengucur jatuh sedikit demi sedikit ke bagian tabung sebelah bawah. Saat itu jumlah pasir yang jatuh ke bagian bawah tabung kaca telah mencapai setengah ketinggiannya. Sepasang mata si nenek tiada hentinya memperhatikan tabung itu sementara tangan kanannya terus mendayung dengan tongkat bambu kecil.

“Cepatlah perahu. Cepatlah! Kalau sampai terlambat celakalah! Aku harus menunggu sampat ada korban lainnya. Mungkin setahun! Mungkin lima tahun! Mungkin sepuluh tahun! Atau mungkin tidak untuk selama-lamanya! Cepat perahu! Cepatlah! Antarkan aku ke pulau di depan sana! Cepat!”

Tak selang berapa lama perahu kecil itu berhasil mencapai pulau di tengah danau. Pasir di tabung kaca sebelah bawah hampir mencapai dua pertiga ketinggian tabung. Tanpa menunggu sampai ujung perahu menyentuh daratan pulau si nenek langsung melompat dan laksana terbang laru menuju puncak Bukit Toba. Jalan yang ditempuh sulit dan licin akibat hujan namun si nenek sigap sekali gerakannya. Jangankan terpeleset, malah enak saja dia melompat dan berlari, makin lama makin kencang hingga akhirnya dia sampai di puncak Bukit Toba, langsung menyelinap masuk ke dalam bangunan bertingkat dua.

Begitu sampai di ruangan besar yang disebut Arena Topan Utara, si nenek lelerkan lidah gelengkan kepala. Kedua matanya terbeliak. Mayat dilihatnya bergelimpangan di mana-mana. Darah bergenang di pelbagai penjuru. Dia melirik ke tabung kanan di tangan kirinya. Lalu tersentak bila ingat waktunya hanya tinggal sedikit.

Seperti seekor burung pemakan mayat nenek ini melompat ke pertengahan Arena Topan Utara. Dia memandang berkeliling. Kaki dan tongkatnya mengungkit setiap sosok tubuh di dekatnya. Tapi orang atau mayat yang dicarinya belum juga bertemu. Dia memandang lagi berkeliling. Pasir di dalam tabung hampir mencapai titik tertingginya. Si nenek menjerit saking kawatirnya. Kemudian kedua matanya yang besar itu melihat sosok tubuh yang dicarinya. Tergeletak tak jauh dari mimbar.

“Itu dia!” pekik si nenek gembira.

Sekali lompat saja dia sampai disamping mimbar. Sosok tubuh itu amat mengerikan. Penuh bacokan puluhan senjata. Keadaannya seperti dicincang. Lebih mengerikan lagi bagian kepalanya. Telinga kanan buntung. Bagian wajah sulit dikenali karena hampir terbelah oleh luka besar yang menguak.

“Kasihan kau... kasihan kau anak manusia! Tapi tunggulah! Sebentar lagi kau akan kutolong! Kau belum saatnya mati! Belum saatnya!” Si nenek mendongak ke atas, tertawa seperti kuda meringkik lalu bantingkan tabung kaca di tangan kirinya ke lantai.

Tabung kaca itu pecah dengan mengeluarkan ledakan nyaring. Pasir di dalamnya muncrat ke udara disertai kepulan asap berwarna kelabu, berbau busuk luar biasa. Sambil melangkah terserok-serok nenek aneh itu acungkan tongkatnya tinggi-tinggi ke atas. Mulutnya komat-kamit melafatkan mantera. Tiba-tiba dia memekik keras. Aneh!

Ujung buntalan asap kelabu menyambar ke ujung tongkat bambu. Lalu laksana sehelai selendang panjang bergerak mengikuti kemana bamboo itu bergerak.

Si nenek turunkan bambu di tangan kanannya mendekati kepala mayat yang terbelah. Begitu sampai di bagian kepala, ujung tongkat disapukannya sepanjang belahan yang mengerikan itu. Aneh! Luar biasa. Perlahan-lahan, setelah disapukan beberapa kali kepala yang terbelah oleh hantaman Kapak Naga Geni 212 itu bertaut kembali meskipun tetap meninggalkan bekas yang mengerikan yaitu mulai dari kening, memanjang ke bawah melewati mata kiri dan pipi kiri. Si nenek tertawa tinggi.

Ujung tongkat berputar-putar sesaat lalu mengusap-usap keseluruh bagian tubuh yang seperti dicincang itu. Kembali keanehan terjadi. Tubuh yang penuh luka itu juga bertaut kembali. Darah berhenti mengucur. Namun bekas-bekas luka yang ditinggalkan sangat mengerikan. Si nenek sekali lagi terdengar tertawa. Tongkatnya diangkat tinggi-tinggi ke udara. Mulutnya lagi-lagi komat-kamit. Tiba-tiba ujung tongkat menukik dan menusuk bagian tenggorokan mayat. Inilah puncak dari segala keanehan dan keluar biasaan.

Tenggorokan yang tadi kaku tegang itu kini tampak bergerak, mula-mula perlahan sekali, namun makin lama makin kencang. Nenek aneh itu menjerit keras dan panjang. Perlahan-lahan tubuhnya merunduk hingga dia tampak berlutut di atas kedua tempurung lututnya yang kurus kering.

“Anak manusia! Kau memang belum saatnya mati! Belum saatnya!” terdengar si nenek berseru. Dari kedua matanya yang besar tampak meleleh air mata. Kedua tangannya diacungkan ke atas dan dari mulutnya terdengar ucapan: “Sepuluh tahun menempa ilmu kehidupan! Hari ini akhirnya aku berhasil! Guru! Hari ini murid berhasil meneruskan pekerjanmu! Hanya sayang kau keburu menutup mata hingga tidak sempat menyangsikan awal dari semua kehebatan ini! Hik... hik... hik...” Lalu si nenek menangis seperti anak kecil. Mendadak si nenek hentikan tangisnya. Di kedua telinganya seperti ada suara yang mengisang.

“Muridku... Meski aku sudah mati tapi rohku masih tetap mengikuti semua tindak tandukmu! Guli Rampai! Dari alamku aku turut bergembira melihat keberhasilanmu. Teruskan pekerjaanmu muridku...”

Suara mengiang lenyap.

“Guru!” Si nenek berteriak memanggil. Lalu dia jatuhkan diri menelungkup di lantai. Sesaat kemudian perlahan-lahan dia bangkit kembali, beringsut mendekati tubuh yang tadi kaku mati dan kini tampak mulai bergerak tanda adanya tanda-tanda kehidupan yang sulit diterima akal manusia. Si nenek angkat tubuh itu lalu memanggulnya diatas bahu kiri. Dia memandang sekali lagi berkeliling, lalu lari keluar bangunan, menuruni Bukit Toba menuju ke danau di mana perahu kecilnya berada.

***

TUBUH cacat penuh bekas luka mengerikan itu terbujur tanpa penutup di atas tumpukan batu berwarna merah. Di bagian bawah tumpukan batu itu terdapat celah memanjang dan di situ ada nyala api yang terus menerus berkobar

Si nenek bermata besar duduk di atas sebuah dingklik, menunggu dengan sabar. Tongkat bambu kuning kecil di tangan kanannya diketuk-ketukkan ke lantai batu, sesuai dengan gerak mendenyut pada dada orang yang terbujur di atas batu merah.

Perlahan-lahan tetapi pasti tak selang berapa lama kemudian dua mata yang tadi tertutup dari orang di atas batu tampak membuka. Si nenek makin memperkencang ketukan tongkatnya ke atas lantai.

“Buka yang besar. Buka yang besar matamu anak manusia! Dan pandang wajahku... Pandang wajahku... ”

Mata yang terbuka semakin besar. Lalu sesuai dengan kata-kata perempuan tua itu, kedua mata tadi bergerak berputar memandang ke arah si nenek.

“Bagus anak manusia! Bagus! Ternyata awal kehidupanmu membawa pertanda yang baik. Kau mau mendengar perintahku. Kau sudah melihat aku. Katakan apa yang kau lihat! Katakan apa kau kenal aku! Buka mulutmu! Buka! Kau bisa bicara! Kau tidak bisu! Kau pasti bisa menjawab!”

“Si... siapa kau orang tua. Aku tidak kenal padamu...” Tiba-tiba meluncur ucapan itu dari orang lelaki berwajah mengerikan di atas batu.

Si nenek tertawa mengikik.

“Aih...! Suaramu jelek tapi tidak apa! Yang penting kau bisa bicara! Hik... hikkk... hik... “

“Siapa kau... siapa kau...?”

“Hik... hik... hik. Tentu saja kau tidak kenal aku. Aku adalah nenek tua bernama Guli Rampai bergelar Iblis Sesat Jalan Hidup. Aku orang yang telah menghidupkanmu dari kematian!”

“Menghidupkan aku dari kematian? Apakah aku pernah mati...?” Orang di atas batu bertanya.

“Hik... hik! Kau memang pernah mati. Malah kalau aku sampai terlambat menemui mayatmu, tak mungkin aku bisa menolong menghidupkanmu kembali. Setelah mati dan dihidupkan kembali apakah kau masih bisa mengingat siapa dirimu...?”

Sepasang mata itu yang sebelah kiri ada guratan angker bekas bacokan menatap langit-langit ruangan. Lalu dari mulut orang ini meluncur ucapan: “Namaku Kumbara. Gelarku Raja Rencong Dari Utara. Aku Ketua Partai Topan Utara...”

“Hebat! Kau hebat! Sungguh luar biasa. Ternyata kau masih ingat siapa dirimu. Otakmu masih berjalan baik! Tidak percuma aku memilihmu dan membawamu ke puncak Gunung Sorik Marapi ini... Kau telah hidup kembali! Tetapi untuk mencapai kesempurnaan kau harus menunggu satu tahun. Sebelum kau kusemayamkan selama satu tahun, apakah ada pertanyaan...?”

Sosok tubuh di atas batu merah yang ternyata adalah Raja Rencong Dari Utara alias Hang Kumbara kembali menatap langit-langit ruangan di atasnya.

“Aku memang ada satu pertanyaan. Mengapa... mengapa kau menghidupkan aku yang katamu sudah mati ini...?”

“Pertanyaan bagus anak manusia... Kujawab dengan balas bertanya. Apakah kau tidak akan membalaskan sakit hati kematianmu pada orang-orang yang telah mencelakaimu? Terhadap manusia-manusia bernama Panglima Sampono misalnya. Lalu bekas gurumu yang merat si Nyanyuk Amber itu. Lalu anak angkat yang kau asuh selama bertahun-tahun tapi kemudian juga kabur meninggalkanmu si Pandansuri itu. Dan yang penting adalah menuntut balas terhadap seorang anak manusia yang kini menjadi musuh besarmu. Pendekar 212 Wiro Sableng... Darah dibalas darah. Nyawa dibayar nyawa. Dosa dibayar dengan dosa...”

“Mereka jumlahnya banyak. Mereka memiliki ilmu kesaktian yang hebat. Apakah... apakah aku mampu membayar dosa dengan dosa...?”

“Kau akan mampu. Aku Iblis Sesat Jalan Hidup akan memberi kekuatan baru padamu. Bila tiba saatnya kelak ----setelah satu tahun berlalu---- kau akan bangkit kembali. Cari orang-orang itu. Bunuh mereka semua. Setelah musuh-musuhmu kau hancur Iudaskan, kau harus melanjutkan dengan membunuh tokoh-tokoh silat lainnya. Bukankah kau ingin menjadi raja diraja dunia persilatan?”

“Itu memang cita-citaku...”

“Bagus! Kau ternyata tidak melupakan niat besarmu. Sekarang sudah saatnya bagimu tidur. Kau akan kusemayamkan di atas batu panas ini selama satu tahun. Tutup kedua matamu kembali...”

***

 

LIMA

 

SATU tahun telah berlalu. Puncak Gunung Sorik Merapi seperti tidak tersentuh oleh waktu. Tak tampak perubahan. Di dalam bangunan berbentuk aneh, di atas tumpukan batu merah terbaring sosok tubuh Hang Kumbara hampir merupakan jerangkong. Lebih mengerikan lagi karena tubuh telanjang itu penuh dengan cacat bekas-bekas luka. Wajah seperti setan, cekung dengan guratan luka besar melintang di kening, melewati mata kiri terus ke pipi.

Di ambang pintu bangunan tegak sosok tubuh Guli Rampai alias Iblis Sesat Jalan Hidup. Kepalanya mendongak ke langit, kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas. Sepasang matanya terpejam, mulutnya komat kamit. Sesaat kemudian terdengar pekik aneh dari mulutnya. Lalu menyusul ucapan-ucapan.

“Guru... Tiga ratus enam puluh hari sudah berlalu. Hari ini hari penyelesaian segala pekerjaan. Hari ini berakhirnya segala cara dan rasa. Apakah kau mendengarkan kata-kataku ini guru...?”

Wajah angker nenek berambut putih itu nampak tersenyum. Senyum yang lebih merupakan seringai menggidikkan. Di kedua telinganya terdengar suara mengiang.

“Guli Rampai muridku, aku tak pernah jauh darimu. Aku gembira kau telah menyelesaikan pekerjaanmu dengan baik. Rampungkanlah segera. Tapi tahukah kau kalau hari penyelesaian adalah juga hari pembebasan dari segala rasa dan jiwa...?”

“Murid mengerti guru. Murid mengerti. Dan murid tidak kecewa...” berkata Guli Rampai lalu dia mulai sesenggukan.

Suara mengiang membentak seperti marah. “Jangan cengeng Guli! Aku tak suka melihat orang menangis. Rampungkan pekerjaanmu. Kalau selesai aku siap menunggumu...”

“Baik guru, murid akan merampungkan pekerjaan. Harap maaf kalau murid berlaku lemah. Murid akan segera menemuimu...”

Si nenek turunkan kedua tangannya dan buka sepasang matanya. Dia membalikkan tubuh dan masuk ke dalam bangunan, mendekati tumpukan batu merah dengan api menyala di bagian bawahnya di mana terbujur tubuh Hang Kumbara alias Raja Rencong.

Dari sudut ruangan Guli Rampai mengambil sebuah kendi berisi cairan berwarna biru. Dia mengelilingi tumpukan batu merah sambil tiada hentinya merapalkan jampi-jampi. Kemudian dia berhenti disamping tubuh Hang Kumbara. Cairan dalam kendi dituangkannya ke ujung kaki Hang Kumbara, terus ke atas sampai ke perut, terus ke dada, melewati leher dan berakhir di kepala. Di situ cairan biru dalam kendi tertuang habis. Saat itu pula Guli Rampai bantingkan kendi tanah itu ke lantai. Terdengar letupan kecil lalu kepulan asap biru yang membuntal membungkus tubuh Hang Kumbara. Ketika kepulan asap lenyap terjadi keajaiban. Tubuh yang terbujur selama satu tahun itu tiba-tiba melompat tegak. Kumis lebat yang tadinya layu seperti benang basah kini berjingkrak garang. Hang Kumbara putar sepasang matanya yang merah. Pandangannya membentur si nenek. Langsung saja laki-laki ini jatuhkan diri berlutut.

Guli Rampai tertawa panjang.

“Hang Kumbara! Hari ini awal kehidupan bagimu tapi awal kematian bagiku! Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Kini kau yang hidup yang akan meneruskan segala-galanya. Kau ingat darah dibayar darah, nyawa dibayar nyawa dan dosa dibayar dengan dosa..”

“Saya ingat nenek Guli... “sahut Hang Kumbara.

“Bagus! Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Dunia persilatan ada di tanganmu. Aku tidak mengajarkan ilmu silat padamu. Juga tidak ilmu kesaktian. Karena sesungguhnya kau telah memiliki kedua hal itu. Tapi kini dalam dirimu ada satu kekuatan dahsyat. Kau tak akan pernah mati lagi. Kecuali satu hal yang tabu menimpa dirimu...”

Hang Kumbara terkejut dan juga heran.

“Aku, aku tak akan pernah mati lagi nenek Guli? Ah, mana mungkin. Mana ada manusia yang tidak pernah mati....”

“Kau harus percaya padaku budak tolol! Tak ada satu kekuatan pun yang dapat mengakibatkan kematian bagimu. Kecuali satu...”

Meskipun belum bisa percaya namun Hang Kumbara bertanya juga. “Apakah yang satu itu nenek Guli?”

“Satu hal yang tabu. Satu pantangan. Yakni kau tidak boleh bersinggungan dengan benda apa saja yang berwarna biru. Apakah itu batu, kayu atau kain atau air, pokoknya yang berwarna biru! Sekali tubuhmu tersentuh maka kekebalanmu akan punah! Sebatang rumputpun sanggup menjadi penyebab kematianmu. Kau dihidupkan dan diberi kekuatan dengan air biru dalam kendi tadi. Warna biru itu pula yang akan menjadi penyebab kematianmu kelak. Kecuali jika kau memperhatikan apa yang jadi pantangan. Nah sekarang berdirilah!”

Hang Kumbara berdiri.

Si nenek berkata sambil menatap tajam wajah angker lelaki itu.

“Mulai hari ini nama Hang Kumbara harus kau kubur! Gelar Raja Rencong Dari Utara harus kau singkirkan. Mulai detik ini namamu adalah Iblis Sesat Jalan Hidup...”

“Bukankah itu gelarmu nenek Guli?”

“Betul. Tapi aku tidak memerlukannya lagi. Kau yang akan meneruskan nama itu. Nah sekarang katakan selamat jalan padaku!”

“Saya tidak mengerti maksudmu nenek Guli...” ujar Hang Kumbara heran.

“Anak manusia tolol! Aku bilang katakan selamat jalan padaku!” bentak si nenek marah.

“Selamat... selamat jalan nenek Guli...”

Sang nenek tertawa panjang. Tiba-tiba dia pukulkan tangannya ke kepala.

Praakk!

Batok kepala berambut putih itu remuk. Tubuh kurus terkapar di lantai tanpa nyawa lagi. Hang Kum bara sesaat merasa bergeming.

Kemudian dia membungkuk mengambil selendang hitam berbunga-bunga kuning emas milik si nenek dan mengenakannya di bahu kanan. Dia melangkah ke pintu bangunan. Di hadapannya, dari puncak Gunung Sorik Marapi di mana dia berada, tampak menghampar dunia luas. Lelaki ini menyeringai lalu terdengar teriakannya.

“Dunia persilatan. Tunggulah! Hari ini Iblis Sesat Jalan Hidup akan muncul! Darah dibayar dengan darah. Nyawa dibayar dengan nyawa. Dosa dibalas dengan dosa!”

ENAM

 

PUNCAK Gunung Sinabung. Di ruangan depan rumah kayu berlantai tinggi dan luas terbuka itu duduk sembilan pemuda. Semuanya asyik mengaji. Alunan suara mereka mengaji terdengar enak dalam keheningan malam menjelang pagi. Udara dingin di puncak gunung seolah-olah tidak terasa. Mereka terus mengaji untuk menghabiskan waktu sebelum melaksanakan sembahyang Subuh.

Bersandar ke daun pintu yang tertutup, duduklah Panglima Sampono, berpakaian putih lengan panjang dan sehelai sarung halus buatan Bugis. Kedua matanya dipicingkan. Tangan kiri terletak di atas pangkuan sedang tangan kanan memegang tasbih. Meskipun dia berzikir k busuk namun telinganya yang tajam dapat mendengar dan mengetahui bacaan-bacaan muridnya yang salah. Dia langsung menegur dan meminta sang murid mengulangi bacaannya dengan betul. Lapat-lapat dalam dinginnya udara dan kegelapan masih mencekam terdengar suara burung berkuik.

Binatang ini agaknya sengaja terbang berputar-putar di atas bangunan kayu. Suara kuikan binatang ini membuat sebagian dari pemuda yang duduk mengaji menghentikan bacaanhya, saling pandang sejenak, melirik pada Panglima Sampono yang tetap duduk tak bergerak di tempatnya. Sebagiannya lagi memandang ke luar ke arah ke kegelapan.

“Suara burung gagak...” berbisik seorang pemuda pada taman di sebelahnya.

“Seperti ada pertanda yang tidak baik,” menjawab sang teman. Sampai di situ suara burung di atas atap semakin kencang. Binatang ini berputar-putar terus beberapa kali, lalu terbang ke jurusan barat, menghilang dalam kegelapan.

“Siapa diantara kalian yang percaya takhyul...” Tiba-tiba terdengar suara Panglima Sampono.

Tentu saja tak ada dari sembilan pemuda itu berani menjawab meskipun jelas di antara mereka merasa tidak enak mendengar suara gagak tadi.

“Pertanda dari Allah jangan sekali-sekali diabaikan, tetapi sesuatu yang bersifat takhayul harus dijauhkan...” Berkata lagi Panglima Sampono. “Aku tahu ada di antara kalian yang merasa takut mendengar suara kuik burung malam tadi...” Sang Panglima sampai saat itu masih terus bicara dengan kedua mata terpejam dan tangan kanan memegang tasbih. “Tenangkan hati kalian, teruskan mengaji...”

Belum selesai Panglima Sampono berkata mendadak satu suara lantang membelah kegelapan malam.

“Bagaimana murid-muridmu bisa tenang. Kalau mereka menyadari maut datang menggerayang?!”

Panglima Sampono tersentak. Kedua matanya segera dibuka. Sembilan muridnya telah lebih dulu berpaling ke arah datangnya suara keras tadi. Sesosok tubuh tampak tegak di bawah pohon besar di halaman kiri rumah kayu. Kegelapan malam membuat wajahnya tak dapat dilihat, apalagi mengenali siapa adanya orang itu.

“Panglima, kita kedatangan tamu...” berbisik seorang murid yang duduk paling dekat dengan sang guru.

Panglima Sampono mengangguk. Kedua matanya berusaha menembus kegelapan malam. Namun tak dapat menerka siapa adanya orang yang tegak di halaman itu.

“Subuh-subuh begini, tamu dari mana yang datang ke tempat kami?” Menegur Panglima Sampono.

Sebagai jawaban orang dalam gelap melangkah mendekat. Tujuh langkah dari tangga rumah dia berhenti. Sinar lampu minyak di ruangan depan jatuh menimpa dan menerangi tubuhnya sebatas pinggang ke bawah. Dada dan kepalanya masih tidak kelihatan.

Panglima Sampono dan sembilan muridnya melihat keanehan yang mengerikan. Orang yang datang itu hanya mengenakan sehelai cawat hingga perut, paha dan kedua kakinya terlihat jelas. Dan bagian tubuh itu penuh cacat bekas luka hingga samar-samar orang itu kelihatan seperti diselimuti sisik-sisik lebar. Anehnya ada sehelai selendang hitam berbunga kuning emas tergantung menutupi sebagian badannya. Lengan kirinya buntung.

“ Orang yang datang, jika kau membawa maksud baik kenapa ragu-ragu. Silahkan naik ke atas rumah” berkata Panglima Sampono. Diuncang begitu rupa, sosok tubuh di depan rumah tiba-tiba melesat. Di lain detik dia sudah tegak di ruangan yang terbuka leber itu. Sembilan murid sang Panglima terkesiap kaget dan bersurat mundur dalam duduk masing-masing. Panglima Sampono sendiri sempat kerenyitkan wajah dan si-pitkan mata.

Manusia atau setankah mahluk yang tegak di hadapan mereka saat itu?! Sosok tubuh penuh cacat bekas luka itu ternyata memang menyandang sehelai selendang. Badannya sudah sangat mengerikan untuk dipandang, tetapi wajahnya seribu kali lebih mengerikan. Muka yang cekung itu juga penuh dengan bekas-bekas luka. Satu diantaranya seperti bekas bacokan, memanjang dari kening, melewati mata kiri terus ke pipi dan samping dagu kiri. Akibat cacat ini, mata kiri itu tampak seperti menyembul, merah menakutkan. Dia tidak mengenakan pakaian lain, kecuali sebuah topi tinggi berwarna hitam, bergaris kuning.

Panglima Sampono segera membaui adanya bahaya. Sekilas dia teringat pada burung gagak yang tadi datang dan berputar-putar di atas atap rumah sambil tiada hentinya berkuik. Haruskah kini dia mempercayai bahwa pertanda yang diberikan oleh burung itu tadi kini menjadi kenyataan? Meskipun hatinya agak terguncang melihat sosok tubuh yang sangat mengerikan itu, namun dengan sikap tenang sang Panglima tegak dari duduknya.

“Mahluk aneh entah manusia entah apa, katakan siapa kau adanya. Mengapa subuh-subuh muncul di tempat kami?” bertanya Panglima Sampono.

Orang yang ditanya tersenyum. Tapi senyum itu justru membuat tampangnya jadi seburuk iblis.

“Aku manusia yang pernah mati, tapi kini hidup kembali...!” Si mahluk menjawab dengan suara keras seperti penuh kebanggaan.

“Berarti kau setan! Setan gentayangan?!” ujar

Panglima Sampono.

“Ha... ha... ha! Kau boleh bilang begitu. Aku mungkin setan, mungkin juga hantu atau iblis! Tetapi apa pun nama yang kau berikan padaku aku tetap adalah Iblis Sesat Jalan Hidup!”

“Iblis Sesat Jalan Hidup...?” desis Panglima Sampono.

“Jangan meracau! Aku memang belum pernah bertemu dengan manusia bergelar seperti itu. Tapi aku tahu pasti dia adalah seorang nenek tua. Bukan lelaki bermuka iblis sepertimu!”

“Nenek yang kau maksudkan itu sudah mati setahun lalu. Aku adalah pewaris kehidupannya. Karena itu layak memakai gelar Iblis Sesat Jalan Hidup. Lihat... lihat baik-baik! Selendang yang kusandang ini adalah miliknya. Pemberiannya. Juga kehidupanku dia pula yang memberikan-Hanya sayang dia sudah mati! Hingga tidak dapat menyaksikan bagaimana sebentar lagi aku akan membalas nyawa dengan nyawa, membalas darah dengan darah, membalas dosa di atas dosa

“Apa maksudmu? Siapa kau sesungguhnya?!” sentak Panglima Sampono sementara sembilan muridnya berdiri tegak dalam dua kelompok. Lima di sebelah kanan, ampat di samping kiri. Mahluk bertubuh dan berwajah angker itu tertawa panjang.

“Matamu melihat tetapi buta. Otakmu jalan tetapi lupa. Apa kau tidak mengenali lagi siapa aku. Apa kau lupa pada peristiwa setahun silam di Bukit Toba?!’

Berubahlah paras Panglima Sampono. Jika orang yang datang ini menyebut-nyebut Bukit Toba dan masa setahun yang lalu, jelas yang dimaksudkannya adalah peristiwa besar menggemparkan ketika orang-orang rimba persilatan muncul di sana untuk membasmi Raja Rencong Dari Utara berikut partainya yang hendak didirikan yaitu Partai Topan Utara.

“Katakan apa sangkut pautmu dengan peristiwa setahun lalu itu?”

Orang di tengah mangan kembali tertawa. “Kau masih saja buta dan lupa. Buka matamu besar-besar, pasang telingamu lebar-lebar. Lihat dan dengar! Aku adalah Hang Kumbara alias Raja Rencong Dari Utara!”

“Hah?!” Panglima Sampono tentu saja tidak percaya. Salah seorang muridnya berkata: “Mana mungkin! Raja Rencong sudah mati di tangan para tokoh silat!”

“Budak lancang! Kau tahu apa tentang Raja Rencong!” menyentak orang di tengah ruangan yang bukan lain memang adalah Raja Rencong Dari Utara yang kini menyandang nama Iblis Sesat Jalan H,idup. “Raja Rencong sudah lama mati! Tapi kini Hidup lagi dengan nama Iblis Sesat Jalan Hidup! Hidup untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat setahun silam. Kau!” Iblis Sesat Jalan Hidup menunjuk dengan tangan ke kanannya tepat-tepat ke arah Panglima Sampono. “Kau korban pembalasanku yang pertama! Kau harus mampus di tanganku saat ini juga! Dan sembilan pemuda muridmu ini! Karena mereka juga ada di sini dan ada sangkut paut dengan dirimu, mereka juga harus mati!”

Iblis Sesat Jalan Hidup tiba-tiba jentikkan lima jari tangan kanannya. Lima larik sinar merah yang memancarkan panas luar biasa berkiblat mengerikan.

“Ilmu kuku api!” seru Panglima Sampono. Sulit baginya untuk percaya bahwa manusia iblis yang tegak dan menyerang itu adalah benar-benar Raja Rencong yang telah mati setahun lalu. Tetapi ilmu pukulan sakti tadi memang hanya Raja Renconglah yang memilikinya!

“Anak-anak, lekas menyingkir!” teriak Panglima Sampono lalu jatuhkan diri ke lantai dan dari sini menghantam dengan tangan kanannya, lepaskan serangan balasan yang disertai tenaga dalam penuh!

Tapi yang diserang sudah berpindah tempat. Pukulan tangan kosong yang dilepaskan Panglima Sampono menghantam atap bangunan kayu hingga sebagian atap itu hancur berantakan. Belum sempat sang Panglima bergerak bangkit lima larik sinar merah panas kembali menderu dari samping. Panglima Sampono gulingkan diri selamatkan diri. Tapi di belakangnya tiga orang muridnya terdengar menjerit dan roboh dengan tubuh hangus tanpa nyawa. Pemuda-pemuda lainnya cepat berlompatan ke halaman depan rumah kayu, namun ketika sinar hitam kembali menyambar tak ampun lagi empat orang roboh tergelimpang, putus nyawa! Hanya dua orang sempat melarikan diri dan lenyap dalam kegelapan malam.

“Durjana biadab!” terdengar teriakan Panglima Sampono.

Tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu kaki kanannya sudah meluncur deras ke muka Iblis Sesat Jalan Hidup alias Raja Rencong. Yang diserang mendengus, mundur selangkah sambil miringkan kepala. Begitu tendangan lawan lewat dia susupkan satu jotosan ke lambung sang Panglima. Sadar bahaya mengancam Panglima Sampono selamatkan diri dengan berjungkir balik di udara sambil tahu-tahu tangan kanannya mengemplang ke arah batok kepala Iblis Sesat Jalan Hidup.

Buk!

Gebukan tangan kanan itu menghantam deras di kepala Iblis Sesat Jalan Hidup, membuat tubuhnya terkapar ke lantai tapi cepat bangkit kembali sambil tertawa mengekeh. Berdebarlah dada Panglima Sampono. Kepala kerbau saja kalau terkena pukulannya tadi akan hancur, tetapi bukan saja tidak terjadi apa-apa terhadap Kepala lawan, malah manusia iblis itu tertawa mengekeh seperti mengejek.

“Mampuslah!” teriak Panglima.Sampono. Kembali serangannya berkelebat. Kini berupa tendangan ke arah bawah perut lawan. Yang diserang masih mengekeh. malah busungkan dada dan kangkangkan kaki, menunggu datangnya tendangan.

Buk!

Tendangan kaki kanan Panglima Sampono benar-benar menghantam selangkangan Iblis Sesat Jalan Hidup. Tak dapat tidak anggota rahasianya pasti hancur. Tubuhnya sendiri mencelat sampai lima langkah. Tapi seperti tadi dia cepat bangkit berdiri dan lagi-lagi sambil tertawa mengekeh.

“Yang kuhadapi ini bukan manusia. Benar-benar iblis agaknya!” membatin Panglima Sampono. Rasa kawatir kini menyamaki dirinya.

Tapi untuk melarikan diri sangat berpantang baginya. Selagi dia masih terkesiap melihat kehebatan lawan yang mengerikan itu, tiba-tiba Iblis Sesat Jalan Hidup berteriak seperti srigala melolong. Serentak dengan itu dia jentikkan lima jari tangan kanan. Sekali ini Panglima Sampono terlambat bergerak untuk selamatkan diri. Dua larik sinar hitam mengandung racun jahat sempat menyambar bahu dan pelipisnya. Jago tua yang pernah menyandang nama harum di Pulau Andalas ini terpuntir beberapa kali sebelum jatuh di lantai. Sesaat dia megap-megap, meregang nyawa. Iblis Sesat Jalan Hidup melangkah mendekati dan praak! Kaki kanannya menendang kepala Panglima Sampono!

***

 

TUJUH

 

PASIR PUTIH sebuah kampung makmur terletak di pinggiran danau berair hijau kebiruan. Penduduknya rata-rata berpenghasilan dari bercocok tanam di tanahnya yang subur atau mencari ikan di danau yang sepanjang tahun seperti tak pernah habis-habis ikannya.

Pemandangan di sekeliling danau indah sekali, apalagi tepian danau ini ditebari dengan pasir putih hingga kampung yang ada di situ akhirnya diberi nama Pasir Putih.

Rindang-Maruhun, Kepala Kampung Pasir Putih, pagi hari Mu tampak duduk di atas sebuah kursi goyang terbuat dari rotan di serambi depan rumah besarnya. Sebatang rokok daun jagung yang menebarkan asap harum tak lepas-lepas dari sela bibirnya. Memang orang tua berusia lebih setengah abad ini pecandu rokok jagung nomor satu.

Seharian dia bisa menghabiskan sampai tiga puluh batang. Meskipun tua. Rindang Maruhun memiliki badan kekar dan rambutnya belum ada yang putih, kumisnya hitam melebat di bawah hidung. Sambil bergoyang-goyang dengan mata setengah terpejam dia menyahuti salam orang yang melintas di depan rumahnya. Dia memang Kepala Kampung yang disenangi dan dihormati penduduk di situ.

Pagi tadi dia telah berkeliling kampung. Memang begitu kebiasaannya. Memperha-tikan orang-orang yang bekerja di ladang mereka, bercakap-cakap dengan mereka lalu pergi ke ladangnya sendiri.

Setelah bekerja cukup lama di ladang itu dia pergi ke danau melihat-lihat penduduk yang mencari ikan. Tak jarang penduduk memberinya ikan hasil tangkapan dalam jumlah cukup banyak. Tapi Rindang hanya mengambil beberapa ekor. Itupun kalau dia memang kepingin makan ikan. Kalau tidak maka pemberian itu selalu ditolaknya dengan halus.

Selagi duduk bergoyang-goyang seperti itu sambil tiada hentinya menyedot dan menghembuskan asap rokok jagungnya yang harum, tiba-tiba ada tiga orang penduduk lari memasuki halaman, langsung menemuinya di serambi.

Rindang Maruhun buka kedua matanya yang setengah terpejam. Tanpa mencabut rokok dari mulutnya dia bertanya: “Kalian muncul seperti dikejar setan. Apa yang hendak kalian sampaikan padaku? Minta rokok atau ingin kopi hangat?”

“Kepala Kampung, kami tidak minta rokok atau inginkan kopi panas. Ada sesuatu yang hendak kami laporkan pada Bapak Kepala...” menjawab penduduk yang bertopi hitam.

Kawan di sebelahnya langsung saja menyambung.

“Kami menemui dua orang pemuda tak dikenal. Tergeletak pingsan di tepi kampung sebelah selatan. Keduanya agak mencurigakan...”

“Hemm...Rindang Maruhun hentikan goyangan kursinya dengan menekankan tumit kaki kanannya ke lantai. “Waspada adalah penting. Tapi buru-buru curiga itu tidak baik. Kalian melihat dan menemui orang pingsan. Mengapa tidak menolong dan membawa keduanya kemari...?”

“Jadi, kami boleh menolong dan membawanya kemari Bapak Kepala?”

“Tentu saja. Cari seorang teman lagi agar kalian berempat bisa lebih mudah menggotongnya kemari...” kata Rindang Maruhun pula.

Tiga orang penduduk kampung Pasir Putih itu segera meninggalkan rumah Kepala Kampung. Sebelum pergi ke tempat dimana mereka menemui dua pemuda tergeletak pingsan, lebih dulu ketiganya mencari seorang kawan lagi untuk membantu. Ternyata yang ingin ikut lebih dari enam orang.

Tak selang beerapa lama mereka kembali ke rumah Kepala Kampung dengan menggotong dua orang pemuda. Keduanya ternyata memang dalam keadaan pingsan dan dibaringkan di lantai serambi.

Rindang Maruhun segera memeriksa keadaan kedua pemuda tak dikenal itu. Tak ada tanda-tanda bekas penganiayaan. Baju dua pemuda itu basah. Mungkin basah oleh embun, mungkin juga telah berpadu dengan keringat. Sepasang kaki mereka tampak pecah-pecah, penuh debu dan bekas-bekas tanah becek. Di beberapa bagian pakaian keduanya kelihatan robek seperti terkait.

Rindang Maruhun mengangguk-angguk. “Tak ada satupun di antara kalian yang mengenali mereka?”

Penduduk Kampung yang berkerubung di tempat itu sama menidakkan.

“Berarti dia memang bukan penduduk sekitar sini. Dua pemuda ini datang dari jauh. Wajah mereka pucat. Mungkin karena tergeletak lama dalam udara dingin malam tadi. Mungkin juga disebabkan oleh sesuatu yang menakutkan. Mungkin mereka dikejar Begu Ganjang...?” (Begu Ganjang = Hantu Panjang, yang dipercayai oleh orang-orang Tapanuli sebagai penimbul malapetaka yang mengerikan).

Mendengar disebutnya Begu Ganjang penduduk yang ada di situ tampak gelisah. Beberapa di antaranya segera meninggalkan rumah Kepala Kampung karena takut kalau-kalau Begu Ganjang itu benarbenar muncul!

“Apa yang harus kita lakukan Bapak Kepala?” tanya seorang penduduk yaitu yang tadi ikut menggotong dua pemuda itu.

“Melihat denyutan urat nadi di leher keduanya, tak lama lagi mereka akan segera siuman. Kalau mereka sudah sadar, kita bisa menanyai,” jawab Rindang Maruhun.

Betul saja, tak selang berapa lama kedua pemuda itu siuman dari pingsan masing-masing. Begitu sadar tentu saja mereka terheran-heran mendapatkan diri berada di tempat itu, dikelilingi banyak orang.

“Anak muda. Kami penduduk Kampung Pasir Putih menemui kalian di pinggiran kampung sebelah selatan. Dalam keadaan pingsan. Siapa kalian dan apa yang terjadi dengan kalian...?” bertanya Rindang Maruhun.

“Ah, kalian rupanya telah menolong kami. Terima kasih. Terima kasih... dua pemuda itu membungkuk berulang kali.

“Eh, orang-orang di sini tidak butuh ucapan terima kasih itu. Kami ingin tahu kalian berdua ini siapa dan mengapa kami temui dalam keadaan pingsan?!” menegur sang Kepala Kampung.

Salah seorang pemuda itu lalu menjawab.

“Kami murid pengajian Panglima Sampono di Gunung Sinabung. Menjelang subuh ketika kami asyik mengaji menunggu saat sembahyang tiba-tiba mendadak muncul seorang manusia dalam sosok tubuh dan wajah yang mengerikan. Dia mengaku bernama Iblis Sesat Jalan Hidup. Dia datang untuk membunuh Panglima Sampono dan kami murid-murid yang berjumlah sembilan orang. Tujuh murid sepengajian kami saksikan menemui kematian. Panglima sendiri kami yakin pasti telah pula dibunuh oleh mahluk itu...”

Mendengar keterangan itu maka gemparlah semua orang yang ada di rumah Kepala Kampung Pasir Putih, termasuk Rindang Maruhun sendiri. Bedanya orang tua ini bisa bersikap lebih tenang. Dia berusaha mendapatkan keterangan lebih jelas, lalu merenung sambil pejamkan mata. Sesaat kemudian Kepala Kampung ini buka kedua matanya dan berkata:

“Aku pernah mendengar nama Iblis Sesat Jalan Hidup itu. Namun apakah mahluk itu benar-benar ada sulit dipercaya. Dia gentayangan melakukan segala kejahatan seperti dalam dongeng-dongeng yang menakutkan. Sulit dipercaya...”

Baru saja Rindang Maruhun mengucapkan kata-kata itu tiba-tiba terdengar suara tertawa mengekeh disusul oleh bentakan: “Dua anak murid Panglima Sampono! Kalian berhasil melarikan diri! Tapi nyawa kalian batasnya cuma sampai di sini!”

Sesosok tubuh menebar bau busuk berkelebat di udara. Dua pemuda murid pengajian Panglima Sampono yang duduk di lantai serambi rumah Kepala Kampung Pasir Putih itu mencelat ke dinding rumah, terhempas di lantai. Mengerang sesaat lalu tak berkutik lagi. Darah mengucur dari mulut mereka.

Di tengah serambi tegak sesosok tubuh berbau busuk, mengerikan dan wajah seseram iblis. Tangan kiri buntung, tangan kanan berkacak pinggang. Orang banyak berlarian lintang-pukang sedang Rindang Maruhun tertegun sambil melangkah mundur dan akhirnya terduduk di kursi goyangnya. Setan atau hantukah yang tegak di hadapannya saat itu? Mahluk seram itu tiba-tiba menunjuk tepat-tepat ke arah sang Kepala Kampung.

“Kau yang tadi berkata Iblis Sesat Jalan Hidup sulit dipercaya keberadaannya, apakah kau yang bernama Rindang Maruhun, Kepala Kampung Pasir Putih?!”

“Aku... aku...!”

Braak!

Mahluk seram bertopi tinggi hitam dan menyandang selendang berbunga emas itu menendang kursi goyang yang diduduki Rindang Maruhun hingga hancur berarit akan. Kepala Kampung itu sendiri terguling beberapa kali, tapi selamat dan cepat berdiri.

“Kau yang bernama Rindang Maruhun?! Lekas jawab! Umurmu tak lama lagi...!”

“Kau... kau hendak membunuhku?! Apa salahku ...”

Sekali lompat mahluk itu sudah menjambak rambut sang Kepala Kampung. “Dengar... Akulah Iblis Sesat Jalan Hidup. Aku datang kemari untuk mencari seseorang. Mana anak gadismu yang bernama Pandansuri itu!”

Rindang Maruhun terbelalak mendengar orang menyebut nama anak gadisnya. Dia berusaha berontak. Tapi sulit melepaskan jambakan di kepalanya. Takut dan sekaligus sakit membuat Rindang Maruhun nekad. Sebagai Kepala Kampung dia memang memiliki ilmu pukulan. Namun hanya dari tingkatan rendah yang mengandalkan tenaga luar dan kecepatan gerakan. Dengan tangan kanannya dia menghantam ke arah hulu hati mahluk seram itu. Iblis Sesat Jalan Hidup mengekeh. Tangan kanannya yang menjambak ditebaskan ke bawah.

Kraak!

Rindang Maruhun menjerit. Lengan kanannya patah. Tubuhnya kemudian dibantingkan ke lantai. Kepala Kampung itu terpuruk kesakitan di sudut serambi. Kemudian dia merasakan injakan kaki di keningnya.

“Mana anak gadismu? Lekas jawab!”

“Di... dia tak ada di sini. Pergi dua... dua hari lalu...”

“Bangsat! Kau berani dusta?!”

“Aku tidak dusta! Dia benar-benar tak ada di sini. Siapa kau? Mengapa mencari anakku?”

“Siapa aku sudah kukatakan. Mengapa aku mencari gadis itu karena ada sesuatu yang harus diselesaikan. Nyawa dibayar nyawa. Darah dibayar dengan nyawa. Dosa di atas dosa! Dia mengkhianatiku dan melarikan diri dari Bukit Toba setahun lalu. Lekas katakan ke mana gadis itu pergi...!” “Aku tidak tahu...” “Kau pasti tahu! Dia anakmu!”

“Aku benar-benar tidak tahu...”

“Kalau begitu biarlah kau mampus dalam tidak tahu!”

Iblis Sesat Jalan Hidup tutup kata-katanya dengan menekankan tumitnya ke kening Rindang Maruhun. Kepala Kampung yang malang ini menggeliat-geliat dan melejang-lejangkan kaki. Ketika nyawanya putus, tubuhnya pun tak bergerak lagi.

***

 

DELAPAN

 

PANDANSURI duduk termenung di depan telaga. Kedua kakinya sampai sebatas betis dimasukkan ke dalam air telaga yang jernih dan sejuk. Saat itu hari masih pagi. Kicau burung masih terdengar di sana-sini. Di atas langkan sebuah rumah bambu yang menjorok ke telaga, duduk sosok tubuh berjubah biru dari seorang tua bermuka aneh dan seram. Wajahnya berwarna biru, hampir segelap biru jubah yang dikenakan. Kedua matanya hanya merupakan rongga berlobang sedang salah satu telinganya sumplung.

Sesaat orang tua ini tengadahkan wajahnya ke atap langkan seperti hendak menembus atap bambu itu dengan pandangan dua matanya yang bolong kosong. Kemudian dia berpaling ke arah kiri telaga, dimana Pandansuri duduk. Dulu gadis ini selalu mengenakan kerudung muka dan pakaian serba ungu. Namun sejak peristiwa di Bukit Toba dulu, sejak Pendekar 212 Wiro Sableng menyibakkan kerudung yang selalu melindungi wajahnya, sejak itu pula dia tak pernah lagi mengenakan kerudung muka ataupun pakaian berwarna ungu. Kini dia selalu berpakaian serba putih, termasuk ikat kepala untuk mengikat rambutnya yang panjang hitam.

“Masih sepagi ini kau sudah duduk melamun? Bukankah lebih baik melatih jurus-jurus baru yang kuajarkan padamu? Atau melatih ilmu pukulan sakti Surya Biru yang kurasa masih belum mantap kau miliki? Berapa lama kau bersamaku Pandan? Satu tahun! Ah, itu jauh dari cukup untuk mendalami ilmu pukulan sakti itu... “

Suara halus seperti suara perempuan itu datang dari langkan rumah bambu dan ternyata adalah suara orang tua bermata bolong. Pandansuri mengeluarkan kedua kakinya dari dalam air telaga. Memang sudah setahun dia pulang balik meninggalkan kampungnya Pasir Putih untuk menuntut ilmu kepandaian dari orang tua bernama Nyanyuk Amber itu. Seperti dituturkan sebelumnya baik sang dara maupun si kakek sama-sama diselamatkan oleh murid Eyang Sinto Gandeng sewaktu terjadi malapetaka di Bukit Toba, yakni ketika didirikannya Partai Topan Utara oleh Raja Rencong alias Hang Kumbara.

Atas petunjuk Wiro, Nyanyuk Amber kemudian memilih tinggal di telaga yang sunyi tenang itu sedang Pandansuri kemudian diambil oleh si kakek menjadi muridnya. Sebenarnya Nyanyuk Amber ingin pula mewariskan pukulan satu “Surya Biru” pada pendekar 212 Wiro Sableng, namun pendekar itu yang tidak mau dianggap mencari pamrih menolak secara halus.

Seperti diketahui kedua tangan dan kaki Nyanyuk Amber telah dibuat buntung oleh Raja Rencong karena pendekar sesat ini kawatir sang guru akan menjatuhkan tangan keras dan hukuman kepadanya.

Karena itulah, selama Pandansuri berguru pada orang tua ini, sang dara telah berusaha membuat sepasang kaki-kakian dari kayu dan rotan. Dengan bantuan kaki palsu ini akhirnya Nyanyuk Amber mampu berdiri, bahkan berjalan. Kini Pandansuri tengah merencanakan membuat sepasang tangan palsu hingga kelak sang guru bisa hidup secara lebih baik. Apa yang telah diperbuat gadis itu membuat Nyanyuk Amber sangat sayang padanya hingga dia bertekad mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya pada Pandansuri. Karena sebelumnya sang dara sudah memiliki ilmu silat dan ilmu sakti yang ampuh, maka dalam waktu satu tahun pandansuri telah menguasai banyak ilmu kepandaian yang diberikan gurunya. Terkadang Nyanyuk Amber menggoda. Bahwa kelak jika sang dara sudah berhasil penuh menguasai ilmu pukulan sakti “Surya Biru” maka perlahan-lahan wajahnya akan berubah menjadi biru seperti wajah sang guru! Tentu saja hal ini tidak sesungguhnya karena wajah biru si kakek memang sudah begitu sejak dia dilahirkan!

Sebenarnya ada tiga hal yang membuat sepagi itu Pandansuri duduk termenung di tepian telaga. Pertama kenangannya yang tak bisa pupus terhadap pemuda gagah tapi suka menggoda dan berkepandaian tinggi itu yakni bukan lain Wiro Sableng si gondrong yang selalu dicapnya sebagai “pemuda konyol”! Tapi justru sejak pertama kali bertemu dia tak bisa menipu perasaannya bahwa dia menyukai pemuda itu dan tak dapat melupakannya. Setahun telah berlalu, sejak itu pula dia tak pernah bertemu dengan pemuda itu. Padahal Wiro didengarnya pernah berjanji pada Nyanyuk Amber akan datang menyambangi orang tua itu. Tapi sampai hari itu dia tak pernah muncul.

Hal kedua yang menyamaki pikiran sang dara ialah apa yang didengarnya terjadi di luaran sejak dua bulan terakhir ini. Beberapa tokoh silat di pantai utara dan timur menemui kematian di tangan seorang pembunuh yang dikatakan sebagai hantu mengerikan.

Beberapa perkumpulan persilatan dihancurkannya pula. Padahal semua yang jadi korbannya adalah mereka yang tidak ada sangkut paut atau silang sengketa. Apakah rupanya dunia persilatan ini tak pernah lepas dari kehadiran manusia-manusia biadab dan terkutuk seperti itu?

Iblis Sesat Jalan Hidup! Begitu nama si pembunuh yang sampai ke telinga Pandansuri. Ada dua hal yang membuat dia tidak enak dan merasa heran. Yaitu si pembunuh kabarnya memiliki ilmu kebal hingga tak mempan senjata, tak mempan pukulan sakti apapun. Kemudian — ini yang membuat Pandansur risau— kabarnya pembunuh itu memiliki ilmu kesaktian berupa jentikan jari-jari tangan yang mengeluarkan sinar hitam panas menghanguskan. Setahu dia ilmu pukulan seperti itu adalah “ilmu kuku api” yaitu seperti yang dipelajarinya dari Raja Rencong, ayah angkatnya yang mati sesat itu. Di dunia persilatan hanya ada dua orang yang memiliki ilmu kuku api itu yakni Raja Rencong dan dirinya sendiri. Kini Raja Rencong sudah tiada, berarti hanya dia sendiri yang menguasai ilmu itu. Tapi mengapa tahu-tahu kini muncul seorang lain dengan nama mengerikan dan memiliki ilmu yang sama?

Hal ketiga yang menjadi pemikiran Pandansuri sepagi itu ialah mimpinya tadi malam. Dia melihat ayah dan ibunya mengenakan pakaian serba putih. Sang ayah yakni Rindang Maruhun Kepala Kampung Pasir Putih mengenakan sorban putih lalu sang ibu memakai selendang putih. Dalam mimpi kedua orang tuanya itu menaiki sebuah kendaraan berbentuk aneh yang dapat meluncur di atas air danau di pinggir kampung, lalu sambil melambai-lambaikan tangan mereka terbang di atas danau, makin lama makin tinggi, makin jauh dan akhirnya lenyap di balik awan.

Pandansuri tak dapat menerka apa arti atau mimpinya itu. Sebab itulah sejak pagi dia sudah duduk di tepi telaga, merenung berpikirpikir. Ketika Nyanyuk Amber menegurnya gadis itu segera berdiri dan pergi mendapatkan sang guru. Setelah diam sesaat maka diapun mengutarakan dua dari tiga hal yang menjadi pikirannya itu. Hanya soal pada mengenang Wiro Sableng yang tidak dikatakannya pada sang guru.

Nyanyuk Amber menghela napas dalam, mendongak ke atas lalu memalingkan wajahnya ke arah telaga sementara burung-burung masih terdengar berkicauan di pepohonan sekitar situ.

“Iblis Sesat Jalan Hidup...” desis si orang tua bermuka biru. “Satu nama bejat yang pernah kudengar sejak enam puluh tahun lalu. Nama itu seperti sebuah legenda. Dikatakan orangnya ada, tak pernah aku menemuinya. Dikatakan tidak ada tapi malapetaka yang ditimbulkannya terjadi di mana-mana. Bertahun-tahun nama itu lenyap seperti ditelan bumi. Tahu-tahu kini muncul kembali. Sebelum kau mengatakannya padaku Pandan, ada seorang sahabat menyambangiku seminggu lalu. Diapun menceritakan hal yang sama. Juga mengutarakan kekawatiran yang sama.

“Siapa sebenarnya manusia itu guru? Jika dia memang seorang manusia, bukan setan atau iblis?” bertanya Pandansuri.

“Sulit diduga. Dia muncul seperti ibiis. Lalu lenyap seperti setan. Kematian dan darah ditinggalkannya di mana-mana. Seperti tak ada yang sanggup menandinginya. Hanya yang mengherankan, jika nama itu sudah muncul enam puluh tahun lalu, bagaimana masih terus ada sampai saat ini? Seperti orangnya tak pernah mati-mati...” Orang tua ini termenung sejurus. “Aku mendapat firasat, kemunculan manusia itu kali ini seperti mencari sesuatu ...”

“Apakah dia demikian hebatnya hingga tak ada yang bisa mengalahkannya?” bertanya lagi Pandansuri,

“Di dunia ini sesungguhnya tak ada manusia yang hebat atau luar biasa muridku. Apalagi jika berhadapan dengan kekuatan dan kekuasaan Tuhan. Segala sesuatunya hanya menunggu waktu saja. Kalau aku tak salah ingat pernah seorang kawan mengatakan bahwa manusia berjuluk Iblis Sesat Jalan Hidup itu konon mempunyai satu pantangan. Pantangan inilah yang dapat mengalahkannya. Bahkan menamatkan riwayatnya. Hanya sayang, sebelum sang kawan sempat menerangkan rahasia kelemahan Iblis itu, dia mati terbunuh. Kurasa, besar sekali kemungkinan Iblis Sesat Jalan Hiduplah yang telah membunuhnya!”

“Tidakkah kita bisa melakukan sesuatu untuk mencegah manusia terkutuk itu berbuat malapetaka lebih jauh...?”

“Aku senang mendengar pertanyaanmu itu Pandansuri. Hanya saja apakah yang bisa kita lakukan? Mencarinya? Dicari ke mana?”

“Bagaimanapun kita harus berbuat sesuatu, guru ...”

“Betul muridku. Aku akan memikirkan hal itu mulai sekarang.”

“Lalu bagaimana dengan mimpi saya yang tadi saya ceritakan itu, guru?”

“Mimpi adalah bunga tidur, Pandan. Mengingat Pasir Putih hanya setengah hari perjalanan dari sini, ada baiknya kau pulang dulu. Mungkin ayah atau ibumu kangen padamu... “

“Tak mungkin mereka kangen. Bukankah saya baru dua hari di sini? Dulu-dulu sampai berminggu-minggu...”

Nyanyuk Amber tersenyum mendengar kata-kata muridnya itu lalu menjawab. “Rindunya orang tua yang menandakan rasa sayang sukar diukur. Kelak kalau kau nanti sudah berumah tangga dan punya anak, kau akan merasakan seperti itu...”

Mendengar ucapan gurunya kembali terbayang wajah Pendekar 212 Wiro Sableng di pelupuk mata Pandansuri.

“Kau boleh memakai kudaku, biar cepat sampai di rumah...”

Terdengar ucapan Nyanyuk Amber.

“Terima kasih guru. Bolehkah saya pergi sekarang juga?”

’Tentu saja, pergilah. Tapi lekas kembali kemari. Aku punya firasat ada orang jauh yang akan berkunjung ke tempat kita ini... “

“Siapakah guru?”

“Tak dapat kupastikan. Tapi mungkin dia seorang yang selama ini selalu kau ingat-ingat... “

Wajah Pandansuri menjadi kemerahan. Hampir terlompat mulutnya hendak menyebut nama Wiro Sableng. Tapi cepat-cepat dia menutup mulut dengan jari-jari tangan. Nyanyuk Amber tertawa mengekeh. “Pergilah Pandan. Hati-hati di jalan.”

***

 

SEMBILAN

 

MENJELANG sampai ke Pasir Putih, di kejauhan Pandansuri mendengar suara beduk dan tong tong dipukul tiada henti. Sesaat gadis ini tercekat. Suara beduk dan tongtong seperti itu hanya terdengar jika terjadi bahaya atau ada penduduk yang meninggal. Bahaya apa yang menimpa kampungnya? Atau siapa yang meninggal dunia? Pandansuri menyentakkan tali kekang kuda dan memacu binatang itu secepat yang bisa dilakukannya. Ketika dia sampai di halaman rumah, belum lagi kuda berhenti, gadis ini sudah melompat turun. Halaman rumah yang luas dipenuhi oleh penduduk. Rumah besar dipadati orang. Dari sebelah dalam terdengar suara isak tangis. Pandansuri lari masuk ke dalam, tak perduii lagi ada yang tersepak. Sampai di ruangan tengah gerakannya tertahan. Kedua lututnya seperti goyah. Dua jenazah yang telah tertutup kain kafan terbaring di atas kasur tinggi yang penuh dengan taburan bunga.

“Ayah...! Ibu!” raung Pandansuri. Gadis ini seolah-olah sudah tahu betul siapa-siapa jenazah yang terbujur di ruangan itu. Beberapa orang tua segera memeganginya ketika Pandansuri menjatuhkan diri dan merangkuli kedua jenazah.

“Apa yang terjadi?! Apa yang terjadi dengan ayah dan ibu?!” Jerit Pandansuri.

“Tenang Pandan... Tenang anakku. Ini cobaan besar bagi kita semua. Tabahkan hatimu. Iman anakku, imanlah...” yang berkata adalah seorang lelaki tua berkumis putih, kakak tertua ayah Pandansuri.

Kalau tidak dicegah orang banyak Pandansuri seperti gila hendak merobek kain kafan untuk melihat wajah ayah dan ibunya. Dengan susah payah gadis ini dibawa ke sebuah kamar. Di situ diceritakan padanya apa yang terjadi pagi kemarin.

“Beberapa pembantu ayahmu ikut terbunuh. Mereka sudah dikuburkan kemarin...” menjelaskan orang tua berkumis putih. “Kami tidak tahu harus mencarimu ke mana. Untung kau datang saat ini Pandan. Kalau tidak terpaksa jenazah keduanya kami makamkan karena tak mungkin menunggu lebih lama...”

Pandansuri duduk terhenyak di sudut kamar, bersimbah air mata dan keringat. Inilah rupanya makna mimpinya malam tadi. Dan tidak terduga manusia jahat yang selama imi gentayangan menyebar darah dan nyawa, yang bernama Iblis Sesat Jalan Hidup itu yang menghabisi kedua orang tuanya. Setahunya ayahnya tak pernah mempunyai musuh. Kenapa dia dibunuh mengenaskan begitu rupa? Juga ibunya yang tak berdosa. Lalu beberapa pembantu ayahnya?!

Gadis itu bangkit berdiri. Sikapnya agak tenang sekarang. Matanya yang tadi basah oleh air mata kini tampak bersinar kemerahan. Dia melangkah ke pintu.

“Kau mau ke mana anakku?” tanya kakak ayah si gadis.

“Aku akan mencari bangsat bernama Iblis Sesat Jalan Hidup itu. Dia harus matai di tanganku!”

“Jangan bertindak kesusu. Tidakkah kau ingin menyaksikan pemakaman ayah ibumu lebih dulu.?”

Mendengar kata-kata itu Pandansuri segera sadar. Dia tak bisa pergi begitu saja bagaimana pun hebatnya dendam kesumat membakar dadanya.

***

LAMA setelah muridnya pergi, Nyanyuk Amber masih duduk di langkan rumah bambunya yang menjorok ke telaga. Lapat-lapat diantara siuran angin dan gemericik air telaga yang terkena kibasan ikan-ikan kecil, orang tua ini mendengar suara seseorang datang.

Bersamaan dengan itu hidungnya yang tajam mencium bau busuk tidak enak. Nyanyuk Amber memutar kepalanya. Hatinya tiba-tiba saja menjadi gelisah. Orang yang datang ini agaknya bukan tamu yang ditunggu-tunggunya. Dia duduk tak bergerak, menanti dengan waspada.

Sesiur angin berhembus. Sesosok tubuh berkelebat naik ke atas langkan bambu itu. Tak ada sedikit gerakan pun terasa pada lantai bambu yang tak seberapa kokoh itu. Ini satu pertanda bagi si orang tua bahwa orang yang datang memiliki gerakan sebat dan keringanan tubuh yang luar biasa. Bau busuk bertambah santar.

’Tamu dari mana yang datang kemari... T’ menyapa Nyanyuk Amber.

Sesaat tak ada jawaban. Lalu terdengar suara sember tapi garang.

“Jadi di sini kau bercokol tua bangka buruk! Jangan harap kau bisa lari lebih jauh! Sekalipun kini kulihat kau memiliki sepasang tangan dan kaki palsu yang membuatmu jauh jadi lebih jelek! Ha... ha... ha...!”

Nyanyuk Amber kerenyitkan kening. Sikapnya tetap tenang. Dia coba mengingat-ingat suara itu. Tapi tetap saja dia tidak mengenali siapa adanya yang bicara.

“Tamu yang datang. Terangkan siapa kau adanya dan ada keperluan apa kau muncul di gubukku?!”

Sang tamu kembali tertawa. “Aku akan jawab pertanyaanmu yang kedua lebih dulu. Aku datang kemari untuk mencabut nyawamu! Kau dengar itu!”

“Hemmm... Tubuhmu memancarkan bau busuk. Pasti kau bukan Malaikat Jibril si pencabut nyawa. Tapi mengapa merasa punya hak hendak membunuhku?!”

“Hak? Tua bangka buta! Aku adalah raja diraja di dunia ini. Setiap hak apa pun yang kau sebutkan aku mempunyainya. Termasuk hak untuk menghabisi riwayatmu! Hutang nyawa dibayar nyawa. Darah dibayar darah. Dosa di atas dosa

“Jelas kau ngacok. Sekarang jawab pertanyaanku yang pertama tadi. Siapa dirimu!”

“Aku adalah bekas muridmu! Dulu aku bernama Hang Kumbara. Bergelar Raja Rencong Dari Utara, Pemimpin Partai Topan Utara yang hancur pada hari peresmiannya. Kau ikut ambil bagian dalam menggagalkan berdirinya Partai itu. Kini dunia persilatan mengenalku dengan nama baru. Iblis Sesat Jalan Hidup! Yang tak akan pernah mati oleh kekuatan apa pun di dunia ini! Kau dengar itu tua bangka keparat?!”

Tentu saja Nyanyuk Amber terkejut mendengar kata-kata orang yang ada di hadapannya itu. Hang Kumbara! Raja Rencong Dari Utara! Bukankah manusia durjana itu sudah menemui kematiannya lebih dari satu tahun silam? Bagaimana kini dia bisa hidup lagi? Dan benarkah dia yang kini tegak di hadapannya? Sungguh satu kenyataan yang sulit dapat dipercaya.

Selagi Nyanyuk Amber terkesiap begitu rupa, Iblis Sesat Jalan Hidup tiba-tiba merasakan tengkuknya dingin dan lutunya bergetar. Kedua matanya menatap tajam pada pakaian dan wajah si orang tua. Jubah dan muka orang tua itu berwarna biru. Warna pantangan yang harus dijauhinya. Sekati salah satu bagian tubuhnya tersentuh pakaian atau muka itu tamatlah riwayatnya. Berarti dia harus menjaga jarak dan membunuh cepat-cepat orang tua ini!

“Nyanyuk Amber! Waktumu sudah sampai! Bersiaplah untuk mampus!” teriak Iblis Sesat Jalan Hidup. Lalu dia jentikkan lima jari tangan kanannya. Lima larik sinar hitam mengandung hawa luar biasa panasnya berkiblat.

Nyanyuk Amber terkejut.

“Ilmu Kuku Api!” serunya ketika mengenali deru dan hawa salju pukulan maut itu. Tubuhnya yang duduk serta-merta melayang ke samping. Meskipun kini hanya memiliki sepasang kaki kayu, namun gerakannya tampak sebat. Begitu berdiri dia segera hantamkan tangan kanannya. Angin deras menerpa ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup tapi dengan mudah dielakkan.

“Murid murtad! Siapapun kau adanya! Jika kau benar Iblis Sesat Jalan Hidup maka aku akan membasmimu hari ini!” teriak Nyanyuk Amber.

Iblis Sesat Jalan Hidup tertawa mengejek.

Kraak! Dia patahkan salah satu tiang bambu penyanggah atap langkan. Lalu dengan bersenjatakan potongan bambu yang cukup panjang ini dia menyerang Nyanyuk Amber dengan ganas. Sejak Guli Rampai — si Iblis Sesat Jalan Hidup perempuan tua itu— mengisi tubuhnya dengan kekuatan aneh, kehebatan yang dimiliki Raja Rencong alias Hang Kumbara memang luar biasa. Dalam waktu singkat, Nyanyuk Amber yang penuh pengalaman dalam dunia persilatan itu terdesak hebat. Salah satu dari kaki kayunya hancur dihantam potongan bambu.

Menyusul tangan kayu sebelah kanan. Orang tua ini menjadi kerepotan dan bertahan mati-matian sambil bersiap-siap menyalurkan tenaga dalam untuk melepaskan pukulan “Surya Biru”. Namup meskipun dia sanggup mewariskan ilmu sakti itu pada Pandansuri, untuk mempergunakannya sendiri dia mengalami kesulitan karena keadaan kedua tangannya yang cacat.

Kraak!

Kaki kayu kedua hancur dihantam ujung bambu. Nyanyuk Amber terbanting ke lantai langkan. Menyadari bahaya, orang tua ini cepat gulingkan diri, tepat ketika Iblis Sesat Jalan Hidup lepaskan lagi pukulan sakti ilmu kuku api! Lantai langkan hancur berentakan, terbakar di beberapa bagian. Dalam waktu singkat api berkobar ganas.

Nyanyuk Amber bergulingan di tanah di tepi telaga. Ketika dia kemudian terduduk di tanah jubah birunya kelihatan menggembung. Ini satu pertanda dia tengah menghimpun seluruh tenaga dalam yang ada dan siap melakukan sesuatu yang hebat. Sebagai bekas muridnya, Iblis Sesat Jalan Hidup alias Hang Kumbara tahu ilmu apa yang hendak dilancarkan oleh sang guru. Yakni hawa panas yang menebar asap beracun berwarna kuning.

Tanpa rasa takut karena percaya akan kekebalan dirinya, Iblis Sesat Jalan Hidup malah melangkah mendekati, tapi sejarak yang cukup aman agar jubah biru si kakek tidak menyentuhnya.

“Kau hendak mengeluarkan ilmu racun kayangan? Ha... ha... ha. Keluarkanlah! Ilmu butut itu stepa yang takut!”

Meskipun hatinya jadi panas namun diam-diam Nyanyuk Amber merasa terkejut. Bagaimana musuh keparat itu berani menantang seperti itu. Padahal selama ini tak satu orang pun sanggup menyelamatkan diri dari kepungan asap mautnya.

Nyanyuk Amber menggembos. Jubah birunya yang tadi menggembung tiba-tiba menjadi kempes. Bersamaan dengan itu dari bagian bawah jubah melesat keluar asap kuning pekat, membuntal dahsyat dan langsung menerpa deras ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup.

Yang diserang tetap tegak tak bergerak dan masih terus mengumbar tawa mengejek. Ternyata asap beracun ganas itu sama sekali tidak mempan merusak kulit apa lagi membunuhnya! Selagi Nyanyuk Amber terkesiap akan ini, didahului bentakan garang Iblis Sesat Jalan Hidup melompat ke depan dan tusukkan ujung bambu di tangan kanannya. Dia tak berani menusuk ke tubuh atau muka Nyanyuk Amber. Karenanya yang menjadi sasarannya adalah leher orang tua itu!

Dalam keadaan tercekat melihat ilmu racun kayangan tak sanggup menghabisi lawannya, Nyanyuk Amber bertindak agak terlambat ketika tusukan bambu menderu ke arah tenggorokannya. Meskipun dia semapat mengelak, tetap saja ujung bambu menyerempet lehernya, menimbulkan luka cukup parah. Darah mengucur. Dalam keadaan seperti itu Iblis Sesat Jalan Hidup kemudian susul dengan serangan ilmu kuku api. Tak adaa kesempatan lagi bagi orang tua yang malang itu untuk selamatkan diri!

***

 

SEPULUH

 

“SAHABATKU tua bangka ompong! Siapa yang berani mencelakaimu?!”

Mendadak satu seruan keras terdengar. Bersamaan dengan itu berkiblat sinar putih menyilaukan mata. Hawa panas luar biasa menebar, iblis Sesat Jalan Hidup terpental enam langkah. Sesaat tubuhnya tergontai-gontai, tapi dia tidak mengalami cidera apa-apa. Sebaliknya bangunan bambu di belakangnya, yang sepertiganya telah dimakan api, hancur lebur berantakan kena sambaran sinar putih perak tadi.

Tiga orang sama-sama terheran-heran. Pertama tentu saja si Iblis Sesat Jalan Hidup. Selain heran juga terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba. Meskipun tubuhnya cidera tetapi sinar putih panas menyilaukan tadi sanggup membuatnya terpental. Yang kedua adalah Nyanyuk Amber. Orang tua ini heran tak menyangka kalau ketika ajal sudah di depan mata ternyata masih ada uluran tangan Tuhan yang menyelamatkannya. Dan orang yang ketiga adalah dia yang barusan berkelebat muncul di tempat itu, yakni bukan lain Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Selama malang melintang dalam dunia persilatan, jika tidak menghadapi lawan tangguh, tak akan dia melepaskan pukulan “sinar matahari!” Dan jika sekali pukulan itu dilepaskan, maka korban akan jatuh tergelimpang.

Tapi adalah luar biasa bahwa sosok tubuh penuh cacat dengan wajah seangker iblis itu tidak cidera seujung rambut pun. Padahal jelas pukulan sinar matahari tadi tepat menghantam tubuhnya hingga terpental. Bahkan selendang hitam berbunga kuning emas di bahunya tidak bergeming sedikit pun!

“Keparat! Kau rupanya!” bentak Iblis Sesat Jalan Hidup.

“Heh, setan alas ini mengenaliku. Siapa dia sebenarnya,” membatin Wiro. “Kau muncul sendiri di sini hingga tak susah-susah aku mencarimu! Hutang nyawa bayar nyawa. Darah dibayar darah! Dosa di atas dosa!” tentu saja dia tidak mengenali siapa sebenarnya manusia di hadapannya itu.

“Bagus! Kau sudah muncul tanpa dicari! Berarti tak perlu membuang-buang waktu! Kalian berdus memang layak mampus berbarengan di tempat ini!”

“Kalau bukannya setan kau tentu iblis jejadian!” ujar Wiro menyahut ucapan Iblis Sesat Jalan Hidup.

Nyanyuk Amber diam-diam merasa bersyukur atas munculnya Wiro yang memang sudah lama ditunggu-tunggunya. Namun dia merasa perlu memberi tahu. Maka dengan mempergunakan ilmu mengiangkan suara, dia berkata pada Pendekar 212. “Wiro, hati-hati! Mahluk yang dihadapanmu adalah Iblis Sesat Jalan Hidup. Ilmunya tinggi dan dia kebal terhadap segala macam pukulan maupun senjata! Dia tidak bisa dibikin mati!”

Karena sebelumnya tidak pernah mendengar tentang mahluk bernama Iblis Sesat Jalan Hidup ini maka Wiro tentu saja tidak dapat mempercayai kata-kata orang tua itu. Mana ada mahluk hidup yang tidak dapat mati?

Mengetahui bagaimana jalan pikiran wiro maka Nyanyuk Amber kembali kirimkan suaranya ke si pendekar: “Iblis itu adalah penjelmaan Raja Rencong yang mati setahun silam!”

Makin tak mengerti pendekar kita jadinya. Dulu dia sendiri bersama-sama puluhan tokoh silat mencincang Raja Rencong di Arena Topan Utara. Kini diakah mahluk hidup bertubuh dan berwajah seram ini?

Sebelum dia sempat berpikir lebih lama, di hadapannya Iblis Sesat Jalan Hidup jentikkan lima jari tangan kanannya. Lima sinar hitam pekat dan panas menggebubu!

“Ah! Ilmu kuku api!” seru Wiro dalam hati. “Memang keparat itu rupanya!”

Untuk kedua kalinya Wiro lepaskan pukulan sinar matahari guna menangkis ilmu kuku api. Sinar putih dan sinar hitam saling baku hantam di udara, mengei-luarkan susara berdentum yang disertai kilapan sinar api amat mengerikan. Ranting dan cabang serta daundaun pepohonan yang ada di sekitar situ hangus kehitaman. Nyanyuk Amber leletkan lidah. Hawa panas terasa menjalar sampai ke tubuhnya.

Jengkel melihat pukulan saktinya tidak mempan maka Pendekar 212 Wiro Sableng cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Suaara seperti ribuan tawon mengamuk memenuhi udara ketika senjata mustika sakti itu berkelebat ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup.

Yang diserang tegak tak bergerak, bersikap menantang dan sunggingkan senyum mengejek. Malah berkata: “Pilih bagian tubuhku yang empuk anak muda!”

Buuk!

Mata Kapak Naga Geni 212 menghantam dada Iblis Sesat Jalan Hidup. Tak ampun lagi tubuhnya terpental lalu jatuh duduk. Tapi di lain kejap dia sudah bangkit berdiri kembali tanpa cidera sedikit pun! Kejut Wiro Sableng bukan alang kepalang! Ilmu apakah yang kini dimiliki Raja Rencong hingga senjata saktinya tidak mempan sama sekali. Hampir tak percaya, dia pandangi kapak di tangannya. Di depannya terdengar suara tawa parau Iblis Sesat Jalan Hidup.

“Aku pernah kau bunuh! Sekarang kau ganti menemui kematian! Arwahmu sudah lama ditunggu arwahku!” Iblis Sesat Jalan Hidup melangkah mendekati Wiro. Tangan kanan terpentang seperti hendak mencengkeram. Wiro tabaskan kapak saktinya.

Bukk!

Kembali kapak itu menghantam dan tidak berdaya!

“Gila!” maki Wiro. Sebelum lawan datang lebih dekat pendekar ini cepat menghantam dengan pukulan benteng topan melanda samudera. Seperti tadi Iblis Sesat Jalan Hidup hanya terpental jatuh, bangkit berdiri dan mendatangi Wiro kembali! Penasaran murid Sinto Gendeng hantamkan kapak saktinya sekali lagi. Kali ini batok kepala Iblis Sesat Jalan Hidup yang diarahnya. Kalau dulu senjata itu sempat membelah kepala Raja Rencong maka sekali ini hanya mengeluarkan suara bergedebuk dan ternyata kepala itupun tak mempan dikapak!

“Wiro, kita harus cepat menyingkir dari sini! Walaupun kita sanggup menghajarnya sampai seribu jurus tapi dia tak akan dapat dimatikan. Sebaliknya kita akan kehabisan tenaga dan menjadi korbannya!” Terdengar suara mengiang di telinga Wiro. Itulah suara Nyanyuk Amber.

“Aku tidak akan berlaku sepengecut itu! Aku yakin bangsat ini bisa dikalahkan!” menjawab Wiro.

“Jangan tolol! Sebelum kita dapat memecahkan teka-teki kekebalannya, kita berdua bisa mati percuma di tempat ini! Lekas dukung aku dan menyingkir dari sini! Cepat!”

Karena menyadari memang tak mungkin melanjutkan penyerangan terhadap Iblis Sesat Jalan Hidup mau tak mau Wiro Sableng terpaksa mengikuti apa yang dikatakan Nyanyuk Amber. Dengan kapak tetap di tangan kanan guna melindungi diri, Wiro sambar tubuh si orang tua dan berkelebat ke jurusan timur.

Iblis Sesat Jalan Hidup mengejar sambil lepaskan pukulan ilmu kuku api. Wiro putar Kapak Maut Naga Geni 212. Serangan lawan musnah setengah jalan tapi manusia iblis itu terus mengejar. Hanya saja dalam ilmu lari tingkat kepandaiannya tidak dapat menandingi murid Sinto Gendeng itu. Dalam waktu singkat dia sudah tertinggal jauh. Akhirnya dua orang yang dikejar itu lenyap di kejauhan di antara kelebatan pepohonan.

“Kalian tak akan bisa lolos sekalipun lari ke ujung dunia! Tunggu saja waktunya. Sekarang lebih baik aku mencari gadis keparat itu lebih dulu! Jika dia tidak ada di di sini, pasti dia sudah kembali ke Pasir Putih!”

***

 

 

 

SEBELAS

 

SANG SURYA tampak merah membara tanda sebentar lagi akan masuk ke titik tenggelamnya. Di tanah pekuburan yang terletak di sebelah selatan Pasir Putih keadaannya sudah sepi. Dua jenazah telah dimakamkan. Para pengantar telah lama pergi. Hanya ada satu orang kelihatan masih duduk bersimpuh di hadapan dua tumpukan tanah merah. Pakaiannya yang putih kotor oleh merahnya tanah liat. Orang ini adalah Pandansuri yang tengah menghadapi makam ayah dan ibunya.

Perasaan dara ini saat itu bercampur aduk. Pertama tentu saja rasa sedih dan duka cita yang mendalam karena kematian kedua orang tuanya. Namun sekaligus dalam hatinya juga membara dendam kesumat terhadap pelaku pembunuh yang tidak pernah dilihatnya, hanya didengarnya bernama Iblis Sesat Jalan Hidup. Dalam hati-nya sudah bulat tekad untuk mencari manusia iblis itu guna menuntut balas. Perlahan-lahan Pandansuri berdiri. Di saat dirasakannya harus pergi meninggalkan tempat itu, kembali air mata memercik dan meluncur di kedua pipinya.

“Ayah, ibu... Saya harus pergi sekarang. Saya bersumpah di hadapan kubur ayah ibu untuk mencari pembunuh terkutuk itu. Saya tak akan berhenti sebelum menemui dan membunuhnya!”

Ketika Pandansuri hendak mencium bagian tanah di kepala kubur ibunya tiba-tiba di belakangnya terdengar suara orang menegur. Satu suara yang keras tapi parau.

“Pandansuri! Kau tak perlu jauh-jauh mencari pembunuh kedua orang tuamu! Orangnya sudah ada di sini. Aku orangnya...!”

Kejut gadis itu bukan kepalang. Sejak menerima tambahan ilmu dari Nyanyuk Amber, perasaan dan pendengarannya jauh lebih tajam. Mengapa kini ada orang datang dari belakang dia tidak dapat mengetahuinya? Hanya ada satu jawaban. Mungkin pikiran dan perasaannya terlalu tertumpah pada nasib malang yang dihadapinya. Atau mungkin pula orang yang datang memiliki kepandaian tinggi luar biasa.

Secepat kilat Pandansuri balikkan tubuh. Serta merta gadis ini terperangah, hampir keluarkan saruan kaget karena ngeri. Di hadapannya berdiri sosok tubuh dan wajah yang sangat menyeramkan. Sosok tubuh ini hanya mengenakan sehelai celana pendek, bertelanjang dada. Ada sehelai selendang hitam berbunga-bunga kuning emas melintang di bahunya. Seluruh tubuh, mulai dari kaki sampai ke dada, terus ke wajah penuh luka bekas cacat yang mengerikan, terutama luka melintang di atas mata dan pipi kiri. “Ha... ha...! Kau takut?! Kau tak mengenaliku?!”

Sosok tubuh mengerikan itu yang bukan lain adalah Iblis Sesat Jalan Hidup menyeringai.

“Siapa kau?!” sentak Pandansuri setelah rasa kagetnya pulih.

“Aku Iblis Sesat Jalan Hidup! Aku yang membunuh kedua orang tuamu...!”

“Iblis durjana!” teriak Pandansuri. Gadis ini langsung jentikkan sepuluh jari tangannya. Sepuluh larik sinar merah yang luar biasa panasnya berkiblat menghantam ke sepuluh bagian tubuh termasuk kepala Iblis Sesat Jalan Hidup!

Yang diserang tak bergerak, malah bersikap menunggu dan menantang. Lima larik sinar merah menghantam. Terdengar suara berletupan. Sepuluh sinar merah mus-nah. Pukulan sakti tadi, jangankan mencelakai atau membunuhnya, meninggalkan bekas pun tidak! Dinginlah tengkuk Pandansuri. Wajahnya pucat lesu. Iblis Sesat Jalan Hidup tertawa bergelak. “Ilmu Kuku Api! Ilmu itu aku yang mengajarkannya padamu Pandansuri!”

“Apa katamu?!”

“Ilmu Kuku Api itu! Aku yang mengajarkannya padamu! Hari ini kau harus mengembalikannya padaku berikut nyawa dan kehormatanmu!”

“Manusia iblis! Apa maksudmu! Siapa kau sebenarnya?!”

“Aku bernama Hang Kumbara. Dulu bergelar

Raja Rencong Dari Utara. Dulu pernah menjadi ayah angkatmu! Tapi kau mengkhianatiku! Kau bekerja-sama dengan musuh-musuhku. Lalu kau melarikan diri...!”

“Gila! Kau iblis gila! Ayah angkatku menemui kematian setahun lalu di Bukit Toba! Jangan mengaku-aku yang bukan-bukan. Dan ayah angkatku tidak seburuk tubuh dan mukamu yang busuk!”

Iblis Sesat Jalan Hidup kembali tertawa. Tiba-tiba dia melompat ke depan. Sekali tangannya bergerak, satu totokan melanda dada Pandansuri, membuat gadis ini terjatuh rubuh dan kaku tegang tak bisa bergerak lagi!

Iblis Sesat Jalan Hidup berlutut di sampingnya.

“Dulu kau selalu mengenakan kerudung ungu. Kini kulihat kau tidak memakainya lagi. Ternyata baru kini kusadari kau memiliki wajah cantik. Juga tubuh yang bagus! Ha... ha... ha...! Hutang nyawa bayar nyawa. Darah dibayar dengan darah. Dosa di atas dosa!”

Iblis Sesat Jalan Hidup lalu ulurkan tangannya.

Breet... bret... brettt!

Pakaian di tubuh Pandansuri habis dirobeknya hingga gadis yang malang itu kini terbaring dalam keadaan hampir tidak tertutup lagi auratnya. Yang bisa dilakukannya hanyalah memaki dan menyumpah.

“Terkutuk! Iblis terkutuk! Jika kau benar-benar Raja Rencong, jika kau benar-benar ayah angkatku lebih baik bunuh aku dari pada kau perlakukan keji begini!” teriak Pandansuri.

“Dulu aku Raja Rencong! Dulu aku ayah angkatmu! Sekarang aku adalah Iblis Sesat Jalan Hidup! Kau minta mampus?! Aku akan membunuhmu, jangan kawatir! Tapi kau rasakan dulu dosa di atas dosa!”

Lalu Iblis Sesat Jalan Hidup jatuhkan dirinya di atas tubuh Pandansuri. Untuk kesekian kalinya gadis itu menjerit. Di langit sinar merah telah meredup. Sang surya telah tenggelam dan keadaan di pekuburan itu mulai gelap.

Tak jauh dari pekuburan... Pendekar 212 Wiro Sableng berlari kencang sambil mendukung kakek buntung Nyanyuk Amber.

“Hai... aku mendengar suara orang menjerit,” berkata orang tua itu.

Saat itu Wiro masih belum mendengar apa-apa.

“Suara itu datang dari arah sana...” si kakek goyangkan kepalanya ke kanan.

“Mungkin hanya suara anak-anak gembala yang pulang ke kampung sambil bermain berteriak-teriak...” ujar Wiro. Memang dalam jarak sejauh itu dengan sumber suara, daya pendengaran Wiro masih kalah jauh dari si kakek, karena itu dia masih juga belum mendengar apa-apa.

“Bocah torek! Telingamu perlu dibersihkan! Lekas bawa aku ke jurusan sana...” Mengomel Nyanyuk Amber.

“Hari sudah hampir malam, kek! Sebaiknya kita terus saja ke kampung. Bukankah ke situ tujuan kita guna mencari muridmu?” Baru saja Wiro berkata demikian, dia merasakan kedua lutut orang tua yang didukungnya menekan tubuhnya dan secara aneh gerakan larinya terseret ke kanan. Dia kerahkan tenaga. Dia tahu kalau Nyanyuk Amber pergunakan kepandaian untuk menguasainya agar menurut apa maunya. Sadar kalau si kakek memang lebih lihay tenaga dalamnya, Wiro terpaksa berbelok ke kanan. Sesaat kemudian pendekar ini berkata seperti mengomel: “Apa kataku kek! Kau menyuruhku membawamu ke jurusan ini. Tahukah kau apa yang ada di depan kita?”

“Katakanlah!”

“Pekuburan!” jawab Wiro.

“Pekuburan! Lalu apa salahnya? Jeritan itu semakin keras kini. Dan aku membaui sesuatu yang busuk!”

Wiro kini sudah pula mendengar suara jeritan itu. Juga bau busuk seperti yang dikatakan si kakek.

“Hai! Bau busuk itu! Bukankah ini bau busuk tubuh Iblis Sesat Jalan Darah?! Dia pasti ada di sekitar sini!” kata Wiro.

“Tepat! Teruslah lari ke jurusan jeritan itu. Aku hampir pasti itu adalah suara muridku!”

Ketika sampai di bagian pekuburan yang membukit, Wiro melihat sosok tubuh Iblis Sesat Jalan Hidup di kejauhan, seperti tengah menghimpit seseorang di bawahnya.

“Durjana terkutuk!” teriak Pendekar 212. Seperti terbang tubuhnya melesat ke arah dua kubur yang masih merah, disamping mana Pandansuri siap dirusak kehormatannya.

Iblis Sesat Jaian Hidup bukan tidak tahu kalau ada orang yang datang. Masih dalam keadaan terbaring di atas tubuh Pandansuri dia lepaskan pukulan Kuku Api. Secepat kilat Wiro balas menghantam dengan pukulan matahari. Nyanyuk Amber yang ada dalam dukungannya tiba-tiba melesat ke udara, lalu jatuh di tanah, berguling-guling

sampai akhirnya berhenti karena tertahan oleh sebuah batu nisan. Dari jeritan muridnya dia tahu persis di mana Pandansuri berada. Maka tubuhnya pun digulingkan ke tempat gadis itu terbaring.

Iblis Sesat Jalan Hidup kembali lepaskan pukulan Ilmu Kuku Api. Kali ini ke arah Nyanyuk Amber. Tapi lagi-lagi Wiro menghantam dengan pukulan sinar matahari, malah tangan kirinya sekaligus lancarkan pukulan yang dipelajarinya dari Tua Gila, yakni pukulan Dewa topan menggusur gunung”.

Tubuh Iblis Sesat Jalan Hidup terpental. Tapi setelah bergulingan beberapa kali dia cepat berdiri dan kini menyerbu Pendekar 212 dengan pukulan sakti bernama “topan pemutus urat”. Hebatnya bukan alang kepalang. Selain mengeluarkan suara menggemuruh, sekali tubuh tersambar angin pukulan sakti ini maka kontan urat-urat yang ada di bagian tubuh itu hancur berputusan!

“Pukulan Topan Pemutus Urat!” seru Nyanyuk Amber ketika dia mengenali suara angin pukulan yang dilepaskan Iblis Sesat Jalan Hidup. “Ah! Keparat itu rupanya memang benar-benar si Hang Kumbara laknat! Aneh luar biasa! Bagaimana sudah mampus dia bisa hidup lagi?!”

Nyanyuk Amber terus menggulingkan tubuhnya hingga akhirnya berhenti ketika menumbuk tubuh Pandansuri.

Di bagian lain Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan tubuhnya seperti dicengkeram oleh belasan tangan yang tak kelihatan. Sadar akan bahaya kehebatan kesaktian lawan, murid Sinto Gendeng ini keluarkan bentakan keras hantamkan Kapak Naga Geni 212 ke depan sedang tangan kiri lepaskan pukulan “dinding angin berhembus tindih menindih”.

Tapi sungguh di luar dugaan sang pendekar. Angin sakti pukulan lawan masih terus melabraknya. Untuk selamatkan diri mau tak mau Wiro terpaksa melompat ke udara. Tapi saat itu terdengar teriakan Nyanyuk Amber.

“Jatuhkan dirimu ke tanah”.

Rupanya orang tua itu tahu cara bagaimnana menghadapi serangan “topan pemutus urat’ maka secepat kilat Wiro Sableng jatuhkan diri, menelungkup sama rata ke tanah! Angin maut lewat di atas punggungnya, bersiur sejuk seperti hembusan angin gunung!

“Gila...!” rutuk Wiro dan melompat berdiri. Begitu berdiri dia segera lindungi.diri dengan hantamkan pukulan “sinar matahari” ke arah lawan. Sadar kalau sebelumnya pukulan itu tidak mampu menciderai manusia iblis itu maka Wiro susul dengan membabatkan Kapak Naga Geni 212. Tabasannya sengaja diarahkan ke batang leher Iblis Sesat Jalan Hidup.

Buk!

Mata kapak telak-telak menghajar batang leher Iblis Sesat Jalan Hidup, membuat tubuhnya terbanting jungkir balik. Tapi di lain saat dia kembali berdiri sambil keluarkan suara tertawa mengekeh. Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini jadi keluarkan keringat dingin. “Kalau iblis ini memang tidak bisa dibunuh, berarti nyawaku kali ini tak akan ketolongan. Pasti juga orang tua dan gadis itu akan dibunuhnya!”

Akan Nyanyuk Amber, begitu tubuhnya membalik.

“Muridku... Kau tak apa-apa?”

“Kau mana bisa melihat guru!” sahut Pandansuri yang masih terbungkus hawa amarah terhadap Iblis Sesat Jalan Hidup. “Mahluk iblis itu hendak memperkosaku. Seluruh pakaianku habis dirobeknya...“

“Ah, untung mataku buta. Kalau tidak tentu aku menyaksikan pemandangan yang...”

“Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa bergurau! Guru! Kau keterlaluan!” potong Pandansuri dengan suara keras tapi seperti hendak menangis.

“Sudah... sudah! Jangan marah padaku. Bahaya belum lewat. Lekas kau tutupi tubuhmu dengan jubah biruku ini!” kata Nyanyuk Amber pula. Lalu jubahnya tampak menggembung. Secara aneh pakaian yang sangat besar dan berwarna biru itu bergerak naik ke atas melewati perut, dada dan akhirnya lolos dari kepalanya. Jubah itu kemudian jatuh menutupi tubuh Pandansuri yang nyaris telanjang. Si orang tua sendiri kini hanya mengenakan celana kolor dekil!

“Guru! Aku harus menuntut balas kematian ayah dan ibuku! Mereka dibunuh oleh Iblis Sesat Jalan Hidup. Aku sudah bersumpah untuk membunuhnya. Bisakah kau tolong melepaskan totokan di tubuhku?!”

“Ain. rupanya kau kena ditotok oleh iblis itu. Pantas tadi kudengar hanya suaramu saja yang menjerit-jerit! Lekas katakan bagian mana tubuhmu yang ditotok?”

“Dada...” menerangkan Pandansuri.

Buk!

Nyanyuk Amber hantamkan kepalanya ke dada gadis itu hingga Pandansuri terpekik kesakitan. Tapi justru tumbukan kepala pada bagian dadanya itu membuat totokannya punah. Begitu terlepas dari totokan gadis ini melompat tegak dengan tubuh berselimutkan jubah biru Nyanyuk Amber yang menjela-jela sampai ke tanah pekuburan.

“Iblis laknak! Kau harus mampus di tanganku!” teriak Pandansuri seraya bergerak mendekati Iblis Sesat Jalan Hidup yang saat itu siap menerjang Pendekar 212 Wiro Sableng yang berada dalam keadaan terdesak.

Iblis Sesat Jalan Hidup berpaling dan terkejut. Bukan ancaman maut yang diteriakkan Pandansuri yang membuatnya terkejut, tetapi jubah biru milik Nyanyuk Amber yang menyelubungi tubuh si gadis membuatnya jadi kecut.

“Gadis pengkhianat ayah angkat! Pergi kau! Menjauh dari sini kalau tidak ingin kubahabisi detik ini juga!”

Sebagai jawaban Pandansuri jentikkan lima jari tnagan kanannya. Lima larik sinar merah ilmu kuku api menyambar ganas ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup. Terdengar suara berletupan ketika lima larik sinar merah itu menghantam tubuhnya dengan tepat. Tapi tak sedikit cidera pun yang kelihatan. Bahkan selendang hitam yang sampai saat itu masih tersandang di bahu kanannya tidak rusak sedikit pun!

“Pergi!” teriak Iblis Sesat Jalan Hidup ketika Pandansuri semakin mendekat.

Satu-satunya daun telinga yang dimiliki Nyanyuk Amber tampak bergerak-gerak. Orang tua ini memutar otak. “Aneh...” katanya dalam hati. “Suara iblis itu seperti menunjukkan rasa takut. Apa yang ditakutinya terhadap muridku? Bukankah mudah saja dia membunuh sementara aku tak berdaya menolong...?”

“Pergi!” Iblis Sesat Jalan Hidup berteriak lagi. Pandansuri semakin dekat. Takut jubah biru itu mengenai tubuhnya. Iblis Sesat Jalan Hidup segera lepaskan pukulan “topan pemutus urat”. Namun gebukan Kapak Maut Naga Geni 212 yang menghantam perutnya, meskipun tidak dapat melukai kulitnya, membuat tubuhnya terpental dan jatuh duduk di atas sebuah kuburan tua.

Sementara itu Pandansuri yang penuh dengan dendam membara serta penasaran melihat ilmu kuku apinya tidak mempan terhadap Iblis Sesat Jalan Hidup tiba-tiba ingat pada ilmu pukulan sakti bernama “Surya Biru” yang selama satu tahun belakangan ini dipelajarinya dari Nyanyuk Amber. Memikir bahwa inilah kesempatan untuk mempergunakan dan menjajal kehebatan ilmu tersebut, dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, dari jarak enam langkah Pandansuri bersiap untuk menghantam. Tapi baru saja dia hendak mengangkat tangan kanan, di depannya Iblis Sesat Jalan Hidup telah melompat tegak seraya kirimkan pukulan topan pemutus urat! Debu pasir dan tanah kuburan beterbangan ke udara!

Sebagai bekas anak angkat dan murid Raja Rencong alias Iblis Sesat Jalan Hidup, Pandansuri tentu saja mengetahui bagaimana kehebatan dan keganasan ilmu pukulan sakti itu. Namun dia pun mengetahui pula bagaimana cara menyelamatkan diri. Maka cepat-cepat gadis ini jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Angin pukulan maut lewat di atas tubuhnya.

“Keparat!” teriak Iblis Sesat Jalan Hidup. Ingin dia melompat dan mencekik batang leher gadis itu. Menghancurkan tulang belulang di sekujur tubuhnya.

Tapi jubah warna biru membuatnya takut tak berani mendekat, apalagi sampai menyentuh jubah tersebut. Warna biru adalah pantang yang berarti maut baginya!

Saat itu matahari sudah tenggelam. Keadaan di pekuburan itu mulai gelap. Iblis Sesat Jalan Hidup keluarkan suara menggembor.

“Kalau kuserang terus-menerus masakan dua bangsat ini tak akan mampu kubereskan!” begitu dia membatin. Yang dimaksudkannya dengan dua bangsat adalah Pandansuri dan Wiro Sableng. Nyanyuk Amber —orang tua yang tak berdaya karena cacat tubuhnya itu— tidak dipandang sebelah mata oleh sang iblis. Maka kembali dia lepaskan pukulan topan pemutus urat ke arah Wiro sedang ilmu kuku api ke jurusan Pandansuri. Namun dengan Kapak Naga Geni 212 di tangan Wiro mampu menangkis sambil jatuhkan diri ke tanah sedang Pandansuri melihat gerakan lawan, lebih cepat melompat jauh berkelit.

Selagi Iblis Sesat Jalan Hidup geram dan gemas, dari samping Wiro lepaskan pukulan sakti dengan tangan kirinya yakni pukulan topan melanda samudera. Ketika Iblis Sesat Jalan Hidup jatuh dan terguling kena hantaman pukulan itu, dia susul dengan pukulan sakti lainnya yang selama ini jarang dikeluarkannya yakni pukulan angin es. Kapak diselipkan di pinggang. Kedua tangan diangkat ke atas dengan telapak terkembang ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup. Dalam waktu singkat mendadak saja udara di tempat itu menjadi dingin sekali seperti dibungkus es. Nyanyuk Amber merasakan tubuhnya bergetar kedinginan.

Apalagi saat itu dia hanya mengenakan celana kolor karena jubah birunya dipakai Pandansuri untuk menutupi tubuhnya. Si gadis sendiri merasakan tubuhnya menggigil dan gigi-giginya bergemeletukan. Makin lama udara makin dingin.

“Hai! Apa yang terjadi di sini?! Mengapa tubuhku seperti beku?!” seru Nyanyuk Amber. Orang ini kerahkan tenaga dalamnya untuk melawan hawa dingin luar biasa itu, tapi sia-sia.

Pandansuri tersungkur ke tanah setelah kedua lututnya tertekuk tak sanggup lagi berdiri menahan dingin. Akan halnya Iblis Sesat Jalan Hidup, mahluk yang sebenar-nya sudah mati ini sama sekali tidak terpengaruh oleh ilmu kesaktian yang dikeluarkar Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Pemuda keparat! Kau boleh keluarkan segudang ilmumu! Tak satu pun yang bisa mencelakai apalagi membunuh Iblis Sesat Jalan Hidup!” habis berkata begitu Iblis Sesat Jalan Hidup menghantam dengan ilmu kuku api. Karena kali ini dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya yang ada maka lima larik sinar merah yang berkiblat panasnya bukan alang kepalang. Udara dingin serta merta punah dan murid Sinto Gendeng terpaksa jungkir balik selamatkan diri dari serangan lawan sambil memaki tegang!

Segitu merasa hawa dingin lenyap dengan tiba-tiba, Pandansuri cepat berdiri. Tepat pada saat Iblis Sesat Jalan Hidup berpaling ke arahnya dan kembali menghantam dengan pukulan topan pemutus urat. Namun sekali ini sang dara bergerak lebih cepat. Pukulan sakti “Surya Biru” yang dipelajarinya dari Nyanyuk Amber, yang sejak tadi ingin dikeluarkannya, kini begitu melihat kesempatan serta merta dipukulkan ke arah Iblis Sesat Jalan Hidup.

Di ujung jari-jari Pandansuri menderu sebentuk sinar biru, bergulung-gulung seperti mata kikir membuntal cepat ke arah sasaran, iblis Sesat Jalan Hidup berseru tegang melihat sinar biru yang datang menyambar. Sesaat dia tertegun bingung dan kecut, tak tahu apa yang harus dilakukan. Untuk menangkis pukulan sakti lawan dia kawatir cipratan atau taburan sinar biru masih sempat menyambar tubuhnya.

Mau tak mau dia terpaksa melompat ke samping untuk selamatkan diri. Celakanya dari samping Pendekar 212 Wiro Sableng kembati menghantam dengan pukulan sinar matahari. Akibatnya tubuh Iblis Sesat Jalan Hidup yang barusan lepas dari hantaman gulungan sinar biru, kini kembali terdorong dan langsung menabrak sinar biru pukulan sakti Pandansuri.

Terjadilah satu hal yang menggidikkan. Iblis Sesat Jalan Hidup terdengar menjerit seperti tolongan anjing. Tubuhnya mengeluarkan suara seperti besi panas membara yang dicelupkan ke dalam air. Sekujur kulit dan daging tubuhnya meleleh seperti dikelupas. Bau busuk sengit memenuhi udara. Tubuh yang kini hanya tinggal tulang-belulang itu —tak beda seperti jerangkong—terkulai lalu jatuh roboh ke tanah pekuburan. Lapat-lapat di kejauhan kembali terdengar suara seperti anjing melolong. Wiro rasakan bulu kuduknya berdiri sedang Pandansuri gemetar ngeri.

“Hai! Apa yang terjadi?!” terdengar Nyanyuk Amber bertanya. Pandansuri tak kuasa menjawab. Dirinya masih dicengkam rasa ngeri. Wiro akhirnya membuka mulut.

“Muridmu berhasil membunuh mahluk terkutuk itu...”

“Eh... Betul begitu? Ah, sungguh luar biasa!” kata Nyanyuk Amber. “Bagaimana kau bisa melakukannya Pandan?”

Sang dara masih belum bisa membuka mulut. Kembali /Viro yang menjawab. “Tubuh manusia iblis itu seperti lilin meleleh ketika muridmu menghantamnya dengan pukulan sakti yang memancarkan gulungan sinar biru

“Pukulan Surya Biru!” seru si orang tua. “Jadi itulah yang membunuhnya! Tuhan Maha Kuasa! Kini aku ingat! Iblis Sesat Jalan Hidup berpantang dengan segala sesuatu berwarna biru!”

Wiro kerenyitkan kening sedang Pandansuri berpaling memperhatikan wajah orang tua itu dalam gelap.

“Kini aku tahu mengapa dia tadi seperti ketakutan ketika muridku mendekatinya. Bukankah kau mengenakan jubahku yang berwarna biru... “

“Sulit kupercaya!” kata Wiro seraya garuk-garuk kepala.

“Jika kalian tidak percaya, coba tempelkan ujung jubahku pada sisa-sisa bangkai iblis itu!” berkata Nyanyuk Amber.

Pandansuri melangkah mendekati sosok jerangkong yang terhampar di tanah. Salah satu bagian ujung jubah yang menjela-jela diangkatnya lalu dilepaskannya tepat di atas batok kepala atau tengkorak jerangkong.

Cess!

Sang dara terloncat kaget dan cepat mundur. Nyanyuk Amber tertawa.

Seperti tadi pertama kali ketika sinar biru pukulan sakti yang dilepaskan Pandansuri, terdengar suara laksana besi panas dicelup ke dalam air sewaktu jubah biru menempel dengan tulang tengkorak.

Tengkorak itu sendiri kini tampak remuk seperti tertimpa batu besar dan berat!

“Kita patut bersyukur pada Tuhan! Satu lagi kejahatan punah dari muka bumi ini!” berkata Nyanyuk Amber. Lalu seperti menggerutu orang tua ini berseru: “Hai! Apakah kalian akan membiarkan aku setengah telanjang seperti ini?!”

“Kami akan membawamu ke Pasir Putih, guru,” menjawab Pandansuri. Lalu dia berpaling pada Wiro. Sesaat dara ini menatap wajah pemuda yang selama ini selalu dikenangnya. Ketika sang pendekar balas menatap, wajah Pandansuri langsung berubah merah.

Cepat-cepat dia berkata: “Sahabat, tugasmu mendukung guruku sampai ke rumah!”

“Ah, aku selalu kebagian pekerjaan yang tidak enak. Tapi tak apa.

Aku lebih suka mendukung tubuh gurumu daripada disuruh memakai jubah birunya yang butut dan sedap baunya itu!”

“Hai! Jangan menghina jubahku! Ingat, kau pernah kususupkan dalam jubah itu ketika Raja Rencong mencarimu!” berseru Nyanyuk Amber.

Wiro menyeringai. Tapi dia terus saja menggoda Pandansuri. “Kau tahu...” katanya pada gadis itu. “Kalau aku tidak salah hitung, paling tidak jubah itu tak pernah dicuci selama sepuluh tahun! Dan itu yang kau pakai sekarang! Hah... ha... ha! Apakah tubuhmu tidak merasa gatal?!”

“Kau keterlaluan! Menghina guru dan menggoda orang!” kata Pandansuri. Lalu gadis ini balikkan diri dan tinggalkan tempat itu. Wiro tak bisa berbuat lain daripada mendukung Nyanyuk Amber di punggungnya dan mengejar Pandansuri yang berlari menuju kampung Pasir Putih.

 

TAMAT

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler