Skip to Content

SERIAL WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 EPISODE 073: GUCI SETAN

Foto SIHALOHOLISTICK
files/user/3199/WS073.jpg
WS073.jpg

SATU

 

Lereng gunung Merbabu di satu malam buta tanpa bulan tanpa bintang. Udara dingin bukan kepalang. Kegelapan menghitam di mana-mana. Di beberapa tempat bahkan sulit ditembus pandangan mata. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara lolongan anjing. Ketika angin malam bertiup segala sesuatunya laksana membeku dalam dingin yang luar biasa.

Sekali terdengar lolongan anjing di kejauhan. Tiba-tiba di selatan lereng gunung kelihatan ada yala api bergerak cepat sekali menuju ke timur. Bersamaan dengan itu terdengar suara menderu tak berkeputusan seperti ada sesuatu yang menggerus menjalar perut gunung.

Dalam kegelapan yang kini mendapat cahaya terang dari nyala api ternyata ada empat sosok tinggi besar bergerak menuju ke timur. Sosok pertama adalahseorang laki-laki berpakaian serba hitam. Baujnya tidak berkancing. Dadanyakelihatan penuh ditumbuhi bulu lebat. Bulu ini juga tampak di sepanjang kedua lengan dan kakinya. Tampangnya yang sangar dan buas hampir tertutup oleh rambut gondrong awut-awutan, kumis lebat riap-riapan menjuntai bibir serta brewok cambang bawuk yang meranggas liar. Sepasang matanya kelihatan merah dan berkilat-kilat oleh nyala api. Sebenarnya orang ini belum mencapai usia empat puluhan namun keadaan dirinya yang seperti itu membuat dia seperti sudah berumur hampir setengah abad.

Ada beberapa keanehan yang membuat orang bergidik pada manusia satu ini, yang berlari di sebelah depan. Di bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh perempuan yang sudah tidak bernafas lagi alias sudah jadi mayat sejak dua minggulalu. Mayat ini tidak sampai rusak atau membusuk karena sebelumnya telah disiram dengan sejsnis obat pengawet. Mayat yang didukung dan dibawanya berlari itu adalah mayat seorang perempuan muda berwajah cantik. Namun sepasang matanya yang membeliak menghapus kecantikannya dan kini kelihatan sangat menyeramkan denga rambut panjang riap-riapan. Apalagi pada lehernya terlihat sebuah luka dalam melintang.

Lelaki tinggi besar ini ternyata buntung kaki kirinya. Kaki yang buntung itu disambung dengan sebatang besi. Pada batangan besi sebelah bawah terdapat sebuah roda bergerigi. Dengan roda gerigi inilah dia meluncur di sepanjang lereng gunung dalam kecepatan sungguh luar biasa hingga tiga orang di belakangnya sering-sering tertinggal jauh.

Dalam pelukan tangan kanannya orang berpakaian serba hitam ini membawa sebuah guci yang bagian luarnya berukir wajah-wajah setan seram, berselang seling dengan gambar tengkorak manusia. Dari dalam guci keluar kepulan asap putih serta lidah api. Nyala api inilah yang terlihat di kejauhan, menerangi tempat-tempat yangdilalui dan terutama sekali menerangi tampang seram orang itu.

Di sebelah belakang lelaki yang memanggul mayat perempuan dan membawa guci berapi berlari cepat tiga orang berpakaian serba merah. Tampang masing-masing tak kalah seram dan buas. Yang satu memiliki wajah berwarna hitam. Satunya lagi bertampang hijau sedang yang ketiga bermuka biru gelap. Masing-masing mereka memanggul sebuah pikulan di bahu kanan. Pada ujung pikulan di atas bahu tergantung sebuah keranjang yang terbuat dari rotan.

“Ramada!” seru salah satu dari ketiga lelaki yang berlari di belakang dan berwajah hitam pada orang yang membawa mayat dan guci. “Kita sudah berlari serasa seabad. Kuharap saja kita tidak pergi kea rah yang salah!”

“Betul sekali Ramada!” ikut membuka mulut lelkai bermuka hijau. “Kalau sampai tersesat di gunung ini celakalah kita!”

“Tenggorokanku sudah kering! Nafasku seperti mau keluar dari ubun-ubun.

Apakah kita tidak bisa berhenti barang sebentar?!” berkata lelaki berpakain merah ketiga yaitu yang mukanya berwana biru gelap.

Sepertinya orang yang di sebelah depan tidak akan menjawab. Namun sesaat kemudian terdengar suaranya keras dan membuat tiga orang di belakangnya menjadi terdiam kecut.

“Kalian bertiga kurcaci-kurcaci tolol! Dengar baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku Ramada tidak akan tersessat di gunung ini. Aku tahu setiap sudut gunung merbabu ini seperti aku mengenali kedua telapak tanganku! Siapa di antara kalian yang merasa haus atau lapar, minum saja air kencingmu sambil berlari. Makan kotoranmu sambil berlari!”

Tiga lelaki berpakai merah jadi terbungkam kecut.

“Aku ingin mendengar jawaban kalian!” Orang bernama Ramada berteriak.

“Maafkan kami Ramada!” kata ketiga orang itu berbarengan.

Ramada meludah ke tanah. Dia terus meluncur di atas roda besinya. Tiga orang anak buahnya itu mengikuti tanpa ada yang berani lagi membuka mulut.

Berlari sekitar sepenanakan nasi di sebelah depan kelihatan kedip-kedip nyala api kecil. Ramada segera melihat nyala api itu. Begitu juga tiga orang di belakangnya.

Mereka berlari lebih kencang menuju nyala api itu. Ketika didekati ternyata adalah nyala sebuah obor kecil yang berkalp kelip pertanda minyaknya hampir habis. Obor ini tergantung pada sebuah tiang besi sebuah bangunan beratap seng yang sekelilingnya dibatasi dengan pagar besi setinggi tubuh manusia dan pintunya digembok sampai tiga buah. Di bawah atap seng itu berjnutai banyak sekali sarang labah-labah. Ada enam ekor labah-labah besar kelihtan mendekam dalam dinginya udara malam.

Sebuah makam terbuat dari batu tampak menghitam angker dalam bangunan beratap seng itu. Di atas makam ada taburan bunga yang sudah layu. Di samping kiri makam di atas sebuah batu rendah panjang tampak duduk bersila seorang lelaki berjanggut dan berkumis putih. Wajahnya yang tertunduk tidak begitu jelas terlihat.

Blangkon dan pakaian hitam yang dikenakannya sudah tua dan lusuh. Orang ini duduk bersila memejamkan mata. Kedua tangan ditumpangkan di atas bahu. Kalau dia tengah bersemedi maka ini adalah cara bersemedi yang aneh.

Ramada menggerakkan kepalanya hingga keringat yang membasahi tambutnya berlesatan ke udara. Dia berpaling pada tiga orang di belakangnya. “Kita tidak salah datang ke tempat tujuan. Ini pastilah makam Pangeran Banowo dan orang yang bersemedi itu pasti kuncen penjaga makam. Namanya Ki Ageng Lentut.”

Tiga orang lelaki berpakaian merah hanya menganggukkan kepala. Sejak dibentak tadi meraka belum berani membuka mulut lagi. Takur salah berucap. Ramada maju mendekati pintu besi yang digembok tiga. Dia mendehem keraskeras lalu berkata dengan suara keras.

“Ki Ageng Lentut, salam bagimu. Salam juga bagi penghuni makam. Sesuai petunjuk aku datang untuk meminta penjelasan atas beberapa hal yang tidak aku ketahui!”

Orang yang duduk di samping makam tidak bergerak. Kepalanya masih tertunduk dan tangannya masih terletak di atas bahu. Ramada menunggu sebentar. Ketika tak kunjung ada gerakan atau jawaban dari orang di samping makam maka diapun berteriak lebih keras, mengulang ucapannya tadi. Tapi orang di samping makam tetap saja tidak bergerak dan tidak memberikan jawaban.

Ramada mulai jengkel. “Sialan! Tidur lelap atau mungkin tuli dia agaknya!”

Dia berpaling pada salah seorang anak buahnya dan berkata “Jalak Item. Amil batu itu dan lemparkan pada si kuncen. Arah kepalanya biar dia tahu rasa!”

Orang yang bernama Jalak Item yang mukanya memang berwarna hitam sesaat tampak bimbang. “Ramada….” Katanya setengah berbisik, “aku kawatir kita berlaku kurang ajar dan menyalahi aturan. Kuncen itu….”

“Setan! Kataku ambil batu di dekat kakimu itu dan lempar kuncen penjaga kuburan itu!” bentak Ramada.

Jalak Item terpaksa membungkuk. Begitu menggenggam batu dia tidak segera melempar. Hatinya berdebar. Dia memandang pada kedua temannya Jalak Ijo dan Jalak Biru. Kedua orang ini hanya bisa dia tak berani memberi isyarat ataupun mengeluarkan ucapan.

“Jalak Item! Kau tunggu apa lagi!” bentak Ramada.

Jalak Item akhirnya garakkan tangannya yang memegang batu. Batu sebesar kepalan itu dilemparkannya kea rah kepala kuncen yang tengah bersemedi di samping makam. Jalak Ijo dan Jalak Biru menahan nafas sementara Ramada tampak menyeringai.

Sejengkal lagi batu besar itu akan menghantam kepala kuncen tiba-tiba secara aneh batu itu berbalik mencelat kencang kea rah Jalak Item.

“Jalak Item! Awas kepalamu!” teriak Jalak ijo.

Jalak Item cepat melompat mundur sambil menundukkan kepalanya. Tapi terlambat. Batu itu datangnya secepat setan berkelebat. Lalu menghantam mata kiri Jalak Item dengan telak.

Crrooootttt!

Batu besar menghancurkan mata kiri Jalak Item. Darah dan hancuran mata muncrat keluar. Jeritan Jalak Item setinggi langit. Dia jatuh terduduk di tanah dan berguling-guling beberapa kali. Ramada cepta mendatangi. Dia menotok salah satu bagian leher anak buahnya itu. Rasa sakit serta merta lenyap tapi darah masih terus mengucur dari matanya yang hancur, menutupi sebagian muka Jalak Item hingga tampak mengerikan.

Dari arah makam tiba-tiba terdengar suara tertawa mengekeh.. Disusul suara orang menegur.

“Tamu-tamuku yang terhormat, apakah kalian mendapatkan kesulitan? Mungkin aku isa membantu?!”

Jalak Ijo dan Jalak Biru melengak. Jalak Item cepat duduk sambil mendekap mata kirinya sementara tangan kanannya menjangkau pikulannya. Ramada memalingkan kep[ala kea rah makam. Kuncen berkumis dan berjanggut putih itu dilihatnya masih seperti tadi. Duduk tak bergerak dengan kepala tertunduk.

“Hemmm…. Kalau bukan dia tadi yang bicara siapa lagi?” kata Ramada dalam hati. “Jika saja aku tidak sangat membutuhkan dirinya akan kulumat sekujur tubuhnya anjing keparat ini saat ini juga!” Setelah memaki begitu Ramada keluarkan tawa panjang lalu berkata.

“Ki Ageng Lentut, ternyata nama besarmu bukan hisapan jempol belaka!”

“Tamu-tamu yang datang dari jauh, mengapa tidak masuk ke sini!” Kuncen dekat makam berkata. Kepalanya terangkat sedikit. “Cepatlah masuk. Aku tidak akan menerima tamu pada saat obor di tiang timur habis minyaknya dan padam!”

“Terima kasih. Kami berempat akan segera masuk. Tapi bagaimana ini. Pintu pagar makam terkunci. Ada tiga gembok besar menghalangi. Apakah harus kuremukkan dulu dengan tangan kosong?!” ujar Ramada.

***

 

DUA

 

Dari arah makam terdengar suara mengekeh sang kuncen yang bernama Ki Ageng Lentut itu. Kembali kepalanya tengakat sedikit.

“Aku tahu kehebatan tangan dan kesaktianmu. Siapa yang tidak kenal Ramada Suro Jelantik, raja di raja tokoh persilatan darai timur. Aku yakin kau bisa menghancurkan tiga buah gembok besar itu dengan tangan kosong. Tapi apakah ada gunanya? Merusak itu tidak ada manfaatnya! Lagi pula tiga buah gembok itu adalah benda-benda pusaka yang usianya hampir dua kali usiamu!”

Dalam hatinya Ramada jadi tercekat. “Kenalpun sebelumnya tidak. Dari tadi dia hanya menundukkan kepala, tidak mungkin melihat tampangku dengan jelas. Tapi bagaimana dia tahu nama dan diriku? Benar-benar manusia berkepandaian tinggi!”

“Kuncen makam Pangeran Banowo bernama Ki Ageng Lentut. Bagaimana kau bisa tahu bahwa yang datang ini aku Ramada Suro Jelantik?” Ramada tak dapat menahan rasa ingin tahunya. Sang kuncen di samping makam tertawa perlahan.

“Di dunia ini siapa manusianya yang berjalan laksana angin di atas roda besi yang hebat kalau bukannya Ramda Suro Jelantik? Dari jauh kudenar suara alat yang mampu membuatmu berlari dengan kecepatan setan! Lalu kucocokkan dengan bau badanmu! Tidak salah lagi. Kau memang Ramada Suro Jelantik!”

Ramada memaki lagi dalam hati lalu menarik nafas dalam dan akhirnya menyeringai.

“Ki Ageng Lentut, kuncen makam Pangeran Banowo. Kami ingin masuk, harap kau suka membuka tiga buah gembok!” Akhirnya Ramada berkata.

“Baiklah, aku akan bukakan pintu pagar!” Kuncen di samping makam angkat tangan kanannya lalu digerakkan tiga kali.

Trekk….terkk…..treekkkk!

Terdengar suara berkereketan tiga kali berturut-turut. Tiga buah gembok besar di pintu pagar makam tampak tersentak-sentak lalu terbuka secara aneh. Bersamaan dengan itu pintu besi yang berat bergeser membuka dengan mengeluarkan suara berkereketan.

“Para tamu dari jauh silakan masuk….” Terdengar kuncen makam berkata.

Tanpa ragu-ragu Ramada melangkah melewati pintu. Jalak Ijo dan Jalak Biru mengikuti dari belakang. Jalak Item yang masih terduduk di tanah berkata “Aku tidak ikut masuk. Kuncen keparat itu telah menghancurkan dan membutakan mata kiriku!”

Dari arah makam sang kuncen menyahuti. “Setiap amal perbuatan ada ganjarannya. Kalau baik akan mendapatkan ganjaran yang baik. Kalau jahat akan mendapatkan balasan yang jahat. Tinggal manusia mau memilih yang mana. Kalau sampeyan tidak mau diajak masuk, siapa mau memaksa…?”

“Sudah! Kau tinggal saja di luar sana Jalak Item!” kata Ramada pada anak buahnya itu lalu meneruskan langkah masuk ke dalam makam.

Ki Ageng Lentut mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Kini kelihatan wajahnya lebih jelas. Satu wajah tua kelimis dengan janggut dan kumis putih yang terpelihara rapi. Keningnya tinggi dan rahangnya tampak kokoh.

“Ramada, aku tak mengira banyak sekali bawaanmu,” kata Ki Ageng Lentut.

Pandangannya menyambar ke arah guci batu yang ada dalam dekapan tangan kanan Ramada. “Dan bukan Ramada namanya kalau tidak membawa benda-benda aneh. Kau boleh meletakkan jenazah yang diawetkan itu di atas makam dan letakkan guci itu dekat batu tempat dudukku!”

“Maafkan aku Ki Ageng Lentut. Jenazah ini bias kuletakkan di atas makam. Tapi guci ini biar tetap kupegang di tangan kanan….!” Kata Ramada Suro Jelantik.

Sang kuncen tersenyum.

“Ah, rupanya guci itu jauh lebih berharga dari jenazah perempuan muda dan cantik yang kau bawa.”

“Kira-kira begitu Ki Ageng Lentut,” jawab Ramada.

Sang kuncen usap janggut putihnya sambil menatap ke arah guci yang ada dalam dekapan tangan kanan Ramada. Pandangannya beralih ke arah mayat yang terbujur di atas makam. Lalu dia bertanya “Ramada, mayat siapakah yang kau bawa ini?”

“Mayat istriku Ki Ageng….”

Ki Ageng Lentut keluarkan seruan tertahan disertai pandangan mata seperti tidak percaya. Lalu digeleng-gelengkannya kepalanya.

“Ah, rupanya tokoh besar dunia persilatan dating membawa nasib malang. Aku turut berduka Ramada. Namun apakah sebenarnya yang telah terjadi? Aku melihat istrimu mati dengan sepasang mata mendelik. Lalu ada luka besar di dekat lehernya. Setahuku istrimu menguasai ilmu silat dan kesaktian yang tidak rendah. Bagaimana mungkin dia bisa menemui ajal seperti ini? Bebanmu berat amat Ramada. Membawa mayat istrimu kemana-mana…..”

“Aku akan membawanya sampai ke neraka sekalipun. Aku tidak akan menguburnya sebelum menemukan pembunuhnya!”

“Jadi istrimu mati dibunuh orang!”

“Betul sekali Ki Ageng. Aku berusaha mencari tahu siapa orangnya. Tapi sampai saat ini masih gelap. Itu sebabnya aku datang dari jauh untuk menemuimu guna mendapat petunjuk! Itu pula sebebnya aku membawa guc keramat yang bernama Guci Setan ini. Menurut banyak orang hanya kau yang bisa melihat kealam ghaib lewat guci ini.”

Kuncen makam Pangeran Banowo itu memandangi guci di tangan Ramada dengan sepasang mata berkilat-kilat.

“Guci Setan…..” desisnya. “Sudah lama aku mendengar nama benda ini. Guci misterius yang bisa mendatangkan sejuta kebajikan tapi juga bisa menimbulkan sejuta angkara murka! Guci yang selama ratusan tahun gentayangan dari satu tangan orang pandai ke tangan orang pandai lainnya. Menjadi rebutan dalam dunia persilatan.

Bagaimana benda keramat ini sampai berada di tanganu Ramada?”

“Panjang ceritanya Ki Ageng. Harap dimaafkan, aku datang kemari bukan untuk menuturkan riwayat Guci Setan ini, tapi untuk minta bantuanmu, tolong melihat lewat guci, siapa kiranya manusia keparat yang telah membunuh istriku.”

“Jika itu maksud tujuanmu, aku akan membantu. Mudah saja melakukannya. Memang hanya aku yang mampu untuk melihat dan menembus kea lam gaib lewat guci sakti itu. Letakkan guci itu di hadapanku Ramada.”

“Tidak Ki Ageng. Apapun yang akan kau lakukan guci ini tetap harus berada dalam dekapanku,” jawa Ramada Suro Jelantik.

Kuncen tua itu tersenyum. “Kau tidak percaya padaku rupanya Ramada?”

“Kepercayaan di atas dunia ini kini hanya setipis embun pagi Ki Ageng. Terserah, kau mau menolongku dengan cara begini ataau aku akan pergi saja.”

“Baiklah, jika kau memang lebih suka begitu aku tidak akan membantah. Sekarang katakana berapa banyak harta dan uang yang akan kau berikan padaku sebagai upah melakukan permintaanmu?”

Ramada Suro Jelantik menyeringai. Dirabanya janggut dan cambang bawuknya yang meranggas kasar.

“Kau lupa Ki Ageng. Aku sudah membayarnya tadi!”

“Eh, apa maksudmu Ramada?” tanya kuncen makam terheran-heran.

“Aku sudah membayar dengan mata kiri anak buahku yang kau bikin hancur hingga kini dia menjadi cacat buta seumur hidup! Apa itu belum cukup?!”

Berubahlah paras Ki Ageng Lentut. Mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu tapi cepat dipotong oleh Ramada. “Aku tahu, kau akan berkata kejadian itu akibat salah anak buahku sendiri! Tapi ketahuilah bukan begitu cara mengingatkan sahabat dalam dunia persilatan! Batu yang dilemparkannya bisa saja kau buat mental ke jurusan lain! Bukan utnuk menghantam matanya hingga cidera seperti itu!”

Ki Ageng Lentut terdiam. Lalu dia berkata “Kurasa aku….”

Ramada Suro Jelantik menjentikkan jari-jari tangannya pada Jalak Ijo. “Jalak Ijo, kurasa binatang peliharaanmu sudah cukup lapar. Ada enam labah-labah gemuk di atas atap makam. Mengapa kau tidak menyuruhnya menyantap tiga dari enam labah-labah itu?”

Jalak Ijo menyeringai. Pikulan di atas bahunya diturunkan. Keranjang yang ada di ujung pikulan diletakkannya di atas pangkuannya. Perlahan-lahan penutup keranjang rotan itu dibukanya. Begitu penutup keranjang terbuka tiba-tiba melesat sebuah benda panjang berkepala lebar pipih, berwarna hijau disertai suara mendesis.

“Ular Kobra!” seru Ki Ageng Lentut dengan muka pucat dan bersurut jauh di atas batu yang didudukinya. “Ramada, jangan main-main. Binatang itu sangat beracun. Sekali patuk saja jangankan manusia. Gajah saja pasti mati! Jauhkan binatang celaka itu dariku! Aku sangat bendi pada segala macam ular!”

Ramada tersenyum lebar. Dia melirik pada Jalak Ijo.

“Ayo tunggu apa lagi. Beri makan ular kobramu. Walau cuma tiga ekor labah-labah.  Lebih baik dari pada harus mematuk kepala kuncen makam ini!”

Jalak Ijo yang memegang keranjang rotan berisi ular kobra betina mengetuk keranjang itu tiga kali seraya berkata “Ratu hijau. Lihat tiga ekor labah-labah gemuk di atas atap sana. Itu rejekimu saat ini. Santaplah!”

Kobra hijau di dalam keranjang menaikkan kepalanya lurus-lurus. Tiba-tiba binatang ini melesat ke atas. Ketika kemudian dia kembali masuk ke dalam keranjang, di bawah atap seng tiga ekor labah-labah gemuk lenyap dari tempatnya semula!

Jalak Ijo Menyeringai. Perlahan-lahan penutup keranjang rotan ditutupkannya kembali. Kuncen makam Pangeran Banowo tak berani bergerak. Berkesippun hampir tidak dilakukannya. “Ular beracun itu kecepatannya seperti setan. Aku harus berhatihati. Mungkin belum saatnya aku menjalankan rencana….”

Selagi kuncen berpikir begitu terdengar Ramada Suro Jelantik berkata pada anak buahnya yang seorang lagi. “Jalak Biru, kukira binatang peliharaanmu juga sudah lapar. Sayang hanya tingal tiga ekor labah-labah di atas sana. Bagaimana pendapatmu?”

“Biar mereka berebut rejeki sendiri-dendiri. Siapa yang lebih cepat akan mendapat santapan enak,” jawab Jalak Biru. Lalu dengan hati-hati diturunkannya pikulannya dari bahu. Keranjang rotan yang tesangkut di ujung pikulan itu diletakkannya di lantai makam. Perlahan-lahan dibukanya penutup keranjang. Begitu penutup terbuka menjalar keluar tujuh ekor kelabang berwarna biru. Kepala, kaki-kaki dan ekornya bergerak kian kemari.

Kembali Ki Ageng Lentut bergidik dan bersurut mundur di atas batu yang didudukinya. Ramada tersenyum dan berkata “Ki Ageng, kebuasan dan jahatnya racun tujuh Kelabang Biru itu tidak kalah dengan Ratu Hijau tadi. Jangan sampai kau membuat erakan yang keliru. Salah-salah kau bisa mereka serang!”

“Kalian membawa binatang-binatang celaka!” kaata Ki Ageng Lentut tak berani keras-keras.

“Jalak Biru. Beri makan binatang peliharaanmu!” kata Ramada pula.

Jalak Biru mengetuk penutup keranjang rotan tiga kali lalu berkata “Sarapan malam cuma ada tiga. Terserah bagaimana kalian mau merebutkannya!” Lalu Jalak BIru meniup kea rah keranjang. Tujuh ekor kelabang biru itu mengeluarkan suara aneh lalu ketujuhnya melesat ke atas. Tiga yang melesat lebih cepat berhasil menyambar tiga ekor labah-labah. Yang keempet jatuhkan diri kembali ke dalam keranjang rotan. Selesai menelan mangsanya, tiga kelabang biru tadi baru turun pula ke dalam keranjang. Jalak Biru cepat menutup keranjang rotan itu kembali.

Ki Ageg Lentut menarik nafas lega. Nyawanya yan gtadi terasa terbang kini seperti kembali lagi.

“Ki Ageng Lentut, apakah kau masih ingin meminta bayaran?” bertanya Ramada pada sang kuncen. Orang tua berjanggut dan berkumis putih itu gelengkan kepalanya berulang kali dengan wajah pucat.

“Nah sekarang pergunakan kepandaianmu untuk melihat kea lam gaib. Siapa yang telah membunuh istriku.” Kata Ramada pula.

“Baik, baik. Akan kulakukan,” kata si kuncen ketakutan. Dia trun dari batu tempatnya duduk lalu berdiri di hadapan Ramada yang mendekap guci berapi itu dalam gelungan tangan kanannya.

Mula-mula Ki Ageng Lentut meletakkan kedua telapak tangannya di atas mulut guci yang mengepulkan asap putih dan ada jilatan apinya. Lalu kedua matanya dipejamkan. Multunya berkomat kamit. Beberaa saat kemudian kelihatan sekujur tubuh kuncen itu bergetar keras. Kedua telapak tangannya yang ada di atas mulut guci ikut bergetar. Lalu dari mulutnya meluncur ucapan-ucapan “Guci Setan guci keramat. Petunjuk bumi petunjuk langit. Lenyap asap padamlah api. Muncullah air keramat. Ada orang ingin minta pertolongan. Sudi kiranya penguasa guci memberi jawaban memberi petunjuk.”

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Ramada, Jalak Ijo dan Jalak Biru melihat begaimana sekujur tubuh Ki Ageng Lentut berubah menjadi sangat hitam. Kulitnya tampak mengeriput dan wajahnya jadi sangat mengerikan. Hidung dn kedua matanya membesar. Telinganya mencuat panjang ke atas dan gigi-giginya menyembul panjang besar. Lalu dari multunya keluar suara aneh. Bukan suaranya. Tapi suara lain, halus menggeletar.

“Aku penghuni dan penguasa Guci Setan. Anak manusia apa yang ingin kau tanyakan? Tapi katakan dulu siapa namamu.”

Sesaat Ramada memandang tercekat pada perubahan yang terdiri atas wajah dan keadaan tubuh kuncen penjaga makam itu. Demikian juga dengan dua anak buahnya yaitu Jalak Ijo dan Jalak Biru.

“Penghuni dan penguasa Guci Seetan. Namaku Ramada Suro Jelantik….”

“Apa keperluanmu Ramada?” tanya sang kuncen yang kini punya bentuk dan suara lain.

“Aku ingin mengetahui siapa pembunuh istriku,” jawab Ramada.

Terdengar suara mengekeh.

“Setahuku kau punya empat istri Ramada. Istrimu yang mana yang dibunuh orang?”

Sesaat paras Ramada nampak berubah. Dia berdehem beberapa kali lalu menjawab. “Istri tua dan istri keduaku minggat entah kemana. Istri ketiga sudah kucerai karena main gila dengan orang lain…”

“Ah, jadi istri mudamu rupanya yang dibunuh orang!” kata si penghuni Guci Setan.

“Siapa nama istrimu yang malang itu?”

“Namanya Dardini….”

“Hemm….jadi kau ingin tahu siapa nembunuhnya?”

“Betul. Siapa orangnya dan dimana aku bisa mencarinya!” jawab Ramada.

Kuncen itu melangkah lebih dekat pada Ramada. Kedua telapak tangannya diletakkan di atas mulut guci dimana kepulan asap dan jilatan lidah api. Kalau Ramada telah membuktikan kehebatannya sanggup memegang dan mendekap guci yang panas tanpa cidera, maka kuncen makam memperlihatkan kesaktiannya dimana kedua tangannya sama sekali tidak apa-apa walaupun dijilati api.

“Api di dalam guci, penghuni dan penguasa guci meminta kau untuk pergi. Air di alam gaib. Masuk dan isilah Guci Setan. Penghuni dan penguasa guci hendak melihat ke dalam alam gaib…… Ada anak manusia membutuhkan pertolongan.”

Baru saja kuncen itu berkata begitu perlahan-lahan api di dalam guci mengecil. Bersamaan dengan itu kepulan asap putih menghilang. Lalu dari dalam guci terdengar suara seperti ada air dicurahkan. Ramada merasa guci yang dipegangnya itu menjadi lebih berat. Dia membuka matanya lebar-lebar dn memandang ke dalam guci. Astaga! Di dalam guci itu kini kelihatan ada air yang tingginya sampai setengah badan guci. Air ini secara aneh berputar-putar denah bersamaan dengan itu terdengar suara aneh seperti tiupan angin halus di dalam guci.

***

 

TIGA

 

Ki Ageng Lentut mendorong kepala Ramada yang menghalangi pemandangannya. Lalu memandang ke dalam guci.

“Air keramat dan angin sakti telah muncul. Penguasa guci telah melihat dan mendengar. Sekarang perlihatkan mukjizatmu. Ada seorang anak manusia bernama Ramada Suro Jelantik kematian iatri bernama Dardini. Perempuan muda itu mati dibunuh orang. Perlihatakan kesaktianmu padaku. Tunjukkan padaku siapa sang pembunuh!”

Putaran air aneh di dalam guci semakin keras begitu juga tiupan angin halus. Guci bergoncnag keras. Ramada terpaksa memegang Guci Setan itu erat-erat agar tidak terlepas dari dekapannya.

Perlahan-lahan putaran air dalam guci mulai surut. Bersamaan dengan itu suara tiuapan angin halus mulai lenyap. Kuncen Ki Ageng Lentut pejamkan kedua matanya. Ketika mata itu dibuka kembali dan menatap ke dalam guci, kelihatan air dalam guci tak bergereak lagi. Bibir sang kuncen kelihtan bergerak-gerak. Dia tengah melafazkan sesuatu agaknya. Lalu terdengar dia berucap.

“Aku penghuni dan penguasa Guci Setan. Aku mulai melihat bayangan seseorang di permukaan air dalam guci. Jauh samar-samar. Mendekat mulai jelas. Makin jelas….tambah jelas. Ah…..ternyata seorang pemuda…..”

“Kuncen, kau mengenali siapa pemuda itu?!” tanya Ramada Suro Jelantik yang rupanya sudah tidak sabar utnuk mengetahui siapa adanya orang yang membunuh istrinya.

Sang kuncen yang wajahnya dan kulitnya telah berubah hitam mengerikan menggeram pendek. “Manusia anjing!” meluncur makina dari mulutnya. “Sekali lagi kau berani menyelak bicara, kupevahkan kepalamu!”

“Bangsat sialan!” maki Ramada Suro Jelantik, tapi hanya dalam hati. Ingin dia merobek mulut kuncen tua itu.

“Maafkan aku….” Ujar Ramada dengan suara bergetar menahan marah lalu mengusap mukanya yang keringatan.

Ki Ageng Lentut menurunkan kepalanya, memandang kembali ke dalam guci.

“Betul…..memang seorang pemuda. Berambut gondrong sebahu….. Keningnya  diikat setangan warna putih. Dia juga mengenakan pakaian putih…. Hemmmm….. lagaknya sombong sekali. Cengar-cengir seperti orang kurang waras….”

Ki Ageng Lentut mengangkat kepalanya. “Ramada, itu yang aku lihat di permukaan air dalam guci. Pembunuh istrimu adalah seorang pemuda berambut gondrong, mengenakan pakaian putih….”

“Jauh-jauh aku datang menempuh hujan dan teriknya matahari. Kau hanya bisa memberi tahu seperti itu! Sama sekali tidak ada gunanya bagiku! Persetan! Ada ratusan orang berpakaian putih! Ada ratusan orang berambut gondrong! Kuncen makam Pangeran Banowo, kau benar-benar mengeewakan aku. Ilmu kesaktianmu yang pandai mengetahui seribu satu macam kejadian yang sudah lalu maupun yang akan datang ternyata omong kosong belaka!”

Kuncen tua itu tertawa. “Manusia Anjing! Ucapanku belum selesai. Kau sudah memotong! Katakan aku yang salah atau kau yang tolol tidak tahu peradatan?!”

“Lalu apa lagi yang hendak kau katakan? Apakah kau tidak bisa mengenali siapa adanya pemuda itu?!”

Ki Ageng Lentut usap-usap janggutnya lalu rapikan blangkon hitamnya. Sesaat setelah dia menatap lekat-lekat pada Ramada, kuncen ini kembali melihat ke dalam guci.

“Hemmm….angin meniup baju pemuda yang tak terkancing. Dada penuh otot, tanda kekuatan yang hebat. Eh, apa itu….. Aku melihat sesutau di pertengahan dadanya. Ada rajah tiga buah angka di dada itu. Angka 2….1….2….! 212!” Paras Ki Ageng Lentut berubah keras membesi. Dia mengangkat kepala, menatap manusia bernama Ramada Suro Jelantik. “Anak manusia bernama Ramada. Aku sudah tahu siapa pembunuh istrimu…. Tak pelak lagi. Rajah tiga angka itu! Dia adalah Wiro Sableng. Tokoh silat muda yang dikenal dengan gelaran Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Benar-benar tidak disangka! Pendekar yang begitu diagung-agungkan ternyata adalah seorang pemerkosa dan pembunuh keji biadab!”

Tampang angker Ramada Suro Jelantik tampak seganas harimau lapar yang terluka. Sekujur tubuhnya bergeletar.

“Pendekar 212 keparat!Akan kutebas batang lehermu! Kuminum darahmu! Kulumat sekujur tubuh dan tulang-tulangmu!” teriak Ramada. Dalam amarah yang mendidih tidak terkendali lagi tangan kirinya bererak memukul ke samping.

Tiang besi penyanggah atap seng bangunan makam putus dihantam pukulan Ramada. Atap di atasnya langsung jatuh miring. Kuncen makam hendak memaki marah tapi Ramada lebih dahulu membentak garang hingga mulut sang kuncen seperti terkancing.

“Jadi dia pembunuhnya! Kuncen! Lihat lagi k edalam guci! Pergunakan kepandaianmu untuk melihat dimana pemuda keparat itu saat ini berada!”

Perlahan-lahan Ki Ageng Lentut kembali melihat ke dalam guci. “Aku lihat pemandangan seperti ada laut. Pantai…. Pemuda pembunuh itu berada di pantai. Tapi tak dapa kupastikan apakah dia berada di pantai Utara atau di pantai Selatan…..”

“Kuncen!”

“Tunggu dulu! Dalam guci aku melihat gambaran apa yang telah terjadi dengan istrimu. Aku melihat satu bangunan kayu di sebuah lembah yang ada danau kecil di depannya….”

“Itu tempat kediamanku!!” kata Ramada pula.

“Gelap….. Pertanda saat itu malam hari. Ada bayangan putih berkelebat. Orang ini menerobos masuk ke dalam sebuah kamar lewat jendela. Ada seorang perempuan berbaring tidur di atas ranjang…”

“Itu pasti istriku Dardini!” kata Ramada tegang. Kedua tangannya dikepalkan. Ki Ageng Lentut memandang kembali ke dalam guci. “Istrimu terbangun….. Terjadi perkelahian tapi singkat sekali. Orang yang masuk berhasil menotok perempuan itu. Dalam keadaan tak berdaya dia dibaringkan di atas ranjang. Seluruh pakaiannya dibuka dengan paksa. Lalu….. Ya ampun….. Orang itu memperkosa istrimu Ramada…..”

“Jahanam!” teriak Ramada sambil tegak berdiri. Dia seperti hendak mengamuk. Tapi Ki Ageng Lentut cepat berkata.

“Duduk kembali Ramada. Apa yang kulihat di dalam guci ini belum selesai….”

Untuk beberapa saat lamanya Ramada masih tetap berdiri dengan sekujur tubuh bergetar dan keringatan. Kemudian akhirnya dia duduk kembali di hadapan kuncen itu. Sang kuncen melihat lagi ke dalam guci. “Betul Ramada dia memperkosa istrimu. Tapi lihat! Istrimu tiba-tiba bisa melepaskan totokannya. Hebat sekali!

Kembali terjadi perkelahian. Istrimu berhasil mendesak pemuda itu. Eh, apa itu? Aku melihat ada cahaya menyilaukan berkiblat. Hemmm, si pemuda ternyata mengeluarkan sebuah senjata. Sebuah kapak bermata dua! Jelas ini adalah Kapak Maut Naga Geni 212! Istrimu tidak berdaya menghadapi senjata sakti itu Ramada. Satu bacokan mendarat dekat pangkal lehernya….. Istrimu roboh. Pemuda itu melarikan diri….”

Geraham Ramada terdengar bergemeletukan. “Bangsat itu tak akan bisa lari terus. Aku akan segera menemukannya. Coba kau lihat ke dalam guci Ki Ageng! Bantu aku menemukan pendekar jahanam itu!”

“Sudah kubilang tadi Ramada. Dia saat ini berada di daerah pantai. Mungkin di Selatan, mungkin juga di Utara. Ad satu cara untuk memancing kemunculannya. Pergi ke puncak gunung Gede kediaman gurunya. Seorang nenek sakti bernama Sinto Gendeng. Bunuh tua bangka itu. Masakan Pendekar 212 tidak akan keluar dari sarangnya mengunjukkan diri untuk mencarimu?! Aku sudah letih Ramada. Aku penghuni dan penguasa Guci Setan segera akan kembali ke alam gaib. Kapan saja kau ingin petunjukku lebih lanjut kau boleh menghubungiku…”

“Tunggu dulu!” kata Ramada setengah berteriak.

Ki Ageng Lentut yang kemasukan roh aneh itu tidak perdulikan teriakan orang. Kedua tangannya diletakkan di atas mulut guci. Mulutnya komat kamit. Kulitnya yang tadi hitam pekat dan berkeriput kini berubah kembali ke warna asalnya. Wajahnya yang mengerikan juga kembali ke rupa aslinya. Hidung dan kedua matanya yang tadi membesar kini mengecil lagi. Begitu juga telingnya yang mencuat dan gigigiginya yang menyembul besar, kembali ke bentuk semula.

Dari dalam guci kelihatan asap putih mengepul. Bersamaan dengan itu tampak lidah api menjilat keluar. Perlahan-lahan kuncen itu melangkah mundur, lalu duduk di atas batu. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Suaranya yang tadi halus menggeletar kini terdengar seperti semula.

“Ramada…. Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan. Tubuhku letih, aku ingin bersemedi dan tidur dalam semediku. Kuharap kau dan anak buahmu segera angkat kaki dari tempat ini.”

“Ki Ageng Lentut, aku…..”

Ramada Suro Jelantik hentikan ucapannya. Dilihatnya sang kuncen saat itu pejamkan kedua mata, kaki disilangkan di atas batu dan kedua tangannya diletakkan di atas bahu.

“Sialan!” maki Ramada. Dia meludah ke lantai makam lalu berdiri. Dengan bantuan Jalak Ijo dan Jalak Biru mayat kaku istri mudanya dinaikkan ke atas bahu kirinya. Di tangan kanannya Ramada memegang guci erat-erat. “Sialan!” makinya lagi. “Kita harus segera pergi dari sini. Kalian harus mencari kuda tunggangan. Gunung Gede jauh di sebelah Barat.”

“Kita pasti akan mendapatkan kuda begitu sampai di kaki Gunung Merbabu,” kata Jalak Ijo.

Di depan makam Jalak Item masih terduduk di tanah. Meski darah tidak lagi mengucur dari mata kirinya yag hancur namun rasa sakit membuat dia mengerang terus-terusan.

“Kau mau ikut atau tinggal di sini?!” betnak Jalak Biru pada temannya itu.

Perlahan-lahan Jalak Item berdiri. Dia tidak segera mengikuti Ramada dan kawan-kawannya melainkan melangkah dulu kea rah bangunan makam.

“Kuncen keparat! Matamu boelh kau pejamkan. Aku tahu telingamu tidak tuli. Kau dengar baik-baik. Satu hari aku pasti datang mencarimu untuk membalas apa yang kau lakukan padaku. Aku akan menagih hutang berikut bunganya. Aku akan mengorek kedua matamu sekaligus!”

Di atas batu kuncen Ki Ageng Lentut teidak bergerak. “Kuncen bangsat!” rutuk Jalak Item. Dia meludah makam batu di depannya lalu berpaling dan tingalkan tempat itu sambil tangan kirinya menekap matanya yang pecah dan buta.

***

 

EMPAT

 

Meski di langit matahari bersinar terik namun di puncak Gunung Merbabu itu udara tetap saja terasa dingin. Satu bayangan putih berkelebat cepat. Mula-mula gerakannya terlihat di lerang sebelah Timur. Lalu lenyap dan tahu-tahu muncul lagi di ketinggian yang hampir mencapai puncak. Orang yang berlari dengan gerakan sebat ini ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Di puncak gunung, dia membutuhkan waktu cukup lama sebelum akhirnya menemui makam Pangeran Banowo. Makam Itu kosong, diselimuti kesunyian dan udara dingin.

“Aku datang terlambat! Sebelumnya dia pasti berada di sini,” kata Pendekar 212 dalam hati lalu memandang berkeliling. Di atas makam tampak tebaran bunga-bunga yang sudah layu. Di salah satu tiang makam tergantung sebuah obor yang telah lama padam. Satu tiang lainnya tampak bengkok dan patah hingga atap makam yang terbuat dari seng kelihatan miring. Murid Sinto Gendeng ini kernyitkan kening ketika di lantai dilihatnya banyak jejak-jejak kaki. “Agaknya dia tidak sendirian di sini. Siapa bersama dia? Kemana mereka sekarang?”

Wiro memperrhatikan halaman liar sekitar makam. Lalu matanya membentur bercak-bercak hitam di tanah. Lalu mengorek bagian tanah yang ada bercak-bercak kehitaman itu. “Bekas-bekas darah yang sudah mengering….” Katanya dalam hati.

“Sesuatu telah terjadi di tempat ini.” Perlahan-lahan Wiro berdiri lalu melangkah kembali ke arah makam. Baru saja sampai di depan pintu pagar makam yang bergembok tiga tiba-tiba dia mendengar suara derap kaki kuda. Murid Eyang Sinto Gendeng berpaling ke jurusan datangnya suara itu. Tapi derap kaki kuda tadi serta merta lenyap. Wiro garuk-garuk kepala. “Mungkin aku salah dengar,” katanya sambil garuk-garuk kepala. Di puncak gunung seperti ini siapa orangnya yang mampu menunggang kuda begitu cepat!” Karena tak mau merusak pintu pagar makam, Wiro memanjat pintu itu lalu masuk ke dalam. Selagi dia memperhatikan keadaan makam, beberapa tombak dari sana, terlindung di balik semak belukar liar yang lebat, seorang dara berpakaian ringkas warna biru dan berikat kepala kain merah berkata pada orang di sebelahnya sambil mengepalkan tangan.

“Paman,lihat! Pemuda tak dikenal itu memanjat pintu pagar makam. Kurang ajar…..!” Tangannya bergerak menurunkan sebuah busur dari bahunya.

“Jangan-jangan dia pula yang telah merusak salah satu tiang atap makam….!” Menyahuti lelaki berambut putih di sebelah sang dara.

“Kurang ajar! Lihat! Dia kini bahkan berani membaringkan diri, tidur menelentang di atas makam ayahanda! Saya tidak bisa berdiam diri lebih lama. Saya akan tambus tubhnya dengan lima anak panah sekaligus!” Lali si gadis berpakaian biru itu menarik lima anak panah dari tabung bambu di punggungnya. Begitu disusupkan ke tali busur dia segera membidik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang karena keletihan enak saja merebahkan diri di atas makam batu Pangeran Banowo.

“Tunggu dulu Dewi…. Aku punya firasat pemuda itu bukan orang sembarangan…..”

“Paman! Bagaiman kau ini! Oarng telah mengotori bahkan merusak makam ayahanda kau masih bilang tunggu! Siapapun adanya pemuda itu dia harus kita hajar! Lagi pula ini saatnya kau menyaksikan sendiri kehebatan ilmu panah warisanmu!”

“Dengar Dewi. Aku akan kelur dair semak-semak ini. Aku akan bicara dengan orang itu. Kau tetap berada di sini. Bukan mustahil dia datang tidak sendirian….”

Dewi Santiastri si gadis tak menjawab. Namun begitu pamannya melangkah ke arah makam dia segera melompat dari semak belukar. Lima anak panah yang terpentang di busurnya dibidikkan ke arah Pendekar 212 yang masih asyik-asyikan berbaring-baring di atas batu makam bahkan sambil bersiul-siul perlahan! Murid Sinto Gendeng ini baru melompa tbangun ketika sepasang telinganya menangkap suara langkah-langkah kaki.

“Astaga! Ada orang mendatangi. Sudah dekat baru aku dengar langkahnya. Pasti dia memiliki ilmu kepandaian tinggi!” kata Wiro dalam hati dan memperhatikan ke depan. Dia melihaat seorang lelaki berpakaian putih bagus, berusia sekitar enam puluh tahun tetapi berwajah segar dan klimis melangkah dan berhenti di pagar makam.

Yang membuatnya tercekat adalah ketika melihat di belakang lelaki berambut putih itu ada seorang dara berpakaian serba biru. Parasnya cantik tampak beringas pertanda bahwa setiap saat dia benar-benar akan melepaskan lima anak panah yang dibidikkan ke arahnya. Wiro mencoba tersenyum dan garuk-garuk kepala! Sang dara membentak dengan keras.

“Pemuda kurang ajar! Jangan senyum-senyum cengengesan! Berani kau bergerak kutambus sekujur tubuhmu dengan panah-panah ini!”

“Astaga….! Eh, apa-apaan ini! Enak saja kau mengatakan aku pemuda kurang ajar? Di mana? Kapan? Kenalpun tidak. Melihatmupun baru sekali ini!” Wiro berpaling pada lelaki berambut putih yang tegak di pagar makam. Dengan mimic keheranan dia bertanya “Bapak, dapatkah kau menjelaskan apa masalahnya? Dan siapa kalian bedua? Gadis cantik itu puterimu?”

“Anak muda, seperti yang dikatakan keponakanku. Kau telah berlaku kurang ajar!”

“Aku telah berlaku kurang ajar?!”

“Kau telah memasuki makam salah seorang leluhur Kerajaan secara kurang ajar! Dengan cara memanjat”

“Ah….!” Wiro memandang berkeliling sambil garuk-garuk kepala. Lalu kembali menatap lelaki di hadapannya. “Mungkin benar aku telah berlaku kurang ajar. Tapi kau lihat sendiri. Pintu pagar digembok. Jadi terpaksa aku memanjat….”

“Memanjat seperti monyet!” mendamprat gadis berbaju biru. “Kau bukan saja melompati pagar. Malah berani tidur di atas makam ayahku!”

“Ah, bagaimana ini! Harap maafkan! Aku tidak tahu. Benar-benar tidak tahu kalau ini adalah makam ayahmu. Apalagi tadi pamanmu bilang ini adalah makam salah seorang leluhur Kerajaan. Aku mana bisa menduga begitu? Setahuku orang-orang penting Kerajaan dimakamkan di satu tempat khusus di pinggiran kota….”

“Bicaramu banyak amaat! Paman, menyingkir kekiri edikit. Biar kuhantam manusia kurang ajar ini!”

Sang paman mengangkat tangannya memberi tanda agar keponakannya jangan melepas anak-anak panahnya.

“Anak muda, sekalipun kau tidak tahu itu makam atau kubur siapa, tapi yang namanya manusia beradab dan berbudi serta beradat tidak akan pernah memasuki makam seseorang tanpa izi keluarganya, apalagi dengan cara melompati pagar lalu tidur-tiduran!”

“Aku memang salah besar!” Wiro berkata sejujurnya. “Aku ke sini mencari seseorang. Tapi yang kucari sudah lenyap. Karena keletiha lalu membaringkan diri  di atas batu makam yang dingin sejuk itu…. Aku memang salah besar. Mohon aku diberi maaf…”

“Karena tertangkap basah kau lalu berdalih tengah mencari seseorang dan keletihan! Enak saja becaramu! Paman, menyingkirlah….”

“Tunggu Dewi. Biar aku bicara dulu dengan pemuda ini,” kata sang paman.

“Orang muda, tahukah kau saat ini berada di makam siapa?”

“Aku tidak tahu,” jawab Wiro Sableng.

Makam yang barusan kau panjat pagarnya dan kau tiduri adalah makam Pangeran Banowo. Aku adalah adiknya dan gadis ini adalah puteri Pangeran Banowo. Aku sendiri adalah Pangean Banuarto.”

Sepasang mata Pendekar 212 jadi terbelalak. Lalu dia cepat-cepat menjura.

“Mohon maafmu. Aku tidak tahu tengah berhadapan dengan seorang Pangeran. Aku juga tidak tahu kalau ini adalah makam pangeran Banowo yan dalam hidupnya pernah menolong diriku.”

“Paman! Jangan dengarkan ucapannya. Siapa percaya dirinya. Setelah sadar berbuat salah kini malah bilang ayahanda pernah menolongnya! Kadal ini pandai bicara paman. Hati-hatilah! Jangan sampai kita dikelabi.”

“Anak muda, katakan siapa namamu dan siapa orang yang kau cari di tempat ini. Aneh rasanya kalau ada seseorang di puncak Gunung Merbabu.”

“Namaku Wiro…. Aku memang benar mencari seseorang di tempat ini. Hanya saja mohon dimaafkan aku tidak dapat memberi tahu siapa orangnya ataupun namanya.”

“Paman! Kau lihat bagaimana dia melakukan kebohongan!” kata Dewi Santiastri.

Pangeran Banuarto tidak begitu memperdulikan kata-kata keponakannya. Dia mencoba mengingat-ingat apakah pernah mendengar nama Wiro itu sebelumnya. Akhirnya dia berkata.

“Anak muda, melihat ada obor yang sudah padam di salah satu tiang makam, berarti kau sejak malam tadi telah berada di tempat ini.”

Wiro menggeleng. “Aku barusan saja datang. Waktu datang obor itu sudah ada di sini dalam keadaan padam.”

“Lalu mengapa kau merusak salah satu tiang atap makam?!” tanya Pangeran Banuarto pula.

“Bukan aku yang merusaknya. Tiang itu sudah berada dalam keadaan seperti itu ketika aku datang.”

“Bohong! Pendusta besar!” teriak Dewi Santiastri. Gadis ini tidak dapat lagi menahan kesabaran dan kemarahannya. Dia melompat ke kanan sambil merentangkan busur lebih dalam. Ketika tangan kanannya bergerak melepas, lima anak panah melesat dengan mengeluarkan suara berdesing. Lima senjata itu laksana kilat terbang ke arah lima baigan tubuh Pendekar 212. Pangeran Banowo berseru kaget tapi tak bisa berbuat apa.

Murid nenek sakti dari Gunung Gede itupun sempat terkesiap. Sekalipun dia bisa melompat secepat kilat tak mungkin dia sanggup menghindari sekaligus kelima anak panah yang menyerang lima bagian tubuhnya yang berbeda.

“Celaka!” keluh Wiro. “Seumur hidup belum pernah aku melihat kepandaian memanah seperti ini! Setan sekalipun takakan bisa lolos dari bidikkannya!”

Sadar kalau dia tidak akan dapat menyelamatkan diri dengan cara melompat maka Pendekar 212 segera lepaskan pukulan sakti “benteng topan melanda samudra”

Serangkum angin deras menderu. Pangeran Banuarto berseru kaget dan cepat menyingkir. Tapi badannya sebelah kanan masih sempat disambar angin pukulan sakti itu hingga melintir dan terhempas keras. Kalau saja dia tidak memiliki ilmu meringankan tubuh pasti dia akan jatuh terhenyak ke tanah. Sementara itu Dewi Santiastri juga berteriak kaget. Karena dia tegak dengan kaki terkembang tepat di tengah jalur hantaman pukulan sakti Pendekar 212 maka tak ampun lagi tubuhnyapun terpental jauh, mencelat ke udara.

Di udara gadis puteri mendiang Pangeran Banowo ini membuat gerakan aneh. Tubuhnya yang kena hantaman angin serangan berjungkir balik duakali berturut-turut lalu tubuh itu tampak melayang dan seperti seekor burung kedua kakinya hinggap di cabang sebuah pohon besar. Meskipun gadis ini memiliki kepandaian tinggi dan mampu meredam pukulan sakti yang dilepaskan Wiro, tapi jelas wajahnya kelihatan pucat tanda ada bagian dalam tubuhnya yang cidera. Ketika dia melompat turun, si gadis merasakan dadanya berdenyut sakit. Kedua kakinya tertekuk. Sebelum dia jatuh berlutut pamannya ceat mendatangi dan merangkul tubuhnya.

“Dewi… Kau tak apa-apa…?”

“Saya tidak apa-apa paman. Hanya ada sedikit rasa ngilu di bagian dada…..”

Pangeran Banuaro memapah keponakannya itu ke dekat sebuah pohon lalu mendudukkannya di akar pohon itu. Sementara itu dari arah makam terdengar suara orang mengeluh. Ketika Pangeran Banuarto dan Dewi Santiastri memandang ke arah makam mereka melihat pemuda berambut gondrong itu tersandar ke paga makam sebelah dalam sambil memegangi paha kanannya. Sebatang panah tampak menancap di paha itu. Celana putihnya berlumuran darah. Rupanya waktu lima anak panah menyerbunya dihantam dengan pukulan “benteng topan melanda samudra” hanya empat panah yang sanggup dibuat mental. Satu anak panah masih sempat menyusup menghantam pahanya.

Rahang Pendekar 212 tampak menggembung menahan sakit. Wajah dan tubuhnya basah oleh keringat. Dia berteriak keras ketika secara nekad mencabut anak panah yang mennancap di pahanya. Dengan geram anak panah itu dipatahkannya lalu dibatingkannya ke lantai makam. Lalu dengan satu geakan dia melompati pagar makam dan berdiri di hadapan Pangeran Banuarto serta keponakannya. Sepasang mata Pendekar 212 memandang berkilat-kilat pada Dewi Santiastri.

“Dengan melukaiku seperti ini, apakah kini kau dan pamanmu sudah puas?!”

Si gadis hanya bisa diam dan terbelalak. Mukanya masih sangat pucat. Sementara Pangeran Banuarto terdengar menarik nafas dalam tapi juga tidak berkata apa-apa. Dari balik pakaiannya Wiro mengeluarkan sebuah bungkusan kecil lalu melemparkannya dekat kaki Dewi Santiastri.

“Apa ini?” tanya Pangeran Banuarto.

“Gadis keponakanmu itu mengalami luka dalam. Akan sangat berbahaya kalau tidak segera minum obat itu,” Habis berkata begitu Pendekar 212 memutar tubuhnya dan melangkah pergi.

Pangeran Banuarto memandang pada Dewi Santiastri. “Kalau dia manusia jahat, dia tidak akan memberikan obat ini untukmu….” Si gadis hanya bisa mengangguk. Melihat orang begitu baik dan polos terhadapnya ada bayangan rasa menyesal di wajahnya yang pucat. Pangeran Banuarto cepat berdiri dan berseru.

“Anak muda! Tunggu! Jangan pergi dulu!”

Wiro hentikan langkahnya dan berpaling. Pangeran Banuarto berlari mendatanginya. “Aku menyesalkan ada kesalah pahaman antara kita bertiga. Tujuanku dan Dewi ke puncak gunung ini adalah untuk menziarahi makam Pangeran Banowo….”

“Ada yang aku tidak mengerti. Sebagai seorang Pangeran seharusnya dia dimakamkan di pekuburan keluarga stana. Nyatanya dia dimakamkan di tempat ini. Jauh dari Kotaraja. Jauh dari keluarga Istana.”

“Apa yang kau katakan betul. Namun sebelum meninggal Pangeran Banowo pernah berpesan pada istrinya. Aku mendengar sendiri. Jika ajalnya sampai dia ingin dimakamkan di puncak Gunung Merbabu ini. kami keluarga yang ditinggalkan tidak berani menyalahi pesan itu. Sultan sendiri juga tidak mau melarang. Pangeran Banowo akhirnya dimakamkan di puncak Gunung Merbabu ini tiga tahun yang lalu. Pemakamannya dengan upacara kebesaran Kerajaan….”

Saat itu Dewi Santiastri telah datang pula ke tampat itu. Pamannya cepat memegang bahunya. Wajah si gadis tampak kemerahan dan dia berkata “Paman tak usah kawatirkan saya. Obat yang tadi diberikannya sudah saya telan walaupun tanpa air. Saya merasa lebih sehat sekarang.” Lalu gadis ini berpaling pada Pandekar 212. Dia hendak mengatakan sesuatu namun Wiro mendahului.

“Aku kagum dengan kepandaianmu memainkan panah. Dari manakah den ayu belajar?”

“Namaku Dewi Santiastri. Panggil aku dengan nama itu. Tidak usah dengan sebutan den ayu segala….” Lalu pandangan matanya tertuju pada paha Wiro yang berlumuran darah. “Aku tidak tahu harus meminta maaf bagaimana…. Aku benar-benar menyesal….”

Wiro tertawa. Dia berkata pada Pangeran Banuarto. “Pangeran,” katanya, “Keponakanmu memberikan sau pelajaran baik padaku. Aku harus lebih banyak belajar dan berlatih silat agar gerakanku lebih cepa hingga kelak akan sanggup berkelit dari serangan panahnya. Aku harap saja panah itu tidak beracun….”

“Tidak, panah itu tidak beracun,” kata Dewi Santiastri. “Aku ingin menanyakan sesuatu.”

“Menyangkut hal apa?” tanya Wiro.

“Ketika masih hidup ayah memang pernah bercerita tentang seorang pendekar besar muda usia. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Apakah kau orangnya?”

Wiro tertawa. “Nama kami bisa saja sama. Tapi gelar sehebat itu mana orang setoloku ini bisa menyandangnya?”

Si gadis jadi terdiam beberapa saat lamanya. Sebelum dia sempat mengatakan sesuatu pamannya sudah bicara duluan.

“Anak muda, terus terang selain berziarah ke makam Pangeran Banowo, perjalanan kami ke sini sebenarnya juga tengah menyirap kabar.”

“Menyirap kabar? Kabar apakah?” tanya Wiro.

“Sebuah benda keramat milik Kerajaan yang selama ini disimpan secara rahaia, lenyap dari tempat penyimpanannya sekita empat tahun lalu. Padahal benda itu jika disalah gunakan bisa mendatangkan malapetaka.” Menerangkan Pangeran Banuarto. “Kebetulan aku yang bertanggung jawab atas benda itu. Sebenarnya beberapa tahun lalu aku sudah mengusulkan pada Sultan agar benda itu dimusnahkan saja karena lebih banyak bahayanya dari pada manfaatnya.”

“Kalau aku boleh tahu, benda apakah itu gerangan, Pangeran?” bertanya Pendekar 212.

“Sebuah guci keramat. Bernama Guci Setan. Orang bisa meminta sesuatu yang baik tetapi juga sesuatu yang jahat pada Guci Setan itu. Sekarang karena aku tahu bahwa kau seorang dari dunia persilatan maka aku minta bantuanmu untuk mencari tahu dan menyirap kabar di mana adanya Guci Setan itu dan siapa pencurinya.

Kami mendengar selentingan yaitu setelah empat tahun tidak diketahui jejaknya tiba-tiba satu bulan yang lalu Guci Setan itu pernah terlihat di daerah selatan dan tengah dibawa ke daerah sekitar sini. Tapi keterangan yang aku dapat sengat sedikit sehingga tidak bisa dipakai untuk bahan pengusutan.”

“Pangeran Banuarto, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi aku akan berusaha membantumu. Kita berpisah di sini….”

“Saudara,” Dewi Santiastri berkata “Dalam keadaan terluka seperti itu tentu sulit bagimu berjalan kaki, apalagi berlari. Kau bisa memakai kudaku….”

Pendekar 212 tersenyum lebar. “Terima kasih. Kebaikan hatimu telah membuat lukaku sembuh! Lihat!” lalu Wiro angkat paha kanannya yang tadi tertancap panah. Dengan tangan kanannya dia memukul-mukul paha yang luka itu. “Sama sekali tidak sakit. Sudah sembuh!” Padahal sebenarnya waktu memukul tad Pendekar 212 manahan sakit yang amat sangat. Hal ini diketahui oleh Dewi Santiastri dan pamannya.

“Kau harus memakai kudanya,” kata Pangeran Banuarto.

“Saya masih sanggup berjalan. Bahkan berlari!” kata Wiro. Lalu dia berkelebat tinggalkan tempat itu. Tapi larinya terpincang-pincang. Padahal ini disengaja. Pangeran Banuarto dan Dewi Santiastri sama-sama tersenyum.

“Entah mengapa aku justru punya firasat, pemuda itu tadi memang adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.”

“Saya justru sudah tahu kalau dia memang Pendekar 212 dari Gunung Gede. Waktu tadi dia mengeluarkan bungkusan obat dari balik pakaiannya, bagian depan bajunya yang tidak dikancing tersingkap lebar. Saya melihat ada rajah angka 212 di dadanya yang bidang dan berotot….”

“Keponakanku!” kata Pangeran Banuarto sambil memegang kedua bahu Dewi Satniastri. “Mengapa tidak dari tadi-tadi kau katakan?”

Si gadis tidak menjawab. Hanya di dalam hatinya tiba-tiba saja dia sangat ingin bertemu lagi dengan pemuda berambut gondrong itu. Paman dan keponakan itu kemudian melangkah ke arah bangunan makam. Tiba-tiba si gadis berseru seraya menunjuk ke arah makam.

“Paman! Lihat! Tiang atap yang patah sudah tersambung kembali!”

Pangeran Banuarto berlari mendekati makam. Apa yang dikatakan keponakannya memang betul. Tiang yang patah kini kelihatan dalam ke adaa lurus. Bagian patahan sebelah atas bertumpu pada bagian bawah. Atap makam kini tidak miring lagi.

“Siapa yang telah memperbaikinya? Sungguh aneh!” kata Pangeran Banuarto.

“Hanya kita bertiga tadi di tempat ini. Dia, saya paman. Saya jelas tidak melakukannya. Paman juga. Berarti….”

“Berarti dia yang melakukannya!” kata Pangeran Banuarto pula. Orang tua ini mengusap rambutnya yang putih berulang kali. “Bagaimana dia melakukannya? Dlamkeadaan terluka pula!”

Diam-diam Dewi Santiastri semakin merasakan penyesalan yang mendalam di lubuk hatinya. “Kalau saja aku dapat segera menemuinya akan kuminta maaf beribu maaf padanya. Bisakah aku menemuinya lagi?”

***

 

LIMA

 

Di cabang paling atas pohon setinggi empat puluh kaki itu tampak seorang kakek duduk berjuntai sambil uncang-uncang kakinya. Dari mulutnya terdengar suara aneh, entah dia sedang meracau entah menggerutu atau sedang menyanyi. Janggut putihnya yang sepanjang dada melambai-lambai tertiup angin. Suara dari mulutnya baru berhenti bilamana dia meneguk dengan lahap tuak murni yang ada dalam tabung bambu dan diletakkannya di pangkuan. Sebuah tabung bambu lagi tergantung di belakang punggungnya. Kedua mata orang tua ini tampak kemerahan akibat pengaruh minuman keras itu.

Untuk kesekian kalinya dia meneguk tuak dari dalam atabung bambu. Lalu dia memandang ke arah pepohonan di sekelilingnya.

“Panas terik menggila! Tak ada burung tak ad angin!” si kakek seperti menggerutu pada dirinya sendiri. “Aneh, mengapa aku berada di puncak pohon ini? Astaga, jangan-jangan aku sudah mabuk. Betul mabuk? Tidak! Aku masih bisa menghitung jari-jari tanganku sebelah kiri ini. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam….Eh! Apa ada jari tangan manusia enam buah? Jangan-jangan benar aku sudah mabuk!”

Walau jalan pikirannya seperti itu tapi enak saja dia kembali mendekatkan bibir tabung bambu ke mulutnya. Lalu gluk…. Gluk….gluk tuak dalam bamboo ditenggaknya dengan lahap. Puas meneguk tuak murni yang menebar bau harum itu si kakek seka mulutnya dengan kain biru yang terselempang di dadanya. Setelah itu sambil kembali uncang-uncang kaki seperti anak kecil yang kesenangan dia menyanyi lagi. Tapi tiba-tiba orang tua ini hentikan nyanyiannya. Kepalanya ditinggikan. Telinganya dipasang baik-baik. Dia mendengar suara menderu aneh di kejauhan disertai suara-suara kaki berlari.

Orang tua itu mendongak ke langit. “Aku tak melihat apa-apa!” katanya. Lalu dia memaki sendiri. “gila! Kalau orang berlari tentu saja bukan di langit sana tapi di bawah situ!” Lalu si kakek memandang ke bawah pohon. “Nah, apa kataku! Ada empat bayangan berkelebat. Aduh, cepat sekali. Terutama yang di depan itu. Heh…..aneh. Dia seperti memiliki sebuah roda di ujung kaki kirinya. Dia lari di atas roda yang berputar menggelinding! Apa yang dibawanya di tangan kanan? Eh, di bahu kirinya dia memanggul sosok tubuh perempuan. Siapa orang ini? Hemmm…. ada tiga orang berlari di belakangnya. Muka mereka berwarna aneh-aneh. Apa isi keranjang rotan yang mereka pikul itu heh? Jelas mereka bukan pedagang sayuran. Hik…hik…hik! Mereka berlari cepat di siang bolong di lereng Gunung Gede! Sepertinya mereka punya satu keperluan penting! Ah, perduli setan dengan mereka. Selama mereka tidak mengganggu diriku, aku tak perlu mengurusi mereka. Eh, kenapa yang di depan itu tiba-tiba berhenti? Tiga tannya juga berhenti berlari. Hemmmm tampang-tampang mereka kumal dekil dan angker. Bau tubuh mereka tercium sampai kemari!”

Di bawah pohon keempat orang itu bukan lain adalah Ramada Suro Jelantik dan tiga orang anak buahnya yaitu Jalak Item yang kini mata picak sebelah. Lalu Jalak Ijo dan Jalak Biru.

“Ada apa kau berhenti Ramada?” tanya Jalak Ijo.

“Aku mencium bau sesuatu. Sesuatu yang harum! Aneh di tengah hutan belantara di lereng gunung begini ada bau seperti ini!”

Tiga orang anak buah Ramada sama meninggikan kepala lalu mengendus dalam-dalam. “Kau betul Ramada,” kata Jalak Ijo. “Aku juga dapat mencium bau aneh itu. Pasti ada seseorang di sekitar sini. Jangan-jangan tua bangka bernama Sinto Gendeng itu tempat kediamannya di sekitar sini.”

“Bagus! Kalau begitu coba kalian periksa pada tiga jurusan sampai sejarak seratus tombak! Aku menunggu di sini!”

Jalak Ijo dan kawan-kawannya segera melakukan apa yang diperintah oleh Ramada. Tak lama kemudian ketiganya muncul satu persatu.

“Aku tidak menemukan apa-apa, Ramada,” kata Jalak Item.

“Aku juga. Tak ada bangunan atau tempat kediaman di sekitar sini,” menerangkan Jalak Ijo

“Sama, tak ada orang tak ada rumah,” kata Jalak Biru pula.

Di atas pohon kakek berjanggut putih menyeringai lebar. “Empat ekor monyet itu mancari kian kemari. Tidak tahunya yang mereka cari ada di atas pohon ini. Bau yang mereka cium sudah pasti bau arak kayanganku ini!”

“Ramada,” di bawah pohon Jalak Ijo berkata “apakah kita akan meneruskan perjalanan atau kau tetap menginginkan mencari sumber bau harum itu sampai dapat?”

“Sudah, kita teruskan saja perjalanan! Puncak gunung tak seberapa jauh lagi.” Jawab Ramada Suro Jelantik. “Tua bangka guru Pendekar 212 itu harus kita temui dan bereskan secepatnya!” Ramada lalu memutar tubuhnya. Kaki kirinya yang disambung dengan sebuah roda besi bergerigi menderu lalu meluncur deras menebar pasir dan tanah di sebelah belakang. Tiga orang anak buahnya segera menyusul.

Ketika sang surya mulai condong ke Barat, keempat orang itu akhirnya sampai di puncak Gunung Gede. Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan kediaman Sinto Gendeng, nenek sakti guru Pendekar 212 Wiro Sableng.

Ramada dan tiga anak buahnya berdiri di hadapan gubuk tua tapi masih tampak kokoh. Pintu gubuk tertutup, begitu juga jendela. Rumah di puncak gunung itu benar-benar diselimuti kesunyian.

‘”Sinto Gendeng! Kami datang dari jauh untuk menemuimu! Mengapa bersembunyi di dalam gubuk?!” Ramada berteriak.

Tak ada jawaban atau suara apapun dari dalam gubuk. Ramada berteriak sekali lagi. Tetap saja tak ada jawaban.

“Mungkin tua bangka itu tak ada di sini, Ramada,” kata Jalak Ijo.

“Untuk memastikan coba kau dan kawan-kawanmu memeriksa!” kata Ramada Suro Jelantik pula.

Jalak Ijo dan dua temannya meletakkan pikulan masing-masing di tanah. Lalu lewat pintu depan yang ternyata tidak dikunci ketiganya masuk ke dalam gubuk. Di depan rumah Ramada menunggu dengan rasa tidak sabar. Dia mencoba menghibur diri dengan mengelus-elus tubuh istri mudanya yang telah jadi mayat seraya berkata perlahan “Tenang Dardini, tenang. Lewat kematiian tua Bangka keparat itu kita pasti bisa memancing kemunculan pembunuhmu! Sekali dia unjukkan diri akan kutabas batang lehernya. Kuminum darahnya lalu kulumat daging dan tulang belulangnya! Setelah itu kau akan kusemayamkan di satu tempat yang indah.

Kau akan tidur dengan tenang. Sabar istriku. Sabar….. Aku akan membuatkan makam yang sangat bagus untukmu. Aku akan….”

Ucapan Ramada Suro Jelantik terputus. Dari dalam rumah terdengar suara jeritan tiga kali berturut-turut. Ramada kenal benar. Itu adalah suara teriakan ketiga anak bauhnya.

“Jalak Ijo! Jalak Item! Jalak Biru!” teriak Ramada “Apa yang terjadi dengan kalian?!”

Baru saja Ramada Suro Jelantik berteriak begitu tiba-tiba tiga buah benda melesat keluar dari dinding-dinding gubuk yang jebol. Satu dari sebelah depan, dua dari samping kiri.

Ramada mendelik besar ketika menyaksikan tiga benda yang terlempar lewat dinding gubuk lalu bergulingan di tanah ternyata adalah Jalak Ijo, Jalak Item dan Jalak Biru!

“Anjing kurap! Apa yang terjadi?!” teriak Ramada marah sekali.

Tiga anak buahnya berusaha bangkit dengan terhuyung-huyung. Pada kening Jalak Ijo dan Jalak Biru kelihatan benjut sebesar telur ayam. Sedang Jalak Item megap-megap sambil pegangi perutnya. Ketiganya lalu berusaha secepat mungkin mengambil pikulan masing-masing yang tadi ditinggal dan diletakkan di tanah. Begitu mereka memegang keranjang rotan tampang mereka tampak beringas.

“Kalau aku tidak bisa membunuh tua bangka keparat itu lebih baik aku bunuh diri!” teriak Jalak Item.

“Aku juga!” menyahuti Jalak Ijo.

“Sama dengan aku!” kata Jalak Biru sambil pegangi keningnya yang benjut.

Tiba-tiba pintu gubuk yang tadi setengah terbuka kini terpentang lebar. Dari dalam gubuk muncul satu sosok tubuh terbungkuk-bungkuk diiringi gelak tawa tinggi serta panjang. Suara tawa ini bukan saja membuat telinga Ramada dan anak buahnya mengiang sakit tetapi juga membuat keempatnya tercekat. Mamandang ke arah pintu mereka malah tambah terkesiap karena tidak pernah menyangka kalau perempuan tua penghuni gubuk di puncak Gunung Gede itu begini angkernya!

***

 

ENAM

 

Orang yang keluar dari dalam gubuk adalah seorang nenk berkulit sangat hitam. Kulitnya ini tidak lebih dari selaput tipis pembalut tulang. Kalau saja dia tidak bungkuk pasti terlihat bagaimana sosok tubuhnya yang jangkung sekali. Mukanya cekung di bagian mata dan kedua pipi. Alisnya berwarna putih, begitu juga rambutnya yang hanya tinggal elasan lembar saja. Di kepalanya yang nyaris sulah itu menancap lima buah tusuk kundai terbuat dari perak. Tusuk kundai tidak mungkin disisipkan pada rambutnya yang jarang. Lima perhiasan dari perak itu justru langsung menancap di kulit dan batok kepalanya! Sepasang matanya yang hitam gelap memandang berputar ke arah empat orang yang ada di halaman gubuk. Lalu dari mulutnya meledak lagi suara keras dan tinggi. Dari mulunya yang ompong mengucur keluar air liur. Ketika dia menyemburkan air liur itu melesat ke arah pohon di seberang halaman.

Terdengar suara berderik sewaktu kulit batang pohon menjadi remuk lalu jatuh ke tanah. Hal itu membuat Ramada dan tiga anak buahnya mau tak mau menjadi terkesima. Namun orang-orang ini mana mengenal rasa takut.

“Ramada, biar kubunuh nenek keparat itu sekarang juga!” kata Jalak Ijo seraya tangannya bergerak hendak membuka penutup keranjang rotannya di mana tersimpan ular kobra beracun yang diberi nama Ratu Hijau.

“Sabar sedikit Jalak Ijo. Maut tak bakal lepas dari dirinya. Biar aku bicara dulu padanya….”

Di ambang pintu si nenek masih tertawa. Tiba-tiba tawanya lenyap dan dari mulutnya terdengar suara membentak.

“Puluhan tahun hidup di puncak Gunung Gede, baru hari ini aku kedatangan tamu aneh dan kurang ajar. Berani masuk ke dalam gubuk tanpa izin. Kalian mau mencuri atau memang munta mati?!”

“Tua bangka edan! Kami datang memang untuk mencuri. Bukan mencuri harta bendamu karena pasti dalam gubukmu hanya ada barang-barang rombengan yang tidak ada harganya!”

Si nenek tertawa cekikikan. “Manusia bermuka setan alas dan bertuuh sebusuk comberan! Mulutmu pandai bicara. Coba jelaskan apa yang hendak kau curi dari tempat ini!”

“Aku kemari untuk mencuri nyawa anjingmu!” jawab Ramada lantang.

Sepasang mata cekung dan hitam si nenek tampak seperti mengeluarkan kilatan aneh. Lalu mulutnya kembali tertawa panjang.

“Kalau kau hendak mencuri nyawaku, apa kau kira aku tak bisa mencuri jantungmu?!” Hik…hik…hik…!”

“Nenek iblis!” teriak Ramada. Agar aku tidak kesalahan tangan lekas katakan apakah kau manusianya yang bernama Sinto Gendeng guru Pendekar 212 Wiro Sableng?!”

“Kalau aku memang Sinto Gendeng lalu kenapa? Kalau aku bukan Sinto Gendeng lantas bagaimana?!” si nenek bertanya.

“Iblis ngacok!” hardik Ramada mulai marah. Perlahan-lahan nayat kaku Dardini diturunkannya lalu dibaringkannya dengan sangat hati-hati dekat akar sebatang pohon. “Muridmu si Wiro Sableng itu telah memperkosa istriku! Lalu membunuhnya! Apa kau kira bakal ada pengampunan bagi dirinya dan juga bagi kau?!”

Si nenek hentikan tawanya. Dia dongakkan kepala beberapa saat lalu memandang dengan mata berkilat-kilat pada Ramada Suro Jelantik. “Ini adalah fitnah paling keji yang pernah didengar telinga tua ini!”

“Ini bukan fitnah!” teriak Jalak Ijo. “Kami bertiga jadi saksi perbuatan murid celakamu itu!”

“Betul!” menyahuti Jalak Biru. “Muridmu membunuh perempuan itu dengan Kapak Naga Geni 212-nya. Lihat sendiri luka besar di pangkal leher jenazah!”

Si nenek terdiam.

“Tua bangka jahanam. Kau terdiam tak bisa bicara. Berarti memang benar kau Sinto Gendeng guru Pendekar 212. Sekarang bersiaplah untuk mati!”

Si nenek menyeringai seperti setan. Lalu gelengkan kepalanya. “Murid Sinto Gendeng tidak akan melakukan kekejian seperti itu. Kalian pergi saja sebelum aku menjadi muak melihat tampang-tampang kalian. Angkat mayat itu dari halaman gubukku! Kalian semua adalah orang-orang gila kesasar pembawa mayat dan guci! Bermuka berwarna-warna! Lekas minggat dari sini!”

Ramada mendengus keras. Didahului dengan suara teriakan keras dia menerkam ke arah si nenek yang memang adalah Sinto Gendeng. Kaki kirinya yang ada roda besi bergerigi mencelat ke depan.

Rrrrrrrr!

Gigi-gigi roda besi yang berputar itu menggerus ke arah pinggang si nenek. Seumur hidupnya Sinto Gendeng belum pernah melihat senjata seperti ini. Dia berteriak nyaring. Tubuhnya yang bungkuk melesat ke samping. Roda besi menderu menghantam tangga batu di depan gubuk. Tangga batu itu tebongkar berkeping-keping!

Ramada menyeringai. “Sebentar lagi tubuhmu akan kubuat seperti itu!”

“Betul begitu? Aku malah ingin sekali merasakan bagaimana enaknya!” kata Sinto Gendeng. Lalu dia tertawa cekikikan.

Seperti terbakar Ramada Suro Jelantik kembali menyerbu dengan roda besinya. Tangan kirinya ikut melepaskan pukulan tangan kosong sementara tangan kanan tetap tidak melepaskan Guci Setan.

Tubuh bungkuk Sinto Gendeng berkelebat kian kemari. Selama enam jurus diserang terus-terusan dia hanya membuat gerakan menghindar. Baru pada jurus ketujuh si nenek mulai balas melancarkan serangan-serangan. Gerakannya seperti main-main saja tetapi Ramada merasa seolah-olah ada satu gelombang raksasa yang menghantamnya. Sadar kalau lawan memiliki kepandaian tinggi maka Ramada Suro Jelantik segera keluarkan jurus-jurus simpanannya. Tubuhnya berputar kencang sementara roda besinya mencuat kian kemari, menyerang si nenek dari segala jurusan.

Eyang Sinto Gendeng walaupun kini berada dalam keadaan terdesak tetap saja dia berlaku tenang. Malah dia tiba-tiba mendapat satu akal guna melumpuhkan serangan lawan. Jika Ramada berkelahi dengan terus membawa-bawa guci di tangan kanannya pastilah benda iu sangat berharga bagi dirinya dibanding dengan jenazah istrinya yang diletakkannya begitu saja di tanah. Memikir sampai di situ, si nenek lalu mengarahkan setiap serangannya pada guci yang ada dalam dekapan tangan kanan lawan.

“Bangsat sialan!” maki Ramada Suro Jelantik. Kini dia terpaksa bertahan habis-habisan untuk menyelamatkan Guci Setan dari hantaman si nenek. Merasa ttidak sanggup, pada jurus ke 28 lelakiini berteriak keras lalu lemparkan Guci Setan ke atas. Guci ini melesat ke udara, melayang tinggi lalu jatuh dan menyangsang di antara kelebatan daun-daun sebatang pohon. Kini dengan kedua tangan bebas Ramada menghadapi Sinto Gendeng. Setelah menggempur selama lima jurus kembali si nenek kelihatan terdesak.

“Manusia bau! Ilmu silatmu boleh juga!” memuji si nenek. “Tapi coba kau hadapi jurus seranganku ini!” Dua tangan si nenek berkelebat ke kiri dan ke kanan seolah hndak memukul sisi tubuh lawannya. Bersamaan dengan itu ujung-ujung jarinya disatukan ke depan. Tiba-tiba kedua tangan itu melesat ke atas.

“Sepasang naga menyusup awan!” teriak Sinto Gendeng menyebutkan jurus serangannya. Lalu dia tertawa gelak-gelak. Kedua tangannya dengan sepuluh jari kuncup lurus ke depan dan seolah berobah keras seperti besi menusuk ke arah jantung dan tenggorokan Ramada Suro Jelantik.

Kejut manusia berkaki buntung ini bukan alang kepalang. Dia cepat menyingkir dengan membuang diri ke samping kiri. Tusukan pada tenggorokannya lewat tapi yang mengarah jantung terus melesat.

“Haram jadah! Aku terpaksa berjibaku!” rutuk Ramada. Kaki kirinya ditendangkan ke depan, mengarah perut Sinto Gendeng. Roda besi bergerigi menggerus ganas. Si nenek tidak mau ambil celaka . Tapi dia juga tidak mau melepaskan musuhnya dari sasaran. Dengan menggeser kakinya dua langkah ke kanan, Sinto Gendeng teruskan hantamannya walaupun kini dia tidak bisa menghantam secara telak.

Bukkk!

Lima jari tangan si nenek mendarat di dada kiri Ramada. Lelaki ini menjerit keras. Tubuhnya terbanting ke tanah. Sebelum jatuh kaki kirinya ditendangkan lebih tinggi.

Rrrrrrr

Sinto Gendeng terpekik sewaktu roda besi Ramada Suro Jelantik merobek pakaiannya di bagian perut! Tampang si nenek menkjadi kelam membesi.

“Kurang ajar!” si nenek geram sekali. Dia melompat ke hadaan Ramada yang masih tertelentang di tanah dengan mulut mengucurkan darah akibat luka dalam di dekat jantungnya setelah terkena hantaman si nenek tadi.

“Manusia setan! Apakah kau pernah melihat pukulan sinar matahari?!” kata si nenek sambil angkat tangan kanannya yang saat itu tampak berkilat-kilat seperti perak.

Ramada Suro Jelantik memang pernah mendengar kehebatan dan keganasan pukulan sakti itu. Dia tak mau berlaku ayal. Dia segera melafatkan satu mantera kesaktian. Roda besi di ujung kaki kirinya tiba-tiba mengeluarkan sinar hitam menggidikkan. Ketika Sinto Gendeng lepaskan pukulan “sinar matahari” dengan tangan kanannya. Ramada tendangkan kaki kirinya ke atas menyambuti serangan lalu dengan cerdik menggulingkan diri di tanah.

Bummmm!

Bummm!

Terdengar dua letusan keras. Cahaya putih berkiblat disambut oleh sinar hitam. Sinar hitam yang keluar dari roda besi Ramada berusaha menggelung cahaya putih panas pukulan “sinar matahari” yang dilepaskan si nenek. Lalu terdengar dentuman yang ketiga yang lebih dahsyat dari dua dentuman sebelumnya.

Puncak Gunung Gede laksana dilanda gempa. Iga orang anak buah Ramada hampir terduduk di tanah. Sinto Gendeng masih tampak tegak walau dengan tubuh bergoyang-goyang. Mukanya yang hitam tampak semakin hitam. Jantungnya berdegup keras. Di seberangnya tubuh Ramada Suro Jelantik Nampak menggeliat-geliat dekat tangga batu. Bahu kanannya tampak hangus dihantam pukulan “sinar matahari”. Tapi rupanya orang ini mempunyai kekautan luar biasa. Dalam keadaan terluka parah begitu dia melompat tegak. Darah semakin banyak mengucur dari mulutnya tapi dia tidak perduli. Sepasang matanya yang merah memandang laksana bara api pada Sinto Gendeng. Tiba-tiba dari mulunya terdengar teriakan keras.

“Anak-anak! Keluarkan binatang peliharaan kalian!” Bunuh tua Bangka keparat ini!”

“Eh, apa yang hendak dilakukan manusia-manuisa jahanam ini?!” pikir Sinto Gendeng. Dia berputar, menghadap ke arah Jalak Item, Jalak Ijo dan Jalak Biru yang berada di halaman, terpisah di tiga tempat. Begitu berputar dia masih sempat melihat tiga orang bermuka hijau, hitam dan biru itu embuka penutup keranjang rotan masing-masing.

Lalu terdengar suara berdesir aneh. Dilain kejap lima belas binatang berbisa melesat ke arah si nenek!

“Edan!” teriak Sinto Gendeng.

Dia cepat mengangkat kedua tangannya. Satu melepaskan pukulan “sinar matahari” satu lagi menghantamkan pukulan “segulung ombak menerpa karang”!

***

 

TUJUH

 

Dari keranjang rotan Jalak Biru melesat keluar tujuh ekor kelabang biru, menyerbu ke arah Sinto Gendeng dari jurusan kiri. Dari arah depannya seekor ular kobra hijau melesat keluar dari dalam keranjang rotan yang dibuka Jalak Ijo. Lalu dari sebelah kanan Jalak Item melepaskan keluar tujuh ekor kalajengking berwarna hitam. Lima belas binatang beracun ganas ini serentak menyerbu si nenek!

Seumur hidupnya Sinto Gendeng belum pernah mendapat serangan begini banyak dan ganas. Dalam pada itu telinganya menangkap suara menderu dari arah belakang. Berarti Ramada Suro Jelantik dalam waktu bersamaan telah menyerang pula dengan roda bergerigiinya dari belakang!

“Edan! Gila! Teriak si nenek. Kedua tangannya dipukulkan ke depan.

Bersamaan dengan itu dia jatuhkan diri ke tanah guna menghindari serangan Ramada. Putaran roda besi bergerigi membeset di udara. Melabrak ke arah kepala Sinto Gendeng.

Trang…..trang!

Terdengar suara beradunya benda-benda keras disertai percikan bunga api. Roda besi Ramada ternyata telah menghantam dua buah tusuk kundai perak di kepala Sinto Gendeng hingga hancur dan kepingannya bertaburanjatuh kian kemari. Tiga buah gerigi roda besi di kaki kiri Ramada somplak. Ramada sendiri menjerit keras kesakitan. Kakinya laksana dihantam pentungan besi. Tubuhnya terpental sampai dua tombak!

Walau selamat dari roda maut Ramada, namun Sinto Gendeng belum lepas dari bahaya. Pukulan sinar matahari yang dilepaskannya ke depan berhasil menghantam ular kobra besar yang dilepaskan Jalak Ijo. Tapi hebatnya sebelum terkena hantaman pukulan sakti yang mematikan itu, ular kobra ini seolah tahu bahaya yang mengancamnya. Melesat tinggi ke udara. Yang celaka adalah pemiliknya yaitu Jalak Ijo. Manusia bermuka hijau ini yang sama sekali tidak menyangka bahwa serangannya bakal gagal, terlambat menghindar. Pukulan “sinar matahari” menghantamnya dengan telak. Jalak Ijo menjerit setinggi langit. Tubuhnya terlempar jauh. Hangus leleh laksana dipanggang. Nyawanya putus!

Pukulan “segulung ombak menerpa karang” yang dilepas Sinto Gendeng dengan tenaga dalam penuh membuat hancur luluh tiga ekor kalajengking hitam dan enam ekor kelabang biru yang dilepaskan Jalak Item dan Jalak Biru. Namun seekor kala hitam dan kelabang biru masih sempat lolos. Dua binatang beracun ini menancap di tubuh si nenek. Kalajengking hitam menancap di leher dekat telinga kirinya sedang kelabang biru menenmbus bahu kanannya! Si nenek menjerit keras. Tubuhnya rubuh ke tanah.

Ramada Suro Jelantik cepat mendekati tubuh si nenek sambil menyorongkan roda besinya ke arah leher Sinto Gendeng. Sekali roda besi itu menggerus leher si nenek pasti lehernya akan putus dan nyawanya tidak tertolong lagi. Pada saat yang genting itu tiba-tiba ada suara berseru

“Sahabatku Sinto Gendeng! Siapa yang berani mencelakaimu akan kuhancurkan batok kepalanya!”

Bersamaan dengan suara seruan itu tampak satu bayangan biru berkelebat dari arah kanan. Lalu ada cairan harum menyembur keras. Ramada Suro Jelantik tahu datangnya bahaya cepat tari kakinya lalu jatuhkan diri bergulingan.

Brettt! Breetttt!

Baju hitam Ramada robek besar di bagian punggung. Kulit punggungnya mengepulkan asap laksana ditempel besi panas.

“Anak-anak! Ada orang datang! Lekas tinggalkan tempat ini!” teriak Ramada lalu dia melesat ke atas pohon di mana Gcui Setan menyangsrang. Dengan kecepatan kilat disambarnya benda itu. Lalu dia turun lagi ke tanah untuk mengambil jenazah istrinya. Sekali lagi dia berkelebat tubuhnyapun lenyap. Hanya suara deru roda besinya yang menggerus tanah terdengar di kejauhan. Jalak Item dan Jalak Biru segera berlari mengejar pimpinan mereka sambil memikul keranjang rotan masing-masing.

Mayat Jalak Ijo mereka tinggalkan begitu saja. Sebelum Ramada dan tiga anak buahnya sampai de tempat kediaman Sinto Gendeng, orang tua berjanggut putih dan berpakaian selempang kain biru di atas pohon kembali meracau seorang diri.

“Empat manusia aneh tadi. Yang satu membawa mayat dan guci. Tiga lainnya memikul keranjang. Masing-masing memiliki muka berwarna warni. Eh, ada keperluan apa mereka berada di gunung ini? Apa yang mereka cari….? Ah, sulit aku menerkaya.” Di kakek lalu teguk tuaknya beberapa kali. “Hemmm….enaknya lauk ini” kata si kakek. “Eh, pikir-pikir aku sendiri mengapa sampai berada di sini? Astaga! Aku sampai lupa. Aku datang kemari untuk menyambangi seorang sahabat. Jangan-jangan empat orang tadi juga ingin menenmuinya. Tapi gerak-gerik mereka jelas keempatnya bukan orang baik-baik. Di puncak gunung tinggal sahabatku Sinto Gendeng. Jangan-jangan keempat orang tadi punya maksud jahat terhadap si nenek. Baiknya aku segera berangkat ke sana. Tapi biar kusumpal lagi perutku dengan tuak kayangan ini!” Si kakek teguk lagi tuak dalam tabung bambu sampai minuman ini meler berjatuhan di bibirnya. Setelah puas, dengan gerakan aneh dan sangat enteng, dia melompat dari cabang pohon tempat dia duduk berjuntai. Tubuhnya laksana kapas melayang turun ke tanah tanpa suara sama sekali. Begitu menginjak tanah dia segera hendak berkelebat pergi namun langkahnya tertahan.

“Eh, aku ke sini seharusnya tidak sendirian. Anak itu belum juga muncul! Kalau dia sampai tidak datang akan kupecat dia sebagai murid. Apa ini dikiranya urusan ain-main?!” Si kakek memandang jauh-jauh kian kemari. Namun dia tidak melihat seorangpun di sekitar situ. Dia memasang telinganya baik-baik. Tak terdengar suara apapun. Akhirnya dia tinggalkan tempat itu., menghambur menuju puncak Gunung Gede.

Dia datang tepat pada saat Sinto Gendeng roboh ke tanah dan Ramada siap untuk menjagal lehernya dengan roda bergerigi di ujung kaki kirinya. Si kakek segera teguk tuaknya lalu minuman ini disemburkannya ke arah Ramada Suro Jelantik. Tuak kayangan bukan saja merupakan minuman sedap tetapi di tangan si kakek bisa berubah menjadi senjata yang sangat berbahaya.

Dengan minuman itu dia telah menjadi seorang tokoh silat tingakt atas yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Dialah tadi yang menyembur Ramada dengan tuak saktinya hingga Sinto Gendeng selamat dari roda maut yang siap memutus lehernya.

Sebetulnya si kakek ingin mengejar Ramada namun lebih penting baginya menyelamatkan Sinto Gendeng. Karenanya begitu Ramada dan dua anak buahnya kabur orang tua ini cepat mendatangi Sinto Gendeng. Menyangka si kakek adalah salah seorang musuhnya Sinto Gendeng yang tengah breusaha bangkit berdiri angkat tangan kanannya, siap untuk menghantam.

“Sinto! Kau mau membunuhku degan pukulan saktimu?!” sikakek cepat berseru.

“Eh!” sinto Gendeng jadi terkesiap. “Aku rasa-rasa mengenal suaramu. Bukankah kau….?”

“Sudah! Jangan banyak bicara dulu. Ada dua binatang beracun menancap di tubuhmu! Biar aku singkirkan lebih dulu!”

Kakek berjanggut putih yang membekal dua buah tabung bambu berisi tuak itu mencabut kalajengking hitam yang menancap di leher Sinto Gendeng lalu dengan jari-jari tangannya diremasnya binatang itu hingga hancur luluh. Kedua mata si kakek kelihatan membesar sewaktu dia melihat bahwa leher Sitno Gendeng yang bekas ditancapi kala hitam tadi tampak menggembung.

“Racun jahat,” kata si kakek dalam hati. “Pasti sudah menjalar ke dalam aliran darahnya. Tubuhnya terasa panas. Kalau tidak segera ditolong sahabatku ini pasti akan celaka. Ah, agaknya aku tak akan bisa mengajaknya membicarakan hal itu. Muridku celaka itu mana dia! Masih juga belum kelihatan batang hidungnya!”

Sinto Gendeng yang sedang ditolong menangkap ucapan-ucapan perlahan si kakek. “Eh apakah kau sedang mengomeli diriku?!” tanyanya.

“Jangan bicara Sinto! Keadaanmu berbahaya. Masih ada satu binatang beracun di tubuhmu!” kata si kakek. Lalu kelabang biru yang menempel di bahu kanan Sinto Gendeng dicabutnya dan seperti kala hitam tadi binatang ini diremasnya sampai lumat.Ketika diperhatikan bahu kanan Sinto Gendeng ternyata juga bengkak besar tanda racun sudah memasuki tubuhnya.

“Sinto, keadaanmu berbahaya. Ubuhmu panas…..”

“Panas? Aku malah merasa kedinginan. Bawa aku masuk ke dalam gubukku!” kata Sinto Gendeng.

“Tunggu, aku mau melakukan apa yang bisa membendung racun yang ada dalam tubuhmu,” kata si kakek. Lalu degnan sebuah pisau kecil ditorehnya luka bengkak pada leher dan bahu kanan Sinto Gendeng. Darah mengucur berwarna hitam.

Si kakek pergunakan mulutnya untuk menyedot darah lewat kedua luka. Lalu dia meneguk tuaknya. Dengan tuak itu dia kemudian menyembur luka di leher dan bahu Sinto Gendeng. Tidak sampai di situ diapun membuat beberapa totokan d tubuh si nenek.

“Sobatku Dewa Tuak,” Sinto Gendeng menyebut nama si kakek. “Aku bersyukur dan berterima kasih kau menolongku. Kemunculanmu tidak terduga….”

“Sudah, jangan bicara banyak dulu. Biar aku dukung kau ke dalam rumah,” ujar si kakek yang ternyata adalah tokoh silat berusia lebih dari 80 tahun yang sejak beberapa tahun ini jarang memunculkan diri dalam rimba persilatan.

“Kedatanganku tadinya untuk membicarakan satu masalah penting denganmu. Tapi melihat keadaanmu seperti ini kurasa sebaiknya aku menunda dulu pembicaraan itu.” Dewa Tuak lalu mendukung tubuh Sinto Gendeng.

“Gila! Tubuhmu kurus kering begini tapi berat bukan main!” Dewa Tuak seperti mengeluh. Sinto Gendeng didukungnya masuk ke dalam rumah lalu dibaringkannya pada sebuah tempat tidur kayu. “Sinto, racun dalam tubuhmu jahat sekali. Aku tidak bisa menjamin kau bisa bertahan lebih dari dua minggu. Aku harus mencari seorang tabib ulung dan membawamu turun gunung.”

Sinto Gendeng batuk-batuk beberapa kali. “Buat apa kau menyusahkan diri. Kalau nyawaku mau minggat dari tubuh keropos ini ya biar saja! Hik…hik…hik!”

Sinto Gendeng masih bisa tertawa cekikikan. Dewa Tuak geleng-gelengkan kepala.

“Tubuhku terasa dingin. Mana tuak keparatmu itu? Aku minta barang beberapa teguk biar tubuhku dan darahku jadi hangat!”

Dewa Tuak menurunkan tabung tuaknya dari punggung lalu mendekatkan mulut tabung ke mulut Sinto Gendeng. Gluk…gluk…gluk! Si nenek meneguk tuak itu dengan lahap.

“Sinto, kau dengar baik-baik. Aku harus meninggalkanmu saat ini juga untuk menemui tabib yang kukatakan itu. Kalau kau tak mau dibawa turun gunung, biar tabib itu saja yang aku bawa ke sini. Sebelum pergi perlu kuberitahu bahwa muridku Anggini mungkin sekali akan muncul di sini. Kami berjanji akan bertemu di puncak Gunung Gede ini….”

Sinto Gendeng tersenyum. “Aku tahu. Aku tahu mengapa kalian mengadakan pertemuan di sini. Pasti urusan yang itu juga….”

“Keadaanmu membuat aku terpaksa membatalkan pembicaraan itu Sinto. Lain kali saja kita bicarakan lagi….”

“Kalau umurku masih panjang,” kata Sinto Gendeng.

“Jangan bicara bagitu Sinto….”

“Kalau saja Kapak Naga Geni 212 ada di sini segala macam racun yang mendekam dalam tubuhku pasti bisa disedot….” Kata Sinto Gendeng pula.

“Kalau begitu, bagaimana jika aku mencari muridmu dan membawanya ke sini?” minta pendapat Dewa Tuak.

“Dalam waktu seribu hari belum tentu kau bakal dapat menemuinya.”

Dewa Tuak maklum apa yang dikatakan sahabatnya itu memang betul. Tidak mudah mencari Wiro Sableng.

“Sinto, sebenarnya siapa orang-orang yang mencelakaimu itu?” bertanya Dewa Tuak.

“Aku tak kenal mereka. Sebelumnya juga tak pernah melihat. Yang jadi pimpinan dipanggil oleh anak buahnya dengan nama Ramada….” Menerangkan Sinto Gendeng.

“Ramada….Ramada…..” Dewa Tuak mengulang-ulang nama itu. “Rasanya aku pernah tahu manusia keparat satu itu. Dia berasal dari Timur. Kalau tak salah nama lengkapnya Ramada…..Ramada Suro Jelantik. Sebetulnya dia bukan manusia jahat tapi juga bukan orang baik-baik. Dia tidak diterima dalam golongan hitam dan tidak diperdulikan dalam golongan putih. Cuma memang belakangan ini, sejak dia punya beberapa orang anak buah, kelakuannya berubah. Dia banyak berbuat kejahatan. Kau yakin tidak punya silang sengketa denga orang-orang itu?”

Sinto Gendeng menggeleng. “Ramada datang membawa tuduhan bahwa muridku Wiro Sableng telah memperkosa dan membunuh istrinya….”

“Jadi yang dibawa-bawanya itu adalah mayat istriya?! Gila betul! Cuma ada hal yang kurasa aneh. Sekalipun muridku berbuat jahat seperti yang dituduhkan, mengapa dia dan anak buahnya nekad hendak membunuhku?!”

“Ada sesuatu yang tidak beres Sinto,” kata Dewa Tuak pula. “Bagaimana kalau aku menghubungi sahabat kita Kakek Segala Tahu. Siapa tahu dia bisa member petunjuk.”

“Terserah padamu Dewa Tuak. Tapi kau juga tahu mencari orang seperti dia tidak mudah.” Jawab Sinto Gendeng. Dia menarik nafas dalam lalu melanjtukan ucapannya.

“Aku melihat Ramada membawa sebuah benda. Sebuah guci. Aku yakin pernah melihat benda itu di masa mudaku. Sebuah guci keramat milik Kerajaan berasal dari zaman Singosari. Guci itu sangat berbahaya jika sampai jatuh dalam tangan orang-orang jahat….”

Dewa Tuak terdiam sesaat. Akhirnya orang tua ini berkata “Sinto, aku harus pergi sekarang. Kalau muridmu datang dia tentu akan merawatmu sampai aku kembali.”

Sinto Gendeng menarik nafas dalam. Tubuhnya semakin panas tapi dia sendiri merasa dingin. Dewa Tuak memegang lengan sahabatnya itu. Didengarnya sinto berbisik “Tinggalkan satu tabung tuak untukku.”

“Tentu Sinto. Kau boleh minum tuka ini sepuas hatimu.” Dewa Tuak turunkan tabung tuaknya yang masih penuh lalu menyandarkan tabung bambu itu di tepi tempat tidur, dekat kepala Sinto Gendeng.

***

 

DELAPAN

 

Menjelang petang dua penunggang kuda nampak menuruni puncak Gunung Merbabu. Keduanya bukan lain adalah Pangeran Banuarto dan keponakannya Dewi Santiastri yang baru saja menziarahi makam Pangeran Banowo, ayahanda si gadis yang juga merupakan kakak Pangeran Banuarto.

Setelah berdiam diri beberapa lamanya, Dewi Santiastri membuka pembicaraan di antara mereka. “Paman, sebenarnya kalau tidak ada pesan dari almarhum ayahanda ingin saya memindahkan makam beliau ke pinggiran Kotaraja…”

“Maksudmu memang baik. Tapi pesan orang yang meninggal harus dihormati. Aku takut kalau-kalau nanti ada akibatnya yang tidak baik bagi kita….”

Si gadis terdiam. Lalu dia mengalihkan pembicaraan. “Pemuda yang bernama Wiro itu, apakah benar dia seorang pendekar sakti mandraguna yang punya nama besar di delapan penjuru angin?”

“Begitu kabar yang aku dengar….”

“Tapi mengapa salah satu anak panah saya mempu melukainya?”

Pangeran Banuarto tersenyum. “Mungkin kehebatannya telah menurun atau bisa saja ilmu panahmu sudah meningkat jauh!”

Dewi Santiastri tersenyum. Belum pupus senyum dari wajahnya yang jelita itu tiba-tiba di lereng gunung yang menurun itu muncul seorang tua berpakaian dan berblangkon hitam. Janggut dan kumisnya putih tak terurus. Pandangan matanya dingin angker. Dari caranya berdiri di jalan jelas dia sengaja menghadang perjalanan kedua orang yang berkuda itu.

“Orang tua, siapa kau?” bertanya Pngeran Banuarto dengan rasa heran. Tentu saja dia tak akan menyangka kalau akan bertemu dengan seseorang tak dikenal di tempat itu.

Orang yang ditegur menyeringai. “Kau tak kenal aku sungguh keterlaluan Pangeran Banuarto,” orang itu berkata.

“Eh, kau tahu siapa aku!” Pangeran Banuarto semakin heran.

Orang berblangkon hitam kembali menyeringai. “Namaku Ki Ageng Lentut. Bertahun-tahun aku menjadi kuncen penjaga makam Pangeran Banowo tanpa dibayar barang sepeserpun! Apa salah kalau hari ini aku muncul untuk menagih segala hutang piutang?!”

Pangeran Banuarto dan keponakannya jadi saling pandang mendengar katakata orang yang tidak mereka kenal itu. Si gadis membuka mulut.

“Kami tidak pernah merasa mempunyai kuncen untuk mengurus makam ayahanda….”

“Ah kalau begitu kau seorang anak yang sangat tidak berbakti!”

“Jaga mulutmu!” bentak Pangeran Banuarto.

Dibentak begitu orang yang mengaku kuncen makam Pangeran Banowo itu hanya menyeringai. “Aku sudah menghitung-hitung berapa bayaran yang harus kuterima. Semuanya sekitar sepuluh tail emas ditambah lima puluh tail perak! Aku mohon kalian jangan segera membayarnya saat ini!”

“Orang gila! Kami tidak membawa apa yang kamu minta itu. Sekalipun ada tidak akan kami berikan! Antara kita tidak ada sangkut paut apa-apa!”

“Pangeran, jangan berkata begitu. Aku telah merawat….”

“Tunggu dulu!” sentak Dewi Santiastri. “Kalau kau benar merawat makam ayahandaku, mengapa makam begitu kotor dan ada tiangnya yang patah?!”

“Soal tiang patah itu karena ada seorang gila datang mengamuk. Tapi aku telah mengusirnya hingga makam tidak lebih rusak….”

“Kau dusta! Aku tahu kau dusta!” kata Dewi Santiastri pula.

“Jadi kalian tidak mau membayar?” bertanya kuncen Ki Ageng Lentut.

“Siapa sudi!” teriak Dewi Santiastri.

“Baiklah, kalau kalian tidak mau membayar tidak jadi apa. Kalian yang merugi, bukan aku. Namun jika kalian mau berunding rasanya itu lebih baik…”

“Apa maksudmu?!” tanya Pangeran Banuarto.

“Usiaku memang sudah agak lanjut. Tapi kejantananku tidak kalah dengan seorang pemuda dua puluh tahun. Kulihat keponakanmu itu berparas cantik. Bagaimana kalau dirinya saja yang kuambil sebagai pembayar hutang kalian!”

“Manusia rendah bermulut kurang ajar!” teriak Pangeran Banuarto marah. Dewi Santiastri tidak kalah marahnya. Gadis ini menyentakkan tali kekang kudanya. Begitu tunggangannya melompat ke hadapan orang berpakaian hitam, kaki kanannya langsung ditendangkan ke kepala orang itu.

“Ah, tidak dikira putrid almarhum Pangeran Banowo memiliki ilmu silat,” kata si kuncen sambil tersenyum.. Sekali tangannya bergerak dia berhasil menangkap pergelangan kaki kanan si gadis. Lalu sekali putar saja tubuh Dewi Santiastri dibuatnya mencelat ke atas.

Sambil memekik marah puteri mendiang Pangeran Banowo itu jungkir balik di udara. Kedua tangannya bergerak menyambar busur dan tiga anak panah. Masih dalam keadaan melayang di udara si gadis lepaskan tiga anak panah kea rah si kuncen. Yang diserang berseru kaget. Untung dia bisa berlaku cepat melompat menghindari tiga serangan anak panah itu walau satu anak panah masih sempat menyerempet blangkonnya hingga blangkon itu robek besar.

“Hem, gadis ini berbahaya. Dia harus ditangani lebuh dulu,” membatin Ki Ageng Lentut yangwajahnya sempat pucat akibat keganasan ilmu panah Dewi Santiastri tadi. Pada saat itu Pangeran Banuarto telah melompat turun dari kudanya.

Dengan tangan kosong dia menyerang Ki Ageng Lentut. Sang kuncen menangkis dengan melintangkan lengan kiri di depan kepalanya. Bukkk! Dua tangan saling baradu. Pangeran Banuarto mengernyit kesakitan. Tubuhnya terjajar beberapa langkah ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan si kuncen untuk menyergap ke arah Dewi Santiastri yang saat itu sudah berdiri di tanah dan siap melepaskan lima anak panah. Namun sebelum dia mampu melakukan hal itu, orang berpakaian hitam ini telah menyergap si gadis. Dewi coba menghantam kepala lawan dengan busurnya. Dia berhasil.

Trakkk!

Busur patah dua begitu menghantam kepala Ki Ageng Lentut. Dari keningnya yang terluka mengucur darah. Tapi seolah tidak merasakan sakit orang ini kembali menyergap bagian pertengahan dada Dewi Santiasri hingga gadis ini tertegak kaku tidak bisa bergerak lagi.

“Keparat jahanam! Apa yang kau lakukan pada keponakanku?!” teriak Pangeran Banuarto.Tangan kanannya yang masih sakit akibat bentrokan tadi dipukulkannya ke perut sang kuncen.

Bukkk!

Jotosan itu tepat mengenai ulu hati Ki Ageng Lentut!

“Mampus!” teriak Pangeran Banuarto karena dia sudah memastikan perut orang tua itu akan jebol dan hancur di sebelah dalam. Pukulan yang dilepaskannya tadi bukan pukulan sembarangan. Selain mengandung tenaga dalam tinggi juga disertai aji “wesi kuning” yang sanggup mematahkan pohon menjebol dinding.

Tapi sang pangeran jadi terbelalak ketika melihat, jangankan jebol atau muntah darah bergeming sedikitpun tubuh sang kuncen tidak! Malah dia tampak menyeringai dan berkata mengejek.

“Aji wesi kuning tidak ada gunanya di hadapanku, pangeran! Sekarang gilirankmu menerima pukulanku!” Habis berkata begitu Ki Ageng Lentut angkat tangan kanannya ke atas. Telapak tangan membuka. Mulutnya berkomat kamit. Lalu telapak tangan yang diarahkan pada Pangeran Banuarto itu didorongkannya. Perlahan saja. Apa yang terjadi membuat Dewi Santiastri terpekik.

Dari telapak tangan Ki Ageng Lentut menyembur keluar suara mendesis keras disertai hawa panas luar biasa. Pangeran Banuarto cepat menyingkir sambil menghantam degnan kedua tangan.

Bummmm!

Lereng Gunung Merbabu itu terasa bergetar. Ki Ageng Lentut tampak tertegak dengan lutut menekuk sedang tubuh sebelah atas bergoyang-goyang. Wajah tuanya kelihatan sedikit pucat. Tapi dia berhasil menguasai diri. Kedua kakinya melurus dan tampangnya tampak berdarah lagi.

Lain halnya dengan Pangeran Banuarto. Begitu pukulan tangan kosongnya saling bentrokan dengan hawa panas yang keluar dari telapak tanagn si kuncen, tubuhnya langsung mencelat mental. Ambruk di tanah berguling-guling sampai beberapa tombak. Ketika gulingannya tertahan oleh akar semak belukar, kelihatan pakaian dan sebagian kulit tubuhnya laksana dipanggang! Tubuh itu tidak berkutik lagi dan Dewi Santiastri tahu kalau pamannya sudah jadi mayat! Untuk kedua kalinya gadis ini berteriak.

Ki Ageng Lentut menyeringai sambil usap-usap janggutnya. Lalu terdengar dia tertawa mengekeh. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati mayat Pangeran Banuarto. Di satu tempat dia mematahkan sebatang ranting kayu yang keras. Dengan ranting yang ujungnya tajam ini dia lalu menoreh angka 212 di kening Pangeran Banuarto. Ranting dicampakkan dan Ki Ageng Lentut kembali tertawa mengekeh. Tubuh Pangeran Banuarto didukungnya lalu dinaikkan ke atas kuda. “Bawa kembali tuanmu ke Kotaraja!” Lalu Ki Ageng Lentut menepuk pinggul kuda itu kuat-kuat hingga binatang ini menaikkan kedua kakinya lalu lari menghambur.

Ki Ageng Lentut menyeringai dan berpaling kea rah Dewi Santiastri.

“Manusia durjana! Pergi! Pergi!” teriak si gadis ketika si kuncen melangkah ke arahnya.

“Tenang kekasihku, tenang. Kau akan kubawa bersenang-senang. Kau akan merasakan satu kenikmatan dunia yang belum pernah kau ketahui salama ini!”

“Manusia iblis! Setan! Pergi!” teriak Dewi Santiastri.

Ki Ageng Lentut sampai di hadapan si gadis. Tanpa pedulikan teriakan di Dewi, tangan kanannya enak saja secara kurang ajar mengusap permukaan dada gadis itu. Jeritan dan makian si gadis terdengar berkepanjangan.

“Kekasihku, apakah kau pernah ditiduri laki-laki?” Ki Ageng Lentut ajukan pertanyaan seraya menyusupkan tangan kanannya ke balik dada pakaian Dewi Santiastri.

“Manusia jahanam! Kau bunuh saja aku daripada menodai begini tupa!” teriak Dewi Santiastri.

“Jangan bilang begitu kekasihku. Mari ikut aku ke makam ayahmu. Di situ kita akan bersenang-senang biar roh ayahmu menyaksikannya sendiri. Setelah itu kalau kau memang mau mati boleh-boleh saja….”

“Jahanam! Lepaskan!” teriak Dewi. “Lepaskan!”

Ki Ageng Lentut tertawa mengekeh. Tubuh gadis dipanggulnya di bahu kiri lalu dilarikannya kea rah puncak Gunung Merbabu. Tapi baru berlari beberapa belas langkah tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring. Bersamaan dengan itu ada semburan angin di samping kiri. Ki Ageng Lentut terkejut ketika merasakan tubuh gadis yang ada di bahunya terlepas dari panggulannya. Secepat kilat dia hentikan larinya dan berpaling.

“Keparat….. Dia rupanya!” Ki Ageng Lentut jadi terperangah ketika melihat siapa yang ada di depannya. “Rasanya mau aku nekad-nekadan menghadapinya saat ini juga. Tapi tak ada gunanya. Biar orang lain saja yang membereskannya. Perlu apa menyusahkan diri!” Berpikir begitu Ki Ageng Lentut keluarkan sebuah benda dari saku pakaian hitamnya. Benda ini kemudian dilemparkan kea rah pemuda gondrong yang kini mendukung Dewi Santiastri.

Blusssss!

Benda yang dilemparkan meletus di udara. Asap pekat kelabu membumbung membungkus tempat itu. Pemuda yang mendukung Dewi SAntiastri melepaskan satu pukulan tangan kosong yang sangat dahsyat. Tapi tak ada gunanya. Ki Ageng Lentut telah lebih dulu menghambur pergi diblik kepulan asap kelabu. Di sebelah sana pohon-pohon dan semak belukar patah tumbang dan mencelat kian kemari dihantam pukulan “dewa topan menggusur gunung.”

Pendekar 212 Wiro Sableng baringkan tubuh Dewi Santiastri di tanah yang rata lalu melepaskan totokannya. Gadis ini menangis keras dan tanpa sadar memeluki tubuh si pemuda.

“Wiro, syukur kau datang. Kalau tidak entah apa jadinya dengan diriku. Tapi orang jahat itu telah membunuh paman Pangeran Banuarto….”

Wiro terkejut sekali. Dia memandang berkeliling.

“Mayat paman dinaikkannya ke atas kuda, lalu kuda digebraknya. Binatang itu kini telah dalam perjalanan ke Kotaraja. Sebelum mayat paman dinaikkan ke atas kuda dia telah menoreh angka 212 pada kening mayat…..”

“Apa!” sepasang mata Pendekar 212 sampai melotot ketika mendengar ucapan di gadis. Dewi Santiastri lalu menerangkan lebih rinci.

“Kurang ajar! Apa maksud orang itu….?!” Pendekar 212 berpikir-pikir.

“Hemmmmm…. Jelas dia berusaha memfitnah diriku! Gila! Begitu kuda pembawa mayat pamanmu sampai di Kotaraja semua orang akan segera tahu bahwa akulah pembunuh Pangeran Banuarto.”

“Tapi aku bisa menjadi saksi bahwa bukan kau yang melakukan hal itu,” kata Dewi pula.

“Memang bisa, tapi namaku sempat tercemar lebih dulu. Kita tak mungkin mengejar kuda yang membawa jenazah pamanmu. Begitu aku muncul di Kotaraja pasti aku akan segera ditangkap. Kurang ajar betul! Kau tahu siapa orang tua berkumis dan berjanggut putih tadi itu?”

“Dia mengaku kuncen makam ayahandaku. Padahal kami tidak pernah membayar seorang kuncenpun….”

“Kau pernah melihat orang itu sebelumnya? Atau mungkin tahu nama serta asalnya?” tanya Wiro.

“Baru sekali ini aku melihatnya. Tak tahu darimana dia berasal. Hanya tadi dia mengaku bernama Ki Ageng Lentut.”

Pendekar 212 garuk-garuk kepala. “Ki Ageng Lentut….Ki Ageng Lentut….Aku pernah dengar nama itu. Aku ingat! Dia seorang pengukir patung kayu di Pangadegan. Rasanya tak mungkin dia yang melakukan. Tapi aku pernah mendengar bahwa dia menguasai semacam ilm hitam….. Bagaimana cirri-cirinya?”

“Tua, kumis dan janggutnya sudah putih. Blangkon dan pakaiannya serba hitam….”

“Tepat sama dengan cirri-ciri juru ukir itu! Kurang ajar! Jika memang dia akan kupecahkan kepalanya!” Wiro kepalkan kedua tinjunya walaupun hatinya masih agak meragu.

“Kita harus pergi dari sini. Aku akan antarkan kau sampai di pintu gerbang luar Kotaraja. Begitu sampai di Kotaraja kau harus segera menemui pejabat Istana yang kau kenal baik dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi atas diri pamanmu.”

“Aku akan melakukan itu Wiro. Jangan kawatir. Namun bagaiman kalau kita bersama-sama menemui pejabat itu? Aku kenal seorang Tumenggung yang punya hubungan baik dengan Sultan”

“Terlalu besar bahayanya. Sebelum persoalannya jelas bagi kalangan Keraton, aku tak mungkin masuk ke dalam Kotaraja.”

“Aku mengerti. Jadi kau antarkan saja aku sampai di pintu gerbang Kotaraja,” kata Dewi Santiastri.

Pendekar 212 memapah gadis itu lalu menaikkannya ke atas punggung kuda.

“Kuda kita cuma satu? Bagaimana dengan kau?”

Wiro tersenyum. “Asal kau tidak memacunya terlalu cepat aku bisa mengikuti dari belakang.”

“Kalau begitu….” Si gadis meragu sesaat. “Kau naik saja di belakangku Wiro.”

Tanpa disuruh dua kali Wiro Sableng langsung naik punggung kuda besar itu. Apa yang diperkirakan Pendekar 212 Wiro Sableng memang benar. Begitu mayat Pangeran Banuarto sampai di Kotaraj, suasana menjadi geger. Pendekar 212 Wiro Sableng segera dicap sebagai pembunuh. Walaupun keumudian Dewi Santiastri menemui pejabat yang dikenalnya lalu menerangkan apa yang terjadi namun pihak Istana tidak begitu saja mempercayainya. Malah tersebar desas desus bahwa gadis itu mungkin saja berkomplot dengan Pendekar 212 untuk membunuh Pangeran Banuarto karena kini hanya dialah pewaris tunggal harta kekayaan milik ayah dan sang paman.

***

 

SEMBILAN

 

Malam yang gelap di pinggiran timur Kotaraja. Di desa pengadegan terasa dingin setelah hujan turun cukup lebat. Di mana-mana terdengar suara jangkrik yang sesekali ditimpali suara kodok.

Di dalam rumah kayu, orang tua berjanggut dan berkumis putih itu duduk di atas tikar tengah asyik memperhalus ukiran kepala seekor burung garuda besar. Sebenarnya matanya sudah sangat mengantuk, tapi ukiran itu harus selesai malam itu juga karena esok pagi pemesanna, seorang hartawan dari Kudus akan mengambilnya.

Sesekali orang tua ini menghentikan pekerjaannya sekedar untuk mengipas-ngipaskan blangkon hitamnya. Walaupun di luar udara dingin namun dalam rumahnya Ki Ageng Lentut merasa panas dan sekujur pakaian hitamnya basah oleh keringat. Tengah dia asyik menekuni pekerjaannya tiba-tiba telinganya menangkap suara kaki di depan rumah. Sesaat kemudian pintu rumah terpentang lebar dan tangga ditendang orang dari luar.

“Hai! Setan dari mana yang datang mengamuk malam-malam buta di rumahku?!” teriak Ki Ageng Lentut marah sekali.

Baru saja dia berteriak begitu tiba-tiba di hadapannya tegak bertolak pinggang seorang pemuda berambut gondrong dengan tampang beringas seolah siap untuk melumat juru ukir itu.

“Orang gila! Siapa kau?! Kau merusak pintu rumahku! Masuk tanpa izinku?”

Ki Ageng Lentut letakkan ukiran burung garuda ke atas tikar lalu berdiri dengan cepat. Pahat kecil yang tajam luar biasa tepentang di tenagnnya.

“Benar kau orangnya yang bernama Ki Ageng Lentut?!” bertanya si pemuda.

“Eh setan sialan! Ditanya malah kembali menanya! Kau sendiri siapa orang gila?”

“Namku Wiro. Aku ingin jawabanmu benar kau orangnya yang bernama Ki Ageng Lentut?!”

“Kalau kau sudah tahu siapa aku lekas minggat dari sini. Tapi bertulkan dulu pintu rumahku. Kalau tidak wajahmu akan kuukir seburuk setan dengan pahat ini!”

“Orang tua, kau telah membunuh Pangeran Banuarto. Kini aku jadi buronan karena perbuatanmu menoreh angka 212 di kening jenazah pangeran itu!”

“Eh…..eh…! Tunggu dulu! Kau benar-benar orang gila kesasar. Kal kaupun aku tidak! Enak saja menuduh....”

“Di mana kau sekitar empat hari lalu?!”

“Orang gila seharusnya aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu. Tapi biar aku membuat pengecualian. Sejak satu minggu terakhir ini aku tidak pernah meninggalkan rumah ini !”

“Dusta!”

“Anjing edan! Lihat pahat!” teriak Ki Ageng Lentut. Pahat runcing berkilat di tangannya berkelebat.

Pendekar 212 Wiro Sableng cepat menghindar dan terkejut melihat kecepatan gerakan orang tua itu. Pipinya terasa dingin sewaktu ujung pahat menyambar dekat sekali ke wajahnya.

Jengkel melihat serangannya hanya mengenai tempat kosong, si orang tua membuat gerakan berputar. Ketika tubuhnya membalik tiba-tiba saja kaki kanannya mencuat ke udara.

Bukkkk!

Murid Eyang Sinto Gendeng terpelanting begitu tendangan kaki kanan Ki Ageng Lentut mendarat di rahang kirinya. Untuk beberapa saat lamanya kepalanya terasa pening. Kehebatan ilmu silat si kakek membuat Wiro semakin yakin bahwa memang dialah yang telah membunuh Pangeran Banuarto dan hendak menculik Dewi Santiastri.

“Tua bangka berkedok pengukir suci! Perbuatan bejatmu sudah aku ketahui! Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!” teriak Wiro. Lalu dia lancarkan serangan bertubi-tubi. Mula-mula Ki Ageng Lentut memang mampu membuat gerakan menghindar bahkan balas menyerang. Namun begitu nafasnya sesak dan gerakannya menjadi lamban maka tubuh dan mukanya menjadi bulan-bulanan jotosan Pendekar 212. Darah mengucur dari hidung dan bibirnya yang pecah. Sewaktu orang tua ini berusaha berlindung di belakang ukiran patung garuda besar tanpa ampun Wiro melabrak patung itu dengan tendangan kaki kanan hingga hancur berkeping-keping.

Ki Ageng Lentut meraung keras. Dia lebih baik kehilangan nyawanya dari pada melihat ukiran burung garuda itu hancur begitu rupa. Seperti orang kemasukan setan dia bergulingan di lantai sambil memegangi beberapa bagian ukiran yang hancur. Wiro tidak menunggu lebih lama. Kaki kanannya bergerak ke arah kepala Ki Aggeng Lentut. Si orang tua malah tidak perdulikan kepalanya bakal pecah dan nyawanya melayang. Dia menggerung sambil memegangi hancuran patung garuda.

Sesaat lagi kaki kanan Pendekar 212 akan menghantam kepala Ki Ageng Lentut tiba-tiba atap rumah yang terbuat dari rumbia itu jebol di dua bagian. Bersamaan dengan itu terdengar dua suara keras. Yang pertama suara lelaki berseru, “Pendekar 212! Tarik pulang seranganmu! Jangan sampai kesalahan turun tangan!”

Suara kedua adalah suara perempuan. “Kalau otak ditelan perasaan begini jadinya. Tarik pulang tendangan atau kuhancurkan kakimu!”

Lalu dari atas atap sebelah kanan menyembur cairan berbau harum sedang dari atap sebelah kiri menyambar satu cahaya biru laksana tebasan pedang panjang yang mengeluarkan hawa sangat dingin hingga murid Eyang Sinto Gendeng merasa tengkuknya jadi merinding! Bagaimanapun nekadnya dia hendak membunuh Ki Ageng Lentut yang dicapnya sebagai pembunuh Pangeran Banuarto dan yang hendak menculik dan memperkosa Dewi Santiastri tapi pikiran sehat membuat sang pendekar menarik tendangannya dengan cepat.

Byuuuuurrrrr!

Craaaaatttt!

Lantai papan berlobang di enam tempat akibat semburan cairan aneh berbau harum. Lalu di bagian lain lantai yang sama robek seperti ditembus benda tajam yaitu akibat hantaman sinar biru tadi!

Pendekar 212 leletkan lidah dan garuk-garuk kepala. Sesaat nyawanya serasa terbang. Kalau tadi dia tidak segera menarik tendangannya jelas kakinya akan hancur dan terbabat putus! Wiro angkat kepala memandang ke dapan. Dia melihat dua pemandangan yang kontras sementara Ki Ageng Lentut masih menelungkup di lantai menangisi patungnya yang hancur.

Di sebelah depan kanan Wiro saat itu berdiri seorang kakek berpakaian selempang kain biru. Di punggungnya tergantung sebuah tabung bambu. Janggutnya yang putih menjela sampai ke bahu. Di bawah penerangan lampu minyak yang tergantung di dinding kanan rumah dia segera mengenali sapa adanya kakek-kakek itu.

Dia hendak berseru memanggil nama “Dewa Tuak” namun mulutnya tersekat ketika dia melihat sosok kedua yang berdiri di samping kiri ruangan. Di situ tegak seorang dara berpakain biru. Begitu tipisnya pakaian yang dikenakannya sehingga walaupun nyala lampu minyak di ruangan itu tidak seberapa terang namun Wiro masih dapat melihat menembus ke balik pakaian itu bentuk tubuh yang luar biasa bagusnya. Murid Sinto Gendeng merasakan nafasnya seperti berhenti. Wajah dara itu ternyata cantik bukan kepalang. Rambutnya yang panjang tergerai sampai di dada berwarna coklat kepirangan.

“Gila, mengapa di saat seperti ini ada bidadari yang turun ke bumi!” kata Pendekar 212 dalam hati. Untuk beberapa saat lamanya dia tak bisa berkata apa-apa selan tegak tertegun.

Kakek berjanggut putih yang memang adalah Dewa Tuak betuk-betuk beberapa kali. Pendeka 212 segera sadar. Dia cepat maju ke hadapan si kakek dan menjura dalam-dalam memberikan penghhormatan.

“Dewa Tuak, harap maafkan kalau aku tidak cepat menyalamimu. Semuanya terjadi begitu mendadak dan membuatku agak bingung.”

Dewa Tuak tertawa lebar. “Hidup ini sesekali memang harus dibuat bingung, anak muda. Bagaimana aku bisa muncul di sini dan bagaimana aku dapat menemuimu di sini satu mukjizat yang membingungkan. Aku mendengar kabar tentang seorang kuncen bernama Ki Ageng Lentut. Beberapa hari lalu aku berada di puncak Gunung Gede. Gurumu dalam bahaya besar. Ada empat tokoh silat dari Timur bernama Ramada Suro Jelantik. Orang ini memberi tahu bahea kau telah memperkosa istrinya lalu membunuh perempuan itu. Kemana dia pergi dia membawa jenazah istrinya yang sudah diawet. Agaknya dia tidak akan menghentikan kegilaan itu sebelum berhasil membunuhmu! Apa yang hendak kau katakan Pendekar 212?”

Untuk beberapa saat lamanya Wiro tampak ternganga mendengar kata-kata Dewa Tuak itu. “Dewa Tuak, kau kenal diriku sejak aku masih kecil. Tidak mungkin aku melakukan kejahatan keji seperti itu….”

“Tiga orang anak buah Ramada memberi kesaksian bahwa kau yang memperkosa dan membunuh istri pimpinan mereka!”

Wiro geleng-geleng kepala. “Aku harus mencari mereka. Urusan gila ini harus dijernihkan!”

“Bagus kalau kau mau bertindak begitu. Jangan harap aku akan membantumu. Aku punya urusan yang lebih penting. Menyelamatkan nyawa gurumu. Sinto Gendeng dikeroyok dan diserang dengan binatang-binatang berbisa. Tubuhnya digerayangi racun yang mematikan. Hanya Kapak Naga Geni 212 yang mampu menyesot racun ganas itu dari tubuhnya. Ddia hanya punya waktu dua minggu. Berikan senjata mustika itu padaku bihar segera kubawa ke Gunung Gede….”

“Dewa Tuak, sebagai muridnya bihar aku sendiri yang akan membawa Kapak Maut Naga Geni 212 ke sana….”

“Tidak Wiro!” jawab Dewa Tuak sambil menggelengkan kepala. Dia mengambil tabung bambu berisi tak. Setelah meneguk minuman itu beberapa kali dan menyeka bibirnya dengan belakang telapak tangan orang tua ini melanjutkan kata-katanya. “Urusanmu menyelamatkan gurumu serahkan padaku. Kau bereskan urusanmu dengan Ramada dan anak buahnya…..”

“Dewa Tuak kau tadi mengatakan aku salah turun tangan. Maksudmu….?’

Dewa Tuak belum sempat menjawab. Dara berpakaian tipis di sebelah kiri membuka mulut. “Juru ukir bernama Ki Ageng Lentut itu bukan orang yang kau cari….”

“Lalu….?” Wiro bertanya heran.

“Kau harus memecahkan sendiri teka teki ini? Hidup sebagai pendekar banyak tantangannya. Kau harus memecahkan setiap tantangan atau kepalamu sendiri yang akan dipecahkan orang!” jawab sang daa.

Wiro hanya bisa tegak ternganga dan memandang tak berkedip pada sang dara. Tiba-tiba Dewa Tuak membuat gerakan. Cepat sekali gerakannya itu hingga Wiro merasakan seperti dia dihembus angin dan tahu-tahu Kapak Maut Naga Geni 212 yang terselip di pinggangnya lenyap.

“Dewa Tuak! Tunggu dulu!” seru Wiro. Saat itu si kakek berjanggut putih sudah melompat ke atas. Dia menerobos lenyap lewa atap yang jebol. Wiro hendak mengejar tapi langkahnya tertahan karena dara berbaju biru tipis cepat sekali menghadangnya. Berdiri begitu dekat Wiro dapat melihat wajah cantik yang benar-benar sempurna. Hidungnya mencium bau harum yang keluar dari tubuh dan rambut si gadis.

“Orang hendak menyelamatkan gurumu, mengapa kau masih banyak cerewet?!” sang dara tiba-tiba menegur.

“Aku tidak cerewet!” jawab Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Eh, kau ini siapa sebenarnya?”

“Aku orang yang tadi hendak membuat buntung kaki kananmu dengan “pedang kilat biru”. Untung kau tidak berlaku nekad. Kalau tidak saat ini kau sudah jadi seorang pendekar buntung seperti Ramada itu!”

“Eh,kau kenal Ramada yang memfitnah aku memperkosa dan membunuh istrinya?”

“Kenal atau tidak itu bukan urusanmu. Siapa tahu mungkin memang kau yang memperkosa lalu membunuh istrinya….”

“Kau!” Wiro hendak mendamprat marah tapi kemarahannya leleh melihat kecantikan gadis di depannya.

Si gadis kemudian berkata lagi. “Coba kau lihat juru ukir itu! Kau telah menghancurkan barang yang sangat berharga dalam hidupnya. Apakah kau mampu memperbaiki ukiran burung garuda itu kembali?”

“Aku tak mampu melakukannya,” kata Wiro perlahan sambil memandangi si pengukir yang menelungkup di lantai menagnisi pecahan ukiran burung garudanya.

“Aku harus mengakui aku menyesal melakukannya. Semua gara-gara….”

“Jangan salahkan orang lain. Kau yang punya perbuatan kau yang harus bertanggung jawab.”

Ucapan itu membuat mulut Wiro Sableng terkancing. “Kau, kau seperti sedang menghakimiku. Apakah kau juga akan menjatuhi hukuman padaku?”

Wajah cantik itu menyeringai sinis. “Kau sendiri yang harus menghakimi dan menghukum dirimu!”

“Aku sudah bilang menyesal!” kata Wiro hampir berteriak dan menunjukkan tangan kanannya ke dalam telapak tangan kirinya.

Wiro mengeruk saku bajunya. Semua uang dan beberapa tail perak yang dimilikinya diletakkan di atas tikar. “Hanya itu yang bisa kulakukan. Ki Ageng Lentut ku harap kau bersedia menerimanya sebagai ganti rugi….”

Dara di depan Pendekar 212 tertawa panjang. “Uang dan perak itu tidak akan mengembalikan ukiran burung garudanya yang telah kau hancurkan!”

“Lalu….lalu aku harus berbuat apa?!”

Sang dara tak menjawab. Tiba-tiba tubuhnya bergerak. Pendekar 212 keluarkan seruan tertahan. Tubuh si gadis lenyap. Dia melihat gerakan-gerakan laksana kilat serta cahaya biru berkelebat kian kemari. Pecahan-pecahan kayu ukiran burung garuda yang bertebaran di lantai satu persatu lenyap dari tempatnya. Begitu juga yang sedang dipegang oleh si pengukir. Di lain kejap tahu-tahu di atas tikar pecahan ukiran kayu itu telah menyatu kembali membentuk burung garuda, utuh seperti semula. Wiro bersurut mundur. Ki Ageng Lentut ternganga dan matanya mendelik tak percaya.

“Itu yang diinginkan orang tua ini. Bukan penyesalan ataupun uang dan harta benda!”

Wiro palingkan kepalanya memandang pada gadis di hadapannya. Untuk beberapa lamanya sepasang mata mereka saling beradu. Wiro kalah. Dia menunduk lebih dulu. Ini yang membuatnya sangat jengkel. Ketika si baju biru itu melesat ke atas menerobos atap yang jrbol tanpa meunggu lebih lama murid Eyang Sinto Gendeng segera mengejarnya. Berlari sejauh beberapa puluh langkah, di satu tempat gadis itu hentikan langkahnya dan berbalik. Begitu Wiro sampai di hadapannya dia membentak.

“Perlu apa kau mengikutiku?!”

“Aku tidak mengikutimu. Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya. Kalau kau punya nama harap memberi tahu.”

“Untuk apa?!”

“Bukan untuk apa-apa. Kau tadi telah memberikan satu pelajaran sangat baik padaku….”

Si gadis tertawa. Wiro seperti terpana ketika melihat ada lesing pipit muncul di pipi kiri kanan si gadis.

“Bagi seorang pendekar, pelajaran paling baik bukan datang dari orang lain. Tapi dari dalam dirinya sendiri. Sanggup dan maukah dia belajar? Hanya itu saja persoalannya. Sederhana bukan?”

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya Pendekar 212 merasa seolah seperti seekor kodok dalam tempurung.

“Kau tak mau memberi nama tak jadi apa. Kepandaianmu luar biasa. Gerakanmu cepat tak terlihat mata laksana angin. Bihar aku panggil kau Bidadari Angin Timur. Terma kasih. Kau telah menanamkan sesuatu yang berarti dalam diriku. Yang tidak akan aku lupakan seumur hidupku. Terima kasih….” Perlahan-lahan Pendekar 212 memutar tubuhnya. Dua langkah dia berjalan tiba-tiba dilihatnya si gadis sudah ada sejarak dua tombak di depannya. Wiro berpaling ke belakang. Gadis itu tak ada di tempatnya semula. Wiro memandang lagi ke depan. Di situ tak terlihat lagi si baju biru itu.

Saat itu sebenarnya Wiro ingin sekali kencing. Namun karena diselimuti rasa jengkel, malu dan rasa bersalah bahkan bercampur pula dengan amarah akhirnya seperti tidak perduli diri lagi Wiro kencing begitu saja tanpa membuka celana dan sambil melangkah.

“Sialan!” katanya memaki entah memaki dirinya sendiri entah memaki gadis cantik berpakaian biru tipis tadi.

Saat itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa di sebelah atas. Wiro mendogak ke atas pohon di depannya. Gadis berbaju biru itu tampak berdiri di salah satu cabang pohon.

“Hanya orang tolol yang mau ngompol di celana!” kata si gadis sambil melambaikan tangannya.

“Astaga! Bagaimana dia tahu aku kencing di celana?!” kata Wiro sambil memegangi bagian bawah perutnya yang basah. Ketika dia menoleh ke atas pohon sang dara tak ada lagi di tempat itu. Hanya suara tawanya saja yang terdengar di kejauhan.

“Mungkin dia benar-benar bidadari. Mungkin juga malaikat. Tapi bagaimana kalau dia hantu jejadian? Sayang tadi aku tidak melihat bagian belakang tubuhnya. Jangan-jangan dia kuntilanak!” Memikir sampai di situ Wiro jadi merinding sendiri.

***

 

SEPULUH

 

Orang tua berjanggut putih panjang dan mengenakan jubah putih itu memandang pada Ramada dan dua orang anak buahnya.

“Hari ini aku bukan lagi kuncen penjaga makam Pangeran Banowo. Namakupun bukan lagi Ki Ageng Lentut.”

Rahang Ramada Suro Jelantik menggembung tanda ada hawa amarah di rongga dadanya. “Tunggu dulu!” katanya memotong. “Aku merasa curiga! Mengapa kau kini berubah rupa dan pakaian?!”

Orang tua itu tertawa perlahan. “Hidup harus punya ragam. Bagaimana tampangku dan bagaimana caraku berpakaian itu urusanku. Yang jelas aku adalah satu-satunya manusia yang mampu menguasai dan memanfaatkan kekuatan gaib yang ada dalam Guci Setan itu. Jika kau masih perlu aku kira boleh bicara. Kalau tidak silahkan angkat kaki dari hadapanku!”

Ramada mencekal leher jubah orang tua berambut putih panjang itu. “Dengar baik-baik! Salah seorang anak buahku yang bernama Jalak Ijo mati konyol di tangan Sinto Gendeng. Petunjukmu ternyata membawa celaka!”

“Dan kau telah membuat sebelah mataku buta!” berteriak Jalak Item tak kalah marahnya.

“Kalian bicara seperti orang tolol!” sentak si orang tua. “Kau hendak mencari pembunuh istrimu. Apa kau kira begitu gampang tanpa pengorbanan? Ingat! Aku hanya memberi petunjuk. Apa kau mau melakukannya atau tidak aku tidak perduli! Apa akibatnya pada kalian aku tidak mau tahu!”

Kalau diperuntukkan kemarahannya saat itu mau rasanya Ramada mencekik orang tua itu sampai mati. Dengan suara bergetar dia bertanya “Lalu kami harus memanggilmu apa sekarang?!”

“Diriku sekarang adalah seorang juru ramal. Panggil aku juru ramal Sangkolo Bumi,” jawab orang tua berambut putih panjang. “Dekatkan Guci Setan itu padaku!”

Ramada Suro Jelantik memandang pada kedua anak buahnya yitu Jalak Item dan Jalak Biru. “Binatang-binatang peliharaan kalian sudah lengkap semua?”

Jalak Biru dan Jalak Item sama-sama anggukkan kepala. Sejak kelabang dan kalajengking mereka terbunuh di tangan Sinto Gendeng beberapa waktu lalu, keduanya telah mendapatkan kala dan kelabag baru.

“Kalau dia menipu kita, aku tak akan memberi ampun lagi padanya!” kata Jalak Item yang menaruh dendam kesumat pada si kakek. Dia membuka penutup keranjang rotannya yang berisi tujuh ekor kala hitam beracun. Hal yang sama dilakukan oleh Jalak Biru yang keranjang rotannya berisi tujuh ekor kelabang biru.

“Tak ada yang menipu kalian. Hanya kalian saja yang bertindak bodoh!” jawab orang tua yang minta dipanggil dengan sebutan juru ramal Sangkolo Bumi itu.

“Kalau kalian memang tidak perlu diriku dan ingin membunuhku mengapa tidak dilakukan dari tadi?”

Ramada dan dua anak buahnya terdiam. Perlahan-lahan mayat Dardini yang sejak tadi dipanggul diturunkan lalu dibaringkan di atas rumput liar di dalam hutan kecil yang terletak di satu kawasan sunyi di Selatan Kotaraja. Dalam hati dia berkata, “Kalau pembunuh istriku sudah kuhabisi aku bersumpah akan membunuh tua Bangka keparat ini!”

Tiba-tiba orang tua yang duduk bersila di tanah itu mengangkat kepalanya dan menatap Ramada lekat-lekat hingga Ramada jadi tercekat dan bertanya-tanya apakah orang tua itu mengetahui apa yang berusan diucapkannya dalam hati. “Turunkan Guci Setan itu ke tanah dan dekatkan padaku!” si orang tua berkata.

Ramada berjongkok di hadapan orang tau yang dulu dikenal engan nama Ki Ageng Lentut dan mengaku sebagai kuncen makam Pangeran Banowo itu lalu mendekatkan Guci Setan ke hadapannya tanpa melepaskan benda itu dari pegangan kedua tangannya.

Seperti dulu, sewaktu masih memakai nama Ki Ageng Lentut dan mengaku sebagai kuncen makam Pangeran Banowo, orang tua ini letakkan kedua tangannya di atas mulut guci yang mengeluarkan kepulan asap dan lidah api. Mulutnya berkomati kamit. Perlahan-lahan matanya dipejamkan. Beberapa saat kemudian kelihatan sekujur tubuh Sangkolo Bumi bergetar. Dari mulutnya meluncur ucapan

“Guci Setan guci keramat. Petunjuk bumi petunjuk langit. Lenyap asap padamkan api. Munculkan air keramat. Ada orang meminta tolong. Sudi kiranya penguasa guci memberi jawaban memeberi petunjuk!”

Bersamaan dengan akhir ucapan itu tubuh Sangkolo Bumi berubah menjadi sangat hitam dan berkeriput. Tampangnya menyeramkan sekali. Hidung dan kedua matanya membesar, begitu juga gigi-giginya. Kedua telinganya mencuat panjang. Dari mulutnya keluar pertanyaan. Namun suaranya berubah aneh.

“Aku penghuni dan penguasa Guci Setan. Apa yang ingin kau tanyakan?”

Matanya memandang tak berkedip pada Ramada Suro Jelantik.

“Aku Ramada. Aku ingin mengetahui dimana Pendekar 212 Wiro Sableng saat ini berada…. Dimana aku bisa membunuhnya!”

“Api di dalam guci, penghuni dna penguasa guci minta kau pergi. Air di alam gaib. Masuk dan isilah Guci Setan. Penghuni dan penguasa guci hendak melihat ke dalam alam gaib….”

Perlahan-lahan api di dalam guci mengecil. Kepulan asap iktu sirna. Di dalam guci terdengar seperti ada air mencurah disertai hembusan angin. Guci itu kini bergoyang keras hingga Ramada harus menggenggamnya erat-erat. Sangkolo Bumi mendekatkan kepalanya ke mulut guci.

“Penguasa guci telah elihat air dan mendengar tiupan angin. Ada seorang bernama Ramada ingin mengetahui dimana pembunuh istrinya berada. Namanya Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!”

Guci yang dipegang Ramada kembali berguncang keras. Sangkolo Bumi melafatkan sesuatu lalu terdengar suaranya berkata. “Orang bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu berada dekat sekali. Pergilah ke Timur. Masuk ke Girimulyo pada saat hari pasar. Kau akan menemui pemuda yang kau cari tepat pada saat sang surya berada di titik tertingginya.”

Mendengar kata-kata dari alam gaib itu Ramada segera mengangkat Guci Setan dari hadapan Sangkolo Bumi. Dia cepat mendukung jenazah istrinya kembali lalu memberi isyarat pada kadua anak buahnya. Tanpa banyak bicara lagi ketiga orang itu tinggalkan si juru ramal begitu saja.

“Manusia-manusia tidak tahu peradatan,” kata si orang tua perlahan. “Kalian lihat sendiri apa yang bakal terjadi.”

Hari pasar di Girimulyo jatuh pada hari Sabtu. Dejak pagi kota kecil itu ramai oleh para pedagang dan para pembeli yang berdatangan dari berbagai penjuru. Di pagi yang sama seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun mendatangi pengawal di pintu gerbang gedung Kepatihan. Pada pengawal itu si anak menyerahkan satu lipatan kertas

“Apa ini?” bertanya pengawal.

“Ada seorang meminta saya menyerahkannya kemari,” jawab si anak lalu cepat-cepat pergi dari situ.

Pengawal tadi membuka lipatan kertas. Di situ tertera tulisan berbunyi: Wiro Sableng alias Pendekar 212 pembunuh Pangeran Banuarto akan berada di pasar Girimulyo siang ini. Saat yang baik untuk menangkapnya.

Menjelang tengah hari pasar sedang ramai-ramainya. Orang bukan hanya berjual beli tapi banyak juga yang asyik melihat-melihat keramaian berupa tontonan. Antara lain adu ayam, permainan judi dadu, ada pula semacam tontonan akrobat. Di salah satu pusat keramaian tampak seorang tua berambtu putih panjang yang mengaku sebagai ahli meramal tegal di tangah-tengah lingkaran orang banyak. Lalu dia melangkah mundar mandir. Di tangannya orang tua ini memegang sebuah gong kecil. Setiap kali sehabis dia memukul gong kecil itu, dia berseru.

“Aku Sangkolo Bumi, juru ramal yang mampu meramal di delapan penjuru angin. Siapa yang ingin diramal nasibnya silahkan maju dan masuk ke dalam kalangan. Ulurkan telapak tangan kanan kalian. Jangan malu-malu. Di tempat lain aku memungut bayaran. Tapi di Girimulyo ini semua aku berikan cuma-cuma. Aku tidak memungut bayaran! Kepandaianku merupakan sedekah bagi siapa yang suka kutolong!”

Sekalipun dipungut bayaran akan banyak orang yang minta diramal nasibnya. Apalagi tidak perlu merogoh kocek. Masa itu ilmu mereamal merupakan kepandaian langka. Jarang ada peramal yang memanfaatkan kepandaiannya secara terbuka di tempat umum seperti yang dilakukan orang tua berambut dan berjubah putih itu.

Orang banyak berdesak-desakan minta diramal nasibnya. Si orang tua melayani mereka satu persatu sampai akhirnya sepasang matanya melihat ada tiga orang penunggang kuda di kejauhan. Yang di depan sekali memanggul sesosok mayat dan memegang sebuah guci. Di belakangnya menyusul lelaki angker berwajah hitam dan biru. Ketiganya tentu saja adalah Ramada Suro Jelantik bersama Jalak Item dan Jalak Biru.

Juru ramal Sangkolo Bumi menyeringai. Matanya mengerling ke jurusan lain. Di antara orang banyak yang membentuk lingkaran dia melihat soran gpemuda berambut gondrong. Dengan gerakan cepat dia mendekati pemuda ini. Sambil tersenyum dan berkata.

“Anak muda, wajahmu tampan, tubuhmu perkasa. Apakah kau tak ingin aku ramalkan?”

“Terima kasih juru ramal. Lain kali saja,” jawab si pemuda.

“Ah jangan malu apalagi takut. Aku datang ke Girimulyo ini hanya sekali dalam sepuluh tahun. Mari ulurkan tangan sebelah kanan. Biar kuramal nasibmu di masa depan. Aiapa tahu kau bernasib baik…”

Walaupun tidak mau namun karena si orang tua tiba-tiba saja menarik tangan kanannya dan membawanya ke tengah lingakaran orang banyak, pemuda tadi terpaksa mengikuti saja. Padahal tadi diam-diam dia telah mengerahkan tenaga. Tetapi juru ramal itu ternyata memiliki kekuatan aneh. Semula si pemuda hendak lipat gandakan tenaganya namun dari pada bersitegang dia memilih mengalah dan membiarkan saja dirinya ditarik ke tengah kalangan.

Sampai di tengah lingkaran orang banyak sang juru ramal menarik tangan kanan si pemuda lalu membalikkan telapak tangannya. Sepasang matanya menatap tak berkesip pada telapak tangan pemuda itu. Keningnya kemudian tampak mengernyit. Tiba-tiba kelihatan wajah sang juru ramal Sangkolo Bumi berubah seperti orang terkejut besar. Kedua matanya memandang mendelik pada si pemuda.

“Anak muda, tidak kusangka kau rupanya!” kata Sangkolo Bumi keras-keras hingga semua orang memandang ke arah mereka. “Kau! Garis tanganmu berbau darah! Kau seorang pembunuh! Astaga! Aku kenal tampangmu! Kau adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Kau pembunuh dan pemerkosa istri Ramada Suro Jelantik! Kau juga yang membunuh Pangeran Banuarto! Demi Tuhan! Orang banyak! Tangkap pemuda ini!”

Orang banyak yang ada di tempat itu tentu saja terkejut dan heran mendengar teriakan si juru ramal. Tidak heran kalau tidak satupun di antara mereka yang bergerak atau melakukan sesuatu.

Saat itu dari arah Timur tiga orang penunggang kuda yaitu Ramada Suro Jelantik, Jalak Item dan Jalak Biru mendatangi dengan cepat. Di saat yang hampir bersamaan dari jurusan Selatan muncul serombongan pasuan di pimpin oleh seorang Perwira Tinggi yang ada parut di bawah mata kirinya hingga tampangnya tampak angker.

“Sialan! Apa-apaan ini?!” teriakpemuda yang tangannya masih di cekal oleh juru ramal Sangkolo Bumi.

“Pendekar 212! Kali ini kau tak akan lolos dari kematian!” kata Sangkolo Bumi.

Si pemuda berusaha menarik tangannya yang dicekal. Tapi pegangan si orang tua laksana jepitan besi.

“Kurang ajar! Orang ini pasti bermaksud jahat. Agaknya dia sengaja menjebakku.” Begitu si pemuda berkata dalam hati. Lalu dengan marah dia membentak.

“Juru ramal keparat! Siapa kau sebenarnya!” Sambil membentak tangan kiri pemuda ini berkelebat mengirimkan hantaman ke muka Sangkolo Bumi. Sambil tertawa mengekeh juru ramal berambut putih panjang itu gerakkan tangan kanannya menangkis.

Bukkk!

Dua lengan beradu keras. Baik si pemuda maupun si orang tua sama-sama terlempar satu tombak ke belakang dan terjengkang di tanah. Kadaan di tempat itu manjadi hiruk pikuk. Orang banyak berlarian menjauh. Tapi yang ingin melihat perkelahian dari dekat hanya beranjak beberapa langkah.

***

 

SEBELAS

 

Pendekar 212 Wiro Sableng sudah jelas melihat adanya gelagat yang tidak baik. Sepasang matanya menatap tajam pada orang tua yang terhantar di tanah di hadapannya. Dia tidak kenal siapa adanya orang yang mengaku juru ramal itu. Tidak pernah melihatnya sebelumnya. Namun sepasang mata yang menyorot dingin rasa-rasanya dia pernah melihatnya tapi kapan dan entah dimana.

“Astaga! Sepasang mata orang ini bukan mata orang tua!” kata Wiro dalam hati begitu dia manyadari adanya kelaianan pada kedua mata sang juru ramal. Saat itu lengan kirinya berdenyut sakit. Bentrokan pukulan dengan si orang tua telah membuat lengannya tampak bengkak kebiruan. Ternyata lengan juru ramal tua itupun tampak menggembung kemerahan. “Aku mencium bahaya besar!” kata Wiro dalam hati. Dia cepat melompat tegak. Saat yang bersamaan juru ramal berjanggut putih itu juga membuat gerakan kilat dan berdiri sambil melempar seringai ke arahnya.

Keduanya saling berpandangan. Kalau Pendekar 212 memandang dengan marah bercampur heran maka sang juru ramal tampak memandang kepadanya penuh geram. Keduanya matanya menyorotkan sinar pembunuhan!

“Juru ramal! Katakan siapa kau sebenarnya! Aku tak pernah membunuh istri seorang bernama Ramada! Malah aku memang sedang mencarinya karena dia telah mencelakai guruku! Juga bukan aku yang membunuh Pengeran Banuarto!”

Juru ramal berjubah putih dongakkan kepalanya lalu tertawa panjang.

“Caranya mendongakkan kepala! Aku yakin pernah melihat orang ini sebelumnya! Lalu suara tawanya! Rasa-rasanya pernah kudengar. Dan sepasang mata itu! Dia menagku bernama Sangkolo Bumi. Mungkin nama palsu!” Selagi Wiro berpikir dan mengingat-ingat seperti itu sang juru ramal berkata

“Katamu kau tidak pernah membunuh istri orang bernama Ramada! Malah kau mengatakan orang itu mencelakai gurumu! Bagus! Coba kau katakan hal itu langusng pada orangnya sendiri! Dia sengaja datang ke tempat ini untuk menabas batang lehermu dan meneguk darahmu! Lihat ke sana!” Habis berkata begitu si juru ramal mengangkat tangan kanannya ke arah kanan. Saat itu terdengar ringkikan kuda keras sekali. Orang banyak berlompatan menjauh. Tiga penunggang kuda berhenti di tempat itu. Ramada, Jalak Item an Jalak Biru.

“Ada orang membawa mayat!” beberapa orang berteriak. Lalu cepat menjauh. Yang lain-lain mengikuti dengan air muka membayangkan rasa ngeri.

Murid Eyang Sinto Gendeng kerenyitkan kening. Dia sama sekali tidak mengenal tiga penunggang kuda yang aneh-aneh dan angker itu. “Satu membawa mayat perempuan yang sudah kaku tapi tidak busuk dan ada sebuah guci mengepulkan asap serta menjulurkan lidah api di tangan kanannya. Apakah dia yang bernama Ramada Suro Jelantik? Tokoh silat dari Timur? Dua kawannya memikul keranjang rotan, bertampang hitam legam dan biru gelap….” Selagi Wiro berkata dalam hati begitu rupa kembali terdengar suara si juru ramal. “Pendekar 212! Katamu bukan kau yang membunuh Pangeran Banuarto! Coba kau jelaskan sendiri pada rombongan pasukan dari Kotaraja itu!” Sangkolo Bumi menunjuk ke arah kiri. Wiro mengikuti arah yang ditunjuk si juru ramal. Dari arah Timur tampak serombongan penunggang kuda berseragam pasukan Kerajaan berjumlah sekitar dua puluh orang. Di depan sekali memimpin seorang Perwira Tinggi bermuka garang.

Ramada yang memanggul mayat istrinya di bahu kiri dan memegang Guci Setan di tangan kanan, dengan gerakan enteng dan cepat melompat turun dari kudanya. Malihat cara orang bergerak Pendekar 212 segera maklum kalau manusia bertampang seram ini memiliki kepandaian tinggi. “Gerakannya sangat cepat dan enteng. Kaki kiri buntung, dipasangi roda besi bergerigi. Jangan-jangan benda ini menjadi senjatanya,” pikir Wiro.

Begitu berdiri di tanah Ramada segera meluncur di atas roda besi kaki kirinya mengelilingi Pendekar 212. Lalu dia berhenti empat langkah di hadapan sang pendekar.

Saat itu terdengar juru ramal Sangkolo Bumi berkata “Ramada! Tak perlu ragu! Pemuda itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang kau cari selama ini! Dia yang memperkosa istrimu lalu membunuhnya! Guci Setan tidak berdusta!”

“Setan alas juru ramal keparat! Jangan kau berani menuduh sembarangan kalau tak mau kusobek mulutmu!” teriak Wiro marah sekali.

Di hadapannya Ramada mendengus keras.

“Jadi ini jahanamnya yang bernama Wiro Sableng. Pemuda keji berjuluk Pendekar 212!” Ramada meludah ke tanah. “Hari ini kau akan menerima pembalasanku! Pembunuh terkutuk! Aku telah bersumpah untuk meneguk darahmu!”

Habis berkata begitu Ramada turunkan mayat istrinya dari bahu kirinya. Lalu mayat yang kaku menyeramkan ini disandarkannya pada sebuah gerobak hingga merupakan satu pemandangan yang mengerikan di mata semua orang yang ada di tempat itu.

Perlahan-lahan Ramada putar tubuhnya. Guci Setan dipindahkannya ke tangan kiri. Lalu dia memberi isyarat pada Jalak Item dan Jalak Biru. Kedua orang ini segera melompat turun dari kuda masing-masing. Tak lupa membawa pikulan yang ujungnya tergantung keranjang rotan berisi tujuh ekor kalajengkinghitam dan tujuh ekor kelabang biru. Kedua orang ini sengaja mengambil tempat di kiri kanan Ramada agak ke belakang. Mereka sama-sama jongkok di tanah dan tangan masing-masing siap membuka penutup keranjang rotan!

Ketika Ramada hendak bergerak meluncur di atas roda besinya ke arah Wiro, murid Sinto Gendeng ini cepat berseru. “Tunggu! Kalau kau tidak keliru pasti otakmu tidak waras! Aku bersumpah tidak pernah membunuh istrimu! Mana aku pernah kenal dengan tukang akrobat sepertimu! Aku mendapat keterangan bahwa kau dan anak buahmu telah mencelakai guruku! Jangan harap hari ini kau dan monyet-monyetmu itu bisa bebas dari hukumanku!”

Ramada Suro Jelantik menyeringai dan mendengus berulang kali.

“Ramada! Jangan percaya omongannya!” tiba-tiba si juru ramal berseru. “Dia bisa berdusta begitu karena istrimu sudah jadi mayat dan tak mungkin memberi kesaksian!”

Murid Sinto Gendeng memandang ke arah orang tua berjubah putih itu. “Aneh, kenalpun tidak. Mengapa orang tua keparat itu sangat membenci diriku?”

“Kau boleh bersumpah mati di depan pintu neraka!” membentak Ramada. Rahangnya menggembung. Marah sekali dia dikatakan sebagai tukang akrobat oleh Pendekar 212 tadi. Lalu dari balik baju hitamnya dia mengeluarkan sebuah golok besar berbentuk empat persegi dengan bagian tajam pada kedua sisinya Golok ini berwarna putih berkilat tetapi anwhnya memancarkan cahaya berwarna hitam! Pada ujung gagangnya ada seuntai rantai yang digantungi besi pipih berbentuk pisau tajam luar biasa.

Pendekar 212 belum pernah melihat senjata seperti yang di tangan Ramada itu. Ketika Ramad memutar senjata ini di udara, cahaya golok yang putih bertabur dengan sinar hitam. Lalu pisau di ujung rantai berkiblat dengan mengeluarkan suara bersuit. Murid Eyang Sinto Gendeng mundur dua langkah. Justru Ramada meluncur maju tiga langkah. Golok besar membabat ke leher sedang pisau di ujung gagang golok menusuk ke arah dada! Pendekar 212 cepat berkelebat hindarkan dua serangan sangat berbahaya itu sambil hantamkan tangan kanannya, lepaskan pukulan “kunyuk melempar buah” yang kehebatannya tidak beda dengan sebuah batu besar yang menggelundung dahsyat ke arah Ramada.

Dia jelas melihat bagaimana tubuh Ramada terangkat ke atas akibat hantaman pukulan saktinya. Tapi bukan alang kepalang terkejutnya murid Sinto Gendeng ini ketika tiba-tiba saja kaki kiri Ramada menendang ke depan. Roda besi bergerigi yang berputar hebat menyambar ke arah perut. Wiro cepat menghindar dengan melompat ke samping kiri. Tapi tidak terduga tiba-tiba golok empat persegi bermata dua di tangan kanan Ramada memapas bagian atas kepalanya hingga sejumput rambutnya terbabat putus! Murid Sinto gendeng seperti hendak terkencing saking kagetnya.

Ramada keluarkan suara menggereng dari tenggorokannya. “Sebentar lagi lehermu akan ku babat putus!” kertaknya. Dia berpaling pada kedua anak bauhnya. Lalu memberi isyarat dengan anggukan kepala. Jalak Item dan Jalak Biru yang tahu arti isyarat ini segera membuka tutup keranjang rotan masing-masing. Didahului teriakan Ramada Suro Jelantik melompat ke arah Wiro.

Goloknya kembali berkelebat. Kaki kirinya diangkat dan sewkatu-waktu bisa melancarkan serangan roda bergigi yang sanggup memutus kantung tubuh lawannya. Di saat yang bersamaan dua anak buahnya menggerakkan tangan ke arah keranjang rotan.

Dalam keadaan seperti itu murid Sinto Gendeng masih dapat berpikir bahwa guci di tangan kiri Ramada pastilah satu benda yang sangat berharga baginya. Kalau tidak benda itu tak akan didepaknya terus sambil melancarkan serangan. Maka Pendekar 212 mulai mengincar guci dalam dekapan tangan kiri lawannya, namun matanya yang tajam juga sempat melihat isyarat Ramada yang tadi diberikan pada dua anak buahnya. Dia juga melihat bagaimana dua manusia bermuka hitam dan biru itu menggerakkan tanan ke arah keranjang rotan masing-masing. Karenanya tanpa menunggu lebih lama Wiro siapkan dua pukulan sakti. Yang pertama pukulan “sinar matahari” di tangan kanan yang siap dihantamkan ke arah Ramada Suro Jelantik.

Sedang tangan kiri aji pukulan “benteng topan melanda samudra” ditujukan kepada Jalak Biru. Karena Jalak Biru terpisah cukup jauh dari Jalak Item, Penekar 212 tak mungkin menghantam sekaligus. Berarti bahaya bisa datang dari lawan yang bermuka hitam ini. Untuk menghindarkan serangan Jalak Item maka Wiro terpaksa harus merubah kedudukannya. Dia melompat ke kiri hingga berada di satu garis lurus di depan Ramada dan Jalak Item. Begitu Ramda melancarkan serangan, tanan kanan Wiro yang sudah berubah menjadi putih menyilaukan itu menghantam ke depan.

Wuuuuussss!

Sinar putih menyilaukan dan sangat panas berkiblat. “Ramada, awas! Itu pukulan “sinar matahari!” Yang berteriak memberi ingat adalah si juru ramal Sangkolo Bumi. Selagi Wiro merasa heran mengapa orang tua itu bisa tahu nama pukulan saktinya yang dilepaskannya, orang yang diserang malah berteriak lantang.

“Siapa takut?!” teriak Ramada. Roda besi di ujung kaki kirinya menderu semakin deras. Golok empat persegi di tanagn kanannya diputar semakin sebat hingga sinar hitamnya tampak berbuntal-buntal angker. Wiro sudah siap melepas pukulan “benteng topan melanda samudra” dengan tangan kiri ketika dia menyadari bahwa hal itu tidak bisa diakukannya kecuali dia mau celaka dihantam serangan balasan Ramada Suro Jelantik.

Serangan Ramada memang bukan alang kepalang hebatnya. Begitu cahaya putih pukulan sakti yang dilepaskan Pendekar 21 menyapu ke arahnya. Dia tekuk kaki kanannya. Bersamaan dengan itu kaki kirinya disapukan ke depan. Roda besi bergerigi yang ada di ujung kaki kirinya menderu keras memancarkan sinar aneh. Begitu sinar roda besi beradu dengan sinar cahaya putih pukulan “sinar matahari” terdengar suara keras berkereketan enam kali berturut-turut. Ramada Suro Jelantik berteriak keras.

Di ujung kakinya cahaya putih menyilaukan dan panas ini sanggup disapunya hingga mencuat ke samping kiri. Lalu terdengarlah pekik jerit orang banyak yang berada jauh di ujung kalangan perkelahian. Sembilan orang tak berdosa berkaparan di tanah.

Tubuh mereka hangus hitam mengepulkan asap akibat terpanggang pukulan “sinar matahari” yang berhasil dilencengkan ke jurusan lain oleh Ramada! Tubuh Ramada sendiri tampak melesat sampai dua tombak ke udara lalu dengan dua kali jungkir balik dia mendarat di tanah kembali. Mukanya yang hitam legam dan tertutup kumis serta cambang bawuk liar tampak seperti tidak berdarah.

Dua matanya mendelik besar ketika melihat bagaimana enam dari empat puluh gigi-gigi roda besinya somplak! Wiro sendiri juga melengak ketika melihat pukulan “sinar Matahari” yang mengadung hawa panas luar biasa tak sanggup membuat cidera lawan bahkan tidak bisa membuat leleh roda besi itu!

Apa yang terjadi membuat Pendekar 212 terlambat menggerakkan tangan kirinya untuk melepaskan pukulan “benteng topan melanda samudra” ke arah Jalak Biru. DI saat itu Jalak Biru telah membuka penutup keranjang rotannya. Lima ekor kelabang beracun berwarna biru melesat membeset udara, menyerbu ke arah Wiro.

Celakanya pula di saat yang sama dengan penuh amarah Ramada Suro Jelantik kembali menyerbu dengan roda bergeriginya sedang golok di tangan kanannya diputar dengan sebat, membuntal dalam serangan ganas mengarah bagian dada ke atas!

Murid Eyang Sinto Gendeng berteriak keras. Tangan kanannya menyusup ke balik pinggang, maksudnya hendak mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi mendadak mukanya jadi pucat. Astaga! Dia baru sadar. Senjata mustika itu telah dibawa oleh Dewa Tuak ke Gunung Gede untuk mengobati Eyang Sinto Gendeng yang keracunan akibat serangan binatang-binatang berbisa anak buah Ramada Suro Jelantik!

“Celaka!” keluh Wiro. Pendekar ini cepat melompat mundur. Tapi lima kelabang berwarna biru beracun dan sambaran roda besi bergerigi seta golok di tangan kanan Ramada datang lebih cepat.

Di saat yang sangat genting itu tiba-tiba terdengar lima buah benda melesat di udara. Bersamaan dengan itu ada satu bayangan merah berkelebat luar biasa cepatnya dan tahu-tahu kaki kiri Ramada terangkat ke atas. Di lain kejap manusia tinggi besar ini jatuh ke tanah!

Ramada Suro Jelantik menggereng marah. Dia cepat berdiri. Di lain bagian sang juru ramal tua Sangkolo Bumi merasa tidak enak. Dia cepat membaca situasi. Dalam hati orang tua ini berkata “Ada orang-orang baru muncul! Keadaan bisa jadi kisruh tak karuan. Saatnya Guci Setan di tangan Ramada berpindah tangan!”

***

 

DUA BELAS

 

Di udara lima buah anak panah melesat deras. Jalak Biaru tersentak kaget dan berseru tegang ketika melihat bagaimana lima ekor kelabang birunya yang tadi siap untuk menancapi tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng kini runtuh cerai berai dihantam lima buah panah itu!

Wiro Sableng berpaling ke belakang. Di atas punggung seekor kuda coklat dilihatnya Dewi Santiastri, puteri mendiang Pangeran Banowo duduk merentang lima buah anak panah lagi siap dilepaskan ke arah Jalak Biru yang saat itu terduduk di tanah dengan mulut ternganga dan muka pucat tanpa darah.

“Terima kasih Dewi......” kata Wiro.

Si gadis lemparkan senyum kecil padanya. Lalu anak panah diputar ke arah Jalak Item ketika dilihatnya anak buah Ramada itu diam-diam hendak melepaskan binatang-binatang beracun peliharaannya dari dalam keranjang rotan yaitu tujuh ekor kelajengking hitam.

Dewi lepaskan sartu dari lima buah anak panah yang direntang. Jalak Item terpekik. Telapak tangan kanannya tembus ditancapi panah. Darah mengucur. Penutup keranjang dijatuhkannya. Katika dilihatnya Dewi hendak melepas anak panah kedua, Jalak Item cepat bersurut mundur menjauhi keranjang sementara darah mengucur deras ke pangkuannya.

Ramada Suro Jelantik begitu berdiri baru menyadari kalau golok besar empat persegi bermata dua yang tadi dipegangnya di tangan kanan kini tak ada lagi dalam gengamannya. Memandang ke depan dia jadi beringas ketika melihat bagaimana senjata yang sangat diandalkannya itu kini berada dalam tangan seorang gadis berpakaian ringkas serba merah dengan rambut pirang teruarai panjang. Dia tidak bisa mengerti bagaimana gadis itu memiliki gerakan laksana angin dan bukan saja dia bisa mendorong tubuhnya sampai jatuh terjengkang, tapi bahkan sanggup merampas goloknya tanpa dia sempat merasakannya.

Meski gadis itu tidak mengenakan pakaian warna biru seperti pertama kali Wiro melihatnya, namun murid Eyang Sinto Gendeng ini masih bisa mengenalinya dengan cepat.

“Bidadari Angin Timur....” desis Wiro perlahan. “Dua orang gadis cantik telah menyelamatkan nyawaku hari ini!” katanya lagi dalam hati sambil garuk-garuk kepala.

Sang dara memang adalah gadis cantik berambut pirang dan dulu berpakaian serba biru yang pada pertemuan pertamanya dengan Wiro telah diberikan nama Bidadari Angin Timur oleh sang pendekar.

“Perempuan-perempuan dajal! Siapa kalian yang berani mencampuri urusanku?!” teriak Ramada Suro Jelantik.

Dara berpakaian serba merah tidak menyahut. Hanya sepasang matanya saja yang memandang tak berkesip ke arah tokoh silat dari Timur itu. Merasa seperti dipandang rendah Ramada berkata “Gadis baju merah berambut pirang! Kau jangan kemana-mana! Tetap di tempatmu sampai aku menyelesaikan urusan dengan pemerkosa dan pembunuh istriku itu!” Dengan tangan kanannya Ramada menuding ke arah Wiro.

“Setan! Apa kau punya bukti menuduhku sembarangan!”

“Aku tidak perlu bukti! Guci Setan ini yang memberi tahu!”

“Dan Guci Setan tak pernah berdusta!” berkata si peramal tua Sangkolo Bumi.

“Bangsat setan alas!” maki Wiro dalam hati sambil memandang berang pada orang tua itu yang sebaliknya melempar seringai buruk padanya. Tiba-tiba terdengar suara menderu keras. Saat itu Ramada Suro Jelantik telah melompat dan menyerbu ke arah Wiro.

Di saat yang sama terdengar deru suara kaki-kaki kuda banyak sekali. Tak lama kemudian ada orang membentak.

“Atas nama Kerajaan hentikan perkelahian!”

Semua orang berpaling. Seorang bermuka garang dengan seragam dan tanda pangkat Perwira Tinggi Kerajaan muncul diiringi sekitar dua puluh orang perajurit.

“Bagus! Orang-orang yang dicari Kerajaan ternyata ada di tempat ini!” kata si Perwira Tinggi sambil memandang ganti berganti pada Ramada Suro Jelantik dan Pendekar 212.

“Kau!” bentak sang perwira sambil menuding dengan telunjuk tangan kirinya tepat-tepat pada Ramada. “Kau pasti manusianya yang bernama Ramada Suro Jelantik.

Kerajaan telah mencarimu selama dua tahun. Kau mencuri Guci Setan yang ada dalam dekapan tangan kirimu itu! Jangan berdalih. Serahkan guci itu padaku lalu serahkan dirimu untuk menerima hukuman!”

Ramada menyeringai. “Perwira,” katanya setelah lebih dulu meludah ke tanah.

“Aku muak mendengar segala ucapan kentut busukmu! Lekas minggat dari sini! Jangan lupa membawa anak –anak buahmu!”

Perwira Tinggi Kerajaan itu tertawa bergelak.

“Bagus! Aku suka pada orang yang punya nyali besar sepertimu! Kita akan lihat nanti apakah kau masih punya nyali waktu dirangket dan kulitmu dikupas di ruang penyiksaan!”

Sang Perwira berpaling pada Wiro. “Kau!” bentaknya. “Kau pasti pemuda gondrong bernama Wiro Sableng, berjuluk pendekar 212 yang telah membunuh Pangeran Banuarto!”

“Aku tidak pernah membunuh Pangeran itu!” jawab Wiro.

Perwira Tinggi tadi mendengus. “para penjahat memang pintar berdalih! Aku mau lihat apa kau masih bisa bicara banak setelah lidahmu kusuruh potong!”

Tiba-tiba ada satu suara berkata. “Perwira, saya bersaksi pemuda itu bukan orang yang membunuh paman saya Pangeran Banuarto….”

Perwira Tinggi dan semua orang yang ada di tempat itu sama memalingkan kepala.

“Ah, den Ayu Dewi Santiastri, putri mendiang Pangeran Banowo, keponakan mendiang Pangeran Banuarto rupanya! Aku kurang memperhatikan kalau kau ada di sini. Apa kepentinganmu membela pemuda asing yang telah membunuh pamanmu itu?”

“Sudah saya katakan! Bukan dia pembunuh paman Pangean Banuarto. Tapi seorang yang mengaku kuncen makam ayahanda. Kuncen palsu bernama Ki Ageng Lentut!”

Sementara juru ramal Sangkolo Bumi yang sudah memperkirakan ke adaan akan sangat buruk bagi Ramada segera berkata “Ramada, keadaan tidak menguntungkan bagimu. Lekas serahkan guci itu padaku. Biar aku selamatkan dulu. Kau bisa mengambilnya di tempat terakhir kita bertemu dulu. Aku hanya ingin menolongmu. Lekas…..!”

Ramada sesaat terdiam dan berpikir cepat. Apa yang dikatakan juru ramal itu mungkin sangat benar. Saat itu dia bukan saja menghadapi Pendekar 212, tetapi juga Perwira Tinggi Kerajaan dan duapuluh orang perajuritnya. Lalu gadis berpakaian merah itu jelas bukan berada di pihaknya. Ditambah lagi dengan keponakan Pangeran Banuarto yang pasti telah menjadi lawannya sejak dia muncul dengan memperlihatkan ilmu panahnya yang menakjubkan, menghancurkan bintang beracun milik Jalak Biru serta melukai Jalak Item. Tanpa pikir panjang Ramada Suro Jelantik segera lemparkan Guci Setan ke arah si juru ramal.

“Tangkap! Lekas pergi dari sini!” kata Ramada pula. Guci Setan yang sejak tadi dikepitnya di lengan kiri dilemparkannya pada Sangkolo Bumi. Saat itu jarak antara Ramada dan si orang tua terpisah sekitar delapan langkah. Selagi Guci Setan itu melayang di udara dan siap ditangkap oleh Sangkolo Bumi tiba-tiba empat anak panah melesat ke udara. Dua berjajar di sisi kiri, dua lagi di sebelah kanan.

Lalu terjadilah satu hal yang luar biasa. Dua pasang anak panah itu memotong jalannya Guci yang melayang di udara. Dalam keadaan terjepit, Guci Setan kemudian dibawa melesat ke kiri hingga Sangkolo Bumi menangkap angin. Empat anak panah kemudian menancap di sebatang pohon. Guci Setan yang besar dan berat itu terjepit tak bergerak di antara empat batang panah itu. Dengan kertakkan rahang si juru ramal tua itu cepat melompat ke udara guna mengambil guci. Namun saat yang bersamaan, satu sosok berpakaian hitam melompat pula ke udara. Orang ini bukannya menyambar Guci Setan melainkan menelikung pinggang sang juru ramal lalu menyeretnya ke bawah hingga keduanya jatuh terhentak di tanah.

“Keparat!” maki Sangkolo Bumi marah sekali ketika mengetahui yang merangkul tubuhnya ternyata adalah Jalak Item, anak buah Ramada Suro Jelantik. Dia mencoba melepaskan diri sambil menghantamkan siku kanannya ke belakang.

Bukkkk!

Traaaakkkk!

Jalak Item menjerit keras. Dua tulang iga di sisi kanannya melesak patah. Sementara Ramada Suro Jelantik dan Perwira Tinggi Kerajaan yang melihat guci yang tadi dilemparkan kini terselip di antara empat buah anak panah yang menancap di batang pohon segera memburu untuk mengambilnya, khawatir benda itu jatuh ke tanah dan pecah berantakan. Namun sebelum keduanya mampu menyentuh benda itu tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat laksana angin, luar biasa cepatnya.

Ramada dan si perwira tinggi jadi kecele tetapi juga marah ketika menyadari mereka telah keduluan oleh gadis berambut pirang yang tidak dikenal itu. Sang perwira hendak menyerang si gadis tapi gerakannya tertahan ketika di sebelah sana Jalak Item yang berada dalam keadaan cidera telapak tangan dan tulang iganya berteriak sambil masih memegangi pinggang sang juru ramal.

“Perwira! Yang membunuh Pangeran Banuarto adalah orang tua ini!”

Sangkolo Bumi berteriak marah. Sekali dia menggerakkan tubuhnya Jalak Item terhempas ke tanah.

“Keparat! Kau mencari kematian berani memfitnahku!” bentak Sangkolo Bumi.

“Ki Ageng Lentut! Sangkolo Bumi! Siapapun namamu! Apakah kau benar kuncen makam Pangeran Banowo atau juru ramal aku tidak perduli! Tapi kaulah yang membunuh Pangeran Banuarto!” Rupanya dendam kesumat Jalak Item akibat perbuatan Ki Ageng Lentut yang kini menyamar menjadi juru ramal tua bernama Sangkolo Bumi itu tidak bisa dipendam lagi. Meledak saat itu juga.

“Keparat! Tutup mulutmu!” teriak juru ramal. Tangan kanannya bergerak.

Praaaaakk!

Jalak Item tergelimpang roboh di tanah. Kepalanya pecah! Ramada Suro Jelantik sesaat terkesiap melihat apa yang terjadi. Mengikuti kemarahannya ingin dia menghajar juru ramal tua itu saat itu juga. Namun Guci Setan lebih penting. Dia berkelebat ke arah gadis berpakaian erah. Namun gerakannya dihadang oleh Pendekar 212.

Sementara itu Perwira Tinggi Kerajaan telah berteriak memberi perintah pada dua puluh anak buah agar mereka segera mengurung dan menangkap juru ramal berjubah putih itu yang oleh Jalak Item dibuka kedoknya sebagai pembunuh Pangeran banuarto. Namun begitu mereka bergerak, Sangkolo Bumi menyongsong dengan serangan-serangan ganas.

“Bidadari Angin Timur…….” Kata Wiro sambil mendekati gadis berbaju merah itu. “Kau mau menolongku? Biar kunyuk berewokan ini aku yang menghadapinya. Aku menaruh curiga pada juru ramal tu. Rambut putih dan jubah panjangnya aku yakin hanya samaran belaka. Lakukan sesuatu hingga kau bisa membuka kedok siapa dia sebenarnya.

“Kau takut menghadapi orang tua jelek itu?” tanya gadis berambut pirang yang membuat wajah Pendekar 212 jadi bersemu merah.

“Aku tidak pernah takut pada siapapun,” jawab Wiro. “Dengan orang tua itu aku tidak punya perselisihan langsung. Tapi dengan setan satu ini aku punya alasan untuk menghajarnya. Kau sendiri tahu dia dan anak buahnya telah melukai guruku!”

Gadis yang oleh Wiro diberi julukan Bidadari Angin Timur itu tersenyum kecil. “Tampangmu tolol, tapi otakmu cerdik juga. Ambil senjata ini untuk menghadapi Ramada!” Lalu si gadis menyerahkan golok besar empat persegi panjang itu ke tangan Pendekar 212. Baru saja Wiro memegang senjata, si gadis telah lenyap dari hadapannya. Sebelum masuk ke kalangan perkelahian Bidadari Angin Timur melayang ke atas pohon. Guci Setan yang telah dipegangnya diletakkannya di antara ranting-ranting pohon berdaun lebat. Begitu melayang turun dia cepat mendekati Perwira Tinggi Kerajaan dan berkata, “Naik ke atas pohon. Jaga guci itu!”

Meskipun merasa tersinggung diperintah begitu rupa namun si perwira sadar bahwa menyelamatkan guci di atas pohon adalah jauh lebih penting dari pada melakukan hal-hal lain. Terlebih ketika gadis di hadapannya berkata “Serahkan pembunuh Pangeran Banuarto itu padaku. Kita akan segera tahu siapa dia sebenarnya!”

Tanpa banyak bicara lagi Perwira Tinggi Kerajaan itu melompat naik ke atas pohon. Dari atas pohon dia dapat menyaksikan seluruh kejadian di bawahnya walau tangannya sudah gatal untuk turun tangan sendiri.

Ternyata juru ramal itu memiliki kepandaian sangat tinggi. Dengan mudah dia menghajar perajurit-perajurit Kerajaan yang menyerangnya hingga mereka menemui ajal sekelompok demi sekelompok.

Melihat anak buahnya menemui kematian mengenaskan begitu rupa, Perwira Tinggi di atas pohon jadi mendidih amarahnya. Lupa bahwa dia harus menjaga keselamatan Guci Setan milik Kerajaan, perwira itu melompat turun. Selagi tubuhnya melayang dia lepaskan beberapa senjata rahasia berbebuk paku ke arah Sangkolo Bumi. Sang juru ramal ganda tertawa. Sekali tangannya dihantamkan ke udara belasan paku yang menyerangnya mental cerai berai.

“Manusia keparat! Jadi kau yang membunuh Pangeran Banuarto!” teriak sang perwira marah. Masih di udara kaki kanannya ditendangkan ke arah kepala orang tua itu.

Praaaakkkkk!

Kepala itu pecah tapi bukan kepala si juru ramal yang rengkah. Melainkan kepala salah seorang anak buahnya sendiri. Apa yang terjadi? Ketika sesaat lagi kaki kanan Perwira Tinggi itu akan menghantam kepalanya, si juru ramal melompat ke samping lalu menarik tubuh seorang perajurit yang menyerangnya. Kepala perajurit ini disentakkannya ke atas melindungi kepalanya sendiri. Ketika tendangan datang, kepala perajurit itulah yang kena hantam tendangan sang perwira!

“Keparat!” maki Perwira Tinggi sambil mengejar juru ramal. Tapi orang tua ini melemparkan tubuh perajurit yang kepalanya pecah itu kepadanya hingga sang perwira jatuh terduduk di tanah. Kesempatan ini dipergunakan oleh si orang tua untuk keluar dari keroyokan sisa-sisa perajurit Kerajaan lalu melompat ke atas pohon.

“Sangkolo Bumi, juru ramal keparat! Sekali ini jangan katakan kau tidak menipuku! Aku tahu sejak lama sebenarnya kau mengincar Guci Setan itu!” teriak Ramada Suro Jelantik ketika melihat si juru ramal berada di atas pohon sambil memegang Guci Setan.

Di atas pohon Sangkolo Bumi tertawa gelak-gelak. “Dasar orang tolol tetap saja tolol!” katanya.

“Lekas turun dan serahkan guci itu padaku! Aku bersumpah akan membunuhmu kalau kau tidak menyerahkannya padaku!” teriak Ramada.

“Dulu kau pernah bersumpah hendak membunuh Pendekar 212. Pemerkosa dan pembunuh istrimu itu sudah ada di hadapanmu, mengapa kini justru kau hendak mencari urusan denganku? Apa kau takut menghadapi Pendekar 212? Ha….ha…ha….!”

“Setan alas!” teriak Ramada. Dia melomapt sambil menyorongkan roda besinya. Roda ini menderu keras menggerus bagian bawah batang pohon besar hingga akhirnya putus. Pohon itu tumbang dengan suara bergemuruh tetapi Sangkolo Bumi alias Ki Ageng Lentut itu sudah lebih dahulu melayang turun.

Wuuuuttttt…..wuuuuutt…..wuuuuuutttttt……wuuuuutttt……wuuuuuuttttt.

Lima anak panah melayang pesat ke udara. Si orang tua berseru kaget ketika mengetahui lima anak panah itu menyerang ke arahnya. Secepat kilat dia hantamkan tangan kirinya ke bawah. Lima anak panah yang menyerangnya mental dan jatuh ke tanah. Lalu tubuhnya tampak melesat ke kiri. Di lain kejap laksana seekor burung alap-alap orang tua ini menukik ke arah Dewi Santiatri. Kaki kanannya berkelebat.

Praaaakkkk!

Dewi Santiastri menjerit keras. Kepala kuda tunggangannya pecah. Suara ringkikan binatang ini merobek langit. Si gadis sendiri cepat melompat ke tanah. Sambil melompat secara luar biasa dia masih sempat mencabut tiga buah anak panah lalu merentangnya di tali busur untuk kemudian melepasnya ke arah sang juru ramal. Salah satu anak panah sempat menyerempet jubah putih orang tua itu di bagian bahu. Walau cuma mengiris kulit bahunya namun ini sudah cukup membuat sang juru ramal ini menjadi sangat marah.

Tangan kanannya diangkat untuk melepaskan satu pukulan tangan kosong. Namun dari samping Ramada Suro Jelantik datang menyerangnya. Satu jotosan yang dilepaskan orang ini menghantam dagu si orang tua dengan keras dan telak hingga juru ramal ini terpuntir keras. Selagi tubuhnya sempoyongan begitu rupa Ramada tendangkan kaki kirinya ke arah bawah perut. Roda besi bergerigi itu menggerus ke arah selangkangan si orang tua.

“Ki Ageng Lentut! Sangkolo Bumi! Saatmu untuk mampus!” teriak Ramada Suro Jelantik. Tapi dugaannya bahwa dia bakal dapat menematkan riwayat orang tua itu tidak menjadi kenyataan. Dengan satu gerakan yang aneh dan cepat sekali, juru ramal tua itu berhasil menangkap betis Ramada. Lalu kaki kiri itu ditariknya kuat-kuat dan dihunjamkannya ke tanah hingga menggerus dalam dan menancap sampai dua jengkal. Tanah dan pasir bermuncratan ke udara. Selagi Ramada berusaha menarik kakinya keluar dari tanah tangan kanan juru ramal itu menderu ke depan.

Bukkkk!

Ramada merasakan dadanya seperti mau meledak. Selagi tubuhnya terlempar ke belakang dan ada darah menyembur dari mulutnya, Sangkolo Bumi kirimkan tendangan ke bawah perut Ramada. Teriakan laksana ledakan keras keluar dari mulut Ramada. Tubuhnya mencelat jauh dan tergelimpang di tanah tak berkutik lagi. Dendam kesumatnya untuk membalaskan kematian istrinya tidak pernah kesampaian. Lebih dari itu Ramada tidak pernah mengetahui siapa pemerkosa dan pembunuh Dardini sebenarnya.

Sangkolo Bumi tegak menyeringai. Dia melirik pada Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu pada Dewi Santiastri. Di saat yang sama dia melihat gerakan yang dibuat oleh jalak Biru. Anak buah Ramada Suro Jelantik ini dengan cepat melemparkannya keranjang rotan yang tutupnya terbuka itu ke arahnya. Beberapa ekor kelabang biru yang masih ada dalam keranjang itu melesat menyerangnya. Dua ekor ditangkisnya dengan Guci Setan yang dibuatnya menjadi tameng. Tiga ekor lainnya dihantamnya dengan kebutan lengan kanan jubah putihnya. Sambil tertawa mengekeh dia menangkap kelabang yang keenam lalu melemparkannya ke aah Jalak Biru. Anak buah Ramada yang tidak menyangka akan mendapat serangan binatang berbisa miliknya sendiri itu dalam kejutnya terlambat menghindarkan diri cari selamat. Kelabang Biru itu menancap tembus masuk ke dalam mata kanannya. Jeritan Jalak Biru terdengar mengerikan. Sambil menekap mukanya dia menghambur meninggalkan tempat itu.

Ki Ageng Lentut alias Sangkolo Bumi tertawa mengekeh lalu memutar tubuh. Sebelum berkelebat pergi dia memandang kepada Pendekar 212 Wiro Sableng lalu berkata

“Pendekar 212, kau masih bodoh seperti dulu juga! Tidak mampu melihat langit di atas langit! Tidak mengerti tingginya puncak gunung dan dalamnya dasar laut!”

“Apa maksudmu? Siapa kau sebenarnya?!” bentak Wiro. Tanpa terlihat oleh si orang tua dia memberi isyarat pada gadis berbaju merah.

“Kau akan menemukan jawaban pertanyaanmu dalam ketololanmu sendiri!” kata si orang tua pula. Dia menggeser kakinya.

Dari samping kiri tiba-tiba Dewi Santiastri mendatangi sambil merentang busur dengan lima anak panah terpasang. “Kalau kau memang kuncen palsu bernama Ki Ageng Lentut itu, berarti kau yang membunuh pamanku Pangeran Banuarto! Tetap di tempatmu! Sedikit saja kau berani bergerak lima anak panah ini akan amblas ke dalam tubuhmu!”

“Kau dengar ucapan gadis itu! Apakah kau tidak mau menyerahkan diri?! Serahkan Guci Setan itu padaku!” kata Perwira Tinggi Kerajaan yang kini tegak di samping Dewi Santiastri.

Si orang tua ganda tertawa.

“Puteri Pangeran Banowa, jika aku mengajakmu ikut bersamaku untuk mencari kesenangan, apakah kau masih hendak memanahku?!”

“Tua bangka bermulut kotor!” hardik Dewi Santiastri sambil merentang tali busurnya lebih dalam.

“Perwira, kau inginkan guci ini? Apa kau punya kemampuan untuk mengambil sendiri?!”

“Keparat! Saatnya aku mematahkan batang lehermu!” berntak Perwira Tinggi Kerajaan.

Si orang tua kembali tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba ia melihat ada bayangan merah berkelebat. Dengan tangan kirinya dia menghantam ke samping. Tapi terlambat. Tubuhnya seperti digulung ombak. Lalu terdengar suara breeeetttt…..breeeettttt beberapa kali berturut-turut. Jubah putihnya bukan saja robek tapi tanggal lepas dari tubuhnya. Bagitu juga rambutnya yang putih panjang tampak tercampak ke tanah. Selembar topeng tipis yang selama ini menutupi wajah dan sebagian kepalanya jatuh di depan kakinya.

Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Wajah seorang pemuda berambut tebal hitam dengan kening menonjol. Rahang dan dagunya tampak kokoh. Keseluruhan wajahnya membayangkan rasa angkuh. Di balik jubah putihnya yang telah tanggal itu kini terlihat pakaian hitam. Di bagian dada pakaiannya terpampang gambar puncak gunung berwarna biru, berlatar belakang sang surya berwarna merah dan sinar-sinar mentari berupa garis-garis merah.

Apa yang telah dilakukan Bidadari Angin Timur terhadap dirinya sungguh tidak diduga oleh orang itu. Semuanya berlangsung begitu cepat hingga dia merasa seperti diusap beberapa kali. Ketika Sangkolo Bumi hendak menyergap gadis itu, Pendekar 212 cepat memotong gerakannya. Pendekar 212 menggeram “Aku sudah duga, ternyata memang dia!” katanya dalam hati. Lalu murid Sinto Gendeng ini berteriak keras.

“Pangean Matahari! Kelicikanmu dengan memperalat Ramada tidak kesampaian! Aku yakin kau iblisnya yang memperkosa istri Ramada lalu membunuhnya! Keparat! Apa lagi sekarang yang ada dalam otak busukmu?!”

Pangeran Matahari menyeringai. “Tak ada alasan bagiku untuk mengatakan tidak. Tuduhanmu benar! Sayang maksudku tidak kesampaian. Nyawamu masih betah berada dalam tubuhmu! Pendekar 212! Duia ini terlalu sempit untuk kita berdua! Kali ini kau lolos lagi dari lobang jarum kematian! Tapi Ingat! Aku Pangeran Matahri tidak akan berhenti sampai akhirnya kau berlutut di hadapanku dan menggali liang kuburmu sendiri!”

Habis berkata begitu manusia yang sebelumnya menyamar menjadi kuncen makam Pangeran Banowo dengan nama Ki Ageng Lentut dan juga pura-pura menjadi juru ramal tua bernama Sangkolo Bumi ini memutar tubuhnya siap berkelebat pergi.

Pendekar 212, Perwira Tinggi Kerajaan dan Dewi Santiastri cepat bergerak. Lima anak panah melesat mendahului serangan. Selagi Pangeran Matahari sibuk menyelamakan diri Perwira Tinggi Kerajaan coba merampas Guci Setan dari tangannya namun lagi-lagi dia gagal karena tendangan Pangeran Matahari menghantam perutnya lebih dulu hingga dia terpental dan pingsan.

Jotosan Pendekar 212 berhasil menyusup le sisi kiri Pangeran Matahari. Walaupun tidak telak tapi cukup membuatnya berputar. Sekali lagi Wiro menghantam. Namun kali ini Pangeran Matahari berhasil menangkis pukulannya dan membalas menghantam. Pukul memukul jarak dekat itu tidak menguntungkan Pangeran Matahari karena saat itu dia memegang Guci Setan di tangan kirinya. Hal ini disadari oleh Pangeran Matahari maka dengan segala kelicikannya dia berkata

“Pendekar 212! Lain kali kita bertemu lagi! Kau inginkan guci ini ambillah!” lalu Pangeran Matahari membuat geakan seperti hendak melemparkan Guci Setan itu. namun apa yang dilakukannya adalah tiba-tiba melemparkan sebuah benda hitam.

“Awas! Asap menutup pandangan!” teriak Wiro.

Ketika terdengar letusan dan asap hitam membumbung ke udara Pendekar 212 dan Bidadari Angin Timur telah lebih dahulu berkelebat menjauhi. Satu ke arah kanan, satunya lagi ke arah kiri. Keduanya sama-sama melihat Pangeran Matahari melarikan diri ke arah selatan dan dengan cepat mengejar. Gadis berpakain merah yang punya kecepatan laksana kilat itu dapat mengejar Pangeran Matahari lebih dahulu. Dengan satu gerakan cepat dia berhasil merampas Guci Setan dari tangan Pangeran Matahri.

“Betina keparat! Aku lebih suka kau hancur lebur bersama guci itu!” teriak Pangeran Matahari marah. Dia angkat tangan kanannya ke atas. Udara di tempat itu mendadak sontak manjadi redup. Dari telapak tangan kanan orang yang dijuluki pengeran segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak ini melesat keluar sinar kuning, hitam dan merah.

“Pukulan Gerhana Matahari!” teriak Wiro. “Bidadari Angin Timur lekas menyingkir!” Murid Eyang Sinto Gendeng dengan cepat hantamkan tangan kanannya, melepaskan pukulan “sinar matahari” Terdengar saru dentuman keras. Si gadis berbaju merah cepat menyingkir ketika sinar putih berkilau dan sinar hitam, merah dan kuning mencuat ke udara laksana hendak menyapu langit. Tubuhnya tergoncang keras. Guci Setan terlepas dari pegangannya. Dia coba untuk menjangkaunya tapi satu letusan lagi membuat tubuhnya tebah ke tanah. Lalu ada satu tubuh yang jatuh tepat di sampingnya!

Ketika sinar putih, hitam, merah dan kuning lenyap dan pasir serta tanah yang bermentalan ke udara luruh kembali ke tanah Pangeran Matahari telah lenyap dan Pendekar 212 dapatkan dirinya jatuh terelungkup di tanah, hampir berdempetan dengan gadis berpakain merah itu. Wajah mereka bertempelan dan hidung mereka saling beradu satu sama lain.

“Kau tak apa-apa……?” tanya Pendekar 212.

Si gadis hanya menjawab dengan kedipkan mata lalu cepat-cepat hendak berdiri. Tapi Wiro lekas menahan punggungnya seraya berkata. “Kalau aku bisa mati berdempetan seperti ini alangkah bahagianya.”

“Mudah-mudahan malaikat maut mendengar permintaanmu itu,” kata si gadis seraya menarik tangan Wiro dan berdiri. Wiro segera pula berdiri. Keduanya tertegun ketika melihat beberapa langkah di hadapan mereka Guci Setan hanya tinggal merupakan kepingan-kepingan belaka.

Dua orang terdengar mendatangi. Mereka adalah Perwira Tinggi Kerajaan dan Dewi Santiastri.

“Kalian tidak apa-apa?” tanya puteri mendiang Pangeran Banowo itu.

“Berkat bantuan sahabatku berpakaian merah ini, aku tak kurang suatu apa.

Hanya sayang manusia jahat berjuluk Pangeran Matahari itu lolos!” jawab Wiro.

Dewi Santiastri memandang pada Guci Setan yang pecah berserakan di tanah.

“Sayang guci pusaka itu kini hanya tinggal kepingan-kepingan tak berguna…..”

“Mungkin itu lebih baik! Hancurnya Guci Setan berarti lenyapnya segala masalah yang sering mendatangkan malapetaka bagi dunia persilatan dan Kerajaan,”

Menyahuti Perwira Tinggi Kerajaan. “Den Ayu, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Aku harus segera melapor pada Patih.”

Dewi Santiastri mengangguk. Dia memandang pada Pendekar 212. “Wiro, kau ikut bersama kami?’

“Aku ingin sekali. Tapi ada hal penting yang harus kulakukan. Aku harus segera pergi ke puncak Gunung gede untuk menjenguk guruku yang sedang sakit keras….. Aku berjanji akan menemuimu sepulang dari sana….”

Dewi Santiastri mengangguk. “Kau kecewa karena dulu aku pernah mencideraimu?”

“Aku sudah melupakan hal itu,” jawab Wiro.

Dewi Santiastri memandang pada gadis berpakaian merah di samping Wiro.

Diam-diam dia mengagumi kecantikan gadis yang tak dikenalnya itu. Tadi dia sempat mendengar Wiro menyebutnya dengan nama Bidadari Angin Timur. “Dia benar-benar bidadari. Aku hanya gadis biasa…..” kata Dewi Santiasti dalam hati. Dia memberi isyarat pada Perwira Tinggi di sebelahnya.

Setelah kedua orang itu pergi Wiro berpaling pada si baju merah dan bertanya.

“Aku ingat pertama kali aku melihatmu di rumah Ki Ageng Lentut si juru ukir. Kau mengenakan pakaian biru yang sangat tipis….”

“Saatku untuk pergi….” Kata gadis berpakaian merah seolah tidak acuh dengan ucapan si pemuda.

“Tunggu dulu, ada satu hal yan hendak kutanyakan….” Kata Wiro. Namun sekali berkelebat gadis itu telah lenyap dari hadapannya.

Pendekar 212 hanya bisa tertegun. “Kecepatannya benar-benar laksana angin.

Tidak salah kalau kuberi nama Bidadari Angin Timur. Sayang dia pergi begitu saja, padahal banyak yang ingin aku tanyakan padanya. Ilmunya luar biasa. Ilmu apa namanya?!”

Dengan langkah berat Pendekar 212 tinggalkan tempat itu. Namun satu bayangan biru yang berkelebat beberapa langkah di hadapannya membuat murid Eyang Sinto Gendeng ini menjadi terkesiap kaget dan cepat-cepat menyelinap ke balik sebatang pohon besar untuk menjaga segala kemungkinan. Di depan dan di sekitarnya tidak terdengar suara apa, juga tidak kelihatan satu gerakanpun.

Ketika Wiro berpaling ke belakang nyawanya laksana terbang. Di belakangnya di balik pohon itu tahu-tahu telah tegak gadis cantik jelita yang disebutnya dengan panggilan Bidadari angin Timur itu. Dan kali ini si gadis ternyata tidak lagi mengenakan pakaian merah, melainkan sudah berganti dengan pakaian biru tipis seperti yang dikenakan pada pertama kali Wiro melihatnya! Pendekar 212 leletkan lidah. Kedua matanya membesar. “Bukan main…..” kata Wiro pula.

“Apanya yang bukan main?” tanya si gadis.

“Aku tak habis pikir, bagaimana kau bisa berganti pakaian secepat ini?”

Si gadis tersenyum. “Aku juga tak habis pikir,” katanya.

“Tentang apa?”

“Tentang dirimu! Bagaimana kau bisa membuka pakaian secepat ini?”

Wiro memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Tiba-tiba dia merasa seperti disapu angin. Tubuhnya berputar tiga kali. Ketika dia bisa berdiri lagi seperti biasa, murid Sinto Gendeng ini berseru kaget. Saat itu dia tidak lagi mengenakan baju dan celana panjang putihnya. Dia berdiri hanya mengenakan celana bagian dalam!

Pakaiannya kelihatan bertebaran di depan kakinya.

“Gila! Bagaimana bisa jadi begini? Ilmu aneh apa yang dimiliki gadis ini? Untung aku tidak ditelanjanginya sampai bugil!” teriak Wiro. Dia memandang berkeliling. Di depannya terdengar suara tawa cekikikan. Memandang ke depan dilihatnya gadis berbaju biru tipis itu tegak di samping semak belukar sambil melambaikan tangannya seolah memberi isyarat agar Wiro mengejarnya.

“Gadis nakal! Kau berani mempermainkanku! Jangan kira aku tidak bisa menjahilimu!” teriak Wiro. Lalu enak saja dia membuat gerakan seperti hendak menanggalkan celana dalamnya.

Di depan sana Bidadari Angin Timur keluarkan suara terpekik lalu memutar tubuh melarikan diri. Wiro cepat tarik kembali celana dlamnya ke atas lalu mengambil baju dan celana panjangnya yang tercampakan di tanah, sekali lompat saja dia segera mengejar gadis itu.

Beberapa hari kemudian ketika Pendekar 212 dan Bidadari Angin Timur muncul di puncak Gunung Gede, sepasang kakek nenek tampak duduk di tangga batu sambil tertawa-tawa dan masing-masing memegang sebuah tabung bambu berisi tuak.

Kakek nenek ini bukan lain adalah Dewa Tuak dan Sinto Gendeng yang berhasil diselamatkan dari racun binatang berbisa oleh kesaktian Kapak Maut Naga Geni 212.

 

Tamat

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler