Skip to Content

SERIAL WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 EPISODE 082: DEWI ULAR

Foto SIHALOHOLISTICK
files/user/3199/WS082.jpg
WS082.jpg

SATU

 

PEREMPUAN berambut merah acak-acakan bertubuh gemuk yang duduk terkan-tuk-kantuk di depan goa batu perlahan-lahan buka kedua matanya. Bagaimanapun dia membesarkan, tetap saja kedua mata itu sipit hampir merupakan dua garis melintang di wajahnya yang gembrot. Pakaian yang melekat ditubuhnya jelas aneh karena terbuat dari susunan daun lontar berbentuk jubah. Dia sibakkan rambut yangmenutupi telinga kirinya. Ternyata telinga ini diganduli sebuah anting besar. Sesaat tampak daun telinga itu bergerak-gerak dan anting yang mencantel di situ ikut bergoyang-goyang.

Kalau tadi si gemuk ini hanya duduk menjelepok di dekat pintu goa, kini dia bangkit mencangkung. Tangan kiri dimelintangkan di atas kening. Sepasang matanya yang sipit memandang tajam ke depan. “

Ujudnya belum kelihatan tapi suaranya sudah masuk ke telingaku. Untung aku belum tuli.

“Hik...hik...hik! Suara apa itu?!” perempuan gemuk itu menduga-duga.

Dia menghirup udara di jurang dalam-dalam. “Hemmm.... bau itu...! Aku kenal betul bau itu!

Rupanya si keparat itu sudah berhasil! Dia hendak menggasakku dengan binatang-binatang peliharaannya itu! Dikiranya aku tidak siap! Percuma selama tiga bulan ini aku memata-matainya. Sipatoka! Kau boleh menyerangku. Kau boleh mengeluarkan semua kepandaianmu. Aku akan menyambut dengan segala senang hati! Hik ... hik... hik...!”

Dari balik jubah daunnya perempuan ini keluarkan satu benda berwarna coklat gelap kemerahan.

Ternyata buah manggis hutan. Sekali remas saja manggis itu hancur. Isinya yang putih langsung digeragot. Kulit buah manggis yang sudah lumat itu kemudian digosokkannya ke muka hingga wajahnya jadi berselemotan merah coklat tak karuan.

“Sipatoka! Sebentar lagi kau akan tahu siapa diriku! Ini kali kesembilan kau menyerangku! Sebelumnya kau empat kali kalah empat kali menang. Tapi sekali ini kau boleh menggigit jari karena aku yang bakal keluar sebagai pemenang! Hik... hik...! Aku sudah tahu dengan apa kau hendak menyerang! Aku sudah siap dengan senjata penangkal! Hik... hik... hik...!”

Sementara itu dari arah barat jurang semakin jelas terdengar suara aneh tadi. Suara ini seperti suara sayap yang mengepak disertai suara menggembor terus menerus. Perempuan gemuk masih memandang tajam ke depan. Pada saat itulah tiba-tiba ada suara menggema dari sebelah barat.

“Kunti Rao! Apakah kau sudah siap menerima seranganku?!”

Perempuan di depan goa yang terletak di dinding jurang sebelah timur mendengus lalu menjawab dengan berteriak. “Aku sudah siap sejak tiga bulan lalu datuk celaka!”

“Ha ... ha... ha...! Kalau begitu saat-saat kematianmu sudah di depan mata! Daging tubuhmu sebentar lagi akan dicongkel hingga hanya tinggal tulang belulang alias tengkorak hidup!”

Perempuan gemuk di depan jurang batu sebelah timur kembali mendengus. Di sebelah barat dia mulai bisa melihat sosok-sosok hitam melesat di udara, bergerak ke arah dinding jurang di mana dia berada. Jumlahnya banyak sekali, tak kurang dari seratus ekor.

“Datuk keparat! Kau akan lihat bagaimana aku mengerjai binatang peliharaanmu itu!” perempuan gemuk yang dipanggil dengan nama Kunti Rao itu memutar tubuhnya. Walau berbobot hampir 150 kati, tapi gerakannya kelihatan cepat dan tak bersuara. Sosoknya lenyap dalam goa. Sesaat kemudian kelihatan dia keluar membawa dua buah kayu besar. Puluhan, mungkin ratusan ekor lebah coklat berkepala hitam mengerumun bergelantung di dua kayu besar itu. Setiap lebah mengeluarkan suara menggeru. Bayangkan kalau ratusan ekor mengeluarkan suara itu secara berbarengan. Bisingnya seperti mau merobek gendang-gendang telinga!

Di depan mulut goa si gemuk Kunti Rao angkat dua kayu besar tinggi-tinggi lalu berteriak. “Datuk Sipatoka! Aku sudah siap! Mana kecoak-kecoak peliharaanmu itu!”

Dari arah barat terdengar suara tawa bergelak. “Mereka sudah di depan hidungmu Kunti Rao! Apa matamu buta?”

Baru saja gema suara lelaki itu menghilang, di jurusan barat sosok-sosok hitam yang melesat di udara semakin dekat dan jelas wujudnya. Ternyata benda-benda ini adalah kelelawar berbentuk aneh. Bagian tubuhnya berwarna hitam legam, namun kepalanya berwarna putih. Sepasang mata berwarna merah.

Binatang ini memiliki kuku-kuku panjang sangat runcing. Ujung sayapnya pipih tajam tak ubah seperti mata pisau, sementara moncongnya lancip seperti ujung tombak.

“Kau sudah melihat Kunti? Atau matamu yang sipit itu memang sudah buta?!” orang lelaki di dinding jurang sebelah barat berteriak.

“Aku sudah melihat! Tadinya kukira kecoak busuk! Tak tahunya hanya kutu-kutu busuk yang kau kirimkan padaku!” jawab Kunti Rao.

“Bagus kau sudah melihat! Sebentar lagi kau rasakan bagaimana kutu-kutu busuk itu akan menggerogoti dagingmu yang empuk!”

Dari arah barat ada satu gelombang angin menderu. Tiupan angin ini membuat kelelawar-kelelawar hitam berkepala putih seperti didorong keras hingga dalam waktu sesaat saja binatang itu sudah mencapai dinding sebelah timur jurang, langsung menyerang Kunti Rao. Perempuan gemuk berambut merah acak-acakan ini keluarkan jeritan keras lalu meniup kuat-kuat pada dua batang kayu yang dipegangnya.

“Piup...! Piup...!”

“Werrrr! Werrrr!”

Ratusan lebah yang mendekap pada dua batang kayu menghambur terbang terus menyerbu ke arah puluhan kelelawar yang datang menyerang dengan mengeluarkan suara menggidikkan serta menebar bau busuk, menyesakkan jalan pernafasan!

Sesaat kemudian berlangsunglah satu hal hebat yang tidak pernah kejadian sebelumnya. Puluhan kelelawar kepala putih berkelahi melawan ratusan lebah berkepala hitam! Jurang batu menjadi bising oleh suara kepak sayap dua jenis binatang itu. Ditambah pula dengan suara cicit menggidikkan yang keluar dari mulut puluhan kelelawar serta suara menggeru tak berkeputusan yang dibuat oleh ratusan lebah membuat suasana di jurang batu benar-benar mengerikan.

Meskipun kelelawar-kelelawar itu memiliki tubuh lebih besar, hantaman sayap yang deras dan berbahaya, serta kuku-kuku runcing ditambah moncong yang bisa membuat gerakan mematuk cepat sekali, namun menghadapi ratusan lebah milik Kunti Rao boleh dikatakan mereka tidak berdaya. Bukan saja jumlah lebah lebih banyak, tapi binatang bertubuh kecil ini mampu bergerak lebih gesit hingga sanggup mengelak serangan lawan sekaligus balas menyerang dengan ganas.

Suara cicit kelelawar terdengar riuh. Satu demi satu binatang-binatang itu menggelepar lalu melayang jatuh ke dasar jurang. Perempuan gemuk bernama Kunti Rao tertawa panjang. Seperti anak kecil dia berjingkrak-jingkrak sambil bertepuk-tepuk tangan!

“Datuk celaka! Sekarang baru tahu rasa! Kau tentunya tidak tuli mendengar binatang-binatang yang kau andalkan menjerit meregang nyawa. Kau tentunya juga tidak buta menyaksikan bagaimana mereka jatuh mampus ke dasar jurang! Hik ... hik... hik...!”

“Perempuan gendut sialan! Jangan cepat-cepat bersuka hati! Lihat ke udara!” terdengar teriakan jawaban dari arah barat. Lalu di udara muncul dua kelelawar besar, satu jantan satu betina. Kunti Rao sebentar terkesiap.

“Ini pasti dua biangnya. Lebih besar lebih seram! Tapi siapa takut!”

Dua kelelawar menukik menyerang. Satu dari kiri yang lainnya dari kanan. Kunti Rao tamengi diri dengan dua batang kayu besar. patukan kelelawar jantan menancap di bantang kayu di tangan kiri Kunti Rao, sedang sambaran kepak kelelawar satunya yang tak ubahnya seperti sambaran pisau tajam lewat di atas kepala perempuan gemuk itu, tapi masih sempat memapas sedikit rambut perahnya. Si gemuk ini sempat terpekik kecil.

Disebelah barat terdengar suara tawa orang bernama Sipatoka. “Sekarang rasakan olehmu!”

“Kelelawar jahanam! Sebentar lagi kupecahkan kepalamu!” teriak Kunti Rao marah.

Saat itu kelelawar jantan kembali datang menyerbu. Kunti Rao merunduk. Tangan kirinya bergerak. Kayu besar dilemparkan. “Praakkk!” Kayu menghantam telak kepala kelelawar jantan itu. Cicitan binatang ini terputus. Tubuhnya melayang jatuh ke bawah jurang dengan kepala hancur.

Di udara, kelelawar betina melengking keras. Rupanya marah sekali melihat kematian jantannya. Dia tadi yang berhasil memapas rambut Kunti Rao. Binatang ini berputar tiga kali di udara lalu menukik.

Kelihatannya dii seperti hendak menyerang dengan mematuk ke atas batok kepala musuh. Tapi sewaktu Kunti Rao mengelak sambil hantamkan kayu di tangan kanannya, kelelawar ini membuat gerakan membalik. Di lain kejab tubuhnya ber-putar seperti baling-baling, dua sayapnya laksana golok pendek membabat ke arah leher Kunti Rao.

Kunti Rao keluarkan suara garang. Dia membuat gerakan jatuhkan diri. Dalam keadaan setengah berlutut dia pergunakan kayu besar di tangan kanan untuk menangkis lindungi diri. “Blaakkk! Craasss!”

Kayu besar di tangan perempuan gemuk itu terbabat putus!

“Binatang sialan!” maki Kunti Rao. Sisa potongan kayu dilemparkannya ke arah kelelawar betina.

Binatang ini melayang turun. Bukan saja dia berhasil mengelakkan hantaman kayu, tapi secepat kilat dia kembali menyambar ke arah Kunti Rao.

“Binatang celaka! Kau membuat aku kehabisan sabar!” kertak Kunti Rao. Dua tangannya bergerak mencabut dua buah daun yang merupakan pakaiannya. Kelelawar betina datang. Dua lembar daun melesat ke udara.

“Craasss! Craasss!”

Daun pertama menancap di dada kelelawar betina. Daun kedua memapas le-hernya. Darah menyembur. Binatang ini keluarkan jeritan aneh yang keras. Hebat-nya, dalam keadaan sekarat dia masih berusaha mengejar ke arah Kunti Rao. Namun sekali menghantamkan tangan kirinya, kelelawar betina itu terlempar jauh ke arah dinding barat jurang dan jatuh di depan kaki seorang kakek yang saat itu tengah melangkah mondar-mandir di depan sebuah goa.

“Jahanam! Kelelawarku mati semua!” orang ini kepalkan kedua tangannya dan hentakkan kaki kanan hingga bebatuan di jurang itu bergetar.

“Datuk Sipatoka! Apa sekarang kau malu mengakui kekalahan?!”

“Perempuan keparat!” maki sang datuk begitu didengarnya suara Kunti Rao dari arah timur. “Jangan buru-buru merasa menang dajal gendut!”

“Hik...hik...! Kenyataannya memang begitu Datuk! Kau menang empat kali, aku lima kali dengan ini Apa otakmu sudah tumpul hingga tidak bisa berhitung lagi?! Hik... hik... hik...!”

“Kau akan terima pembalasan dariku Kunti Rao! Sekalipun sampai seratus tahun aku akan mendekam di sini sampai akhirnya kau mampus di tanganku!”

“Huh takaburnya!” ejek perempuan gemuk. Dia mendongak ke atas memandang ke arah puluhan lebah yang masih terbang berputar-putar di dalam jurang, lalu bertepuk beberapa kali. “Lebah-lebahku!

Kalian menjalankan tugas dengan baik! Aku berterima kasih! Tugas sudah selesai. Mulai saat ini kalian bukan peliharaanku lagi! Sekarang kalian bebas mau pergi ke mana saja! Tapi ingat, setiap aku memerlukan kalian, jangan terlambat datang!” habis berkata begitu si gemuk bertepuk terus menerus.

“Werrr... werrr.... werrr....!” ratusan lebah berputar-putar di atas kepala si gemuk lalu melesat ke atas jurang. Kunti Rao baru berhenti bertepuk begitu semua lebah lenyap dari pandangannya. Kunti Rao menyeringai. Dia memandang ke arah barat. Di kejauhan, samar-samar di balik kabut yang kini mulai mengambang di jurang dilihatnya sosok Datuk Sipatoka melangkah mondar-mandir di depan mulut goa. Kunti Rao tertawa. Mulutnya berucap. “Rasakan olehmu! Sekarang baru tahu rasa! Dikiranya bakalan bisa menguasai jurang batu pualam ini! Huh! Tua bangka tak tahu diuntung! Selama aku masih bercokol di sini jangan harap jurang ini akan jadi wilayah kekuasaanmu! Apalagi mau menguasai dunia persilatan! Hik... hik... hik...!”

***

 

DUA

 

Sementara itu di lereng jurang sebelah barat, seorang kakek melangkah mondar-mandir sabil tiada hentinya memukuli sendiri kepalanya yang botak dan berwarna biru. “Lima bulan aku menyusun rencana! Mengajar binatang-binatang itu! Ternyata semua mati percuma! Apalagi yang bisa kulakukan agar bisa menyingkirkan perempuan itu dari jurang sebelah timur! Bukan! Bukan cuma menyingkirkan!

Tapi membunuhnya! Kalau dia masih hidup berarti bahaya besar bagiku!”

“Datuk Sipatoka!” tiba-tiba menggema seruan Kunti Rao dari arah barat.

“Kuda nil rambut merah! Apa lagi maumu?!” maki Datuk Sipatoka menyebut Kunti Rao yang memang gemuk dan berambut merah.

“Sesudah kalah, apa kau masih terlalu kikir dan sombong untuk berbagi rezeki denganku?!”

“Sampai matipun aku tidak mau berbagai rezeki dengan kau!”

“Aha! Bintang Kalimukus akan muncul tak lama lagi! Petunjuk di mana letak sepasang senjata pusaka itu akan segera muncul! Jika kau tak mau membagi rezeki, berarti dua senjata akan jadi milikku sendiri!”

“Kau tak akan mampu memiliki semua! Kau tahu itu!”

“Siapa bilang tidak mampu! Yang jelas kau pasti akan menyesal! Hik ... hik... hik...!”

“Manusia sialan! Pergilah ke neraka!” teriak Datuk Sipatoka marah.

“Kalau aku ke neraka, pasti aku tidak lupa membawamu datuk! Dan kau akan jalan duluan di depanku! Hik ... hik... hik...!” ejek Kunti Rao.

“Perempuan setan! Makan tanganku ini!” teriak Datuk Sipatoka, lalu tangan kanannya menyembul di balik lengan jubah kuning.

“Wuttt!” serangkum angin menderu. Di sebelah timur, Kunti Rao melihat ada kilatan cahaya kuning menyambar dan datang ke arahnya cepat sekali. “Wow! Ilmu yang sudah tidak laku masih diperlihatkan!” ejek perempuan itu. Lalu dia angkat tangan kanannya ke atas. Telapak diputarsentakkan.

“Bettt! Bettt!” dua larik pukulan sakti tanpa warna menggemuruh, menyambut sambaran sinar kuning dari kiri kanan.

“Bessss! Dessss!”

Sinar kuning mental dan buyar hanya satu tombak di depan Kunti Rao. Perempuan gemuk ini merasakan tubuhnya bergetar keras lalu tersandar ke dinding batu. Sesaat wajahnya yang celemongan dengan kulit manggis tampak berubah.

Di dinding jurang sebelah barat Datuk Sipatoka kelihatan tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dada. Dia jatuh berlutut dan cepat kerahkan tenaga dalamnya guna mengatur jalan darah. Dari kepalanya yang botak biru mengepul asap tipis.

“Setan perempuan benar-benar tinggi kepandaiannya!” diam-dia si kakek harus mengakui walaupun dengan memaki. “Tapi bagaimanapun dia tak bisa mengalah-kanku bulat-bulat! Sepasang senjata sakti di dasar jurang tak bakal jadi miliknya! Untuk sementara biar kulupakan dirinya. Lebih baik aku meneruskan pekerjaan membuat tali itu. Kalau sudah tiba saatnya, aku bisa dengan mudah dan cepat turun ke dasar jurang!”

Kunti Rao perlahan-lahan luruskan badannya yang gemuk. Dia rapikan susunan daun-daun yang jadi pakaiannya karena dua lembar daun tadi terpaksa dicabutnya untuk menghadapi sepasang kelelawar besar.

“Tua bangka satu itu memang tidak boleh dikasih hati. Lihat saja! Akan aku berikan satu pelajaran telak dan mematikan padanya!”

Si gemuk memutar tubuhnya hendak masuk ke dalam jurang. Tiba-tiba dia mendengar ada suara berdesir di atasnya. “Hah! Apa jahanam itu sudah menyerangku lagi?! Ilmu apa pula yang dikeluarkannya!” ujar Kunti Rao seraya hentikan langkah dan mendongak ke atas. Lalu keluarkan satu seruan keras dari mulut si gendut ini ketika melihat benda apa yang melayang jatuh dari atas jurang tepat ke arahnya disertai satu jeritan perempuan!

Dalam keadaan tercekat Kunti Rao masih sempat berteriak. “Oladalah! Tubuh perempuan bersimbah darah! Jatuh dari atas jurang! Bagaimana ini? Akan kutangkap atau kubiarkan saja amblas ke dasar jurang batu?”

Perempuan gemuk itu hanya bimbang sesat. Di lain kejab dia melompat ke kiri mencari kedudukan yang tepat untuk menyambut tubuh perempuan berpakaian tipis hijau penuh noda darah mulai dari rambut hingga kaki.

“Hup!” Kunti Rao berhasil menangkap sosok tubuh yang jatuh. “Gila! Darahya ber-bau anyir busuk!” berucap Kunti Rao. Tubuh yang berhasil ditangkapnya itu diba-ringkan di atas batu. Dia memperhatikan dengan mengeryitkan dahi penuh ngeri.

“Perempuan malang . Aku yakin kau masih muda dan berwajah cantik! Tapi mengapa ada yang tega mencelakaimu seperti ini? Di dada dan bahumu ada luka yang begitu besar mengepulkan asap. Lalu heh, benda apa itu? Paku?” Kunti Rao jongkok di samping tubuhnya. Mukanya yang gembrot celemongan kulit manggis didekatkan ke bagian perut dan memperhatikan tanpa berkesip. “Paku! Benar paku,” desis Kunti Rao.

“Paku aneh. Terbuat dari emas. Menancap tepat di pusarnya. Eh, rasa-rasanya aku pernah mendengar tentang paku emas ini. Kabarnya berasal dari daratan Tiongkok. Memiliki kekuatan maha sakti. Mulai dari kekuatan mengobati hingga membunuh!”

Kunti Rao sibakkan rambut panjangnya yang menutupi sebagian wajahnya. “Hemm... Benar nyatanya. Dia memang memiliki wajah cantik. Meski berlumuran darah seperti ini. Aku tak kenal padanya. Siapa gerangan dirinya? Mengapa bisa jatuh ke dalam jurang seperti ini. Lalu luka-luka mengerikan di tubuhya?” Kunti Rao berpikir sejenak.

Setelah meraba urat besar di leher dan merasakan masih ada hembusan nafas dari lubang hidungnya, Kunti Rao mendukung perempuan itu dan membawanya masuk ke dalam goa. “Orang biasa pasti sudah meregang nyawa akibat luka begini hebat. Di antara bau amis dan busuk darah di tubuhnya aku mencium sekilas bau harum. Perempuan muda ini agaknya bukan perempuan sembarangan.”

Sampai di dalam goa Kunti Rao meletakkan perempuan itu di atas sebuah pembaringan terbuat dari batu. Lalu sibuk meramu beberapa jenis obat. Sebelum itu dia terlebih dahulu menotok tubuh di beberapa tempat. Sejenis bubuk hitam ditaburkannya ke atas luka pada bahu dan dada. Dia mengalihkan pandangan pada paku yang menancap di pusar. Sesaat Kunti Rao merasa bimbang. Agaknya dia tak punya pilihan lain.

“Rupanya kelemahan perempuan ini ada pada pusarnya. Aku harus mencabut paku di pusarnya itu!”

Kunti Rao ulurkan tangan kanan. Ibu jari dan telunjuk bergerak cepat mencabut paku yang menancap di pusar. Pada saat paku tercabut, dari pusar yang berlobang itu mengucur darah hitam sangat busuk disertai asap. Perlahan-lahan kepulan asap hilang. Tapi begitu lenyap tiba-tiba sebuah benda melesat ke luar dari perut lewat pusar yang bolong itu.

Kunti Rao terpekik keras dan berubah parasnya saking kagetnya. Dari pusar yang berlobang di perut perempuan muda tidak dikenal itu melesat keluar seekor ular hitam berkepala putih. Semula dia menyangka dirinya akan diserang. Cepat Kunti Rao angkat tangan untuk menghantam. Tapi ditariknya tangan ketika melihat ular itu melesat ke atas. Laksana terbang ular itu ke udara lalu lenyap menjadi asap.

“Ular jejadian..!” desis Kunti Rao. “Siapa manusia ini sebenarnya?!” tanyanya dalam hati penuh rasa ingin tahu, lalu cepat-cepat bubuk hitam ditaburkan dalam lobang pusar. Sedikit demi sedikit darah busuk berhenti mengucur dan lobang bertaut kembali. Kepulan asap serta merta lenyap.

“Lobang di pusar itu tidak akan menimbulkan cacat. Tapi luka dada dan bahu walau bisa kusembuhkan rasanya akan meninggalkan bekas sangat buruk. Kasihan perempuan muda cantik ini tubuhnya akan cacat seumur hidup. Tak bakal ada lelaki mau dengannya...”

Kunti Rao duduk di samping pembaringan batu. “Eh, apa urusanku memikirkan perempuan ini? Anak bukan, saudara bukan, teman juga bukan? Mati sekalipun apa peduliku? Tapi mungkin dia bisa kumanfaatkan? Hemm... baiknya kutunggu sampai dia siuman. Harus kuketahui siapa dia adanya. Mungkin, ah! Siapa tahu dia bisa kumanfaatkan untuk menghadapi kakek keparat itu!”

Setelah menunggu sehari semalam, pada pagi kedua selagi Kunti Rao berada di luar goa dia mendengar suara orang batuk-batuk. “Perempuan itu..!” kata Kunti Rao seraya memutar tubuhnya masuk ke dalam goa.

Sesampainya di dalam, dilihatnya perempuan itu sudah duduk di pembaringan batu, bersandar ke dinding dan batuk beberapa kali. Ketika melihat kemunculan Kunti Rao dia cepat-cepat beringsut. Wajahnya memancarkan sikap terkejut, takut dan mengancam.

“Kau sudah siuman rupanya. Syukurlah!” kata Kunti Rao. Perempuan di atas batu pandangi rambut Kunti Rao yang merah acak-acakan itu, mukanya celemongan oleh kulit manggis, tubuhnya yang gemuk gembrot dan tentunya pada keanehan jubahnya yang terbuat dari susunan daun-daun.

“Perempuan gemuk, siapa kau? Apakah kau orang yang menolongku? Berada di mana saat ini aku?!”

“Wah, pertanyaanmu belum-belum sudah banyak betul!” sahut Kunti Rao. “Bagai-mana kalau aku yang ganti bertanya. Siapa dirimu? Mengapa ada dua luka besar di tubuhmu. Lalu mengapa ada paku emas di pusarmu? Apa kau jatuh sendiri ke dalam jurang ini, apa ada yang mencelakaimu? Mengapa bisa ada ular hitam kepala putih keluar dari dalam perutmu lewat pusar yang kemudian  lenyap menjadi asap! Apa kau manusia atau makhluk jadian?”

***

 

TIGA

 

Perempuan berpakaian hijau tipis yang duduk di pembaringan batu mula-mula hendak menyemprot marah. Namun kesadaran masuk dalam benaknya. Agak samar dan masih sulit dia mengingat.

Dipandanginya tubuhnya. Di dada dan bahu ada luka mengering tertutup bubuk hitam. Lalu disingkapkannya bagian perut pakaiannya. Di situ juga ada taburan bubuk hitam yang sudah mengering, tepat di bagian pusar. Tangannya bergerak ke kepala meraba bagian atas kening. Dia ingat biasanya di situ ada mahkota kecil.

“Paku emas...?” desisnya.

“Ya, paku emas!” kata Kunti Rao sambil memperlihatkan sebuah benda tepat di depan wajah perempuan itu.

“Katamu paku emas. Aku melihat benda itu paku biasa. Terbuat dari besi buruk dan hitam!”

“Heh, kau betul! Tadinya paku ini terbut dari emas. Sewaktu masih menancap di pusarmu paku ini masih berwarna kuning emas asli. Tapi begitu kecabut bentuknya berubah menjadi hitam. Pertanda paku ini penuh dengan kekuatan hitam yang tersedot dari dalam tubuhmu!”

Lama perempuan di atas pembaringan itu terpana mendengar keterangan Kunti Rao. “Kau telah menolongku, aku musti berterima kasih kepadamu,” dia cepat mem-bungkuk tapi Kunti Rao mencegah. “Saudari aku...”

Kunti Rao tertawa tergelak-gelak hingga sekujur tubuhnya yang gemuk tergoncang-goncang.

” Ada apa? kenapa kau tertawa? Apakah ada sesuatu yang lucu dari diriku?”

“Perempuan muda kau dengar baik-baik. Kau tak pantas memanggilku dengan sebutan saudari. Karena kau pantas jadi cucuku. Panggil aku nenek!”

“Aku pantas jadi cucumu dan aku harus memanggil nenek?”

“Betul karena usiaku sudah lebih dari enam puluh tahun!”

Tentu saja perempuan di atas batu terkejut mendengar kata-kata itu. “Walau tubuhmu luar biasa gemuk dan berpakaian aneh seperti itu, tapi menurutku kau berusia dua puluh tahunan...”

Kunti Rao tertawa “Yang kuasa memberiku awet muda dan ganjarannya aku punya bobot seperti kerbau seperti ini. Kalau aku boleh memilih, biar wajahku jelek keriput tapi tubuhku langsing! Hik.. hik... hik...!” Kunti Rao tertawa panjang. Lalu berkata, “Perempuan muda aku ingin tahu siapa dirimu. Apa yang telah terjadi... ingat! Aku tidak orang berdusta padaku!”

“Aku bernama Kunti Arimbi,” kata perempuan di atas pembaringan batu.

“Eh, nama depannya kenapa sama denganku?” ujar Kunti Rao dalam hati.

“Aku dikenal dengan julukan Dewi Ular.”

Kunti Rao sempat tersurut satu langkah mendengar julukan yang disebutkan. Walau dia sudah lama mendekam di goa batu pualam itu namun dia pernah mendengar nama angker Dewi Ular. Maka dia pun berkata. “Tidak sangka Dewi Ular ternyata masih muda tapi memiliki kesaktian tinggi yang menggegerkan...”

“Semua kehebatan itu sudah berlalu,” kata Kunti Arimbi alias Dewi Ular. Dia memandang sayu pada paku hitam di tangan Kunti Rao. “Benda itu yang menyebab-kannya. Seseorang mengkhianati dan menipuku. Dia merayuku dan merangsangku. Memperlihatkan kejantanannya. Ketika kami berdua di suatu tempat dan dia seperti hendak meniduriku tiba-tiba dia mengeluarkan paku emas itu dan menusukkannya ke pusarku...”

“Siapa orangnya?” tanya Kunti Rao.

“Pendekar 212 Wiro Sableng. Murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede..”

“Astaga! Pendekar besar itu...!” seru Kunti Rao.

“Aku bersumpah untuk membalas dendam. Apalagi kusadari diriku saat ini selamat dari kematian. Hanya saja tubuhku agaknya akan cacat seumur hidup. Jangankan laki-laki, binatang pun akan jijik melihatku!”

Diam sesaat. “Eh nek, betul aku harus memanggilmu nenek?” Kunti Arimbi meragu.

“Tentu saja, memang seharusnya begitu!”

“Aku berterima kasih kepadamu. Kau telah menyelamatkan diriku. Saat ini tidak mungkin aku membalas segala utang piutang ini! Tapi percayalah walau dulu aku pernah jadi manusia jahat, mengingat budi orang aku masih mampu. Nek, aku harus pergi dari tempat ini. Mohon tunjukkan jalan keluar...”

Perempuan gemuk yang mengaku sudah nenek itu menghela nafas panjang. “Jangan terkejut Kunti Arimbi. Di sini sama sekali tidak ada jalan keluar. Sekali berada di sini akan mendekam seumur hidup, kecuali...”

“Kecuali apa nek?” Tanya Kunti yang kini walau masih memiliki ilmu silat dan menguasai tenaga dalam tingkat tinggi namun banyak kesaktian luar biasa yang sudah lenyap.

“Kecuali kita bisa mendapatkan sepasang senjata mustika yang terpendam di dasar jurang batu pualam ini!”

“Senjata mustika apa itu?” tanya Kunti Arimbi.

“Sepasang keris sakti. Katanya datang dari kahyangan. Satu keris laki-laki, satu keris perempuan. Jika sudah bisa menguasai kedua keris itu, dunia persilatan sudah di tangan. Dan cacat di tubuhmu bisa hilang dengan menggosokan keris yang perempuan ke bekas luka,” ujar Kunti Rao.

Perlahan-lahan Kunti Arimbi turun dari pembaringan batu. “Kau harus mendapatkan itu Nek! Aku akan membantumu!”

“Tidak mudah mendapatkannya Kunti Arimbi. Pertama kita harus mendapat tanda dari langit di mana keris itu terpendam. Di jurang ini ada musuh tangguh yang juga menginginkan keris itu!”

“Siapa?” tanya Kunti Arimbi.

“Namanya Datuk Sipatoka. Dia mendekam di dinding sebelah barat...”

 “Kita harus mengalahkannya Nek!” bisiknya. “Kalau saja aku memiliki kesaktian seperti masih jadi Dewi Ular dulu...”

“Nasib peruntungan di tangan Tuhan. Kita manusia mana ada yang tahu. Bukan mustahil suatu ketika kau bisa menyandang gelar Dewi Ular kembali. Bahkan mungkin lebih hebat!”

Kunti Arimbi tersenyum. Sepasang matanya yang dahulu hijau kini kecoklatan menerawang ke depan. “Sepasang keris sakti itu. Jika aku bisa menguasainya bukan mustahil ucapan nenek gendut ini akan menjadi kenyataan...”

Ketika perempuan muda ini memandang ke seputar ruangan dia melihat sebuah benda berbentuk kerucut dan ada gagangnya tertegak di sudut ruangan batu. “Benda apa itu Nek?”

“Payung raksasa,” jawab Kunti Rao. “Dengan payung itu kelak aku akan turun ke dasar jurang...”

“Sebegitu sulitnyakah mencapai dasar jurang?”

“Jurang batu pualam seputar dindingnya berbentuk tegak lurus dan licin. Di sebelah bawah, kabarnya ada kawah mendidih. Tempat berpijak hanya gugusan batu-batu runcing....”

Kunti Arimbi kembali hanya menerawang. Apa yang ada dalam benaknya sulit diduga. “Kalau nasibku harus mendekam di sini, aku rela hidup dan mati bersamamu Nek...”

“Kau perempuan baik. Aku ada rencana bagus untukmu. Kita berdua bisa menghadapi Datuk Sipatoka...”

“Aku rela mati untuk menolongmu. Tapi rasanya ilmu kesaktianku sudah tidak sehebat dulu lagi...”

“Jangan bersedih aku akan menggemblengmu menguasai beberapa ilmu kesaktian. Mungkin tidak sehebat kesaktianmu saat jadi Dewi Ular dulu. Tapi yakinlah tidak akan mengecewakan. Dengar perempuan muda, mulai saat ini aku akan memang-gilmu Dewi Ular saja. Perkenalkan namaku Kunti Rao. Digelari orang Iblis Daun Setan...”

Mendengar nama dan julukan itu Kunti Arimbi segera jatuhkan diri.

“Eh, ada apa ini?” kata Kunti Rao.

“Nek, aku mendengar dari guruku bahwa kau adalah saudara sepupunya. Aku menghaturkan perhormatan...”

Kunti Rao tertawa panjang. “Gurumu si Hantu Tangan Geledek itu memang tidak bisa memegang rahasia. Sayang dia mati muda. Apakah kau sudah mewarisi ilmu tangan geledek darinya?”

Dewi Ular menarik nafas panjang. Lalu menggelangkan kepala. “Rencananya mengajarkan ilmu itu memang sudah ada. Tapi dia keburu meninggal dan aku jatuh ke tangan jahat ratu ular...”

“Kabarnya dia menyimpan kitab pelajaran lengkap pukulan tangan geledek...”

“Aku pernah mencari tapi tidak ketemu. Aku curiga jangan-jangan kitab itu ada pada Ratu Ular. Ratu Ular sendiri tidak diketahui keberadaannya. Entah sudah mati pula....”

“Semua apa yang tidak diketahui kini menjadi jelas kalau kelak aku mendapatkan sepasang keris sakti di dasar jurang itu... Aku senang jika kau mau membantu.”

“Aku akan membantumu Nek. Tak usah kau ragukan....” kata Dewi Ular pula. Lalu wajah Sandaka muncul di pelupuk matanya. “Kau juga akan kucari Sandaka. Nyawamu sama tidak bergunanya dengan pendekar 212...!”

“Eh, kau seperti bicara sendirian. Siapa orang bernama Sandaka itu...?” tanya Kunti Rao.

“Sandaka... dia orang kedua yang akan kubunuh setelah Pendekar 212 Wiro Sableng!” jawab Kunti Arimbi.

***

 

EMPAT

 

Di dinding di jurang sebelah barat kakek berkepala botak warna biru mengenakan jubah kuning, yang dikenal dengan nama Datuk Sipatoka, rangkapkan dua tangan didepan dada. Muka dan pandangan matanya diarahkan ke dinding sebelah timur. Dadanya terasa panas akibat pengaruh hawa marah dan penasaran.

“Perempuan setan! Kalau kau merasa sudah menang, nanti lihat saja! Akan kubuat kau minta-minta ampun sampai terkencing-kencing!” dia memandang tak berkesip ke arah kejauhan.

Namun pandangannya tertutup oleh kabut yang semakin menebal di seantero jurang. “Kabut sialan! Aku tak dapat melihat apa yang dilakukan perempuan sialan itu!” maki si kakek.

Selagi dia memaki-maki seperti itu tiba-tiba di arah timur di dengarnya ada suara jeritan keras dan panjang. “Eh, siapa yang menjerit itu! Suaranya suara perempuan!” Datuk Sipatoka miringkan kepalanya sedang kedua matanya coba menembus kabut yang menghalangi, tapi sia-sia. “Rasa-rasanya seperti ada sesuatu melayang jatuh. Apa mungkin perempuan itu tiba-tiba menjadi gila dan jatuhkan diri ke dasar jurang?!” sang datuk berpikir keras.

Lalu dia menjawab sendiri pertanyaannya dalam hati. “Tidak mungkin, bukan dia. Suara jeritan tadi datang dari atas jurang. Berarti yang jatuh berasal dari atas sana. Si kuda nil merah itu bertapa di duapertiga jurang... atau mungkin dia tengah membuat tipuan untukku?! Nah... nah... suara jeritan lenyap...” Datuk Sipatoka arahkan pandangannya ke dasar jurang. “Tak ada benda jatuh di bawah sana. Tapi mana mungkin menyangsang di dinding batu...!” Sesaat sang datuk terdiam merenung. Akhirnya dia kembali memaki sendirian. “Persetan siapa yang menjerit tadi. Peduli apa aku kalau ada sesuatu yang jatuh dari atas jurang!”

Setelah menunggu sesaat, akhirnya Datuk Sipatoka memutar tubuh melangkah ke mulut goa tempat kediamannya. Di dekat pintu tergantung segulung tali. Belum lagi kakek ini mencapai pintu goa tiba-tiba sudut matanya menangkap sesuatu melayang jatuh dari bagian atas jurang sebelah timur. Dia cepat putar kembali badannya. Belum sempat dia mendongak, benda yang jatuh kelihatan jungkir balik di udara lalu lenyap sesaat di ketebalan kabut. Ketika benda itu kelihatan lagi, tiba-tiba sudah ada di dinding jurang sebelah barat di mana dia berada, melayang jatuh dengan deras! “Benda aneh, sosoknya seperti manusia tapi hanya mengenakan cawat. Dan, heh, apa yang menempal di kepala, muka dan sekujur tubuhnya?!”

Benda yang jatuh melayang satu tombak di depan Datuk Sipatoka. Mengira sosok itu adalah sesuatu yang dikirim Kunti Rao untuk mencelakainya, Datuk Sipatoka angkat tangan kirinya siap menghantam dengan satu pukulan sakti. Tapi entah mengapa dia batalkan maksudnya. Dengan cepat dia menyambar gulungan tali dekat pintu goa. Sesosok tubuh yang jatuh lewat didepannya. Datuk Sipatoka putar gulungan tali yang dipegangnya. Tali ini berputar deras lalu melesat menyusul ke arah jatuhnya makhluk tadi.

Datuk Sipatoka sentakkan tangannya dua kali berturut-turut. “Bettt! Bettt!” Ujung tali melibat bagian pinggang orang yang jatuh pada ketinggian hanya duapuluh kaki dari dasar jurang di mana menunggu batu-batu runcing. Dua tangan Datuk Sipatoka yang memegang tali tersentak ke depan. Tubuhnya terbungkuk.

“Gila! Manusia atau kerbau yang aku jerat ini! Berat amat!” kata sang datuk. Lalu dia cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua kakinya. Dua kaki di balik jubah kuning itu laksana dipantek ke batu yang dipijaknya. Tubuhnya yang bungkuk perlahan-lahan melurus kembali. Lalu dia mulai menarik sosok tubuh yang dijerat seperti orang menimba. Setiap dia menarik, dari mulutnya keluar ucapan “Hup... hup... hup...!”

Sosok yang dilibat tali dan ditarik Datuk Sipatoka akhirnya sampai ke sisi dinding jurang di mana dia berada, terus digeletakkan di atas batu di depan goa. Begitu melihat bentuk dan sosok tubuh itu sang datuk kaget bukan main. “Makhluk apa ini!? Manusia atau hantu yang menampakkan diri sebagai manusia? Tubuhnya bergelimang darah kering, penuh paku! Masih hidup atau sudah jadi bangkai?!”

Tidak heran kalau Datuk Sipatoka begitu terkejut. Orang yang tergeletak di depannya adalah seorang pemuda hanya mengenakan cawat. Tubuhnya yang kokoh dan nyaris telanjang itu penuh ditancapi paku.

Bukan saja di bagian badan, tapi juga di bagian kepala dan mukanya.“Setan sekalipun tidak ada yang seperti ini!” membatin Datuk Sipatoka.

Dia membungkuk agar bisa memperhatikan lebih jelas. “Masih hidup...” katanya perlahan. Lalu dengan kaki kanan disentuhnya pinggul pemuda itu seraya berseru. “Makhluk aneh! Kalau kau memang manusia, jadilah manusia! Kalau kau pingsan, lekas siuman! Kalau kau pura-pura tidur, ketahuilah aku tak suka orang yang pandai menipu!”

Datuk Sipatoka pergunakan kakinya bukan hanya sekedar menyentuh untuk membangunkan orang tetapi sekaligus menggunakan tenaga dalamnya hingga tersalur ke dalam tubuh pemuda yang ditancapi paku itu. Saat itulah pandangan si kakek membentur bagian depan cawat yang agak kedodoran. “Gila!” serunya. “Sampai-sampai di kepala anggota rahasianya juga ada paku yang menancap! Tapi paku yang satu ini bentuk dan warnanya agak aneh...”

Sewaktu sang datuk hendak menyingkapkan cawat itu agar dia bisa melihat lebih jelas, tiba-tiba sosok tubuh si pemuda bergerak. Kedua kakinya naik ke atas. Bersamaan dengan itu tangannya sebelah kanan ikut bergerak dan sepasang matanya membuka. Ketika matanya membentur wajah Datuk Sipatoka pemuda ini berusaha bangkit dengan cepat.

“Kau siuman! Bagus! Pertama sekali yang aku ingin tahu lekas kau terangkan apakah kau ini manusia sungguhan atau makhluk jejadian sebangsa setan dedemit atau hantu jurang!”

Karena baru saja sadar, pemuda yang ditanya tak bisa segera menjawab. Malah terheran-heran mendapatkan dirinya berada di lereng jurang itu berhadap-hadapan dengan seorang kakek berkepala botak biru yang tidak dikenalnya. Ketika dia memandang ke bawah, dilihatnya ada tali aneh menjerat pinggangnya. Otaknya berpikir, coba mengingat apa yang telah terjadi atas dirinya. Dari mulutnya meluncur perlahan ucapan yang bisa didengar Datuk Sipatoka.

“Aku jatuh dari atas jurang sana... Seharusnya aku sudah mati. Ada seseorang menyelamatkanku. Menjerat pinggangku dengan tali dan membawaku ke sini...”

Si pemuda menatap wajah tua di depannya. “Orang tua, pasti kau orang yang telah menolongku...”

Datuk Sipatoka tidak mengangguk juga tidak menjawab. Pemuda itu lepaskan tali yang menggelung pinggangnya lalu bangkit dan duduk bersandar di dinding jurang. “Aku menyesal kau menolongku,” katanya.

Datuk Sipatoka melengak. Kening mengernyit dan mata memandang tak berkesip pada manusia paku di depannya. Jelas kakek ini berusaha menekan amarah mendengar kata-kata pemuda itu.

“Seharusnya aku sudah bebas di alam kematian. Karenanya aku tidak perlu mengucapkan terima kasih padamu. Aku benci karena kau telah menyelamatkanku!”

Datuk Sipatoka keluarkan suara menggereng di tenggorokannya. Semula dia hendak membentak marah. Bagaimana ada manusia begini aneh?! Tidak tahu diri telah ditolong diselamatkan dari kematian malah membencinya dan tak mau berterima kasih! Tidak jadi marah, Datuk Sipatoka malah tertawa gelak-gelak sampai suara tawanya terdengar sampai ke sisi jurang sebelah timur dan membuat Kunti Rao yang ada di dalam goa dongakkan kepala seraya bertanya-tanya. “Ada apa di sebelah sana sampai si tua bangka sialan itu tertawa begitu rupa?! Jangan-jangan dia sudah gila!”

Datuk Sipatoka delikkan mata lalu berkata. “Tidak ada yang minta kau harus berterima kasih. Kalau kau merasa menyesal masih hidup, silakan kau lihat ke bawah. Jurang masih dalam. Kawah mendidih dan batu-batu runcing siap menunggu. Kalau kau memang mau mampus, jatuhkan saja dirimu kembali!”

***

 

LIMA

 

Kini si pemuda yang jadi terkesiap. Datuk Sipatoka angkat kakinya ke arah tubuh si pemuda dan membuat gerakan siap untuk mendorong. “Kalau kau sekarang jadi takut bunuh diri biar aku bantu mendorong tubuhmu agar jatuh ke dasar jurang!” kaki kanan sang datuk bergerak.

“Tunggu!” si pemuda cepat berseru. Tangan kanannya diangkat. Datuk Sipatoka terkejut. Tangan yang menahan telapak kakinya itu laksana batu karang kokoh yang tidak bisa digoyangkan.

“Hemmm...., manusia aneh ini agaknya bukan orang sembarangan. Dia memiliki tenaga dalam tingkat tinggi. Buktinya, sanggup menahan tekanan kakiku!”

Datuk sipatoka batuk-batuk beberapa kali lalu turunkan kakinya. “Anak muda aneh. Coba terangkan siapa dirimu. Mengapa memilih mati daripada hidup. Lalu aku juga kepingin tahu mengapa keadaanmu seperti ini. Kurasa setan di neraka pun tidak seseram dan seburuk dirimu ini!”

Orang yang ditanya memandang ke dasar jurang lalu pandangannya ditujukan pada dirinya sendiri. Setelah itu diangkatnya kepalanya berpaling pada Datuk Sipatoka. “Namaku Sandaka. Aku manusia sesat yang jatuh ke tangan Dewi Ular. Menjadi budak nafsu dan budak kekuasaannya. Dia ingin menguasai dunia persilatan dengan memperalat diriku...”

Datuk Sipatoka manggut-manggut beberapa kali. Lalu dia tertawa. “Kalau kau dijadikan budak nafsu itu pasti enak ya?! Ha... ha... ha...!”

Meski diejek, Sandaka diam saja.

“Kalau kau diperalat untuk mendapatkan kekuasaan tertinggi di rimba persialatan berarti kau memiliki kepandaian luar biasa. Aku memang pernah mendengar nama Dewi Ular. Jadi kau orangnya yang diperalat untuk membunuh beberapa tokoh persilatan...”

“Lebih jahat dan keji dari itu. Dia juga menyuruhku membunuh kekasih, calon istriku. Dia juga yang memerintahkan aku membunuh guruku Eyang Gusti Kelud Agung...”

“Astaga! Kau rupanya tak kepalang sesat! Tapi mengapa semua itu mau saja kau lakukan?!” tanya Datuk Sipatoka.

“Aku terjebak! Masuk dalam perangkapnya setelah darahku tercemar oleh racun jahat yang ada dalam cairan tubuhnya...”

“Gila! Baru sekali ini kudengar yang seperti ini!” seru Datuk Sipatoka. “Mengapa kau jatuhkan diri ke dalam jurang? Mengapa sengaja mencari mati? Siapa yang memantek tubuhmu dengan paku seperti ini? Lalu kulihat ada paku aneh berwarna kuning pada kepala kemaluanmu!”

“Panjang ceritanya... Biar kujelaskan singkat-singkat saja,” jawab Sandaka. “Aku memilih mati karena merasa tak ada guna lagi hidup. Dosaku sedalam lautan setinggi puncak Merapi. Aku menganggap kalaupun aku mati, aku bisa mati dengan puas. Karena sebelumnya aku berhasil membunuh Dewi Ular dan menendangnya masuk ke dalam jurang...”

“Ah! Tadi aku mendengar jeritan perempuan. Aku juga melihat ada sosok tubuh jatuh. Jadi Dewi Ular sudah tamat riwayatnya...”

Sandaka mengangguk.

“Kau belum menceritakan mengapa kepala, muka dan sekujur tubuhmu sampai ke kaki dipantek dengan paku seperti ini...”

“Seorang sakti bernama Datuk Bululawang yang melakukannya. Paku-paku ini bukan paku sembarangan. Berjumlah tigapuluh dan terbuat dari baja putih murni! Datuk Bululawang melakukannya karena dengan paku-paku ini dia sanggup melum-puhkan sekaligus menguasai diriku! Maksudnya sama kejinya dengan tujuan Dewi Ular. Ingin memperalat diriku untuk menguasai dunia persilatan. Tapi tidak kesam-paian. Beberapa tokoh silat menghajarnya sampai babak belur. Keadaannya entah mati entah masih hidup. Kusumpahi agar dia memang sudah jadi bangkai saat ini!”

Datuk Sipatoka geleng-geleng kepala. “Makin tua umur dunia ini makin macam-macam keanehan terjadi!” Dia memandang ke bawah perut Sandaka. “Paku berwarna kuning itu...” katanya seraya menunjuk pada bagian tubuh Sandaka sebelah bawah yang tersingkap. “Kelihatannya buka paku biasa... Sinarnya sinar logam murni...”

“Ini paku emas. Paku yang membuat diriku bersih dari racun jahat cairan Dewi Ular. Sekaligus membuat musnahnya ilmu kesaktian yang kudapat darinya...”

“Apakah Datuk Bululawang juga yang menancapkan paku emas itu di alatmu?”

Sandaka menggeleng. “Seorang pemuda sakti bergelar Pendekar 212 yang melakukan...”

“Dia bukan pemuda sembarangan...”

Sandaka mengangguk. “Dia memiliki senjata mustika berupa kapak bermata dua. Dengan senjata itu aku mencabik-cabik tubuh Dewi Ular. Aku merasa seperti berhutang budi padanya... Hanya sayang aku tidak memiliki ilmu kesaktian lagi.”

“Kau masih mempunyai dasar tenaga dalam yang hebat Sandaka. Aku... Hemmm...” Datuk Sipatoka usap-usap kepala botaknya yang berwarna biru.

Sebelumnya, Sandaka memiliki kemampuan untuk mengetahui apa yang ada di benak seseorang. Namun setelah tubuhnya ditancapi paku emas, kemampuan itu ikut lenyap bersama musnahnya kesaktian yang didapatnya dari Dewi Ular.

“Kau masih muda. Memiliki dasar ilmu silat yang jarang dimiliki orang lain. Dengar Sandaka, aku akan menggemblengmu di tempat ini. Kelak kau akan jadi pendekar hebat kembali, walau tidak sehebat ketika kau berada di bawah pengaruh Dewi Ular. Kalau itu kejadian. aku butuh bantuanmu untuk menghadapai seseorang...”

“Kau punya musuh besar rupanya. Siapa dirimu kalau aku boleh tahu? Siapa pula yang jadi musuhmu?” tanya Sandaka.

“Aku dipanggil orang dengan sebutan Datuk Sipatoka. Nama yang hampir tidak dikenal dalam dunia persilatan. Tapi ketahuilah. Sebagian rimba persilatan saat ini sudah ada dalam tanganku... Aku hanya menunggu waktu dan menyingkirkan seorang nenek gendut sialan yang mendekam di sisi jurang sebelah barat. Namanya Kunti Rao, bergelar Iblis Daun Setan. Nah sekarang apakah kau masih ingin bunuh diri?”

“Kau telah tolong menyelamatkan diriku dari kematian. Walau aku masih merasa tidak ada gunanya hidup, namun mengingat budi baikmu aku bersedia membantumu menghadapi Iblis Daun Setan. Tapi... apa aku bisa menjadi pendekar hebat seperti yang kau bilang?”

“Jangan khawatir Sandaka. Aku akan buktikan dan nanti kau akan lihat sendiri hasilnya!” jawab Datuk Siptoka seraya tepuk-tepuk bahu pemuda itu. Sambil menepuk dia kerahkan tenaga dalamnya.

Tubuh Sandaka seperti diguncang tapi tetap duduk tersandar. Orang lain mungkin sudah terjerembab roboh.

Datuk Sipatoka menyeringai. Diam-diam dia merasa gembira mendapatkan pemuda ini. “Satu hal yang harus segera kau lakukan Sandaka, cepat cabut paku emas yang menancap di kemaluanmu itu!”

Sandaka ulurkan tangan kanannya. Jari-jarinya mencengekeram kepala paku emas. Terasa sangat panas. Pemuda ini kerahkan tenaga. Sekali tarik saja paku emas itu tercabut dari tempatnya menancap. Bersamaan dengan itu secara aneh paku yang tadinya berwarna kuning berubah menjadi hitam.

“Racun jahat benar-benar telah terkuras habis dari tubuhmu. Buktinya paku emas telah berubah hitam. Tidak beda seperti paku besi biasa...” kata Datuk Sipatoka pula. Sandaka tarik nafas panjang lalu berkata, “Satu paku berhasil dicabut. Tigapuluh lagi masih menancap di kepala, muka dan tubuhku. Apakah bisa kusingkirkan dengan jalan mencabutnya datuk?”

“Jangan terlalu berani bertindak anak muda. Paku-paku itu bukan benda sembarangan. Lagipula kulihat menancap sampai jauh di dalam tubuhmu. Ada saatnya benda-benda itu bisa kita singkirkan. Kelak kalau sepasang keris sakti di dasar jurang itu sudah kumiliki, mencabut paku-paku celaka itu hanya satu urusan gampang seperti membalik telapak tangan...”

“Sepasang keris sakti di dalam jurang? Datuk, apa maksudmu?”

“Pertanyaanmu tidak akan kujawab sekarang. Harap kau bersabar sampai aku merasa tiba saatnya untuk menerangkan padamu...” jawab Datuk Sipatoka.

Bagaimana kisah Dewi Ular dan Sandaka jatuh lalu masuk jurang batu pualam, kita kembali dulu pada apa yang terjadi beberapa waktu sebelumnya. Seperti dituturkan dalam episode I (Dendam Manusia Paku) Dewi Ular mengajak Pendekar 212 Wiro Sableng ke tempat kediamannya, yakni sebuah bangunan terbuat dari batu pualam terletak di lereng bebukitan batu. Tepat di depan bangunan terhampar sebuah jurang yang menurut pandangan mata dalamnya sekitar enam puluh kaki. Tetapi sebenarnya jurang ini memiliki kedalamannya lebih dari seratus duapuluh kaki.

***

 

ENAM

 

Di bangunan batu pualam, Dewi Ular sengaja memancing murid Eyang Sinto Gendeng untuk membuktikan kejantanannya. Sebaliknya, kesempatan ini digunakan oleh Wiro untuk menancapkan paku emas ke pusar perempuan itu. Begitu paku menghujam dalam ke pusar Dewi Ular, serta merta ilmu kesaktian perempuan yang dianggap setengah manusia setengah iblis ini menjadi punah.

Walaupun demikian ketika Wiro bertindak lengah Dewi Ular berhasil menendang perut sang pendekar. Selagi dia terkapar, Dewi Ular berusaha mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro yang terjatuh di lantai bangunan. Saat itulah Sandaka si manusia paku tiba-tiba muncul di tempat itu. Dia berhasil menguasai senjata mustika. Dengan kapak sakti ini dia kemudian membabat tubuh Dewi Ular dua kali berturut-turut hingga luka besar mengerikan terkuak di bahu kiri dan dada perempuan itu.

Dalam keadaan luka parah bersimbah darah, di tepi jurang Dewi Ular berusaha minta pertolongan Wiro. Namun Sandaka bertindak lebih cepat. Sekali tendang saja tubuh perempuan itu terpental dan jatuh ke dalam jurang. Setelah jeritan Dewi Ular lenyap di dalam jurang, kesunyian mengerikan menggantung di tempat itu. Sandaka mengembalikan kapak sakti ke Wiro, lalu memutar tubuh melangkah ke tepi jurang.

Wiro cepat menangkap apa yang ada di kepala pemuda itu. Dia mengejar tapi terlambat. Sandaka lebih dulu menjatuhkan dirinya ke dalam jurang batu pualam. Selagi Wiro tegak termangu-mangu di tepi jurang, tiba-tiba muncullah seorang penunggang kuda yang berpakaian serba ungu yang ternyata adalah Anggini, murid Dewa Tuak. Setelah tahu apa yang terjadi, Anggini yang merasa keadaannya seolah-olah terkatung-katung karena baik Wiro maupun Eyang Sinto Gendeng sebegitu jauh tidak memberikan tanda-tanda kepastian mengenai perjodohan mereka memandang ke langit. Udara kelihatan mendung berat.

“Satu malapetaka besar telah lewat...” berucap Anggini. Dia masih memandang ke langit di atasnya. “Sebentar lagi agaknya akan turun hujan lebat. Kita harus segera meninggalkan tempat ini Wiro...”

“Kau pergilah duluan. Di kaki bukit batu tak jauh dari ujung jalan ada sebuah dangau. Tunggu aku di sana ...”

“Kuda ini cukup kuat untuk kita tunggangi berdua...” ujar sang dara pula.

Wiro tersenyum. “Agaknya rasa jengkelnya terhadapku sudah lenyap. Hemmm... kalau begini tanpa disadarinya dia menunjukkan sikap baik dan mesra...” membatin murid Sinto Gendeng. Lalu pada Anggini dia berkata. “Kau lihat sendiri, badan dan pakaianku kotor. Kau berangkat saja duluan, nanti aku menyusul...”

Anggini mengangguk. “Kulihat badan dan pakaianmu memang kotor. Dari mana kau dapat pakaian aneh itu? Mau-mauan memakai pakaian perempuan...”

“Hanya pakaian ini yang kutemui ketika berhasil keluar dari sarang Dewi Ular, setelah guruku Eyang Sinto Gendeng menghancurkan tempat itu...”

“Pakaianmu boleh aneh dan kotor. Namun satu hal aku tahu... hatimu bersih...”

Wiro tertawa lebar. “Untuk pujian itu aku akan pergi bersamamu sampai di mana pun juga!” lalu Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke atas kuda, duduk di belakang Anggini.

Hanya beberapa saat saja setelah sepasang muda-mudi itu meninggalkan tepi jurang dan mulai menuruini lereng bukit, dari balik sebuah batu besar seorang lelaki separuh baya, berpakaian ringkas warna hijau dean sebilah pedang pendek tersisip di pinggangnya cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Agaknya ia tidak sempat melihat kejadian jatuhnya Dewi Ular dan Sandaka ke dalam jurang. Bilamana dia mampu menyelinap di balik batu besar tanpa Pendekar 212 Wiro Sableng maupun Anggini mengetahui, jelas lelaki berpakaian hijau ini memiliki kepandaian tinggi.

Orang ini menyelinap di antara batu-batu besar di bebukitan hingga akhirnya sampai di satu tempat yang agak rata. Di tempat ini kelihatan sembilan orang tegak mengelilingi sebuah tandu. Delapan di antaranya mengenakan pakaian prajurit kerajaan. Mereka bertugas sebagai pengusung tandu secara bergantaian.

Orang kesembilan adalah seorang tua berjanggut dan berambut kelabu. Tidak seperti yang lainnya, orang tua ini kelihatan asyik membaca sebuah kitab bertuliskan huruf-huruf kuno. Melihat bentuk dan warna kitab tersebut agaknya berusia puluhan tahun.

Di atas tandu beratap ijuk, duduk seorang lelaki bermuka pucat mengenakan jubah mewah berwarna merah pekat. Pada dada kirinya tersemat sebentuk hiasan emas berupa lambang agung keraton. Delapan orang prajurit dan dan orang yang duduk di atas tandu segera berpaling begitu lelaki berpedang muncul.

Sebaliknya, orang tua berambut kelabu terus saja membaca kitab sambil berdiri seolah tidak memperdulikan keadaan dan orang-orang sekitarnya.

Lelaki berpedang dan berpakaian ringkas hijau menjura di hadapan orang yang duduk di atas tandu. “Pangeran Ipong Nalakudra, saya datang memberi laporan.”

Ternyata lelaki bermuka pucat berpakaian merah pekat itu adalah seorang pangeran. Dia anggukkan kepala lalu berkata. “Beritahu hasil pengintaianmu...”

Lodaya Surakali, lelaki separuh baya segera menjawab. “Murid nenek sakti Sinto Gendeng dan murid kakek berjuluk Dewa Tuak itu memang benar saya lihat berada di dekat jurang batu pualam. Tak lama saya sampai di sana mereka segera berlalu. Saya menaruh syak wasangka penuh keduanya memang mengetahui kalau sepasang keris Nagasona terpendam di dasar jurang. Mereka pergi begitu saja pertanda belum saatnya mereka turun ke dalam jurang guna mengambil kedua keris sakti tersebut...”

“Atau mungkin mereka pergi karena diam-diam sudah mengetahui kahadiranmu di tempat itu. Mereka pergi hanya sekadar berpura-pura...” kata Pangeran Ipong Nalakudra. Lelaki berpedang gelengkan kepala. “Saya dengar mereka bicara hendak pergi ke satu tempat.”

“Jadi kau tahu ke mana mereka pergi?” tanya sang pengeran.

“Mereka pergi ke sebuah dangau di kaki bukit. Saya yakin keduanya hendak bermesraan di tempat itu...”

Pangeran Ipong Nalakudra tersenyum. Sesaat mukanya yang pucat tampak kemerahan. “Bagaimana kau bisa yakin mereka hendak bermesraan?”

“Saya tahu, antara keduanya terjalin hubungan khusus sejak lama. Dangau di kaki bukit satu tempat sepi. Perlu apa sepasang muda-mudi pergi ke sana kalau bukan hendak bercumbu?”

“Lalu apa yang hendak kau lakukan kini Lodaya? Kita sudah melakukan perjalanan hampir lima hari. Tubuhku sangat letih. Kurasa semua orang yang ada di sini juga sudah kecapaian!”

“Saya mengerti pangeran. Kalau pangeran suka, harap kembali saja ke kotaraja. Saya akan melanjutkan pengintaian seorang diri sampai akhirnya mengetahui kapan mereka akan turun ke jurang batu pualam mengambil dua keris sakti itu.”

“Ingat Lodaya, mereka tidak boleh lepas. Tidak boleh lolos! Kalau mereka berhasil mendapatkan sepasang senjata mustika itu dan kau tidak berhasil merampasnya, berarti aku akan cacat seumur hidup! Dan kegagalanmu itu harus kau bayar mahal Lodaya!”

“Saya tahu betul Pangeran Ipong,” jawab Lodaya Surakali. “Percayalah, mereka tak akan lolos dari tangan saya...”

Orang tua berjanggut dan berambut kelabu di samping tandu yang masih asyik membaca kitab tua batuk-batuk beberapa kali. Pangeran muka pucat berpaling pada si orang tua. Begitu juga yang lainnya, termasuk Lodaya.

“Ki Sepuh Dulantara,” menegur Pangeran Ipong. “Dari tadi kau berdiam diri saja. Apa sekarang ada yang hendak kau katakan?”

Orang tua itu membungkukkan badannya sedikit pada Pangeran Ipong Nalakudra. “Pangeran, saya mana berani bicara kalau tidak diminta. Saat ini saya hanya akan membaca apa yang tertulis dalam Kitab Seribu Petunjuk Kuna ini.” si orang tua arahkan pandangannya pada kitab yang dipegangnya. Lalu dia mulai membaca.

“Bilamana Bintang Kelimukus muncul di langit malam, itulah satu pertanda ter-bukanya satu rahasia besar mengenai sepasang keris sakti berusia lebih dari dua abad terpendam di dasar jurang batu pualam, di satu tempat di mana tidak sem-barang orang bisa mengetahui. Air mendidih di dasar jurang akan surut dan kering secara ajaib. Di antara dua celah batu runcing akan kelihatan dua sinar mencuat ke atas menembus tanah dan bebatuan. Sinar merah kehitaman berasal dari keris jan-tan. Sinar kuning kehitaman itulah dari keris betina. Barang siapa menguasai kedua keris itu, maka dia akan menjadi raja diraja ilmu pengobatan, akan menjadi raja di-raja dunia persilatan. Pertanyaan kini kapan dan siapa yang tahu saat munculnya Bintang Kelimukus yang konon hanya memperlihatkan diri di langit sebelah teng-gara sekali dalam tujuhpuluh tahun. Petunjuk dalam buku ini tidak akan ada artinya kalau manusia tidak mempergunakan akal. Karena itu...”

Bacaan Ki Sepuh Dulantara belum selesai, tiba-tiba di langit yang saat itu gelap oleh awan mendung berkiblat cahaya kilat, disusul menggelegarnya guntur. Bukit batu itu bergetar keras. Selagi semua orang yang ada di situ terbalut oleh kejut dan rasa ngeri, tiba-tiba di saat yang bersamaan berkelebat satu bayangan disertai suara mendesis keras. Selarik asap kuning menyambar kearah orang tua berambut dan berjanggut kelabu itu.

Sebagai orang berkepandaian tinggi dan memiliki segudang pengalaman, Ki Sepuh Dulantara maklum kalau asap kuning yang menyambar ke arahnya mengandung racun jahat. Cepat orang tua ini menyingkir ke kiri. Tangan kanannya menghantam ke depan. Selarik angin dahsyat menderu. Asap kuning langsung buyar berantakan. Namun saat itu pula terdengar seruan Ki Sepuh Dulantara. Kitab Seribu Petunjuk Kuna terlepas dari tangannya. Salah satu halamannya robek. Seseorang telah merampas kitab yang sangat berharga itu!

Dalam kejut yang amat sangat Ki Sepuh Dulantara, Lodaya Surakali dan Pangeran Ipong Nalakudra serta semua yang ada di situ melihat seorang perempuan tegak di tempat agak ketinggian. Dialah yang telah merampas kitab berharga itu karena kini kitab itu tampak berada dalam kepitan tangan kirinya.

Perempuan ini tidak bisa disebut muda lagi. Namun walau masih berusia agak lanjut, wajahnya menyatakan bahwa di masa muda, paling tidak sampai beberapa tahun sebelumnya, dia memiliki paras yang sangat cantik. Dia tegak dengan menyeringai. Barisan giginya tampak rata dan bercahaya. Dia mengenakan pakaian berbentuk kemben terbuat dari kain halus. Dadanya yang besar menggembung, seharusnya tampak putih menggairahkan. Tetapi tidak bagi semua mata laki-laki yang ada di tempat itu.

Penyebabnya karena di lehernya yang jenjang bergelung seekor ular berwarna hitam belang kuning. Di kepalanya dia mengenakan sebentuk mahkota terbuat dari sosok ular hijau yang telah dikeringkan.

“Ratu Ular!” seru Ki Sepuh Dulantara dengan suara bergetar begitu mengenali siapa adanya perempuan di hadapannya. Mendengar nama yang disebutkan itu, yang lain-lain jadi tercekat. Lodaya Surakali melirik pada Pangeran Ipong lalu memberi tanda bahwa kemunculan Ratu Ular di tempat itu membawa satu bahaya besar. Yang jelas, dia sudah merampas Kitab Seribu Petunjuk Kuna .

Perempaun di hadapan Ki Sepuh Dulantara tersenyum. “Bertemu cuma satu kali, itu pun sepuluh tahun silam. Ternyata kau masih mengenali diriku!”

“Orang hebat berkepandaian tinggi, menggetarkan tujuh penjuru angin, siapa yang tak kenal padamu Ratu Ular?” sahut Ki Sepuh Dulantara.

Ratu Ular tertawa tinggi. Dia melirik pada Lodaya Surakali dan Pangeran Ipong Nalakudra lalu berkata.

“Seorang pangeran sampai jauh-jauh berada di tempat ini, tentu ada sesuatu yang luar biasa dan sangat penting. Ki Sepuh Dulantara, bisakah kau menerangkan mengapa kalian berada di sini?”

“Ah, Ratu Ular bicara jumawa. Sebagai orang berkepandaian tinggi, tentu kau sudah menyerap kabar dan tahu apa sebab kami berada di sini. Nyatanya kau sendiri berada di sini...”

“Orang tua, aku suka sikap bicaramu. Tapi aku tidak suka menyembunyikan sesuatu. Aku kemari untuk mencari jejak muridku Dewi Ular. Dia tidak kutemukan. Tapi aku merasa bersyukur karena sekali pun tidak bertemu muridku namun bisa mendapatkan kitab hebat ini...” sahut Ratu Ular pula.

Pangeran Ipong melihat gelagat yang kurang baik ini cepat memasuki pembica-raan. “Kami di sini dalam rangka mencari sejenis obat yang kabarnya mampu me-nyembuhkan kedua kakiku yang lumpuh...”

“Oh, begitu...?” Ratu Ular memperhatikan sepasang kaki Pangeran Ipong yang tertutup jubah merah. “

Sayang sekali aku tak bisa membantu menemukan obat itu. Sayang juga aku tidak punya banyak waktu. Aku harus pergi sekarang. Terima kasih untuk buku yang kau berikan ini!”

“Ratu Ular, tunggu!” berseru Ki Sepuh Dulantara.

Perempuan berkemben kain halus itu berpaling. “Orang tua, ada sesuatu yang hendak kau sampaikan?”

“Kitab itu, aku tidak merasa pernah memberikannya padamu!”

“Ah, begitu? Mungkin kau lupa?”

“Ki Sepuh Dulantara benar!” berkata Pangeran Ipong dari atas tandu. “Kami semua di sini tahu dan melihat. Dia tidak pernah memberikan kitab itu padamu. Kau merampasnya!”

“Oh, begitu?! Aku merampasnya?!” ujar Ratu Ular, lalu tertawa panjang. “Bukan main! Kalau begitu betapa jahatnya diriku! Padahal aku sebenarnya sudah sangat berbaik hati pada tua bangka buruk rambut kelabu ini!”

Paras Ki Sepuh Dulantara tampak berubah. Kalau orang lain bicara begitu padanya pasti sudah dilabraknya. Tapi maklum kalau dia berhadapan dengan orang berkepandaian sangat tinggi dan terkenal ganas, maka dia berusaha bersikap sabar. “Berbaik hati bagaimana maksudmu Ratu Ular?”

“Berbaik hati karena aku hanya merampas kitabmu, tidak ikut merampas nyawamu!”

Ki Sepuh Dulantara sampai tersurut satu langkah mendengar ucapan Ratu Ular. Di atas tandu, Pangeran Ipong memberi tanda pada Lodaya Surakali. Lelaki separuh baya berpedang pendek ini segera maju ke hadapan Ratu Ular. “Ratu Ular, Pangeran meminta padamu agar segera mengembalikan kitab itu...”

“Hemmm... siapa kau?” tanya Ratu ULar dengan sikap memandang rendah walau hatinya tertarik juga melihat kegagahan wajah lelaki ini.

“Aku Lodaya Surakali. Biasa dipanggil dengan gelar Pendekar Pedang Pendek. Aku bekerja untuk Pangeran Ipong.”

“Jadi kau orang keraton. Bagus, katakan pada pengeranmu mengapa dia tidak bisa bicara sendiri padaku meminta kitab ini?”

“Sudahlah, mengapa hal itu menjadi urusan. Aku mohon kitab itu diserahkan padaku. Itu merupakan salah satu benda pusaka keraton.”

“Kalau ini merupakan benda pusaka keraton, mengapa bisa berkeliaran di luar. Jangan-jangan pangeranmu telah mencurinya untuk kepentingan sendiri!”

“Ratu Ular!” teriak Pangeran Ipong dari atas tandu. “Kau tak layak tahu tentang segala hal menyangkut kitab itu. Yang penting lekas serahkan pada orangku lalu angkat kaki dari sini...”

“Pangeran lumpuh! Kalau aku tidak mengembalikan kitab ini kau mau berbuat apa?!” tanya Ratu Ular dengan wajah mengejek.

“Jangan terlalu sombong Ratu Ular. Aku bisa memerintahkan penangkapan atas dirimu. Jangan sampai kau menyesal seumur-umur!” jawab Pangeran Ipong sementara Ki Sepuh Dulantara yang telah banyak siapa adanya Ratu Ular tampak berdiri gelisah.

Ratu Ular tertawa panjang mendengar kata-kata sang pangeran. Pangeran Ipong jadi habis kesabarannya. “Lodaya! Ambil kitab itu, kalau dia melawan, bunuh!”

Dalam hati Ki Sepuh Dulantara mengeluh cemas. “Pangeran belum tahu tingginya tingkat kepandaian perempuan itu. Juga belum tahu keganasannya. Aku harus cepat mencegah sambil mengatur siasat...”

***

 

TUJUH

 

Orang tua berambut kelabu cepat bergerak mendekati LOdaya Surakali. Tapi orang yang berjuluk Pendekar Pedang Pendek sudah keburu berkelebat. Tubuhnya berubah menjadi bayangan hijau warna pakaiannya. Tangan kirinya mendorong ke arah bahu Ratu Ular sedang tangan kanan menyambar ke arah kitab dalam kepitan tangan kiri.

Ratu Ular keluarkan tawa melengking. Dia hanya tegak bertolak pinggang. Sedikit pun tidak bergerak. Yang membuat gerakan justru ular besar belang hitam kuning yang bergelung di lehernya. Binatang ini mendesis keras lalu gelungannya terlepas dan tubuhnya menyambar ke arah Lodaya Surakali. Kepalanya mematuk cepat ke arah muka lelaki berjuluk Pendekar Pedang Pendek ini.

Semua orang yang menyaksikan melengak tegang. Mereka melihat bagaimana patukan ular datang lebih cepat dari gerakan dua tangan Lodaya Surakali yang berusaha memukul bahu lawan dan merampas kitab.

“Binatang jahanam!” maki Lodaya. Dia terpaksa mencari selamat. Sambil merunduk, tangan kanannya bergerak cepat mencabut pedang pendek di pinggang. Lalu “Wuuuuttt!” sinar putih pedang yang terbuat dari besi bercampur perak murni menyambar disertai deru angker. Sekejap lagi putuslah leher ular hitam belang kuning itu.

Tapi apa lacur. Yang terjadi malah kebalikannya. Bukan ular itu yang celaka, namun Lodaya Surakali yang terdengar menjerit keras. Pedang perak terlepas dari genggamannya. Kedua tangannya kini dipergunakan untuk menekap mata kiri yang kini telah jebol mengucurkan darah akibat patukan ular besar. Sekali lagi orang ini menjerit lalu lututnya menekuk. Sesaat kemudian tubuhnya roboh tergelimpang. Kulit di sekujur tubuhnya, mulai dari muka hingga ke ujung kaki kelihatan menghitam akibat racun ular!

Ratu Ular menyeringai, memandang pada Pengeran Ipong lalu pada Ki Sepuh Dulantara. Kitab masih berada dalam kepitan tangan kiri, sedang tangan kanan dipergunakan untuk mengusap-usap kepala ular besar yang saat itu kembali bergelung di lehernya. “Ada lagi yang kepingin cepat-cepat menghadap Raja Akhirat?!” tanyanya. Tak ada yang berani menjawab. Juga tak ada yang berani bergerak.

Hujan turun rintik-rintik tak lama setelah Wiro Sableng dan Anggini tiba di dangau di kaki bukit batu. “Kurasa ada keanehan ketika Dewi Ular jatuh ke dalam jurang batu...” Wiro membuka pembicaraan sambil memperhatikan pakaian yang dikenakannya, yaitu pakaian perempuan yang didapatnya sewaktu menyelamatkan diri dari tempat kediaman Dewi Ular.

“Keanehan apa maksudmu?” tanya Anggini.

“Jurang batu itu dari atas kelihatannya cuma sedalam enampuluh kaki. Tapi pandangan mata bisa salah karena sebenarnya dasar jurang lebih seratus kaki...”

“Itu keanehan yang kau maksudkan?”

Wiro menggeleng. “Waktu perempuan itu jatuh dia menjerit keras. Namun suara jeritannya mendadak lenyap pada kedalaman yang aku yakin belum mencapai dasar jurang. Sesuatu terjadi dengan dirinya...”

“Bisa saja dia jatuh pingsan selagi melayang jatuh. Atau kepalanya membentur batu jurang...” kata murid Dewa Tuak pula.

“Dugaanmu yang pertama mungkin saja. Dugaan kedua kurasa tidak, karena dinding jurang lurus sampai ke dasar. Aku khawatir kalau sesuatu terjadi dengan dirinya...”

“Hemmm, kau mengkhawatirkan dirinya. Justru itu yang aneh!”

Pendekar 212 garuk-garuk kepala. “Bukan khawatir apa. Yang aku khawatir kalau-kalau dia tidak mati. Ada yang menolong...”

“Hantu atau setan jurang?”

Wiro tak bisa menjawab. Dalam hati dia tetap saja merasakan ada sesuatu.

“Daripada membicarakan perempuan itu, lebih bagus kau menceritakan padaku bagaimana kau bisa mengenakan pakaian perempuan seperti ini?”

“Ah! Ini...” Wiro tertawa lebar dan kembali garuk-garuk kepala. Dia merasa tidak ada perlunya menyembunyikan apa yang terjadi antara dia dan Dewi Ular di bangunan batu pualam. Anggini mendengarkan dengan wajah bersemu merah.

“Gila! Itu pekerjaan yang paling berat dalam hidupku! Kalau aku tidak dibebani tugas maha besar, mungkin bukan paku emas itu yang aku tancapkan pada tubuhnya!”

Anggini memalingkan wajahnya mendengar kata-kata Pendekar 212. Dalam hati dia berkata. “Tabiatnya masih tidak berubah sejak dulu. Bicara seenaknya...”

“Eh, mengapa kau memalingkan muka dan tiba-tiba jadi diam saja?” tanya Wiro sambil mengulum senyum.

“Kau masih untung...” sahut Anggini.

“Untung bagaimana?”

“Waktu gurumu meledakkan sarang Dewi Ular, kau masih bisa menemukan pakaian walau pakaian perempuan. Kalau di sana tak ada pakaian kau bisa memperkirakan bagaimana keadaanmu saat ini...”

Wiro terdiam lalu tertawa tergelak. “Kau betul! Aku masih untung walau jadi seperti banci begini! Tapi sudahlah, mengapa kita harus membicarakan perempuan ular itu. Kukira ada baiknya kita membicarakan hubungan kita...”

Anggini menatap paras si pemuda dengan hati bergetar.

“Selama ini kau mendesakku agar kita membicarakan soal perjodohan itu. Aku berpikir-pikir sebaiknya kita mempertemukan saja guru-guru kita, biar mereka bicara langsung...”

“Mempertemukan mereka bukan soal gampang. Kalaupun bisa dipertemukan, dua kakek nenek itu bisa saja melantur bicara yang lain-lain...”

“Mereka semakin tua, tentu ada perubahan dalam hati dan jalan pikiran. Kurasa ada baiknya kau pergi menemui Dewa Tuak, aku menemui Eyang Sinto Gendeng lalu kita atur waktu dan tempat pertemuan bagi mereka. Kita ikut hadir di sana...”

“Aku menurut saja,” jawab Anggini.

Wiro tatap paras gadis itu lekat-lekat. Seolah baru menyadari betapa paras Anggini begitu cantik. Dihias sepasang mata yang bagus dan bening. Perlahan-lahan tangan kanannya diulurkan untuk membelai rambut si gadis. “Mungkin selama ini aku begitu saja melupakannya. Menyia-nyiakannya... Mungkin sudah saatnya aku harus lebih dekat dengannya. Aku tahu betul dia sangat mencintaiku dan gurunya Dewa Tuak menginginkan diriku jadi suaminya...”

“Apa yang kau pikirkan...?” bisik Anggini bertanya sambil pegang dan mengusap lengan pemuda itu.

“Ada serombongan orang yang mendatangi...”

“Hah! Apa?!” kejut Anggini karena lain yang ditanya lain yang dijawab. Dia mengikuti pandangan pemuda itu lalu berpaling ke jurusan yang dilihat Wiro.

Dari arah kaki bukit batu pualam sebelah timur, di bawah hujan rintik-rintik Anggini melihat empat orang prajurit berlari menggotong sebuah tandu. Di atas tandu duduk seorang lelaki berjubah merah. Empat prajurit lagi berlari di samping tandu. Lalu di sebelah belakang mengikuti seorang tua berambut dan berjanggut serba kelabu.

Dalam waktu singkat rombongan itu sampai di depan dangau. Empat prajurit turunkan tandu lalu bersama empat kawannya yang lain mereka segera mengurung dangau sementara orang tua rambut kelabu tegak rangkapkan tangan di depan dada sambil menatap tajam pada Anggini dan Wiro. Sepasang muda-mudi di atas dangau lepaskan rangkulan masing-masing.

“Siapa mereka?” tanya Anggini.

“Belum bisa kuduga. Kau tetap di sini.” Lalu Wiro melompat turun dari atas dangau.

“Rombongan dari mana datang ke sini? Apa hendak berbagi tempat berteduh? Silakan naik ke atas dangau. Tapi karena dangau kecil, tidak semua kalian bisa naik...” Wiro menegur sambil matanya ditujukan pada orang bermuka pucat berjubah merah di atas tandu. Dia telah melihat perhiasan emas yang tersemat di dada kiri orang ini yang menandakan bahwa dirinya seorang pejabat tinggi atau penguasa kerajaan.

Orang tua berambut kelabu angkat tangan kanannya. “Kami rombongan Pangeran Ipong Nalakudra dari Kotaraja,” katanya. “Kami datang untuk mendapatkan keterangan kapan Bintang Kelimukus muncul!”

“Eh?! Apa-apaan ini?!” ujar Wiro heran lalu berpaling pada Anggini. “Sejak kapan aku jadi ahli perbintangan?!”

“Pendekar 212 Wiro Sableng dan kau juga murid Dewa Tuak Anggini, jangan coba menyembunyikan apa yang kau ketahui!” kata orang tua berambut kelabu yang bukan lain adalah Ki Sepuh Dulantara.

“Astaga Anggini! Mereka tahu siapa kita!” ujar Wiro lagi-lagi sambil berpaling pada Anggini dan kini malah sambil garuk-garuk kepala.

“Pendekar 212...” Pangeran Ipong yang duduk di atas tandu ikut bicara. “Karena menguntit kalian, kami telah kehilangan seorang anggota! Mati dibunuh Ratu Ular! Jadi kuharap kau segera saja memberi keterangan! Aku memerlukan penjelasan mengenai Bintang Kelimukus itu!”

“Siapa suruh kalian menguntit kami?! Kalau ada anggota kalian yang menemui ajal, itu tanggung jawab kalian sendiri!” Dari atas dangau Anggini mendamprat.

“Murid Dewa Tuak!” membentak Ki Sepuh Dulantara. “Jaga mulutmu! Kau bicara dengan Pangeran Ipong Nalakudra dari keraton!”

Anggini jadi sewot. Dia hendak mendamprat kembali tapi Wiro memberi isyarat. Dia berpaling pada orang yang duduk di atas tandu. “Harap maafkan sahabatku itu. Kalian muncul secara tiba-tiba, mengatakan telah menguntit kami! Bicara tentang anggota yang mati di tangan Ratu Ular. Lalu menanyakan Bintang kelimukus. Terus terang saja, bisa dikatakan kalian muncul tidak tahu juntrungannya. Tentu saja kami jadi heran. Coba bicara baik-baik biar tidak terjadi salah paham...”

Melihat Wiro bicara lunak, kejengkelan Pangeran Ipong dan Ki Sepuh Dulantara jadi mengendur. Orang tua ini lantas berikan keterangan. “Kami mendapat petunjuk dan berhasil menyerap kabar bahwa di dasar jurang batu pualam tersembunyi sepasang keris sakti bernama Nagasona. Satu betina satunya jantan. Menurut catatan kuna dan silsilah yang ada di keraton, sepasang senjata itu berasal dari tua-tua kerajaan beberapa puluh tahun lalu yakni dari Kerajaan Singosari.. Selain kedua keris itu adalah milik sah kerajaan, juga mempunyai daya pengobatan luar biasa. Pangeran Ipong Nalakudra menderita lumpuh sejak usia limabelas tahun. Hanya sepasang keris itu yang bisa mengobati kelumpuhannya...”

“Lalu apa hubungan sepasang keris Nagasoma dengan kami?” tanya Wiro.

“Kami yakin kalian mengetahui kapan munculnya Bintang Kelimukus. Karena pada saat bintang itu muncul di langit, pada saat itu pula ada petunjuk di mana letak tepatnya dua bilah keris mustika itu...”

“Walah!” Wiro berusaha menahan tawa dan garuk-garuk kepala, sementara Anggini sambil senyum-senyum geleng-gelengkan kepala.

“Pangeran Ipong, keyakinan kalian tidak berdasar. Kami berdua tidak tahu menahu soal keris Nagasona itu. Kami...”

“Tapi!” memotong Pangeran Ipong dengan cepat. “Kalian berdua kami ketahui berada di tepi jurang batu pualam. Kalau tidak ada sangkut pautnya dengan senjata-senjata sakti itu, apa perlunya kalian jauh-jauh tersesat ke sana...?!”

“Pangeran, apakah kau pernah mendengar nama Dewi Ular?” bertanya Wiro.

“Apa sangkut paut perempuan jahat itu dengan urusan ini?!” bentak Ki Sepuh Dulantara.

“Justru Ratu Ular, guru Dewi Ular yang telah membunuh salah satu anggota kami!” tukas Pangeran Ipong pula.

“Sudahlah, sekalipun kita bertengkar sampai pagi dan pagi lagi tak ada gunanya. Dengan jujur aku katakan aku tidak tahu menahu tentang sepasang keris Nagasona. Juga tidak tahu kapan munculnya Bintang Kelimukus!”

“Dia berdusta Pangeran!” kata Ki Sepuh Dulantara.

Pangeran Ipong mengangguk. “Siapa percaya pada pemuda sableng yang mengenakan pakaian perempuan ini! Paksa dia bicara! Kalau tidak mau memberi keterangan, hajar! Kalau perlu sampai mampus!”

Mendengar ucapan Pangeran Ipong, Anggini langsung melompat dari atas dangau. Ki Sepuh Dulantara maju selangkah lalu berkata. “Kalian membangkang terhadap permintaan pangeran! Berarti kalian membangkang terhadap kerajaan! Dengar dua anak muda. Aku akan menangkap kalian secara baik-baik. Tapi jika tidak mungkin, jangan menyesal kalau kami menjatuhkan tangan kasar!”

Orang tua ini lantas berikan isyarat pada delapan orang prajurit. Serta merta mereka yang sejak tadi memang telah mengurung maju mendekat lalu menyergap.

“Kasihan! Kalian hanya jadi korban perintah pangeran tolol!” teriak Anggini. Murid Dewa Tuak berkelebat. Tangan dan kakinya bergerak. Pendekar 212 tidak ketinggalan. Dia tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Tapi dua tangannya lepaskan dua pukulan kosong.

***

 

DELAPAN

 

Enam jeritan mengumandang. Enam orang prajurit berpelantingan dan bergelimpangan di tanah. Tiga kelihatan pegangi perut, dua menutupi mata yang bengkak sedang satunya lagi melompat-lompat kesakitan sambil pegangi tulang keringnya yang kena tendang Anggini dan serasa mau patah!

Dua prajurit yang tidak sempat kena hantaman serta merta mencabut pedang masing-masing. Yang diserang cepat merunduk lalu menyusup di bawah sambaran pedang sambil menghantam. Kembali terdengar jeritan keras. Dua prajurit mencelat mental. Yang satu muntah darah, satunya lagi menjerit berguling-guling karena sambungan siku tangan kanannya hancur dikepruk Wiro Sableng.

Di atas tandu Pangeran Ipong kertakkan rahang. Tangan kanannya bergerak ke samping. Ternyata di atas bangku tandu ada sebuah busur kecil serta selusin anak panah. Dengan gerakan cepat Pangeran Ipong mengambil busur itu dan merentang dua anak panah sekaligus! Gerakannya cepat sekali. Tahu-tahu dua anak panah melesat di udara. Hebatnya walau lepas dari satu busur yang sama namun dua anak panah itu mampu melesat pada dua sasaran yakni Wiro dan Anggini!

“Anggini awas panah!” teriak Wiro memberitahu. Murid Dewa Tuak tanggalkan selendang sutera ungu yang melilit di lehernya. Sekali selendang ini dikebutkan, kekuatannya berubah seperti sepotong besi.

“Traakk!”

Anak panah yang menyerang Anggini hancur berkeping-keping. Anak panah kedua yang melesat ke arah Pendekar 212 tiba-tiba berbalik dan menghantam ke arah Pangeran Ipong begitu murid Eyang Sinto Gendeng lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Pangeran ini terkejut bukan main. Dengan cepat dia gerakkan tangan kanannya yang masih memegang busur.

“Traakk! Traakk!”

Busur dan anak panah sama-sama patah tapi sang pangeran sendiri selamat dari senjata makan tuan!

“Pendekar 212 bukan nama kosong!” ujar Pangeran Ipong. “Aku mau lihat apa kau juga mampu menerima serangan ini!” lalu dari atas bangku tandu diambilnya sekaligus delapan buah anak panah. Dengan gerakan luar biasa cepat ke delapan anak panah itu dilemparkannya ke arah Wiro. Delapan anak panah menyerang di delapan bagian tubuh Pendekar 212. Dua di antaranya di bagian kepala dan satu mengarah leher.

“Ganas sekali!” kertak Wiro. Dia melompat ke samping kiri seraya menghantamkan dua tangan sekaligus. Meski enam anak panah sanggup dibuat mental namun anak panah ke tujuh menyusup di bahu kiri pakaiannya. Terasa perih tanda ujung panah sempat mengiris daging bahunya. Anak panah ke delapan yang mengarah pinggang tak sempat dielakkan sang pendekar. Sebelum senjata itu menancap telak di tubuh-nya dari samping Anggini kebutkan selendang ungunya. Ujung selendang menghan-tam panah hingga patah bermentalan.

Pangeran Ipong berteriak marah. Dua anak panah yang masih ada di bangku segera dilemparkan ke arah Anggini. Si gadis tak kalah marahnya Dia keluarkan jurus “selendang dewa memagut naga menghancurkan matahari.”

Selendang ungu di tangan Anggini memukul lurus ke depan. Bukan saja senjata andalannya ini mampu membuat mental dan hancur dua buah anak panah yang datang menyerang namun di lain kejap hampir tidak terlihat oleh Pangeran Ipong tahu-tahu selendang ungu itu telah menggelung lehernya!

“Kau boleh membuat gerakkan konyol apa saja Pangeran! sekali aku menyentak-kan tangan tulang lehermu akan remuk!”

Murid Dewa Tuak memang tidak punya maksud membunuh pangeran berkaku lumpuh itu. Maklum kalau si gadis tidak akan mencelakainya maka Pangeran Ipong berteriak pada Ki Sepuh Dulantara. “Kau tunggu apa lagi?! Kau harus dapatkan keterangan dari meeka Bagaimana caranya terserah!”

Ki Sepuh Dulantara memandang tak berkesip pada Anggini, melirik ke arah Wiro. Dia sudah lama mendengar kehebatan pemuda ini dan juga tindakan-tindakannya yang menjurus pada kekurangajaran.

Walau dia menganggap tingkat kepandaian Wiro masih di bawah Ratu Ular namun untuk mencari perkara dengan pemuda ini dia harus pikir dua kali. Apalagi disaksikannya sendiri bagaimana tadi Wiro dan Anggini menghajar delapan prajurit hingga babak belur. Namun sebagai orang yang tunduk pada perintah Pangeran Ipong kalau dia tidak berbuat apa-apa pasti sang pangeran akan marah besar terhadapnya.

“Pendekar 212, kami telah meminta secara baik-baik padamu agar memberi tahu apa yang kau ketahui tentang kemunculan bintang Kalimukus....”

“Meminta baik-baik dengan menyuruh delapan prajurit itu menyerang kami?!” tukas Wiro.

Anggini menimpali. “Pangeranmu malah menyerang kami dengan selusin panah!”

“Kami masih mau menyelesaikan urusan ini secara kekeluargaan. Jika kau membuat jasa pada Pangeran Ipong masakan kerajaan tidak akan mengingat dan membalas kebajikanmu itu...” ujar Ki sepuh Dulantara pula.

“Kalian telah menjatuhkan tangan jahat! Mana kami mau percaya! Jika mau menganggap urusan selesai sebaiknya kau gotong pangeramu itu cepat-cepat meninggalkan tempat ini!”

“Ki Sepuh! Lekas kau beri pelajaran pada pemuda kurang ajar itu!” teriak Pangeran Ipong. Tak perduli walaupun lehernya masih dijerat selendang dia gerakkan tangan kanannya ke balik jubah merah.

Begitu tangan keluar Anggini melihat sang pangeran menggenggam beberapa buah benda berbentuk bintang kepala enam, terbuat dari besi tipis hitam. Senjata rahasia! Dari warnanya yang hitam jelas bintang besi itu mengandung racun.

“Pangeran apa yang hendak kau lakukan....?” tanya Anggini

“Kau bertanya! Kau boleh mendapatnya lebih dulu!” jawab Pangeran Ipong. Lalu tangan kanannya bergerak ke arah kepala Anggini. Maksudnya tentu saja hendak melemparkan senjata rahasianya itu pada si gadis. Tapi Anggini yang dari tadi sudah bersikap waspada, apalagi selendangnya masih melilit di leher sang pangeran tentu saja mampu bergerak lebih cepat. Begitu ujung dua jari tangan kirinya menusuk punggung lelaki lumpuh itu, tubuh Pangeran Ipong serta merta kaku. Dia seolah berubah jadi patung dengan tampang mengerenyit sedang tangan kanan terangkat ke atas.

“Anak gadis! Kau melakukan kesalahan besar!” teriak Ki Sepuh Dulantara. Orang tua ini melompat ke arah Anggini. Selagi tubuhnya melayang di udara tangan kanannya sudah bergerak mengirimkan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.

Yang diserang tak tinggal diam. Apa yang dilakukan murud Dewa Tuak membuat Ki Sepuh Dulantara berteriak kaget. Dia cepat tarik serangannya tapi terlambat. Pukulan tangan kosong yang dilepaskan orang tua berambut kelabu itu menghantam dada Pangeran Ipong yang tubuh kakunya diangkat oleh Anggini dan dijadikan tameng untuk melindungi dirinya!

Meski dalam keadaan kaku akibat totokan Anggini namun begitu hebatnya hantaman pukulan yang dilepaskan Ki Sepuh Dulantara tubuh Pangeran Ipong tampak menggeliat. Mulutnya menganga mengeluarkan darah!

“Jahanam! Kau membunuh pangeran kami!” teriak Ki Sepuh Dulantara marah sekali. Padahal sang pangeran hanya pingsan. Tidak tunggu lebih lama dia segera menyerbu Anggini. Murid Dewa Tuak siap menyambut serangan si orang tua namun dari samping saat itu tiba-tiba saja Pendekar 212 memotong gerakannya. Melihat ada yang berusaha menghalangi serangannya Ki Sepuh Dulantara berbalik dan memukul. Wiro angkat tangan dan menangkis.

“Bukkk!”

Dua lengan saling beradu. Orang tua rambut kelabu mengeluh tinggi dan terbungkuk-bungkuk sambil pegangi tangannya yang sakit laksana dihantam pentungan besi. Sebaliknya Wiro sendiri terjajar dua langkah. Ketika diperiksa ternyata lengan kanannya tampak bengkak membiru. Sambil mengurut-urut lengannya yang bengkak Wiro perhatikan Ki Sepuh Dulantara yang masih terbungkuk-bungkuk kesakitan. Pada saat itulah selintas pikiran muncul dibenakknya. Meskipun sudah lanjut usia namun orang tua ini masih memiliki tubuh kokoh dengan perawakan sama besar seperti Wiro.

“Tinggi sama. Besar dadanya juga sama denganku. Pasti ukuran pakaiannya ... Hemmm...Mengapa tidak kulakukan?” Memikir sampai di situ murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu segera dekati Ki Sepuh Dulantara sambil tersenyum-senyum.

“Orang tua, apakah kau akan meneruskan perkelahian?!” Wiro bertanya.

Merasa diejek dengan pertanyaan itu, apalagi Wiro bicara sambil mengulum senyum Ki sepuh Dulantara jadi marah sekali. Anggini sendiri terheran-heran melihat sikap pemuda itu. “Apa yang ada dibenak si konyol itu,” pikirnya.

“Jahanam! Makan tanganku!” teriak si orang tua lalu hantamkan satu jotosan ke kepala Wiro.

Yang diserang cepat menghindar. Begitu tangan si orang tua lewat didepannya Wiro segera susupkan satu totokan ke ketiak lawan. Tapi Ki Sepuh ternyata cukup gesit. Begitu berhasil menghindari totokan yang bisa melumpuhkan sekujur tubuhnya itu, si orang tua lancarkan serangan kilat berupa pukulan tangan kiri kanan. Demikian cepatnya serangan ini hingga yang terdengar hanya suara bak-buk-bak-buk.

Tubuh pendekar 212 terguncang keras beberapa kali lalu terpelanting dan jatuh duduk di tanah. Dadanya mendenyut sakit. Selagi dia mencoba bangkit kaki kanan Ki Sepuh Dulantara datang menyambar.

“Orang tua, sekarang giliranku!” teriak Wiro. Dengan salah satu kaki dia menghantam tulang kering kaki kiri Ki Sepuh Dulantara yang berpijak di tanah.

“Patah!” teriak murid Sinto Gendeng.

“Bukkk!”

Tendangan Wiro mendarat tepat di tulang kering kaki Ki Sepuh Dulantara. Tapi kaki itu tidak patah. Dia hanya terhuyung-huyung sedikit. Malah yang membuat Wiro jadi geram ialah sewaktu dilihatnya Ki Sepuh Dulantara memandang padanya dengan seringai penuh ejek.

“Gila! Ilmu apa yang dimiliki tua bangka ini?” ujar Wiro dalam hati. “Tadi waktu bentrokkan lengan jelas dia kesakitan. Rupanya kini dia mengeluarkan ilmu kebal aneh!” Selagi lawan masih terhuyung-huyung dia cepat menyergap dan hantamkan empat jotosan di dada orang. Lagi-lagi Wiro jadi terperangah ketika dia merasa bagaimana empat kali dia menjotos dada empat kali dia seperti menghantam tumpukan kapas empuk! Penasaran Wiro lancarkan lagi pukulan keras berulang kali. Kini yang dihantamnya adalah perut orang tua itu. Lama-lama tangannya seperti kesemutan. Dengan muka keringatan dan nafas mengengah Wiro hentikan serangannya,menatap si orang tua dengan pandangan heran.

“Nama besar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 ternyata hanya nama kosong belaka! Aku mau lihat sampai dimana kekuatan tulang belulangmu!” Ki Sepuh Dulantara tutup ucapannya dengan satu gerakan kilat. Tangan kiri mencekal tengkuk sang pendekar sedang tangan kanan mencengkeram pinggang pakaiannya. Tubuh Wiro diangkatnya ke atas diputarnya beberapa kali lalu dilemparkannya ke arah danau.

“Brakkk!”

Dua buah tiang dangau yang terbuat dari bambu patah karena hantaman tubuh Wiro hingga bangunan yang memang sudah agak lapuk itu roboh berantakan. Wiro tentu saja menderita kesakitan sekujur badannya terutama pada pinggang. Namun yang berteriak justru orang tua berambut kelabu itu. Apa yang terjadi? Ketika tubuhnya diangkat ke atas dan diputar-putar beberapa kali, sebelum dilemparkan ke danau Wiro susupkan dua tangannya mencengkeram bahu baju yang dikenakan Ki Sepuh Dulantara. Begitu tubuhnya dilempar dia cepat merenggut. Akibatnya baju tak berkancing yang melekat ditubuh orang tua terlepas tanggal! Kini Ki Sepuh Dulantara tegak dalam keadaan setengah telanjang dan memaki panjang pendek.

Tenang saja malah sambil senyum-senyum Wiro bangkit berdiri lalu cepat kenakan baju yang berhasil dirampasnya itu.

“Bangsat kau benar-benar mencari mati berani menghinaku! Lekas kembalikan bajuku!” teriak Ki Sepuh Dulantara marah.

“Kalau kau punya kemampuan silahkan ambil sendiri!” sahut Wiro. Lalu dia melompat dan lancarkan tendangan ke arah kaki lawan. Dalam marahnya Ki Sepuh Dulantara bukannya menghindar tapi malah angkat kaki kanannya menyongsong tendangan dengan tendangan!

“Pasti dia akan mengandalkan ilmu empuk-empuk itu!” pikir Wiro. “Silahkan saja! Kali ini dia akan kutipu!”

Begitu kaki kanan Ki Sepuh Dulantara melesat ke atas Wiro berkelebat ke samping. Dari samping dia gunakan tangan kanan untuk mengangkat tumit lawan tinggi-tinggi sambil tangan kirinya mendorong ke arah yang berlawanan.

Akibatnya tak ampun lagi Ki Sepuh Dulantara jatuh tertelentang di tanah. Selagi orang tua itu terhenyak nanar, Wiro pergunakan kesempatan untuk mencengkeram kaki celana panjang yang dikenakan orang tua ini lalu membetotnya dengan sekuat tenaga.

“Kurang ajar! Hai!”

Apa yang terjadi dapat dibayangkan. Kalau tadi Ki Sepuh Dulantara hanya setengah telanjang kini orang tua itu benar-benar bugil karena ternyata dibawah celananya itu dia sama sekali tidak mengenakan apa-apa.

Wiro lambaikan celana milik Ki Sepuh Dulantara pada Anggini yang masih tegak dekat tandu lalu berkelebat ke balik runtuhan dangau. Anggini yang mengerti isyarat Wiro segera pula berkelebat mengikuti.

“Bangsat, jahanam!” teriak Ki Sepuh Dukantara. “Kembalikan pakaianku! Hei! Kembalikan pakaianku!”

“Aku akan perintahkan pasukan mencari kalian! sekali tertangkap kalian akan tahu rasa.” berteriak Pangeran Ipong.

Wiro tidak perdulikan teriakan kedua orang itu. Sambil memegang lengan Anggini dia terus berlari. “Lumayan dapat pakaian. Sekarang aku tidak seperti banci lagi. Mengenakan pakaian perempuan...”

“Bagusnya pakaian itu kau cuci dulu. Siapa tahu dia mengidap penyakit kulit. Kau bisa budukan!” kata Anggini pula lalu tertawa cekikikan.

Seratus lima puluh hari setelah jatuhnya Dewi Ular dan manusia paku Sandaka ke dalam jurang batu pualam....

Saat itu menjelang sang surya akan tenggelam ke ufuk barat. Di dinding timur jurang yang mulai redup temaram kelihatan satu cahaya kuning bergerak sebat kian kemari seolah seekor kunang-kunang yang terbang melayang. Namun sesekali cahaya itu tampak melesat panjang disertai suara bersiur dan membersitnya hawa dingin.

“Bagus sekali! Hebat! Dasar tenaga dalammu jauh lebih kuat dari pertama kali dulu kau menginjakkan kaki di tempat ini! Tidak percuma aku menggemblengmu. Walau kurang dari setengah tahun tapi aku sudah bisa yakin kau bakal dapat menggusur kakek keparat di jurang barat sana! sekarang aku perlu menjajalmu untuk terakhir kali! Kau sudah siap Dewi Ular?!”

Yang bicara adalah si nenek gendut Kunti Rao berjuluk Iblis Daun Setan.

“Nenek guru, tentu saja saya sudah siap! Siapa nyangka berkat ketekunanmu paku emas yang tadinya sudah butut menghitam kau asah ujungnya hingga kembali ke bentuknya yang asli. Kuning emas berkilat!” Terdengar suara menjawab. Ini adalah suara kunti Ambiri alias Dewi Ular. Saat itu kedua perempuan tersebut berada di depan goa batu, di lereng barat jurang batu pualam. Demikian terjalnya dinding jurang jangankan bergerak dan membuat gerakan-gerakan silat, berdiri saja sangat berbahaya. Sekali seseorang tergelincir pasti akan disambut maut di dasar jurang yang ada kawah mendidih serta puluhan batu-batu lancip. Tapi luar biasanya Dewi Ular justru bergerak kian kemari, memainkan jurus-jurus ilmu silat yang dipelajarinya sejak seratus lima puluh hari lalu dari Kunti Rao.

Gerak dan jurus-jurus yang dimainkan Dewi Ular memang merupakan ilmu silat langka. Namun yang lebih luar biasa adalah paku hitam yang berada dalam genggaman tangan kanannya.

Paku hitam itu dulu adalah paku emas yang ditancapkan Pendekar 212 Wiro Sableng ke pusar Dewi Ular hingga perempuan setengah manusia setengah iblis ini musnah ilmu kesaktiannya yang ganas. Selama puluhan hari Kunti Rao mengasah paku itu ke dinding batu di sekitarnya, berusaha mengembalikan ke bentuk asalnya kuning emas. Namun dia hanya mampu mengikis lapisan hitam pada ujung runcing paku.

Itupun hanya setengah panjang kuku jari kelingking. Tetapi kesaktian yang keluar dari ujung yang secuil itu sungguh luar biasa!

Dewi ular memegang paku pada bagian kepalanya. Seutas tali diikatkan pada bagian bawah kepala paku. Selanjutnya ujung lain diikatkan ke lengan perempuan itu hingga dalam keadaan bagaimanapun paku itu sulit terlepas dari tangannya.

“Dewi Ular! harap kau simpan dulu paku hitam berujung emas itu. Aku akan menjajal tenaga luarmu, gabung dengan tenaga dalam. Keluarkan ilmu baru yang kuajarkan.”

“Saya siap guru!” kata Dewi Ular. Dia cepat menyimpan paku hitamnya lalu tegak memasang kuda-kuda.

“Lihat serangan!” teriak Kunti Rao. Tubuhnya yang gemuk menyergap ke depan. Rambutnya yang acak-acakan berakibat sebat. Dua tangannya menghantam berbarengan.

Dewi Ular geser sedikit ke dua kakinya ke samping. Lalu dengan gerakan tak kalah cepat dia songsong serangan dua tinju si nenek dengan balas menyerang, mempergunakan ke dua tinjunya pula. Terjadilah hal yang hebat. Empat jotosan saling berada menimbulkan suara keras. Bukan cuma satu kali. Tapi berulang kali dan dalam gerakan sangat cepat. Dalam waktu singkat saja terjadi saling adu jotos sebanyak seratus kali!

“Bagus!” seru Kunti Rao seraya mundur. Dia perhatikan jari-jari tangannya yang kelihatan merah. Hal yang sama juga terjadi dengan jari-jari Dewi Ular. Meskipun merah namun sama sekali tidak cedera. Lecet sajapun tidak.

“Kau boleh ikatkan paku hitam itu kembali ke pergelangan tanganmu,” kata Kunti Rao. “Dan siap dengan ujian berikutnya!”

Dewi Ular keluarkan paku hitam dari balik pakaiannya lalu mengikatkan tali paku ke pergelangan tangannya sebelah kanan.

“Lihat serangan!” Kunti Rao kembali berteriak keras.

Tangan kanannya dipukulkan ke arah dada Dewi Ular. Serangan yang dilancarkan perempuan gemuk berambut merah acak-acakan dan mengaku berusia lebih enam puluh tahun itu bukan serangan main-main. Jangankan tubuh manusia, dinding batu sekalipun sanggup dihantamnya sampai hancur.

Dewi Ular selaku orang yang diserang bukan tidak tahu kalau bahaya maut mengancam jiwanya. Tapi penuh percaya diri dia bersikap diam. Dia sengaja menunggu. Begitu jotosan Kunti Rao hanya tinggal satu jengkal dari dadanya baru dia gerakkan tangan kanan yang memegang paku hitam yang ujung lancipnya berwarna kuning keemasan.

***

 

SEMBILAN

 

Satu sinar kuning menyilaukan menyambar disertai deru dan menghamparkan hawa dingin menggidikkan. Kunti Rao merasa tangan kanannya mulai dari bahu sampai ke ujung-ujung jari laksana kesemutan.

Tangannya tak bisa maju lagi. Berarti serangannya tak mampu mencapai sasaran yaitu dada Dewi Ular. Kunti Rao coba memaksa. Sekujur tubuhnya bergetar. Mukanya yang gembrot basah oleh keringat dan kelihatan sangat merah. Rasa kesemutan lenyap tapi bagaimanapun ia mengerahkan tenaga luar dalam tetap saja dia tidak mampu menghantam Dewi Ular.

Di hadapannya Dewi Ular walaupun di luar tampak tenang namun sebelah dalam tubuhnya terasa seperti diremas-remas. Rahangnya dikatupkan kencang-kencang menahan rasa sakit aneh yang seperti hendak meluluhlantakkan sekujur auratnya. Keringat membasahi badannya.

“Luar biasa! Aku tak sanggup bertahan!” keluh Dewi Ular dalam hati. Dia segera pegang kepala paku hitam. Ujungnya ia arahkan pada Kunti Rao. Ketika tenaga dalamnya disalurkan ke paku hitam itu, ujungnya yang berwarna kuning emas mengeluarkan sinar terang menyilaukan. Bersamaan dengan itu terdengar suara seperti angin menderu dibarengi menebarnya hawa dingin menggidikkan.

Kunti Rao menjerit keras ketika sinar kuning yang keluar dari ujung lancip paku menyambar tangannya yang masih terpentang dalam sikap memukul. Hawa dingin menyerang sekujur badannya. Bersamaan dengan itu tubuh gemuk berbobot puluhan kati itu terpental, terbanting keras ke dinding goa batu. Kunti Rao mengeryit menahan sakit. Dadanya yang besar berguncang turun naik. Dia cepat duduk bersila di lantai batu, atur jalan nafas dan peredaran darah. Sepasang matanya yang sipit terpejam.

“Kau berhasil menguasai ilmu itu Dewi Ular! Kau hebat! Aku puas.... Tapi jangan lengah! Lihat serangan!” Tiba-tiba si gendut berteriak. Tubuhnya yang tadi duduk seperti membal ke atas. Bersamaan dengan itu tangannya bergerak mencabut empat helai daun besar yang menutupi auratnya.

“Wuttt! Wuuuttt! Wuttt! Wutttt!”

Empat lembar daun lontar mengarah ke arah Dewi Ular. Suaranya laksana elang menyambar. “Bettt! Bettt! Betttt! Bettt!” Dewi Ular acungkan tangan kanannya yang memegang paku. Paku hitam itu kemudian digoyangkan dalam gerakan berputar. Empat lembar daun lontar yang menyerang tampak ikut berputar di udara lalu berpelanting ke empat penjuru.

“Clep! Clep! Clep! Clep!”

Empat lembar daun itu menancap sampai setengahnya pada dinding batu goa! Dewi Ular rasakan tengkuknya menjadi dingin. “Dia tidak main-main mengujiku! Terlambat aku menangkis pasti saat itu aku sudah menjadi mayat!”

“Bagus! Aku senang! tidak sia-sia aku menggemblengmu. Walau dalam waktu singkat tapi kau dapat menguasai semua ilmu! Dengan kepandaian itu kau bisa membantuku menamatkan riwayat Datuk Sipatoka. Dia akan tahu rasa nanti!”

Dewi Ular ikut duduk dihadapan si gemuk Kunti Rao.

“Guru saya sangat berterimakasih padamu. Bukan saja karena kau telah mengajarkan ilmu kepandaian yang hebat.Tapi lebih dari itu kau telah mengembalikan hasrat untuk hidup dalam diriku....”

Kunti Rao tertawa lebar. “Kau harus hidup, kau harus percaya diri. Bukan saja karena aku perlu bantuanmu tapi bukankah kau juga ingin membalaskan dendam kesumatmu pada dua orang pemuda itu...?”

Dewi Ular mengangguk. “Saya tidak akan lupakan dua manusia jahanam itu. Sandaka.... Pendekar 212. Tunggu pembalasanku. Kalian akan kubikin lumat! Kalian akan mati hancur, luluh dan tanpa kubur!”

“Satu hal lagi jangan dilupakan. Justru ini yang paling penting! Kita harus mendapatkan sepasang keris sakti Nagasona itu! Itu lambang kekuasaan dunia yang tidak ada duanya!”

Dewi Ular mengangguk. “Jangan khawatir guru. Bila tiba saat datangnya petunjuk itu, saya rela mengorbankan nyawa turun ke dasar jurang. Menyelam ke dalam kawah mendidih....”

Kunti Rao tertawa panjang. Dia pegang bahu Dewi Ular dan menepuknya beberapa kali. “Kau murid baik! Baik dan hebat!”

Dewi Ular menggeser duduknya lebih dekat kehadapan sang guru. Kepalanya ditundukkan seolah-olah hendak memberikan penghormatan sebagai ucapan terima kasih. Tetapi tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak ke atas. Perutnya mengempis. Nafasnya sesaat ditahan. Inilah satu pertanda bahwa dia tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Ujung paku yang berada dalam pegangan Dewi Ular memancarkan sinar kuning terang menyilaukan. Kunti Rao tidak tahu apa yang hendak dilakukan muridnya itu. Mendadak sontak paku hitam telah menancap ditenggorokannya!

“Dew.... Dewi Ular... Apa yang kau lakukan ini?! Perempuan Jahanam! Dasar manusia berhati ular...!” tampak meringis ganas. Tangannya yang memegang paku ditekannya hingga paku itu menancap semakin dalam ke batang leher Kunti Rao. Darah mengucur membasahi leher dan tubuh sebelah atas si nenek gendut itu, juga membasahi tangan Dewi Ular sampai ke siku.

“Jahanam penghianat!” teriak Kunti Rao. Tangan kanannya diangkat tapi dia tak mampu melakukan pukulan. Sepasang matanya yang sipit kelihatan membesar sedikit dan berwarna kemerahan. Mulutnya dibuka. Lidahnya terjulur. Nafasnya mulai sesak.

Dewi Ular terus mengumbar tawa. “Kunti Rao...” katanya langsung menyebut nama orang yang biasanya dipanggilnya dengan sebutan nenek atau guru itu. “Kau manusia sakti paling bodoh di dunia. Setelah tahu apa yang terpendam di dasar jurang ini, apa kau kira cuma kau seorang yang ingin memilikinya? Apa cuma kau seorang yang ingin jadi raja di raja dunia persilatan? Semua orang menginginkan kedudukan itu. Termasuk aku! Hik...hik...hik!”

“Jahanam! Perempuan jahanam!” maki Kunti Rao. Tapi suaranya mendadak jadi perlahan bahkan menghilang. Matanya yang sipit semakin merah, bergerak liar. Lidahnya ikut bergerak. Lalu semuanya itu berhenti bergerak. Dadanya yang tadi turun naik kini diam. Sesaat kemudian kepalanya terkulai ke kiri.

Dewi Ular tersenyum. Perlahan-lahan paku hitam dicabutnya dari tenggorokan perempuan gemuk itu. Asap biru keluar mengepul dari luka bekas tusukan. Dewi Ular mengumbar tawa lalu bangkit berdiri, keluar dari dalam goa.

Di depan goa Dewi Ular menghirup udara segar dalam-dalam. Saat itu senja telah memasuki malam. Udara di dalam jurang batu terasa sangat sejuk. Dewi Ular timang-timang paku yang tergantung di pergelangan tangan kanannya. Dalam hati dia berkata. “Aku hanya tinggal menunggu munculnya bintang Kalimukus itu. Kunti Rao bicara banyak tentang bintang dan sepasang keris di dasar jurang. Aku pasti mampu mendapatkan dua senjata mustika itu. Hemm... begitu aku mendapatkannya pertama sekali akan kucari dua manusia terkutuk itu. Pendekar 212 Wiro Sableng, Sandaka... kalian tak bakal bisa lolos dari tanganku!”

Dewi Ular goyangkan paku hitam di tangan kanannya. Selarik sinar kuning melesat menyilaukan lalu lenyap dalam kegelapan malam.

Lalu dia ingat pada mayat Kunti Rao yang ada dalam goa. “Mayat itu harus disingkirkan dulu sebelum busuk!” Dewi Ular cepat masuk ke dalam goa. Dia membungkuk untuk mencekal kaki perempuan gemuk itu lalu menyeretnya ke luar goa. Tapi baru saja ia memegang kaki sebelah kiri tiba-tiba kaki kanan Kunti Rao melesat.

“Bukkk!”

Dewi Ular terpekik tubuhnya terpelanting ke pintu goa. “Keparat! Belum mati dia rupanya!”

Sambil menahan sakit di dada kirinya yang kena tendangan, Dewi Ular masuk kembali ke dalam goa. Saat itu dilihatnya Kunti Rao berusaha bangkit berdiri.

“Kau boleh punya tujuh nyawa! Tapi ini akan menamatkan riwayatmu!” Dewi Ular putar paku hitam di tangannya. Ujungnya yang lancip ditusukkan ke kening Kunti Rao. Perempuan gemuk ini menjerit keras. Darah mengucur deras membasahi mukanya yang gembrot hingga wajahnya menyeramkan seperti muka setan. Sebelum tubuhnya jatuh terkapar tangan kanannya masih bisa bergerak mencabut dua lembar daun lontar. Lalu “bet...bet!” Dua lembar daun itu laksana lempengan besi menyambar ke perut dan kaki Dewi Ular.

“Benar-benar jahanam!” maki Dewi Ular. Paku hitam ditusukkan ke depan. Satu larik cahaya kuning terang menyambar. Dua daun lontar yang menyerang ke arahnya mental dan hancur berantakan. Hancuran daun itu laksana kepingan besi menancap di dinding goa.

Sosok Kunti Rao kembali kelihatan berusaha bangkit. Kali ini Dewi Ular tak mau memberi kesempatan. Sambil melompat dia kembali hujamkan paku hitam di tangannya. Sinar kuning kembali berkiblat. Paku hitam kembali menancap di dada kiri Kunti Rao, tepat di detak jantungnya! Kali ini bagaimanapun sakit dan kuatnya perempuan bergelar Iblis Daun Setan itu, ketika jantungnya pecah tak ampun lagi nyawanya lepas meninggalkan tubuh!

Di dinding barat jurang batu pualam Datuk Sipatoka sedang berada di depan goa ketika tiba-tiba di arah timur dia melihat ada cahaya kuning menyambar ke sebelah atas jurang lalu lenyap dalam kegelapan. Orang tua berkepala botak biru ini berpaling ke samping.

“Sandaka kau lihat sinar kuning tadi?!”

Di sebelah si kakek tegak seorang pemuda berpakaian kotor. Pakaian ini pemberian Datuk Sipatoka hingga dia kini tidak lagi mengenakan cawat. Tubuhnya yang penuh tancapan paku kini tertutup namun kepala dan mukanya tidak bisa disembunyikan dari paku-paku yang dipantekkan Datuk Bululawang beberapa waktu lalu. Pemuda ini adalah Sandaka yang sejak seratus lima puluh hari lalu berada bersama si kakek di tempat itu.

“Aku melihat. Sinarnya terang sekali lalu lenyap,” jawab Sandaka.

“Aneh selama puluhan hari jurang sebelah timur itu sunyi senyap. Tak terdengar suara apapun. Lalu malam ini tiba-tiba ada sambaran sinar kuning. Aku yakin sinar itu muncul dari arah depan goa kediaman si kuda nil Kunti Rao. Jangan-jangan dia telah menemukan satu ilmu baru.”

“Kalau memang begitu berarti kesempatan bagiku untuk menjajal ilmu kesaktian yang telah kau ajarkan selama ini,” ujar Sandaka pula.

Datuk Sipatoka terdiam. Beberapa lama dia melangkah mondar-mandir di dalam goa.

“Datuk, lupakan apa yang kita lihat tadi. Bukankah kau sudah berjanji malam ini kita akan mengadakan latihan sampai pagi?”

“Mungkin tak jadi. Hatiku tiba-tiba saja kacau balau.... Hai! Kau dengan suara sesuatu Sandaka?” tanya Datuk Sipatoka seraya memandang ke arah timur jurang.

“Seperti suara jeritan...”

Datuk Sipatoka mengangguk. “Jeritan perempuan. Malam celaka! Aku tak bisa melihat apa yang terjadi di sana!”

“Kalaupun siang sama saja. Sejak beberapa minggu ini jurang tertutup kabut tebal. Kita tidak bisa melihat apa-apa,” kata Sandaka.

Selagi dua orang itu terdiam dan kesunyian mencekam mendadak lapat-lapat di kejauhan terdengar suara sesuatu.

“Sandaka! Dengar! Ada sesuatu yang jatuh ke dasar jurang!”

“Tubuh manusia! Aku yakin tubuh manusia!” kata Sandaka seraya mementang mata berusaha menembus kegelapan malam.

Sesaat kemudian jauh di bawah sana, dalam kegelapan terdengar suara sebuah benda mencebur ke dalam air jurang yang mendidih laksana air kawah gunung berapi.

“Bagaimana kau bisa yakin itu tubuh manusia...?” Datuk Sipatoka ajukan pertanyaan.

“Kalau batu pasti akan menimbulkan suara berdentang dan gaung keras serta panjang di dasar jurang. Jadi tak bisa tidak yang barusan jatuh itu adalah tubuh manusia....”

“Otakmu cerdas! Aku sependapat denganmu. Tapi...” Datuk Sipatoka usap-usap kepala botaknya.

“Menurutmu siapa yang jatuh ke dasar jurang itu? Si kuda nil Kunti Rao?”

“Di jurang sebelah timur sana cuma ada satu manusia. Kunti Rao. Lantas apa mungkin ada orang lain?”

Datuk Sipatoka lama termenung. Akhirnya dia berkata. “Sebentar lagi kita akan tahu siapa yang barusan kecebur ke dasar jurang!”

Lalu kakek botak ini melangkah ke dekat tubir jurang. Memandang tepat-tepat ke arah dinding jurang sebelah timur dan berteriak sambil kerahkan tenaga dalamnya.

“Kunti Rao! Puluhan hari kau mendekam membisu! Apa kau masih hidup?!” Teriakan Datuk Sipatoka bergaung melantun beberapa kali di dinding jurang. Lalu sunyi.

“Tak ada jawaban...” katanya perlahan pada Sandaka. “Jangan-jangan perempuan itu memang sudah jadi bangkai di dasar jurang!”

“Biar aku yang memanggil” berucap Sandaka. Pemuda ini segera kerahkan tenaga dalam dan berteriak. Suara teriakannya menggelegar dalam kegelapan malam di jurang angker itu, membuat Datuk Sipatoka sendiri terkesima kagum.

“Kunti Rao! Orang memanggil mengapa tidak menjawab? Apa tiba-tiba kau menjadi tuli atau bisu? Atau rohmu sudah gentayangan saat ini di alam akhirat?! Atau kau ikut menghadapi kenyataan bahwa Datuk Sipatoka musuh bebuyutanmu masih ada di tempat ini?!”

“Bagus teriakanmu pasti akan membuatnya marah. Kalau manusia bertubuh kuda nil itu masih hidup pasti dia akan menjawab garang!” kata Datuk Sipatoka sambil senyum-senyum.

***

 

SEPULUH

 

Di dinding jurang batu pualam sebelah timur Dewi Ular yang baru saja melemparkan mayat Kunti Rao ke dalam jurang pasang telinga, kerenyitkan kening.

“Menurut Kunti Rao di sebelah barat sana memang ada seorang kakek musuh bebuyutannya bernama Datuk Sipatoka. Tapi barusan aku jelas mendengar teriakan dari dua suara yang berbeda. Berarti ada dua orang di tempat itu.”

Di dinding barat Datuk Sipatoka memandang pada Sandaka. “Tak ada jawaban...” katanya. “Berarti memang perempuan itu sudah menemui ajal! Mati di dasar jurang...”

“Perlu kita uji dulu Datuk...” jawab Sandaka. Lalu pemuda itu melangkah lebih dekat ke pinggir jurang. Kedua kakinya dikembangkan. Aneh, sesaat kemudian bagian perutnya seperti ada cahaya.

“Goa di dinding timur itu terlalu jauh Sandaka. Bagaimanapun hebatnya kesaktian paku dan tingginya tenaga dalammu, kau tak bakal mampu....”

“Kita coba dulu Datuk. Paling tidak untuk membuat perempuan itu kaget!” sahut Sandaka pula.

Habis berkata begitu dia hentakkan kaki kanannya. Batu di sepanjang pinggiran sungai bergetar keras. Bersamaan dengan itu dari selangkangan Sandaka melesat sinar kuning menyilaukan, berkelebat ke arah jurang sebelah timur di mana Dewi Ular berada. Perempuan ini terkejut sewaktu belum lama dia melihat sinar di kejauhan tiba-tiba sinar itu sudah menyambar di samping kiri goa, membuatnya cepat menyingkir ke kiri. Dinding batu yang barusan kena sambaran cahaya kuning kelihatan biasa-biasa saja. Tidak berubah warna ataupun bentuknya. Tapi ketika dia mengulurkan tangan meraba bagian yang terkena sambaran cahaya tadi, Dewi Ular jadi berdebar. Lapisan luar dinding batu itu ternyata telah gugus, hancur menjadi pasir.

“Kunti Rao! Sayang kau sudah mampus rupanya!”

Dewi Ular melengak ketika kembali dari arah dinding jurang sebelah barat terdengar suara teriakan. Perempuan ini tak bisa lagi menahan hatinya. Maka diapun kerahkan tenaga dalam dan berteriak.

“Datuk keparat! Jadi kau masih hidup! Kukira sudah dimakan cacing batu! Hik… hik… hik….!”

“Ada suara teriakan!” ujar Sandaka.

“Betul! Tapi itu bukan suara Kunti Rao!” kata Datuk Sipatoka terheran-heran.

“Berarti disana juga ada dua orang…” kata Sandaka.

“Kau bukan Kunti Rao! Mana perempuan itu! Aku hanya mau bicara dengannya!” teriak Datuk Sipatoka.

“Manusia sepertimu tidak layak bicara dengan dia! Segala urusanmu cukup sampaikan padaku!”

“Sialan!” maki Datuk Sipatoka sambil memandang pada Sandaka. Lalu dia berteriak. “Aku tidak kenal perempuan kecoak macammu! Memangnya kau siapa?!”

“Aku Dewi Ular bekas murid Kunti Rao alias Iblis Daun Setan!”

Datuk Sipatoka dan Sandaka langsung melengak kaget. Keduanya sampai tersurut satu langkah dan saling pandang dengan mata melotot.

“Dewi Ular…” desis Sandaka.

“Dewi Ular…” ujar Datuk Sipatoka.

“Tidak mungkin! Mustahil! Benar-benar tidak masuk akal!” kata Sandaka sambil kepalanya dipalingkan ke arah dinding timur jurang batu pualam. “Aku membacok tubuhnya dua kali dengan Kapak Maut Naga Geni 212 milik Wiro Sableng. Aku juga yang menendangnya masuk ke dalam jurang! Aneh kalau sekarang dia masih hidup dan ada di dinding jurang di sebelah sana!”

“Jangan-jangan ini tipu daya Kunti Rao! Mengaku-ngaku sebagai Dewi Ular. Sengaja hendak menyiasati kita…” Kata Datuk Sipatoka pula.

Sandaka menggeleng. “Aku kenal benar suara tadi. Itu memang suara Kunti Arimbi alias Dewi Ular…. Manusia jahanam itu kalau memang dia masih hidup aku bersumpah akan membunuhnya untuk yang kedua kali!”

Datuk Sipatoka usap-usap kepala botaknya yang berwarna biru. Tampaknya dia tengah berpikir keras.

“Kita harus mampu menyingkap keanehan ini. Apa yang terjadi dengan Kunti Rao? Bagaimana Dewi Ular tahu-tahu ada di sana….”

“Memang sulit dipercaya. Jangan-jangan waktu dia kutendang jatuh ke dalam jurang ada yang menolongnya….”

“Kunti Rao…?” Datuk Sipatoka kembali usap-usap kepala botaknya.

“Biar aku bicara padanya! Biar dia tahu kalau aku musuh besarnya berada di tempat ini!” kata Sandaka.

“Jangan! Kurasa ada baiknya kau merahasiakan keberadaanmu di tempat ini,” kata Datuk Sipatoka cepat. “Biar aku saja yang bicara!” Lalu Datuk Sipatoka berteriak. Teriakannya diarahkan ke dinding jurang sebelah timur. “Kunti Rao jangan kau mengaku-ngaku sebagai Dewi Ular! Apa kau kira aku takut padamu? Atau kau sengaja menyiasatiku karena sadar tak bakal lolos dari tangaku?!”

Di dinding timur jurang batu pualam terdengar suara tertawa melengking.

“Dewi Ular tidak pernah memalsu diri! Kalau kau punya kemampuan silahkan datang ke sini!”

“Sialan!” maki Datuk Sipatoka . Tentu saja dia tidak mungkin datang ke tempat Dewi Ular berada.

Di samping Sandaka berkata. “Tadi dia menyebut dirinya sebagai bekas murid Kunti Rao. Tanyakan apa maksudnya…”

Datuk Sipatoka lantas berteriak menanyakan. “Aku Datuk Sipatoka tidak percaya kalau kau adalah Dewi Ular! Goa di dinding timur itu hanya dihuni oleh Kunti Rao! Lagi pula apa maksudmu menyebut diri sebagai bekas murid Kunti Rao?!”

“Itu bagus! Orang tolol semacammu musti banyak bertanya agar tidak buta keadaan!” sahut Dewi Ular yang membuat Datuk Sipatoka jadi bergerak-gerak pelipisnya dan menggembung rahangnya saking marah. “Kunti Rao sudah tidak ada lagi di dunia ini! Tubuh kasarnya mendekam di dasar jurang! Kalau kau untung rohnya mungkin akan menemuimu! Hik…hik…hik…!”

“Apa yang terjadi dengan perempuan itu?!” Tanya Datuk Sipatoka berteriak.

“Aku telah membunuhnya!” jawab Dewi Ular yang membuat sangat terkejut sang Datuk dan Sandaka.

“Ilmumu memang tinggi. Tapi untuk mampu membunuh Kunti Rao aku tidak percaya!” teriak Datuk Sipatoka. Bagaimanapun juga kalau Kunti Rao sampai mati maka dia ingin musuh bebuyutannya itu mati di tangannya.

Di jurang sebelah timur kembali terdengar tawa panjang Dewi Ular. “Tidak percaya itu urusanmu sendiri! Aku tahu banyak tentang permusuhanmu dengan Kunti Rao. Aku juga tahu banyak tentang sepasang keris sakti Nagasona yang terpendam di dasar jurang ini! Selama aku masih hidup jangan harap kau dapat bakal menguasai dua senjata bertuah itu!”

“Kau boleh mimpi Dewi Ular! Kalau tiba saatnya kau akan berhadapan denganku! Bersiap-siaplah untuk mencari nyawa cadangan!”

“Tua bangka takabur! Kau menyusul akan kupendam di dasar jurang agar rohmu bias menyusul roh Kunti Rao! Hik…hik…hik…!”

Awal bulan ke tujuh menjelang perayaan besar Sekaten, di kawasan bebukitan batu pualam terlihat kesibukan-kesibukan tidak seperti biasanya. Hari pertama satu rombongan besar berkuda dari Kotaraja kelihatan bergerak ke arah selatan dimana terletak jurang batu pualam. Rombongan ini terdiri dari duapuluh prajurit, dua orang perwira muda, seorang perwira tinggi yang mengawal sebuah kereta di dalam mana kelihatan duduk Pangeran Ipong Nalakudra. Lalu disitu jua ada seorang tua berambut dan berjanggut kelabu yang bukan lain adalah Ki Sepuh Dulantara. Di sebelah orang tua ini menunggang kuda seorang nenek berpipi dan bermata sangat cekung. Dia mengenakan jubah hitam yang permukaannyaberbulu kasar. Jubah ini berbentuk aneh karena pada bagian ketiak bergelembung. Pada dua ujunglengan mengembang dan pada bagian bawah mekar. Di bagian punggung jubah hitam berbulu inikelihatan lembaran kain tebal juga berwarna hitam dan berbulu, tidak beda seperti sehelai mantel.

Sepanjang perjalanan dia tidak pernah bicara. Kedua matanya seolah nyalang terus jarang kelihatan berkedip. Perempuan tua ini adalah sahabat dekat Ki Sepuh Dulantara, dikenal dengan julukan Kelelawar Berjubah Hitam. Pangeran Ipong sebenarnya tidak suka dengan nenek satu ini. Namun karena dia memiliki kepandaian khusus maka mau tak mau sang pangeran harus menerima kehadiran si nenek untuk membantu.

Rombongan besar dari Kotaraja ini berhenti lalu membuat kemah tak berapa jauh dari tepi selatan jurang batu pualam.

Hanya beberapa saat saja setelah Pangeran Ipong sampai di tempat itu, dibagian lain dari jurang, terhalang oleh batu-batu besar berkelebat cepat satu bayangan hijau. Demikian cepatnya dia berkelebat,bukan saja tidak mengeluarkan suara tapi kedua kakinya pun seolah tidak menjejak bebatuan di bukit-bukit yang mengelilingi jurang batu pualam itu. Di satu tempat dia berhenti dan memandang berkeliling. Karena tempat ini agak ketinggian maka dia mampu melihat keadaan sekitarnya dengan jelas, termasuk pinggiran jurang batu pualam yang hanya tinggal belasan tombak saja di bawahnya.

“Tempat ini cukup baik untuk mengawasi keadaan…” kata orang itu dalam hati. Ternyata dia adalah si Ratu Ular yang kini mengenakan sehelai jubah hijau berkilat diatas pakaiannya berbentuk kemben.

Sesaat dia memandang ke langit pagi yang cerah. “Bintang Kalimukus…” desisnya. “Aku ingin

melihatmu lebih dulu dari yang lain-lainnya. Hmmmm… baru rombongan pangeran lumpuh itu

yang terlihat di sekitar sini. Pangeran kurasa nasibmu bakalan jelek. Kau akan lumpuh seumur-umur. Jangan mengharap sepasang keris mustika itu akan kau dapatkan!” Ratu Ular memandang ke arah selatan dimana Pangeran Ipong dan rombongannya berkemah. “Apa benar banyak yang sudah tahu kalau bintang Kalimukus akan muncul pada malam Sekaten? Aneh, sampai saat ini aku masih belum menemui jejak Dewi Ular. Dimana anak itu sekarang…?”

Hari ke tiga awal bulan ke tujuh.

Pagi terasa sejuk dan cerah. Di atas sebatang pohon berdaun lebat, tak berapa jauh dari mulut jurang

sebelah tenggara, dua orang kelihatan duduk di atas cabang pohon sambil bercakap-cakap dengan suara rendah.

“Mungkin kita terlalu cepat datang ke tempat ini Wiro,” dara berpakaian serba ungu berkata. Dia

bukan lain adalah Anggini, murid Dewa Tuak.

Pemuda yang duduk di sebelahnya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng menjawab. “Mungkin benar, mungkin tidak….”

***

 

T A M A T

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler