Skip to Content

SERIAL WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 EPISODE 107: HANTU TANGAN EMPAT

Foto SIHALOHOLISTICK
files/user/3199/WS107.jpg
WS107.jpg

SATU

 

DI BALIK curahan air terjun Air Lajatuh tampak dua sosok mendekam tak bergerak. Mereka telah berada di tempat itu sebelum sang surya muncul menerangi bumi Latanahsilam. Dari sikap keduanya dapat diduga kalau mereka tengah menunggu sesuatu. Di langit awan pagi berarak biru. Dari arah timur serombongan burung melayang ke jurusan barat. Sosok di sebelah kanan mengusap wajahnya. Orang ini bertubuh besar kekar. Di pertengahan keningnya menempel sebuah benda menyerupai kaca sebesar kuku ibu jari kaki.

“Lagandrung, sejak dini hari kita berada di sini. Saat ini matahari sudah mulai tinggi. Orang yang kita tunggu belum juga muncul. Apa kau yakin dia akan datang ke sini?”

“Wahai adikku Lagandring! Jangan kau ragukan apa yang kuketahui dan kukerjakan. Sejak puluhan tahun, setiap pertengahan bulan ganjil Hantu Tangan Empat selalu datang ke tempat ini untuk membersihkan diri, berlangir bersiram air bunga. Sabarkan hatimu, kita tunggu saja. Dia pasti datang.” menjawab orang di samping kiri Lagandring. Muka dan sosok tubuhnya sangat menyerupai Lagandrung karena mereka berdua memang adalah saudara kembar. Satu-satunya tanda yang membedakan sang kakak dari adiknya ialah kalau di kening Lagandring menempel kaca berwarna merah maka di kening Lagandrung melekat kaca berwarna putih.

“Yang membuat aku tidak sabar adalah hadiah yang menunggu kita di Istana Kebahagiaan. Si Luhsariam itu! Wahai! Wajahnya memang tidak seberapa cantik. Tapi belum pernah aku melihat gadis memiliki tubuh padat dan kencang seperti dia. Sewaktu penguasa Istana Kebahagiaan menyuruhku mengintai gadis itu ketika dia sedang mandi, rasanya mau kuterkam dia saat itu juga!”

Lagandrung tertawa mengekeh mendengar kata-kata adiknya itu. “Kalau urusan kita selesai dan kita membawa kepala orang itu ke hadapan penguasa Istana Kebahagiaan, jangankan satu Luhsariam, sepuluh gadis seperti dia bakal bisa kau dapatkan! Belakangan ini sang penguasa banyak gembiranya dan murah hati. Sebelum kita pergi aku sempat melihat sekitar selusin perempuan cantik, kebanyakan masih gadis-gadis diturunkan dari sebuah kereta besar di pintu gerbang Istana…”

Lagandring menyeringai dan basahi bibirnya dengan ujung lidah. “Nasib kita memang sedang baik. Diangkat penguasa Istana Kebahagiaan menjadi orang-orang kepercayaannya. Aku…”

Ucapan Lagandring terputus ketika dia melihat kakaknya membuat isyarat dengan gerakan tangan kanan. “Aku mendengar suara sesuatu…”

Lagandring pasang telinganya. Matanya menatap menembus curahan air terjun. “Aku belum melihat apaapa. Tapi telingaku memang menangkap sesuatu. Suara orang bersiul-siul. Agaknya orang itu bersiul sambil bergerak menuju ke arah air terjun ini. Wahai! Apakah orang yang kita tunggu punya kebiasaan bersiul-siul seperti itu?”

Lagandrung pasang telinganya baik-baik lalu gelengkan kepala. “Siulan itu bukan siulan biasa…”

“Membawakan nyanyian tidak karuan nada iramanya,” kata Lagandring.

“Bukan itu yang aku maksudkan. Siulan itu mengandung tenaga dalam tinggi. Apa kau tidak merasakan gendang-gendang telingamu bergetar dan semilir angin seperti berubah arah?”

“Kau benar kakakku. Telingaku mulai terasa bergetar. Malah ada rasa sakit…” kata Lagandring pula lalu kembali dia memandang ke depan menembus curahan air terjun Air Lajatuh.

“Siapapun orangnya, dia bukan orang yang kita tunggu!” berucap Lagandrung.

“Lihat! Ada orang berkelebat di atas batu sana!”

Lagandring berseru sambil menunjuk ke arah deretan batubatu yang mengelilingi telaga besar di depan air terjun. Sang kakak juga sudah melihat sosok orang yang melayang dan tegak di atas batu. Orang itu berdiri sambil bertolak pinggang. Dia memandang berkeliling sembari bersiul-siul. Rambutnya yang gondrong melambai-lambai tertiup angin.

“Apa kataku!” ujar Lagandrung. “Yang datang memang bukan orang yang kita tunggu. Orang itu bukan Hantu Tangan Empat!”

“Mungkin dia sengaja muncul dengan merubah wajah?” ujar Lagandring.

“Aku tahu wajah asli Hantu Tangan Empat. Menurut penguasa Istana Kebahagiaan, Hantu Tangan Empat memang bisa merubah wajah, tapi jelas bukan wajah seperti orang yang berdiri di atas batu itu. Orang itu bertubuh kekar. Masih muda dan berambut gondrong. Kau lihat sikapnya yang aneh. Sambil bersiul dia cengar-cengir dan sesekali menggaruk kepala…”

“Cuma seorang pemuda tolol. Mengapa ambil peduli!” kata Lagandring.

“Kehadiran pemuda itu bisa merusak urusan kita! Adikku Lagandring lekas kau usir pemuda itu dari tempat ini!”

Walau agak malas-malasan tapi Lagandring lakukan juga perintah kakaknya itu. Sekali lompat saja dia menembus air terjun. Demikian cepat gerakannya hingga dia tidak sampai basah kuyup oleh jatuhan air. Sesaat kemudian dia sudah berada empat langkah di hadapan pemuda berambut gondrong. Belum sempat membentak, pemuda di hadapan Lagandring malah menegur lebih dulu.

“Astaga! Kukira tidak ada orang di sekitar sini. Sahabat yang jidatnya ada kaca warna merah, apakah kau penghuni di kawasan air terjun ini?”

“Pertama!” Lagandring membentak yang membuat pemuda berambut gondrong pencongkan mulut keheranan.

Dalam hati Wiro memaki. “Sialan! Apa pertama yang dimaksudkan makhluk berkaca di jidatnya ini!”

“Pertama! Kita tidak bersahabat…!”

“Oh, begitu?! Tidak bersahabat boleh-boleh saja. Aku tidak rugi, kau juga mungkin tidak untung!”

“Kedua!”

“Kedua! Huh…! Apa yang kedua?!” si gondrong kembali pencongkan mulutnya dan garuk-garuk kepala.

“Kedua! Lekas tinggalkan tempat ini!”

“Walah! Aku baru saja sampai di sini! Sudah disuruh pergi! Apa-apaan ini! Memangnya tempat ini termasuk telaga dan air terjun itu milikmu?”

“Aku menghitung sampai tiga! Jika pada hitungan ke tiga kau tidak angkat kaki berarti kau minta mati!” hardik Lagandring.

Pemuda berambut gondrong tertawa gelak-gelak. “Kau jago berhitung rupanya! Coba ini berapa!” Si gondrong lalu acungkan satu jari tangan kanannya.

“Satu!” teriak Lagandring. Tentu saja dia berteriak bukan menyahuti pertanyaan si pemuda tapi sebagai memberi tanda bahwa dia sudah mulai dengan hitungan pertama.

“Pintar!” memuji pemuda di hadapan Lagandring sambil senyum-senyum. “Sekarang ini berapa!” Lalu pemuda itu acungkan dua jari tangan kanan.

“Dua!” berseru Lagandring. Mukanya mulai kaku mengetam. Kaca merah di keningnya memancarkan sinar aneh.

“Hebat!” seru pemuda gondrong. “Nah, kalau ini berapa?!” Dia kini acungkan tiga jari tangan kanan.

“Tiga!” teriak Lagandring.

Kembali si gondrong tertawa gelak-gelak sambil tepuktepuk tangan. Tapi tawanya langsung lenyap ketika dengan didahului suara menggembor marah tiba-tiba Lagandring menerjangnya dengan satu serangan dahsyat. Tangan kanan memukul ke dada, kaki kanan ikut menyusul menendang ke bawah perut. Belum lagi dua serangan itu melesat setengah jalan, anginnya saja sudah menghantam laksana dorongan dua batu besar!

Melihat datangnya dua serangan ganas itu tanpa ayal si pemuda cepat melompat ke udara. Lagandring sampai di atas batu tepat di bawah lawan yang diserang. Begitu dua serangannya gagal, dia segera menghantam ke atas. Wussss!

Angin sedahsyat topan prahara melabrak. Pemuda gondrong berseru keras. Dia berjumpalitan di udara. Lalu turun dan berusaha jejakkan dua kaki di atas batu di tepian telaga. Dia tidak menduga batu yang satu itu demikian licinnya karena terselimut lumut. Walau dia berusaha imbangi diri namun tak urung tubuhnya limbung dan mencebur masuk ke dalam air telaga. Untungnya telaga itu hanya sedalam dada. Dengan cepat si pemuda bergerak menuju tepian. Lagandring tidak memberi kesempatan. Kepalanya digoyangkan. Selarik sinar merah menyembur keluar dari kaca merah yang melekat di keningnya.

Melihat datangnya sambaran sinar merah yang pasti sangat berbahaya pemuda rambut gondrong hantamkan kaki kanannya ke dasar telaga. Tubuhnya melesat miring, jatuh tiga tombak dari tempatnya semula. Walau dia bisa menyelamatkan diri, namun saat itu terjadilah satu hal yang luar biasa. Sinar merah yang gagal menghantam si pemuda, mendarat di permukaan telaga. Air telaga serta merta berubah menjadi merah dan bergejolak mengeluarkan suara seperti mendidih. Si pemuda berteriak kaget ketika merasakan air telaga yang tadinya sejuk kini berubah panas luar biasa. Sebelum sekujur tubuhnya matang direbus, pemuda ini segera melompat ke bagian tepi telaga yang terdekat.

Lagandring tidak tinggal diam. Dia bertindak cepat. Baru saja si gondrong menjejakkan kaki di tepi telaga dengan sekujur tubuh mengepulkan asap panas, Lagandring telah berada di hadapannya. Lelaki ini goyangkan kepalanya. Dan, wussss! Kembali sinar merah melesat ganas dari kaca merah yang menempel di keningnya!

“Kurang ajar! Jahanam satu ini benar-benar tidak memberi kesempatan padaku!” memaki si gondrong. Dua lututnya ditekuk. Tenaga dalam dialirkan ke tangan kanan. Lagandring tidak sempat memperhatikan bagaimana tangan lawannya kini sebatas siku ke bawah berubah menjadi putih berkilauan laksana perak sampai ke ujungujung kuku! Lagandring baru sadar dan berteriak keras ketika melihat satu cahaya putih disertai hawa panas luar biasa berkiblat menghantam ke arahnya!

Satu letusan dahsyat menggema di tepi telaga air terjun Air Lajatuh. Tepian telaga sepanjang sepuluh tombak runtuh. Air telaga muncrat tinggi ke atas. Lagandring terpental empat tombak, jatuh terhenyak di dekat sebuah batu besar lalu muntahkan darah segar. Sebagian pakaiannya yang terbuat dari kulit kayu hangus mengepulkan asap. Tubuhnya di sisi kanan termasuk tangan kanan bergetar dan berubah kemerah-merahan seperti terpanggang. Di bagian lain pemuda berambut gondrong terguling-guling di tanah. Walau dia berhasil bangun namun nampak lututnya agak goyah dan mukanya pucat tak berdarah. Sepasang matanya memandang mendelik pada Lagandring.

“Untung tubuhku sudah berubah besar begini. Kalau masih cebol seperti dulu, bentrokan pukulan sakti tadi pasti akan membuatku konyol!” Si pemuda membatin. Dari kata-kata yang diucapkan dalam hati ini serta melihat kepada ciri-cirinya sudah bisa diduga si pemuda bukan lain adalah pendekar kita, murid Eyang Sinto Gendeng Wiro Sableng yang jalan hidupnya telah membawa dirinya terpesat ke Negeri Latanahsilam, satu negeri 1200 tahun silam.

Tiba-tiba Lagandring berdiri. Matanya menyala laksana api. Tangan kanannya bergerak mencabut kaca merah yang ada di keningnya. Mulutnya berkomat-kamit seperti membaca mantera. Kaca merah yang ada dalam genggamannya mengepulkan asap. Di saat yang sama tubuhnya berubah menjadi besar dan tinggi.

“Astaga! Dia berubah menjadi dua kali lebih besar!”

Pendekar 212 tercekat. Kalau tadi dia masih mengerahkan setengah saja dari tenaga dalamnya, kini dia alirkan seluruh hawa sakti yang ada dalam tubuhnya ke tangan kanan. “Akan kuhantam selangkangannya! Masakan tidak amblas!” kata Wiro dalam hati. Tangan kanannya segera diangkat ke atas. Ditarik ke belakang. Pada saat dia siap menghantam tiba-tiba dari balik air terjun berkelebat sesosok tubuh. Menyusul suara orang berseru.

“Lagandring! Tinggalkan pemuda itu! Orang yang kita tunggu sudah datang!”

***

DUA

 

LAGANDRING menyeringai buruk. “Kau masih untung anak muda! Kalau tidak ada urusan lain yang lebih penting pasti sudah kupanggang kau dengan Sinar Darah Merah!”

Wiro Sableng menyeringai lalu menjawab. “Sebenarnya kau yang lebih beruntung! Tadinya aku sudah siap merubah perabotan di bawah perutmu menjadi lontong basi dan telor rebus busuk!”

“Pemuda jahanam! Kali ini kau kulepas hidup-hidup! Tapi jika sekali lagi kau berani unjukkan diri dan bertingkah di hadapanku, wahai…, kupanggang habis tubuhmu mulai dari kepala sampai kaki!”

Lagandring batuk-batuk lalu meludah ke tanah. Ludahnya bercampur darah tanda bentrokan pukulan sakti yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi tadi telah menyebabkan dirinya terluka di dalam. Kaca merah yang tadi ditanggalkannya kini dipasangnya kembali ke keningnya. Saat itu juga tubuhnya kembali menjadi sebesar dan setinggi semula.

Diam-diam Wiro Sableng menarik nafas lega juga walau sebenarnya dia tidak merasa takut untuk meneruskan pertarungan. “Ilmunya aneh. Dia bisa merubah diri menjadi dua kali lebih besar. Seperti raksasa! Melihat gelagatnya dia bukan bangsa makhluk baik-baik. Dia bicara segala macam urusan penting. Lalu siapa tadi yang berseru padanya dan melesat dari balik air terjun sana?”

Wiro ikuti kepergian Lagandring dengan pandangan mata. Ternyata orang itu berkelebat ke arah timur air terjun. Air terjun itu mengingatkan Wiro pada tempat kediaman Hantu Tangan Empat yang dulu pernah dikunjunginya bersama Peri Angsa Putih. Di situ telah menunggu seseorang yang bentuk sosok serta wajahnya sangat mirip dengan Lagandring. Kedua orang itu tampak bicara cepat lalu menyelinap ke balik sebuah batu besar di belakang batang kayu yang tumbuh miring di tepi telaga.

“Agaknya akan terjadi sesuatu di tempat ini. Sementara aku menunggu teman-teman, tak ada salahnya mencari tahu apa yang hendak dikerjakan dua orang itu. Mereka seperti kembar!” Lalu Wiro menyelinap ke balik serumpunan semak belukar. Tanpa suara dia melesat naik ke atas pohon berdaun rindang.

Tak lama menunggu, dari balik pepohonan di sebelah kiri air terjun Wiro melihat sosok seorang kakek berambut putih panjang riap-riapan. Kumis serta janggutnya juga putih panjang. Jidat, hidung dan pipi sama rata. Di bahu kirinya tergantung sebuah kantung jerami. Walau cukup jauh namun Wiro segera bisa mengenali kakek itu bukan lain adalah Hantu Tangan Empat.

“Dicari-cari susah bertemu. Kini kakek itu tahu-tahu muncul dekat air terjun. Apa yang hendak dilakukannya di tempat ini…”

Memandang ke kiri Wiro melihat sepasang manusia kembar yang jidatnya dipasangi kaca putih dan merah berkelebat dari balik pohon ke pohon lainnya, mendekati arah di mana Hantu Tangan Empat berdiri tengah menikmati pemandangan indah sekitar telaga dan air terjun. Wiro berpikir-pikir. “Jangan-jangan urusan penting yang tadi dikatakan orang itu ada sangkut pautnya dengan Hantu Tangan Empat…” Wiro terus memperhatikan.

Di tempatnya berdiri Hantu Tangan Empat mengambil sesuatu dari dalam kantung jerami. Ternyata yang dikeluarkannya dari dalam kantung itu adalah segenggam bunga berbagai rupa dan warna. Bunga-bunga itu kemudian ditebarnya di permukaan air sambil melangkah sekeliling tepi telaga. Di satu tempat mendadak langkah si kakek tertahan. Sepasang matanya menatap ke bagian atas telaga. Segenggam bunga terakhir yang barusan dilempar ditebarkannya ke dalam telaga tidak luruh jatuh ke atas air, tetapi tergantung di udara, sepuluh jengkal dari permukaan air telaga!

“Wahai… Bagaimana mungkin bunga-bunga itu melayang di udara, jatuh tidak bergerak pun tidak,” si kakek membatin. Dia memandang berkeliling. Lalu tampak dia tersenyum dan usap-usap janggut putihnya. “Ada orang yang sengaja hendak unjukkan kehebatan tenaga dalam. Sengaja menahan jatuhnya bunga ke atas air. Satu peragaan yang hebat. Apakah di balik kehebatan ini tersembunyi maksud baik atau maksud buruk…?”

Di atas pohon Wiro juga telah melihat apa yang terjadi. Dia melirik ke kiri di mana dua orang kembar tadi terus berkelebat mendekati Hantu Tangan Empat. Tidak seperti tadi kali ini sambil bergerak mereka angkat tangan kiri ke samping, sama datar dengan tingginya bunga-bunga yang tergantung di permukaan telaga. Tak selang berapa lama ke duanya melintas di bawah pohon di atas mana Wiro berada. Di sini mereka mendekam sesaat. Tegak tak bergerak sambil dua tangan direntang ke samping sama tinggi dengan bunga-bunga yang menggantung di atas air telaga.

Di tempatnya berdiri Hantu Tangan Empat kelihatan terus saja mengusap-usap janggutnya dengan tangan kanan. Tapi perlahan-lahan tangan kiri diangkat lalu ditempelkan menyilang di atas dada. Bunga-bunga di atas telaga yang tadinya diam menggantung di udara perlahanlahan bergerak turun ke bawah. Dari sini sudah bisa dinilai bagaimana tingkat tenaga dalam Lagandrung yang digabung dengan Lagandring masih kalah dengan yang dimiliki si kakek berjuluk Hantu Tangan Empat itu.

“Lagandring! Lipat gandakan tenaga dalammu! Rentang dua kaki! Lawan mengajak adu kekuatan. Kita berdua dia sendiri masakan kalah!”

Mendengar ucapan kakaknya itu Lagandring segera salurkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kiri kanan. Dua kaki bergeser merenggang. Saking hebatnya pengerahan tenaga dalam dua saudara kembar itu, sepasang kaki mereka sampai amblas setengah jengkal dan tanah yang mereka pijak kelihatan kepulkan asap!

Di atas batu di tepi telaga kakek berjuluk Hantu Tangan Empat melihat bunga di atas air telaga bergoyang-goyang. Lalu perlahan-lahan dia merasakan pula dua kakinya mulai bergetar. Getaran itu turun ke batu yang dipijaknya! Hantu Tangan Empat adalah seorang tokoh disegani yang memiliki kesaktian tinggi serta tenaga dalam yang sudah mencapai puncaknya. Namun diserang gabungan dua kekuatan lawan begitu rupa tak urung dia mengalami kesulitan.

Hantu Tangan Empat memandang ke arah bunga-bunga di atas permukaan telaga. “Sebentar lagi bunga-bunga itu akan hancur jadi bubuk. Kalau aku tidak sanggup bertahan, kekuatan tenaga dalam yang menyerang bisa mencelakai diriku…” Si kakek lalu kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Namun dia tak bisa bertahan lama. Apa yang barusan diduganya menjadi kenyataan sesaat kemudian.

Deessss! Dessss! Dessss! Terdengar suara berkepanjangan menyusul suara byaar… byaarr… byaaar! Belasan bunga yang menggantung di atas telaga hancur menjadi bubuk. Di atas batu, Hantu Tangan Empat merasakan tekanan sangat hebat melanda dadanya. Wajahnya pucat dan sekujur tubuhnya basah oleh keringat.

Sementara itu di atas pohon Wiro yang menyaksikan apa yang terjadi mulai merasa khawatir. “Aku tidak suka pada dua cecunguk kembar ini. Apalagi dia hendak mencelakai Hantu Tangan Empat, orang yang pernah menolongku. Kakek Peri Angsa Putih…” Habis berkata begitu Wiro lalu turunkan ke bawah celana putihnya. Lalu, serrrr… Enak saja dia kencingi dua orang yang ada di bawah pohon. Lagandrung dan Lagandring yang tengah memusatkan kekuatan tenaga dalam dan hampir dapat menghantam Hantu Tangan Empat sama-sama berseru kaget ketika dari atas ada kucuran air menyirami kepala dan sebagian tubuh mereka.

“Hujan aneh! Mengapa hanya terjadi di sini!” seru Lagandring.

“Ini bukan hujan!” teriak Lagandrung. “Air hujan tidak hangat begini!” Lagandrung lalu dekatkan lengan kirinya yang basah ke hidung. “Sial kurang ajar! Air bau! Ini air kencing!”

Lagandring tiru perbuatan abangnya dan mengendus air yang membasahi bahunya. “Memang air kencing! Jahanam! Siapa yang berani melakukan pekerjaan gila ini!”

Dua kakak adik itu mendongak ke atas pohon. Mereka tidak melihat siapa-siapa karena sebelumnya Wiro Sableng telah melompat ke pohon di sebelahnya lalu menyelinap turun dan lari ke arah tepi telaga di mana Hantu Tangan Empat tegak berdiri.

“Anak muda! Siapa kau?!” Hantu Tangan Empat menegur penuh curiga.

“Kek, masakan kau lupa pada saya? Saya Wiro Sableng, sahabat cucumu Peri Angsa Putih. Orang yang kau tolong tempo hari…”

Si kakek kerenyitkan kening. “Wahai! Aku ingat sekarang! Kau muncul pada saat yang salah, anak muda dari jagat seribu dua ratus tahun mendatang. Tapi, janganjangan kau yang barusan memamerkan kekuatan mengajak aku bertanding kehebatan tenaga dalam!” Si kakek pelototi Wiro dari kepala sampai ke kaki dengan perasaan curiga.

“Kek, masakan saya berani berlaku kurang ajar padamu. Lagi pula dibanding dengan dirimu, saya ini punya kepandaian apa?!” ujar Wiro.

“Heeee…” Hantu Tangan Empat masih saja memperhatikan Wiro dengan seksama dan curiga.

“Kek, orang yang patut kau curigai adalah sepasang manusia kembar yang jidatnya ditempel kaca. Satu kaca merah satu kaca putih. Mereka sudah sejak lama ada di sini menunggu kehadiranmu. Jika dugaan saya tidak salah pasti sebentar lagi mereka akan muncul di sini…”

Baru saja Wiro berkata begitu tiba-tiba dua sosok berkelebat dan tegak di hadapan Hantu Tangan Empat.

“Anak muda, jika dua orang ini yang kau maksudkan rasanya aku tidak perlu khawatir. Mereka adalah dua sahabat lama yang puluhan tahun tidak pernah berjumpa!” kata Hantu Tangan Empat pula begitu mengenali siapa yang datang. “Wahai sahabatku Lagandrung dan Lagandring sungguh hatiku senang melihat kau muncul di sini. Kabar gembira apakah yang bisa kita perbincangkan setelah sekian lama tidak bertemu? Tetapi, apakah kalian berdua bisa menunggu sampai aku selesai mandi di telaga?”

Sementara dia berkata begitu di dalam hati Hantu Tangan Empat diam-diam kembali merasa curiga terhadap Wiro. Bagaimana pemuda itu tadi mengatakan bahwa dua orang inilah yang telah mengajaknya bertanding kekuatan tenaga dalam hingga bunga-bunga di atas telaga hancur menjadi bubuk. “Jangan-jangan pemuda ini memutar balik kenyataan. Jangan-jangan dia merasa sakit hati karena dulu aku tidak menolongnya sepenuh hati bahkan tidak mampu membuat dirinya dan dua temannya menjadi sebesar orang-orang di Negeri Latanahsilam.” Selagi Hantu Tangan Empat membatin seperti itu, Lagandring dan Lagandrung saling pandang lalu sama-sama menyeringai.

“Wahai Hantu Tangan Empat,” Lagandrung angkat bicara. “Kedatangan kami tidak membawa berita menyenangkan. Kami muncul tidak pula dengan niat gembira berbincang-bincang…”

“Wahai! Kalian masih seperti dulu saja. Serba kesusu, selalu sibuk hingga tidak bisa berbagi waktu dengan para teman.”

Lagandrung gelengkan kepala. “Ketahuilah wahai Hantu Tangan Empat, kami datang membawa berita sedih. Jangan terkejut. Kami diperintahkan untuk mengambil kepalamu!”

Wiro tersentak kaget. Sebaliknya Hantu Tangan Empat tidak tampak terkejut. Malah dia tertawa bergelak.

“Lagandrung! Sejak kapan kau pandai melawak!”

“Kami tidak melawak!” membentak Lagandring. Sang adik memang punya sifat lekas naik darah. Tawa Hantu Tangan Empat langsung terputus. Wajahnya kini berubah. Tapi hatinya masih tidak percaya.

Maka dia bertanya. “Kalau kalian tidak sedang membanyol, lalu siapakah yang memerintahkan kalian mengambil kepalaku?!”

“Hantu Muka Dua!” jawab dua lelaki kembar itu berbarengan.

***

 

TIGA

 

PENDEKAR 212 menyumpah dalam hati begitu mendengar nama yang disebutkan dua lelaki kembar itu. Hantu Tangan Empat sendiri selain kaget juga cepat menilai keadaan. Tadi dia hampir sempat dirobohkan oleh dua orang itu dalam adu kekuatan tenaga dalam. Walau dia jauh dari rasa takut tapi naga-naganya jika terjadi pertarungan antara dia dengan Lagandrung dan Lagandring, tidak akan mudah baginya menghadapi dua orang itu.

“Lagandrung dan Lagandring, aku merasa kurang percaya kalau kalian berdua diberi perintah oleh Hantu Muka Dua untuk membunuhku! Mungkin kalian tidak tahu, tapi sampai saat ini aku sendiri berada di bawah kekuasaan orang yang merasa dirinya sebagai Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam ini…”

“Hantu Muka Dua punya alasan minta nyawa dan kepalamu, wahai Hantu Tangan Empat…”

“Dia mengatakan pada kalian alasannya itu?” tanya Hantu Tangan Empat.

“Hantu Muka Dua marah besar. Kau menghilang setelah gagal melakukan perintahnya!” jawab Lagandrung pula.

“Perintahnya yang mana?” tanya Hantu Tangan Empat.

“Jangan berpura-pura tidak tahu!” sentak Lagandring.

Lagandrung menyambung. “Kau diperintahkan ke negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Untuk membunuh tiga orang dan mendapatkan Batu Sakti Pembalik Waktu. Kau gagal malah menghilang tidak berani menghadap Hantu Muka Dua. Lalu ada yang memberi tahu pada penguasa Istana Kebahagiaan itu bahwa kau justru telah membantu tiga orang yang seharusnya dibunuh itu…”

“Betul! Membuat mereka jadi lebih besar dari sosok aslinya!” kata Lagandring.

“Kalau kini Hantu Muka Dua minta kami mengambil kepalamu, apa kau berani melawan? Seharusnya hal ini sudah dilakukannya begitu kau kembali menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam ini.”

“Wahai apa kalian berdua tahu, aku terpaksa tunduk pada Hantu Muka Dua karena dia menguasai istriku Luhbarini. Sekarang terbukti jahatnya! Setelah menculik dan menguasai Luhbarini dia masih mau memerintah kalian untuk membunuhku!”

“Kalau begitu, selain kau pasrahkan istrimu, kau juga pasrahkan diri sendiri untuk kami bunuh!” kata Lagandrung pula sambil menyeringai.

“Wahai! Kalau sebagai sahabat kalian tega melakukannya, kalian tunggu apa lagi? Cepat saja turun tangan. Apa aku pasrah atau bagaimana lihat saja nanti! Namun sebelum kalian bertindak izinkan aku mandi di telaga ini untuk terakhir kali!” Habis berkata begitu Hantu Tangan Empat mengeruk kantung jerami yang tergantung di bahunya, mengeluarkan segenggam bunga. Bunga aneka warna ini kemudian ditebarkannya di permukaan air telaga sambil mulai melangkah seolah Lagandrung dan Lagandring tidak ada di tempat itu.

Melihat diri mereka dipandang enteng marahlah dua lelaki kembar itu. Keduanya segera menyerbu.

“Tahan!” tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng berseru dan melompat ke tengah kalangan.

“Pemuda keparat! Berani-beraninya kau masih ada di tempat ini!” hardik Lagandring.

“Jangan-jangan dia yang tadi mengencingi kita dari atas pohon!” ujar Lagandrung dengan muka beringas penuh berang.

“Kalian pernah bersahabat, mengapa sekarang mau saja disuruh Hantu Muka Dua membunuh kakek ini, sahabat sendiri?!”

“Itulah kehidupan, wahai anak muda. Hari ini teman, besok lawan. Hari ini saudara besok jadi seteru…”

“Oh, begitu…?” ujar Wiro sambil angguk-angguk dan garuk-garuk kepala. “Kurasa kehidupan macam itu hanya bisa terjadi karena ada manusia-manusia culas munafik atau karena tergoda sesuatu. Melihat tampang-tampang kalian, jangankan teman, kalau Hantu Muka Dua menyuruh bunuh istri atau ibu kalian sendiri, pasti kalian lakukan! Iya, kan?!”

“Jahanam! Lagandring lekas kau bunuh bangsat satu ini!” teriak Lagandrung pada adiknya. Lalu tanpa menunggu lebih lama Lagandrung melompat menyerang Hantu Tangan Empat. Lagandring sendiri sudah lebih dulu menyergap Wiro.

“Aku sudah memberi ingat! Kalau kau berani lagi unjuk diri dan bertingkah di depanku akan kupanggang sekujur tubuhmu! Mulai dari kepala sampai kaki! Kau keras kepala. Aku mau tahu sampai di mana kerasnya kepalamu, pemuda tolol!”

Lagandring goyangkan kepalanya. Dari kaca merah yang menempel di keningnya berserabutan keluar sinar merah angker. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Sinar Darah Merah.

Seperti tadi murid Sinto Gendeng hendak hadapi serangan lawan dengan pukulan Sinar Matahari. Namun di saat terakhir dia putuskan menghantam dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Matahari. Ini adalah jurus atau ilmu pukulan sakti inti pertama yang berasal dari Kitab Putih Wasiat Dewa yang berisi Delapan Sabda Dewa dan disebut Enam Inti Kekuatan Dewa (Baca serial Wiro Sableng “Wasiat Iblis” s/d “Kiamat Di Pangandaran” terdiri dari 8 episode).

Lagandring tersentak dan berseru kaget ketika melihat bagaimana satu gelombang angin dahsyat membuat sinar merah yang keluar dari kaca sakti di keningnya mencelat ke atas. Dia kerahkan tenaga coba bertahan. Akibatnya tubuhnya ikut terangkat ke atas. Sambil membentak garang Lagandring kembali goyangkan kepalanya. Sinar merah dari dalam kaca di kening menyapu keluarkan suara seperti seratus ular mendesis.

Wiro tak tinggal diam. Sambil tekuk dua lututnya, dua telapak tangan didorong ke atas. Laksana disambar halilintar Sinar Darah Merah musnah bertaburan dengan mengeluarkan beberapa kali suara letusan yang menggetarkan seantero telaga. Air terjun seolah berhenti mengalir untuk sepersekian kejapan mata!

Di tepi telaga Lagandring terkapar dengan mata mendelik, mulut ternganga dan tubuh seperti lumpuh. Darah mengucur dari sela bibir dan hidungnya. Sebelumnya sewaktu bertarung melawan Wiro, orang ini sempat menderita luka di dalam. Bentrokan yang terjadi barusan membuka lukanya bertambah parah. Kalau saja bukan Lagandring mungkin saat itu sudah megap-megap meregang nyawa!

Beberapa belas langkah di sebelah kanan telaga, Pendekar 212 Wiro Sableng terduduk di tanah dengan tubuh tergontai-gontai. Di pelupuk matanya dia seolah masih melihat sinar merah darah pukulan sakti yang dilepaskan lawan. Walau dia memejamkan mata sekalipun untuk beberapa saat lamanya sinar merah itu masih menyelubungi pemandangannya. Dadanya berdegup keras tanda jantung dan jalan darahnya berada dalam keadaan tidak wajar. Murid Sinto Gendeng cepat duduk bersila, atur jalan darah dan pernafasannya. Perlahan-lahan dia kerahkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang dirasakannya cidera. Selagi keadaannya belum pulih betul, di depan sana dilihatnya Lagandring dengan terhuyunghuyung bangkit berdiri. Tangan kanannya bergerak mencabut kaca merah di keningnya.

“Dia hendak merubah dirinya menjadi raksasa kembali!” Wiro sadar apa yang akan segera terjadi.

Terhuyung-huyung dia bangkit pula berdiri. Sebelum kaca merah di tangan lawan mengepulkan asap, Wiro segera melabrak Lagandring dengan jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung! Ini adalah jurus silat yang dipelajarinya dari seorang tokoh beken di Pulau Andalas dikenal dengan panggilan Tua Gila (Siapa adanya Tua Gila harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Tua Gila Dari Andalas).

Lagandring berseru kaget ketika laksana kilat, tangan kanan lawan menyambar ke arah batok kepalanya. Kalau tidak cepat dia rundukkan badan pasti kepalanya kena dihajar Wiro. Mukanya pucat dan tengkuknya menjadi dingin.

Ternyata jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung yang dikeluarkan Wiro hanya tipuan belaka. Karena yang diincar murid Sinto Gendeng ini adalah kaca merah di tangan kanan lawan. Dia menyadari kesaktian benda aneh itulah yang menjadi andalan Lagandring dan sanggup merubah dirinya menjadi raksasa dengan bobot dua kali lebih besar aslinya. Karenanya begitu tangan kanan lancarkan serangan ganas, Wiro pergunakan tangan kiri untuk merampas kaca merah di tangan lawan.

Tapi Lagandring rupanya cepat membaca maksud sang pendekar. Begitu tangan kiri Wiro berkelebat dia ayunkan kaki kanan kirimkan tendangan menyilang. Karena tidak mau tangannya cidera dihantam kaki lawan, murid Sinto Gendeng angkat tangan kirinya sebatas dada lalu dengan tangan itu dia menghantam sisi kanan tubuh Lagandring. Untungnya Lagandring telah bersurut mundur satu langkah, kalau tidak, hantaman Wiro akan mendarat telak di barisan tulang-tulang iganya sebelah kanan! Walau selamat dari cidera berat tak urung pukulan Wiro membuat Lagandring terpental tiga langkah dan sesak nafasnya.

Sambil menahan sakit Lagandring usap-usap kaca merah dengan jari-jari tangan kanan. Wiro tak mau membuang waktu. Sebelumnya dia telah melihat Lagandring melakukan hal itu dan tubuhnya kemudian berubah menjadi besar serta tinggi. Sebelum kaca merah mengeluarkan kepulan asap dia kembali menghantam. Kali ini Wiro lepaskan pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang.

Kembali Lagandring keluarkan teriakan kaget. Tubuhnya terangkat ke udara sampai dua jengkal. Cepat dia kerahkan tenaga dalam. Sambil lepaskan pukulan dengan tangan kiri dia teruskan mengusap kaca merah di tangan kanan.

“Celaka! Aku tak berhasil mencegah!” ujar Wiro sewaktu melihat bagaimana sosok lawannya berubah menjadi besar dan tambah tinggi hampir menyandak cabang pohon di atasnya! Wiro merasa dirinya seolah kembali ketika dirinya setinggi lutut. Sambil menyeringai Lagandring maju mendekati Wiro. Setiap langkah yang dibuatnya mengeluarkan suara keras dan menggetarkan tanah walau tidak sehebat langkah kaki batu Lakasipo (Baca “Bola Bola Iblis”).

Wutttt!

Tiba-tiba kaki kanan Lagandring menderu. Belum lagi tendangannya sampai, angin sudah menyambar laksana topan prahara. Semak belukar hancur rambas beterbangan, pohon-pohon di kiri kanan berderak patah.

“Mati aku!” jerit Wiro ketika tubuhnya ikut tersapu.

Begitu jatuh di antara semak belukar dia segera menyelinap. Tapi Lagandring bergerak cepat sekali. Belum sempat Wiro bangkit berdiri, kaki Lagandring sudah berada di depannya dan kembali menendang. Wiro jatuhkan diri sama rata dengan tanah. Dia masih bisa selamatkan diri walau angin tendangan membuat tubuhnya melesak tertelungkup satu jengkal ke dalam tanah. Sebelum Wiro sempat keluarkan dirinya dari dalam lobang, kaki kanan Lagandring telah menghunjam ke punggungnya. Selain itu dari kaca merah yang ada di tangan kanan lawan menyambar keluar pukulan Sinar Darah Merah. Sekali ini nyawa murid Sinto Gendeng tidak tertolong lagi. Kalaupun ada keajaiban menyelamatkan dirinya dan membuatnya masih bisa bernafas maka dia akan hidup dengan tubuh bungkuk cacat karena patah tulang punggung. Selain itu sinar merah yang keluar dari kaca sakti Lagandring akan memanggang sebagian tubuhnya.

Dalam kesulitan seperti itu apalagi keadaannya tertelungkup membelakangi lawan, Wiro ambil keputusan untuk lepaskan pukulan Di Balik Gunung Memukul Halilintar dengan tangan kiri sedang tangan kanan dengan tenaga dalam penuh dia hendak melepas Pukulan Sinar Matahari. Di saat yang benar-benar menegangkan itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengekeh. Menyusul suara orang berucap. Dari suaranya jelas dia adalah seorang kakek-kakek.

“Anak tolol! Percuma kau punya ilmu Belut Menyusup Tanah! Mengapa tidak pergunakan ilmu itu untuk selamatkan diri?!”

***

 

EMPAT

 

PENDEKAR 212 Wiro Sableng terkejut setengah mati mendengar ucapan itu. Dia memang punya ilmu atau jurus yang barusan disebut orang yaitu warisan Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia digembleng di puncak Gunung Gede. Selama ini hampir tidak pernah dikeluarkan karena memang mungkin belum menemukan keadaan yang cocok. Kini dia tidak mau berpikir lebih lama. Dua kakinya serta merta lurus lalu bergelung. Tangannya di sebelah atas lurus lalu menekuk. Begitu dia membuat gerakan dengan pengerahan tenaga dalam di bagian perut maka secara aneh sosoknya laksana seekor belut licin melesat di atas tanah, menembus semak belukar.

Braaakkk!

Bummmm!

Kaki kanan Lagandring menghantam tanah hingga menguak lubang sedalam dua jengkal. Pukulan Sinar Darah Merah melabrak akar pohon besar hingga berserabutan dan terpanggang hangus. Tapi Pendekar 212 Wiro Sableng lenyap entah ke mana!

“Jahanam! Ke mana perginya pemuda keparat itu!” Maki Lagandring. Dengan geram dia memandang berkeliling. Dia bukan saja mencari ke mana lenyapnya Wiro tapi sekaligus menyelidik siapa yang barusan bicara memberi bisikan pada si pemuda hingga lawannya itu bisa lolos!

Tapi Lagandring tidak melihat siapa-siapa. Selagi dia tertegak geram seperti itu tiba-tiba dari atas pohon melayang sesosok tubuh. Lagandring cepat balikkan diri begitu dia merasa ada sambaran angin. Namun terlambat. Dua tangan yang meskipun kecil dibanding dengan tangannya menggelung lehernya. Sebuah tumit menekan urat besar di lehernya hingga tubuhnya seperti setengah kaku. Nafasnya megap-megap dan lidah terjulur sementara tulang lehernya seperti mau berderak patah.

“Jahanam! Kukunyah tubuhmu!” teriak Lagandring.

Dicekalnya sosok yang mencekik tubuhnya lalu, bukkk!

Dibantingnya ke tanah. Namun akibat gerakannya itu, kaca merah yang ada dalam genggamannya terlepas jatuh ke tanah, menggelinding ke dekat orang yang barusan dibantingnya. Orang ini ternyata adalah Wiro Sableng. Sebelum tubuhnya jatuh ke tanah murid Sinto Gendeng berjumpalitan lalu siap menyelinap ke balik pohon selamatkan diri. Ketika hendak melompat dia sempat melihat kaca merah milik Lagandring menggelinding di tanah dan menyusup masuk ke dalam semak belukar. Wiro cepat sambar benda itu, lalu sembunyikan di balik pakaiannya.

Karena tidak lagi memegang kaca merah sakti, sosok Lagandring perlahan-lahan mengecil seperti semula Mukanya pucat tubuhnya miring seperti layangan singit. Dia memandang kian kemari mencari-cari kaca merahnya. Melihat lawan tidak lagi sebesar tadi tanpa tunggu lebih lama Wiro berkelebat keluar dari balik pohon langsung menyerang.

Diterjang secara tiba-tiba Lagandring berseru kaget. Dia balas menyerang hingga terjadilah perkelahian hebat. Setelah sepuluh jurus berlalu terlihatlah bahwa ilmu silat tangan kosong Lagandring berada jauh di bawah Wiro. Apalagi jurus-jurus yang dimainkan Wiro serba asing baginya. Maka tak urung Lagandring menjadi bulanbulanan. Untungnya Wiro tidak punya niat jahat. Serangannya lebih banyak mempermainkan lawan seperti menggelitik, menjewer, menendang bokong dan paling akhir, di puncak kejahilannya, Wiro tarik lepas celana Lagandring yang terbuat dari kulit kayu hingga orang ini kalang kabut.

“Lagandring! Lekas tinggalkan tempat ini!” Tiba-tiba terdengar seruan Lagandrung. Dalam keadaan seperti itu tentu saja Lagandring tidak pikir panjang. Tanpa banyak bicara dia menghambur lari mengikuti kakaknya walau untuk itu dia masih ketiban nasib sial karena pantatnya sempat ditendang Wiro!

Apa yang terjadi dengan Lagandrung?

Setelah memerintahkan adiknya menyerang Wiro, Lagandrung langsung menyerbu Hantu Tangan Empat yang acuh tak acuh terus saja menebar kembang di atas permukaan air telaga. Pukulan-pukulan Lagandrung datang laksana air bah. Hantu Tangan Empat pergunakan bunga dalam genggamannya untuk menangkis serangan lawan. Walau cuma bunga lembut namun karena sudah diisi tenaga dalam, bunga-bunga itu berubah laksana menjadi batu dan melesat menyambar bersiuran ke arah Lagandrung.

Orang lain mungkin akan sulit menghindari serangan belasan bunga itu. Tapi Lagandrung dengan mudah bisa mengelak. Ketika dia kembali hendak menyerbu, di hadapannya Hantu Tangan Empat angkat tangan seraya berkata.

“Kita pernah bersahabat! Jangan kau termakan perintah jahat Hantu Muka Dua! Habisi semua kegilaan ini sampai di sini!” Hantu Tangan Empat memandang ke langit. “Wahai! Matahari sudah tinggi. Aku perlu cepatcepat mandi!”

Lagandrung meludah dan menjawab dengan seringai mengejek. “Kau boleh mandi kalau air telaga sudah kucampur dengan darahmu!”

Habis berkata begitu Lagandrung goyangkan kepalanya. Dari kaca putih yang menempel di keningnya menderu sinar putih sangat panas.

Hantu Tangan Empat lemparkan kantung jerami yang ada di bahunya. Benda ini hancur lebur berantakan. Sinar putih panas terus menyambar ke arah curahan air terjun. Terdengar berkepanjangan suara seperti besi panas dicelup ke dalam besi sewaktu sinar putih menembus curahan air terjun. Lalu dinding batu di belakang air terjun kelihatan terkuak, sesaat kemudian hancur berantakan!

“Hantu Tangan Empat! Kau lari ke mana?! Jangan harap bisa lolos dari tanganku!” Lagandrung berteriak ketika dia tidak lagi melihat si kakek.

“Aku berada di sini, Lagandrung! Himbauan seorang teman tidak kau dengar. Apalagi harus kulakukan? Aku terpaksa mengajarkan adab bersopan santun padamu wahai Lagandrung!”

Lagandrung kertakkan rahang. Dia balikkan tubuh. Hantu Tangan Empat dilihatnya duduk bersila di atas sebuah batu besar di tepi telaga, menatap menyeringai ke arahnya. Ketika dia memperhatikan ternyata si kakek sebenarnya tidak duduk bersila di atas batu itu karena sosoknya menggantung di udara satu jengkal di atas batu!

Dari apa yang disaksikannya itu sebenarnya Lagandrung menyadari bahwa ilmu dan tenaga dalam Hantu Tangan Empat berada jauh di atasnya. Namun karena sudah kepalang tanggung, untuk mundur begitu saja tentu dia merasa malu.

“Hantu Tangan Empat, bicaramu sombong amat. Hendak mengajarkan tata cara bersopan santun padaku! Padahal sebelum kita dilahirkan adab sopan santun itu sudah ada di Negeri Latanahsilam ini! Karenanya biar aku saja yang memberi pelajaran padamu. Kau tak lebih dari seorang kacung yang tidak becus melakukan perintah tuan besarnya! Jadi pantas kepalamu kucopot dari tubuhmu!”

Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh. “Ingin aku melihat bagaimana caramu mencopot leherku!” katanya.

Lalu dia ulurkan kepalanya. Lehernya mendadak berubah panjang. Selagi Lagandrung keheranan tahu-tahu muka Hantu Tangan Empat sudah berada hanya satu jengkal di depan wajahnya!

“Jahanam! Kau kira aku takut dengan segala ilmu setan yang kau pamerkan! Putus lehermu!”

Lagandrung goyangkan kepalanya. Dari cermin putih yang ada di keningnya tiba-tiba melesat sinar putih menyilaukan. Anehnya sinar ini berbentuk demikian rupa menyerupai sosok sebilah pedang. Cepat sekali pedang jejadian itu menabas leher Hantu Tangan Empat yang telah berubah menjadi panjang! Inilah ilmu pukulan Sinar Darah Putih!

“Ilmu sihir picisan! Siapa takut!” kata Hantu Tangan Empat lalu tertawa mengekeh.

Sesaat lagi pedang cahaya itu akan menabas leher si kakek tiba-tiba dua tangan berkelebat.

Satu mencekal hulu pedang, satu menangkap bagian badan. Dua tangan itu tampak mengepulkan asap. Hantu Tangan Empat mengerenyit menahan panas luar biasa sinar putih yang dicekalnya. Ketika tangan itu memuntir, sinar putih meliuk. Kepala Lagandrung ikut meliuk. Lagandrung menjerit kesakitan. Sambil melompat mundur dia terpaksa tarik kembali serangan sinar putih. Ketika dia memandang ke depan nyali Lagandrung nyaris leleh.

Di hadapannya sosok Hantu Tangan Empat yang tadinya berupa seorang kakek berwajah rata kini telah berubah menjadi satu makhluk menyeramkan. Rambutnya berubah warna menjadi merah dan lurus naik ke atas. Dari kulit kepalanya mengepul asap merah. Sepasang matanya yang besar memberojol merah, bergoyang-goyang seperti mau jatuh. Menggidikkan. Bibirnya berwarna biru aneh. Hidung panjang membengkok sedang gigi mencuat panjang keluar dari mulut. Tangannya yang tadi dua kini kelihatan ada empat dan bergerak kian kemari tak bisa diam. Dua dari empat tangan inilah tadi yang berhasil menahan serangan pedang Sinar Darah Putih yang dilancarkan Lagandrung. Selama ini Lagandrung hanya mendengar tentang sosok Hantu Tangan Empat namun baru sekali ini dia melihat dengan mata kepala sendiri. Tak urung tengkuknya menjadi dingin! Untuk meneruskan niatnya nyalinya sudah putus. Dia maklum, kalau tidak mampu menghadapi Hantu Tangan Empat bagaimana mungkin dia bisa membawa kepala makhluk itu kepada Hantu Muka Dua. Selain itu ketika dia melirik ke kalangan pertarungan antara adiknya dengan Pendekar 212 hatinya bertambah kecut karena sang adik tengah berada dalam keadaan terdesak hebat hingga menjadi bulan-bulanan dipermainkan lawan bahkan diselomoti celananya hingga kelihatan bugil! Melihat gelagat yang tidak baik ini Lagandrung lalu berteriak agar si adik mengikutinya melarikan diri.

Hantu Tangan Empat tertawa terkekeh-kekeh ketika melihat dua saudara kembar itu lari lintang pukang. Lagandrung di sebelah depan. Adiknya di sebelah belakang sambil pegangi pantat celananya yang robek dibetot Wiro! Murid Eyang Sinto Gendeng sendiri memperhatikan kedua orang itu sambil tertawa-tawa, satu tangan menunjuk pantat Lagandring yang tersingkap tak karuan, satu tangan lagi menggaruk-garuk kepala! Begitu Lagandrung dan Lagandring lenyap, Pendekar 212 segera mendatangi Hantu Tangan Empat yang saat itu telah kembali ke bentuknya semula yaitu seorang kakek bermuka rata.

“Kek, kau tak apa-apa…?” tanya Wiro.

Hantu Tangan Empat usap matanya yang basah oleh air mata karena tertawa terpingkal-pingkal tadi. “Kau sendiri bagaimana?”

“Hampir celaka! Untung ada seseorang menolong…” jawab Wiro.

“He…” Hantu Tangan Empat hanya manggut-manggut seolah tak mau bertanya siapa adanya orang yang menolong Wiro tadi. Dia memandang ke arah telaga. Lalu berkata pada Wiro. “Anak muda, kau jangan ke manamana dulu.Tunggu sampai aku selesai mandi!” Laju enak saja kakek itu ceburkan diri ke dalam telaga. Anehnya setelah ditunggu sekian lama sosok Hantu Tangan Empat tak kunjung muncul. Mau tak mau Pendekar 212 jadi agak gelisah.

“Kek! Hantu Tangan Empat!” Wiro memanggil. Tak ada jawaban. Air telaga kelihatan tenang.

“Jangan-jangan dia jatuh pingsan di dalam air…” pikir Wiro. Dia segera hendak terjun ke dalam telaga tapi, byuuurrr! Hantu Tangan Empat muncul sambil tertawa terkekeh-kekeh.

“Tua bangka brengsek…” maki Wiro dalam hati. Dia memutar tubuhnya.

“Hai! Kau mau ke mana?!” Terdengar Hantu Tangan Empat berteriak.

“Tidak ke mana-mana. Hanya mencari orang yang barusan menolongku!” jawab Wiro. Lalu dia berkelebat ke arah sebuah pohon besar dari arah mana tadi dia mendengar suara kakek-kakek yang memberi petunjuk agar dia mengeluarkan ilmu Belut Menyusup Tanah. Wiro bolak-balik mengitari pohon besar sampai lima kali. Dia bahkan memanjat naik ke atas pohon itu. Tapi dia tidak menemukan siapa-siapa.

“Ah, sayang sekali. Menyesal aku tidak bertindak cepat. Orang yang menolongku itu mungkin sudah pergi tanpa aku sempat menemui dan mengucapkan terima kasih!”

Wiro melihat ke arah air terjun. Di dalam telaga Hantu Tangan Empat masih asyik berkecimpung mandi. Sambil garuk-garuk kepala Wiro akhirnya dudukkan diri di bawah pohon besar. Belum lama duduk mendadak dia mendengar suara gemerisik semak belukar. Lalu ada suara orang menyanyi.

“Na… na… na… Ni… ni… ni. Na… na… na… Ni… ni… ni.”

“Eh, orang gila dari mana kesasar dan menyanyi di tempat ini?!” pikir pendekar kita sambil bangkit berdiri dan celingak-celinguk mencari orang yang menyanyi. Tapi dia tidak melihat siapa-siapa. “Aneh, suaranya begitu dekat tapi orangnya tidak kelihatan.” Wiro melangkah ke kiri, berputar ke kanan, membelok lagi ke kiri. Tetap saja dia tidak melihat siapa-siapa.

“Na… na… na… Ni… ni… ni. Na… na… na. Ni… ni… ni.”

***

 

LIMA

 

WIRO memandang berkeliling. Hatinya mulai waswas.

“Jangan-jangan tempat ini ada hantu pelayangannya…” katanya dalam hati. Mendadak sudut matanya menangkap sesuatu. Dia berpaling ke kiri. Astaga! “Benar-benar aneh! Tadi aku mundar-mandir berulang kali di tempat itu. Tak ada siapa-siapa. Kini ada orang itu!” Wiro cepat melangkah ke balik satu pohon kayu. Dari sini dia memperhatikan.

Sepuluh langkah di hadapannya ada seorang kakekkakek memegang payung dari daun-daun kering. Sambil bernyanyi na-na-na ni-ni-ni dia melangkah setengah menari-nari mengelilingi sepokok pohon keladi hutan. Di punggungnya si kakek membekal sebuah kantong panjang. Murid Sinto Gendeng tekap mulutnya menahan ketawa. Banyak hal yang membuat Wiro ingin tertawa terpingkal. Kakek itu bermuka jelek selangit tembus. Pipinya keriput kempot. Hidungnya pesek dan matanya belok. Lalu bibirnya mencuat karena deretan gigi-giginya yang tonggos.

“Berarti seumur hidup dia tidak pernah bisa mengatupkan mulutnya!” kata Wiro, geli dalam hati. Lalu sambil bernyanyi si kakek goyang-goyangkan pinggulnya. Sesekali tubuhnya sebelah bawah didorong dilejanglejangkannya ke depan. Dan kini yang paling gila! Kakek ini mengenakan celana dari kulit kayu yang bagian belakangnya sengaja dirorotkan ke bawah hingga pantatnya yang hitam kasap tersingkap jelas!

“Tidak meleset dugaanku! Kalau tidak sinting pasti gila alias kurang waras!” kata Wiro dalam hati. Lalu sambil batuk-batuk Wiro keluar dari balik pohon.

Mendengar ada suara orang batuk, si kakek aneh tampak terkejut. Suara nyanyiannya lenyap. Langkah dan tariannya langsung berhenti. Lalu dengan gaya malu-malu lucu dia cepat-cepat angkat ke atas celananya yang tersingkap. Tapi ketika dia melihat Wiro, kakek ini tertawa lebar dan berkata. “Wahai! Kukira perempuan. Ternyata laki-laki juga. Sama tanduknya dengan tandukku! Samasama di depan! Buat apa malu-malu! Hik… hik!” Lalu enak saja celananya yang tadi sudah dibetulkan kini didodorkannya kembali, malah lebih bawah dari sebelumnya. Wiro tertawa geli. Di sebelah sana si kakek kembali menyanyi-nyanyi, menari memutari pohon keladi hutan. Payung di tangan kirinya diputar-putar demikian rupa hingga mengeluarkan suara berdesing keras. Setiap ujung payung yang berputar itu mengenai daun atau rerantingan maka daun dan ranting-ranting itu putus, melayang tinggi ke atas.

“Memutus ranting dengan daun kering bukan pekerjaan mudah! Hanya orang berkepandaian luar biasa mampu melakukannya! Kakek yang seperti sinting ini pasti bukan makhluk sembarangan!” Baru saja Wiro membatin seperti itu tiba-tiba si kakek sudah ada di depannya. Dia menyengir hingga seluruh giginya memberojol keluar.

“He, Buyung! Kau tentu menduga aku ini sinting! Iya, kan?!”

“Walah, jangan-jangan dia bisa mendengar suara hatiku!” kata Wiro. Lalu dia balas menyengir. “Tidak, Kek. Menurutku kau tidak sinting! Malah aku senang mendengar nyanyianmu!” kata Wiro pula.

“He, begitu? Terima kasih! Yang betul saja Buyung!”

“Betul, nyanyianmu sangat sedap didengar,” kata Wiro.

Si kakek menyengir. “Terima kasih!” katanya lagi. Lalu, “Sekarang tolong kau pegangkan tangkai payung ini!”

Karena payung langsung disodorkan kepadanya terpaksa Wiro pegang payung daun itu. Dari dalam kantong panjangnya si kakek keluarkan sebuah tambur terbuat dari batang pohon yang dilubangi lalu ditutup dengan kulit kering binatang. Dia juga mengeluarkan sebuah tongkat yang ujungnya ditancapi benda bulat. Sebelum berkata dia lebih dulu menyengir.

“Kalau nyanyianku memang sedap didengar, berarti kau harus ikut menari bersamaku! Aku menyanyi sambil memukul tambur. Kau memayungi aku dan ikut melangkah menari memutari pohon keladi itu. Setuju…?!”

“Anu Kek…”

“He, anu artinya memang setuju. Terima kasih Buyung!”

“Maksudku…”

“Aku lupa!” Si kakek aneh tidak pedulikan ucapan Wiro.

“Sebelum ikut menari aku perlu memberi tahu lebih dulu. Benda bulat yang ada di ujung pemukul tambur ini! Kau tahu benda apa ini sebenarnya?”

Wiro garuk-garuk kepala. “Sulit aku menduga, Kek.”

Si kakek menyengir. “Coba kau cium! Mungkin kau bisa menerka!” Lalu enak saja ujung pemukul tambur disodorkannya ke bawah lobang hidung Wiro. Bau sangit yang tidak enak menyambar pernafasannya hingga murid Sinto Gendeng ini bersin sampai tiga kali. Si kakek tertawa terkekeh-kekeh. Lalu tangan kanannya dikembangkan, diletakkan di pinggir mulut.

“Benda bulat ini adalah potongan biji sapi yang dikeringkan! Hik… hik… hik!” Waktu berucap si kakek seperti berbisik. Tapi ketika menyebutkan kata ‘biji’ suaranya sengaja dikeraskan, hampir berteriak. Lalu dia tertawa cekikikan.

“Untung biji sapi. Bukan biji manusia! Ha… ha… ha!” Si kakek menyambung ucapannya tadi lalu tertawa gelakgelak.

“Sudah… sudah! Dari tadi kita tertawa saja! Ayo mulai menari! Payungi aku!”

Si kakek tonggos melangkah lucu. Sesekali berjingkatjingkat. Sambil tiada henti memukul tambur. Dari mulutnya terus menerus keluar nyanyian na-na-na ni-ni-ni. Pinggul dan pantatnya diogel-ogel, mulutnya senyum-senyum tonggos. Matanya sesekali dikedip-kedip genit. Lalu lidahnya dijulur-julur untuk membasahi bibir. Wiro yang memegang payung mau tak mau jadi melangkah mengikuti si kakek mengelilingi pohon keladi hutan. Sambil melangkah berputar-putar diam-diam Wiro menghitung.

“Gila! Sudah dua ratus kali aku berputar mengikutinya mengelilingi pohon keladi!” kata Wiro dalam hati. Kakinya mulai pegal. Tangannya yang memegang payung terasa capai. Tapi di depannya si kakek terus saja menari. Semakin cepat dia menabuh tambur kecilnya semakin cepat pula langkah dan tarinya. Tubuhnya meliuk-liuk. Memandang ke depan Wiro melihat sosok kakek aneh itu seolah berputar siam mengelilingi pohon keladi seperti sebuah gasing! Akhirnya Wiro memilih tegak saja berdiam diri.

“Hai! Baru segitu saja kau sudah capai keletihan! Tapi kalau menari dengan gadis cantik semalam suntuk pasti kau lakoni! Begitu, kan?! Hik… hik… hik! Terima kasih kau sudah memayungiku!”

Kakek itu jatuhkan dirinya di tanah. Tambur dan pemukulnya dimasukkannya ke dalam kantong panjang. Lalu dia ulurkan tangan mengambil payungnya. Payung ini tidak diletakkannya di tanah atau dilipatnya tetapi diletakkannya di atas kepala. Lalu acuh tak acuh seperti tidak ada apa-apa di kepalanya dia berpaling pada Wiro. Matanya jelalatan memandangi pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Hidungnya yang pesek kembang kempis.

“Wahai! Baru aku sadar! Kau orang asing. Bukan orang sini! Kau pasti datang dari jauh!” Si kakek tiba-tiba berkata.

“Bagaimana kau bisa tahu Kek?” tanya Wiro sambil garuk-garuk kepala.

“Dari baumu!” jawab si kakek tonggos.

“Walah! Memangnya bauku bagaimana?!” tanya pendekar kita.

“Orang-orang asing di Negeri Latanahsilam ini baunya bau rayap. Tapi kau kucium bau amis! Hik… hik… hik!”

“Ah, jangan-jangan hidungmu yang pesek salah cium Kek!” kata Wiro agak sewot.

Kakek tonggos tertawa bergelak. “Terima kasih, atas pujianmu terhadap hidungku yang mancung!” kata si kakek sambil usap-usap hidungnya yang memang pesek. “Aku memperhatikan, sejak tadi sudah berapa kali kau menggaruk kepala. Yang aku ingin tahu, sudah berapa minggu kau tidak pernah mandi anak muda?”

Murid Sinto Gendeng jadi cemberut. “Saya mandi setiap hari. Setiap ketemu kali atau telaga…”

“Kurasa kau dusta anak muda! Kurasa kau mandi hanya setiap hujan turun! Hik… hik… hik! Tapi jangan marah anak muda. Aku senang. Terima kasih kau mau bersenda gurau denganku! Sekarang aku mau tanya…”

“Tidak, saya duluan yang tanya padamu Kek!”

“Wahai! Pasti kau menanya mengapa aku pakai celana didodorkan di bagian pantatnya!”

“Tidak, bukan itu pertanyaanku…”

“Terima kasih kau tidak menanyakan pantatku! Hik…hik… hik. Apa yang mau kau tanyakan anak muda?” Si kakek tertawa gelak-gelak. Payung di atas kepalanya mumbul turun naik.

“Sebelum kau muncul di sini, mungkin waktu kau tengah menuju ke sini, apakah kau berpapasan atau melihat seorang lain?” Wiro bertanya begitu karena dia ingin menyelidiki siapa sebenarnya yang menolongnya waktu berkelahi melawan Lagandring tadi. Yaitu yang memberi tahu agar dia mengeluarkan ilmu Belut Menyusup Tanah yang selama bertahun-tahun tak pernah dipergunakannya.

“Memang, aku ada melihat orang lain selain dirimu!”

Kakek tonggos menjawab sambil pentang wajah bersungguh-sungguh.

“Siapa? Di mana?” tanya Wiro.

“Dia! Di sana!” jawab si kakek seraya goyangkan kepala ke arah Hantu Tangan Empat yang asyik mandi air kembang di dalam telaga di bawah air terjun. Wiro memaki dalam hati. “Bukan dia yang kumaksudkan. Tapi orang lain…”

“Heee… Ya… ya. Memang ada. Ada dua orang. Tapi sudah pada kabur. Itu, dua kembar yang tadi berkelahi denganmu dan kakek yang mandi dua bulan sekali itu! Lagandring dan Lagandrung!”

Wiro garuk-garuk kepala menahan jengkel.

Si kakek tertawa lebar lalu berkata. “Terima kasih kau hanya menggaruk kepala yang di atas, tidak kepala yang di bawah! Hik… hik… hik! Awas bisa berterbangan segala kutu dan tuma yang ada di tubuhmu! Hik… hik… hik!”

Wiro yang biasanya suka menggoda orang kini merasa mati kutu. Walau jengkel mendengar ucapan si kakek namun sambil tertawa dia berkata. “Kakek tukang banyol, kalau kau hanya melihat kakek yang sedang mandi itu, lalu melihat Lagandrung dan Lagandring berarti tidak ada orang lain. Berarti kaulah tadi yang telah menolongku…”

“Aku datang membawa payung dan tambur. Aku datang menyanyi dan menari. Bagaimana mungkin aku menolongmu. Lagi pula pertolongan apa yang kuberikan padamu wahai anak muda? Tapi aku tak lupa mengucapkan terima kasih kau telah menganggap aku melakukan sesuatu yang baik. Menolong orang lain bukankah itu sesuatu yang baik?”

Wiro mengangguk. “Kau yang memberi bisikan agar saya mengeluarkan ilmu Belut Menyusup Tanah. Hingga saya selamat dari serangan maut yang dilancarkan Lagandring…”

“Ilmu Belut Menyusup Tanah. Aneh nama ilmu itu. Baru sekali ini aku mendengar. Memangnya kau punya ilmu itu?” Si kakek bertanya dengan unjukkan tampang tolol.

Wiro garuk-garuk kepala lagi. Untuk sesaat lamanya dia pandangi orang tua di hadapannya itu. Lalu sambil nyengir dia berkata. “Kau tak mau mengaku tak jadi apa. Tapi saya yakin kau yang tadi menolong saya. Suaramu sama dengan suara orang yang memberikan bisikan itu.”

“Terima kasih kau berkata begitu. Tapi wahai anak muda. Belutku saja aku tidak bisa mengurus, bagaimana aku mengurusi belutmu!” Sambil berkata begitu si kakek monyongkan mulutnya yang tonggos ke arah bawah perut Wiro lalu tertawa gelak-gelak.

“Menolong orang tanpa ingin diketahui orang yang ditolong, itu artinya tulus tanpa pamrih. Tapi membuat bingung orang bisa mengurangi pahala!”

Tiba-tiba terdengar orang berucap. Anehnya suaranya terdengar bergema di empat penjuru! Kakek tonggos dongakkan muka ke langit, mulutnya bergerak-gerak seperti mau ditutup tapi tak pernah bisa karena deretan gigi-giginya yang menjorok tonggos.

“Sekali bicara mengumandang empat kali di empat penjuru! Siapa lagi yang punya ilmu seperti itu kalau bukan sobatku Hantu Tangan Empat! Wahai! Apakah kau sudah selesai mandi wahai kerabatku?! Terima kasih atas pujimu. Terima kasih juga atas cemoohmu!”

Wiro palingkan kepala. Di dekat air terjun Hantu Tangan Empat baru saja keluar dari dalam telaga. Jarak antara kakek itu dengan tempatnya berada terpisah belasan tombak. Tapi suara ucapannya terdengar seolah-olah dia berada di situ, dan di empat tempat sekaligus! Inilah ilmu kepandaian yang hanya dimiliki Hantu Tangan Empat, disebut Empat Penjuru Angin Menebar Suara. Lima tingkat lebih tinggi dari ilmu memindahkan suara yang selama ini dikenal oleh Wiro. Hal ini mengingatkan murid Sinto Gendeng pada peristiwa ketika pertama kali dia dan kawan-kawan bertemu dengan Hantu Tangan Empat di tanah Jawa (Baca riwayat pertemuan Wiro dengan Hantu Tangan Empat dalam serial Wiro Sableng berjudul “Bola-Bola Iblis).

***

 

ENAM

 

SESAAT kemudian Hantu Tangan Empat sudah berada di hadapan ke dua orang itu. Wajahnya yang rata kelihatan segar. Dia menatap ke arah kakek mulut tonggos. Si kakek yang dipandang tertawa lebar lalu menjura memberi hormat. Tapi caranya memberi hormat membuat orang bisa jengkel. Kepalanya memang ditundukkan, tangan dibuai di depan dada tapi pantatnya sekaligus disonggengkan. Padahal saat itu celananya masih didodorkan ke bawah!

“Pelawak Sinting, wahai! Puluhan tahun kau menghilang. Hari ini kau muncul apa gerangan maksud niat dan tujuanmu?!” Hantu Tangan Empat menegur sambil rangkapkan tangan di atas dada. Seringainya pencong dan kaku.

Sesaat si kakek tonggos yang dipanggil dengan nama Pelawak Sinting tersenyum lebar dan pantatnya masih saja disonggengkan. Perlahan-lahan dia luruskan badannya lalu berkata sambil tangannya diangkat ke atas, dilambaikan ke langit. Ketika dia bicara menjawab ucapan Hantu Tangan Empat maka suaranya seperti orang membaca puisi.

“Wahai Hantu Tangan Empat, terima kasih atas tegur sapamu yang menawan hati. Lihat ke atas. Pandanglah langit. Tiada berawan tiada mendung. Di sebelah sana serombongan burung terbang melintas udara. Angin bertiup lembut menyejuk jangat. Layangkan mata ke kiri. Air terjun jatuh menderu, bagus bentuk dan sedap suaranya sampai di telinga. Lihat dalam telaga, bungabunga aneka warna sesajian bekas mandimu mengambang elok menebar bau harum. Pagi seindah ini jarang terjadi. Salahkah diriku jika aku muncul untuk melihat dan merasakan keindahan alam ini? Kalau nanti mataku sudah mulai lamur, apa gunanya lagi. Bukankah begitu cara kita menikmati berkah yang melimpah wahai sahabatku Hantu Tangan Empat?”

Wiro garuk-garuk kepala menunggu apa jawaban Hantu Tangan Empat. Dalam hati dia berkata. “Jadi kakek geblek satu ini bernama Pelawak Sinting. Cocok dengan kelakuannya yang serba konyol… Tapi ucapannya tadi sungguh bagus!”

Hantu Tangan Empat sesaat masih tegak berdiam diri. Setelah melirik Wiro, selang berapa lama kemudian baru dia berkata. “Tak ada yang menyalahkan kehadiranmu wahai sahabatku Pelawak Sinting. Namun terbetik berita bahwa kau kabarnya telah bergabung dengan Hantu Muka Dua, membangun satu tempat bernama Istana Kebahagiaan, lalu ikut menjadi salah satu pembantu tangan kanannya… Mungkin kau bisa memberi keterangan?”

Si Pelawak Sinting mendongak ke langit lalu tertawa mengekeh. “Terima kasih namaku tersebar dalam berita begitu rupa! Terima kasih kau memberi tahu padaku! Sebenarnya siapa aku ini maka dikabarkan bergabung dengan Hantu Muka Dua membangun Istana Kebahagiaan! Gubuk reot saja aku tak mampu membangun, buktinya aku tidak punya rumah. Apalagi membangun Istana Kebahagiaan! Amboi! memangnya aku ini tukang bangunan apa? Ha… ha! Lagi pula aku tidak suka jadi pembantu. Diriku sendiri tak bisa kubantu, bagaimana bisa membantu orang lain. Ha… ha… ha! Kalaupun aku jadi pembantu, Hantu Muka Dua mau memberi aku upah berapa? Ha… ha… ha! Aku ini cuma seorang kakek sinting.

Mana mungkin Hantu Muka Dua mau dekat-dekat dengan diriku? Sahabatku Hantu Tangan Empat, hidup di alam ini paling enak seorang diri! Tidak ada yang mengikat. Ke mana mau pergi tidak ada yang melarang! Dada lapang pikiran lepas. Ha… ha… ha! Kau sendiri apakah selama ini baik-baik saja wahai sahabatku?” Ketika bicara si kakek yang bernama Pelawak Sinting itu gerak-gerakkan tangan, bahu dan pinggulnya secara lucu. Yang ditanya tersenyum. Si Pelawak Sinting kembali berucap.

“Wahai, wajahmu yang datar tersenyum. Tapi aku tahu di hatimu ada ganjalan! Malah sebetulnya akulah yang layak bertanya, siapa tahu aku bisa menolong…”

“Apapun yang terjadi dengan diriku, adalah tanggung jawabku sendiri,” kata Hantu Tangan Empat pula.

“Belakangan ini semua orang di Negeri Latanahsilam hidup seolah nafsi-nafsian. Memikir dan mengurus diri sendiri, tidak mau peduli pada diri dan keadaan orang lain…”

“Wahai, jangan begitu Hantu Tangan Empat. Karena kita bersahabat jadi wajib saling tolong jika salah satu mempunyai kesulitan…”

“Kau tidak akan bisa menolong. Jangankan kau, Dewa dan para Peri-pun sepertinya tidak mempedulikan diriku…”

“Wahai! Hantu Tangan Empat, jangan bersikap hidup seperti itu. Aku tahu hal ihwalmu dengan Hantu Muka Dua. Jika kau…”

Hantu Tangan Empat gelengkan kepalanya. Dia melirik pada Wiro lalu berkata. “Pelawak Sinting, aku tidak suka membicarakan hal ihwal yang satu itu!” Wajah datar Hantu Tangan Empat tampak keras membesi.

“Kalau begitu halnya, wahai apa gunanya aku berlamalama di tempat ini. Aku ingin menolong tapi yang punya diri malah menolak. Jadi aku ini jelas bukan termasuk orang yang nafsi-nafsian seperti katamu tadi. Aku mau pergi dulu. Tapi wahai Hantu Tangan Empat, ada sesuatu aku mau bilang padamu…” kata Pelawak Sinting.

“Apa?” tanya Hantu Tangan Empat pula.

“Habis mandi wajah dan tubuhmu kelihatan segar. Tapi apa gunanya kesegaran itu kalau habis mandi kau tidak berganti pakaian. Masih saja mengenakan pakaian bau apek! Ha… ha… ha!”

Wajah Hantu Tangan Empat tampak merah. Pelawak Sinting lambaikan tangannya lalu sambil putar tubuh dan melangkah dia mulai menyanyi. “Na… na… na…Ni… ni… ni…”

Melihat orang hendak pergi Wiro cepat menyusul dan menghadang di depan si kakek.

“Kek, sebelum kau pergi, kau harus mengakui dulu. Benar kau yang tadi menolong saya? Lalu bagaimana kau bisa tahu saya memiliki Ilmu Belut Menyusup Tanah itu?”

“Anak muda, lagi-lagi urusan belut yang kau bicarakan! Sudah kubilang belut di bawah perutku ini susah aku urusi, apalagi belutmu!” Entah jengkel atau marah payung di atas kepala si kakek kelihatan turun naik beberapa kali.

“Jangan terlalu bawel. Jangan salahkan aku kalau nanti aku pencet belutmu!”

Wiro garuk-garuk kepala. Si Pelawak Sinting hendak melangkah. Pendekar 212 kembali menghadang.

“Tapi Kek, saya merasa berhutang budi dan nyawa. Selain itu mungkinkah ada hubungan antara kau dengan…”

“Hutang budi dan nyawa itu tidak ada di alam ini wahai anak muda. Yang ada hanya hutang uang atau harta! Hutang budi dan hutang nyawa hanya basa basi orang geblek agar dianggap beradab! Ha… ha… ha!” Si kakek lalu melangkah hendak lanjutkan perjalanan sambil mulutnya kembali bernyanyi “Na… na… na… Ni… ni… ni.” Tapi Wiro cepat mencegat hingga Pelawak Sinting terpaksa hentikan langkahnya. Matanya yang belok memandang lebar-lebar namun dia tidak marah malah tersenyum. “Wahai anak muda, kau keliwat memaksa. Seolah kau mau mati besok dan aku mau meninggal lusa. Mari kuperlihatkan sesuatu padamu…”

Wuttt!

Payung daun yang sejak tadi bertengger di atas kepalanya melesat ke atas, lalu melayang melewati kepala Wiro. Selagi Wiro mengangkat kepala, mengikuti payung yang melesat dengan pandangan matanya tiba-tiba dia merasa ada sambaran angin lewat di bawah selangkangannya. Begitu dia memandang ke bawah dia hanya melihat satu bayangan melesat cepat sekali lalu lenyap. Di depan sana waktu dia memperhatikan kembali ternyata payung daun milik Pelawak Sinting tak ada lagi. Si kakek sendiri juga seolah gaib entah ke mana!

“Kakek konyol itu…” kata Wiro setengah termangu. “Dia menyelinap di celah sempit antara dua kakiku! Satu hal yang tak mungkin dilakukan. Kecuali kalau dia mempunyai dan mempergunakan Ilmu Belut Menyusup Tanah. Sungguh aneh!”

Tiba-tiba terdengar suara nyanyian.

“Na… na… na. Ni… ni… ni…”

Wiro berkelebat ke arah sederetan pohon-pohon besar dari arah mana terdengarnya suara nyanyian itu. Tapi dia tidak melihat siapa-siapa di tempat itu.

“Kakek bernama Pelawak Sinting!” teriak Wiro. “Kalau saya ketemu kau lagi akan saya dodorkan celanamu sampai ke lutut!”

“Terima kasih kau mau berbuat begitu!” terdengar jawaban si kakek di kejauhan. “Jangan marah wahai anak muda! Kalau aku sudah melakukan hal itu lebih dulu pada dirimu!”

Wiro terkejut. Dia memandang ke bawah. Astaga! Ternyata celananya di bagian belakang telah merosot sampai mendekati lutut!

“Kapan dia melakukannya?! Bagaimana caranya?! Gila!” Wiro mencak-mencak sendiri dan cepat-cepat tarik celananya ke atas. “Pasti dilakukannya waktu tadi dia menyelinap di celah dua kakiku! Huh! Benar-benar sinting dan konyol!” Wiro memandang ke arah suara si kakek. Ingin sekali dia mengejar.

Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh lalu berkata.

“Tak perlu kau kejar kakek itu. Apakah kau tidak mengerti arti ucapannya tadi yang mengatakan kelak dia bakal menemuimu lagi?”

Pendekar kita garuk kepala. “Ucapannya yang mana Kek?” tanya Wiro.

“Wahai! Tadi dia bilang, Wahai anak muda, kau keliwat memaksa. Seolah kau mau mati besok dan aku mau meninggal lusa…”

Wiro menarik nafas dalam. “Terima kasih atas petunjukmu. Mudah-mudahan saya bisa bertemu lagi dengan kakek itu. Walau otaknya mungkin kurang beres tapi kelihatannya dia baik dan hatinya polos. Bagaimana kau tadi bisa mengatakan bahwa dia adalah kaki tangan pembantu Hantu Muka Dua?”

“Anak muda, aku tahu kau punya permusuhan besar dengan Hantu Muka Dua. Tapi hal menyangkut urusan Si Pelawak Sinting itu tak perlu kita bicarakan. Aku ingin tanya. Apa betul kau pemuda yang dulu dibawa oleh cucuku Peri Angsa Putih untuk dibuat besar tubuhnya?”

“Memang betul Kek…”

“Tapi saat itu aku hanya mampu merubah tubuhmu dan dua kawanmu sampai setinggi lutut. Bagaimana kau sekarang bisa jadi sebesar ini?”

Wiro tersenyum. “Sebenarnya saat itu kau juga mampu merobah kami jadi sebesar seperti saya sekarang ini Kek.

Hanya saja kalau tidak salah kau… Kau terganggu garagara melihat Peri Sesepuh yang gembrot itu duduk ngongkong. Pahanya yang putih gembul tersingkap ke mana-mana. Mungkin juga kau sempat melihat…”

“Jangan bicara kurang ajar anak muda!” bentak Hantu Tangan Empat dengan muka merah padam sedang Wiro berusaha agar tawanya tidak menyembur (Mengenai riwayat bagaimana Hantu Tangan Empat berusaha menolong membesarkan Wiro baca serial Wiro Sableng berjudul “Peri Angsa Putih).

“Wiro, bagaimana sekarang tubuhmu bisa jadi sebesar ini. Siapa yang menolongmu? Apakah kau telah bertemu dengan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?”

“Belum Kek. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab susah dicarinya. Yang menolong saya adalah seorang sakti yang disebut dengan nama Hantu Raja Obat. Orangnya gemuk. Di kepalanya ada sorban dan belanga tanah…”

“Aku tahu dan kenal makhluk satu itu. Dia anginanginan. Beruntung besar kau mendapat pertolongan dari dia. Biasanya dia suka membunuh siapa saja yang tidak disukainya. Lalu isi perut orang itu dibedolnya dan dimasukkan ke dalam belanga di atas kepalanya…”

“Hueekkk!” Wiro tercekik dan seperti mau muntah mendengar ucapan Hantu Tangan Empat itu hingga si kakek mengerenyit heran. Sebelum ditanya Wiro sudah menerangkan. “Anu Kek… Saya… Justru saya bisa jadi besar begini setelah minum air godokan yang ada dalam belanga itu… Huek!”

Hantu Tangan Empat tertawa mengekeh.

“Untuk mendapatkan sesuatu seseorang memang harus berkorban. Itulah hidup. Kau masih untung cuma disuruh minum air godokan, bukannya digodok masuk ke dalam belanganya oleh Hantu Raja Obat. Bagaimana dengan dua temanmu yang lain. Di mana mereka sekarang?”

“Mereka kurang beruntung…” Lalu Wiro menceritakan apa yang dialami Naga Kuning dan Si Setan Ngompol (sebagaimana yang dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul “Rahasia Bayi Tergantung).

“Sekarang dua sahabat saya itu masih dalam saat-saat penantian sampai mereka berdua diperbolehkan meneguk obat dalam cangkir tanah itu…”

“Rahasia hidup memang pelik. Tapi jika kita bisa menyelami dengan hati bersih dan kepala sehat pasti lebih banyak manfaat yang bisa kita dapati…”

Wiro hanya manggut-manggut mengiyakan. Lalu dia ingat akan ucapan Si Pelawak Sinting tadi. “Kek, bagaimanapun kau pernah menolong saya dan kawankawan. Sebagai tanda terima kasih…”

“Aku tidak pernah memberikan pertolongan disertai pamrih. Lagi pula aku menolongmu mengingat cucuku sendiri, Peri Angsa Putih yang meminta. Sebenarnya aku telah menghadang satu bahaya sangat besar dengan melakukan hal itu…”

“Itu sebabnya, maksud saya Kek, kalau ada sesuatu yang bisa saya lakukan untukmu…”

“Tak ada yang bisa kau lakukan wahai anak muda. Juga tidak ada yang aku minta padamu… Kecuali, ada satu pertanyaanku…”

“Silakan saja kau bertanya. Siapa tahu aku memang bisa menjawab.” kata Wiro pula.

“Di mana beradanya batu tujuh warna yang disebut Batu Sakti Pembalik Waktu itu…”

Wiro pandangi wajah datar Hantu Tangan Empat beberapa lamanya. Dalam hati dia berkata, “Kakek ini agaknya masih menginginkan batu itu. Berarti dia masih berada di bawah perintah Hantu Muka Dua…”

“Maafkan saya Kek. Saya tak dapat memberikan jawaban. Terakhir sekali batu itu berada di tangan kakek sahabat saya bernama Si Setan Ngompol. Batu kemudian hilang lenyap. Tidak diketahui di mana beradanya…”

“Apakah batu sakti itu hilang ketika kalian masih berada di negeri seribu dua ratus tahun mendatang atau di Negeri Latanahsilam ini…” tanya Hantu Tangan Empat.

“Batu itu hilang di sini Kek. Belum lama setelah kami berada di negeri ini…”

Hantu Tangan Empat termenung. Wiro tak dapat menduga apa yang ada dalam benak orang ini. Maka diapun berkata. “Kek, harap kau tidak marah. Dari ucapan Si Pelawak Sinting tadi kau agaknya mempunyai satu masalah besar yang kau tak sudi saya mendengarnya. Lalu kalau setelah kau menolong saya masalahmu menjadi tambah besar, rasanya pantas-pantas saja kalau saya kini ingin membalas budi…”

Hantu Tangan Empat tertawa tawar. “Di negerimu memang ada ujar-ujar Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas. Tapi Negeri Latanahsilam lain. Di sini memang ada ubi tapi tak ada talas. Yang ada hanya tuba. Berarti seseorang yang berbuat budi, bisa saja mendapatkan tuba sebagai balasannya!”

“Tapi Kek, saya dan juga kawan-kawan tidak akan berlaku sejahat itu. Malah…” Wiro hentikan kata-katanya. Dia bertanya-tanya dalam hati apa ada perlunya meneruskan bicara dengan kakek satu ini? Melihat Wiro memutus ucapannya, Hantu Tangan Empat malah bertanya. “Wahai! Mengapa kau tidak meneruskan kata-katamu?”

“Kek, saya tidak mengungkit cerita lama. Tapi jika kita bisa bicara dengan hati bersih dan kepala sehat seperti katamu tadi, segala ganjalan yang ada pasti bisa dihadapi…”

“Anak muda, usiamu baru seumur tempurung…”

“Di negeriku orang biasa menyebut seumur jagung!” memotong Wiro sambil menyeringai.

“Di sana jagung berarti tiga sampai empat tahun. Di sini tempurung berarti tujuh belas sampai dua puluh lima tahun. Bukankah usiamu sekitar usia tempurung itu wahai anak muda?”

Murid Sinto Gendeng jadi terdiam sesaat. “Kakek Hantu Tangan Empat, kalau kau tak mau dibantu, rasanya tidak ada yang ingin memaksa. Namun jika saya ingat sewaktu muncul di tanah Jawa kau punya niat hendak membunuh saya dan dua kawan saya, lalu sesampainya di sini kau ternyata malah berbuat baik menolong kami, rasanya ada sesuatu yang tak bisa saya mengerti…”

“Hari ini berbuat jahat, besok berbuat baik. Atau sebaliknya. Hari ini melakukan kebaikan, lusa melakukan kejahatan. Bukankah memang begitu hidupnya manusia?” ujar Hantu Tangan Empat.

“Benar Kek, tapi rasanya tidak begitu dengan keadaan dirimu. Kau melakukan niat buruk dan perbuatan baik karena ada sesuatu yang memaksamu berbuat begitu…”

“Anak muda, kau tahu apa soal hidup. Apa lagi soal hidupku. Yang penting aku tidak jadi membunuhmu, malah menolongmu. Kau harus bersyukur…”

“Saya dan kawan-kawan memang bersyukur dan berterima kasih padamu… Kek, apakah semua ini garagara Hantu Muka Dua?”

“Jangan hubungkan diriku dengan makhluk satu itu!” hardik Hantu Tangan Empat tapi sambil membuang muka, memandang ke jurusan lain.

“Kek, kau membuat aku tambah tidak mengerti. Dulu jelas-jelas sekali kau bilang kau diperintah Hantu Muka Dua untuk membunuh kami bertiga dan mencari batu sakti tujuh warna itu. Sikap dan ucapanmu membuat saya tidak tahu apa sebenarnya hubunganmu dengan Hantu Muka Dua…”

Karena Hantu Tangan Empat tak memberikan jawaban maka Wiro melanjutkan ucapannya tadi. “Kek, ketahuilah jika ada kesempatan menemui Hantu Muka Dua saya akan membuat perhitungan dengan makhluk satu itu! Kalau tidak dia akan mendahului membunuh saya dan kawankawan.

Di negeri saya ada seorang tokoh silat bernama Pangeran Matahari. Dia manusia sejuta jahat yang dijulukiPendekar Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak. Tapi ternyata Hantu Muka Dua jauh lebih jahat dari Pangeran Matahari. Sesuai dengan julukannya Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu.

Dia bukan saja menyuruhmu membunuh saya dan kawankawan, tapi juga pernah menugaskan seorang penghuni pulau bernama Tringgiling Liang Batu dan anak angkatnya bernama Hantu Jatilandak untuk mempesiangi kami bertiga. Begitu nyawa kami dihabisi, darah kami akan dipakai untuk merendam sebilah senjata. Untung kami bisa selamat. Lalu terakhir kali dia menugaskan Lagandrung dan Lagandring untuk membunuhmu, sekaligus menghabisi saya…”

“Jangan kau berani menyentuh Hantu Muka Dua wahai anak muda bernama Wiro…”

“Aneh, mengapa kau berkata begitu Hantu Tangan Empat?” tanya Wiro keheranan.

“Makhluk itu menguasai…”

Di tanah tiba-tiba ada satu bayang-bayang besar bergerak berputar-putar. Hantu Tangan Empat mendongak ke atas Wiro ikut-ikutan memandang ke langit. Tinggi di udara tampak sebuah benda putih melayang berputarputar. Makin lama makin rendah.

“Angsa raksasa. Siapa lagi penunggangnya kalau bukan Peri Angsa Putih. Kelihatannya dia hendak menuju ke sini…” kata Wiro dalam hati begitu dia mengenali angsa putih bernama Laeputih yang jadi tunggangan Peri Angsa Putih itu.

“Kakek Hantu Tangan Empat, kebetulan sekali cucumu Peri Angsa Putih muncul di sini…” Wiro berucap sambil berpaling ke samping. Tapi kakek muka datar yang hati dan jalan pikirannya susah diraba itu ternyata tidak ada lagi di sebelahnya.

***

 

TUJUH

 

PERI BUNDA sejak tadi diam-diam memperhatikan tingkah laku Peri Angsa Putih. Sambil tersenyum akhirnya dia menegur. “Wahai Peri Angsa Putih, Peri tercantik dari segala Peri. Lain sekali kulihat tingkah lakumu hari ini…”

“Wahai Peri Bunda, lain bagaimana maksudmu?” tanya Peri Angsa Putih sementara matanya terus saja menatap ke dalam cermin di dinding batu, memperhatikan wajahnya sambil sesekali mengusap pipi kiri dan kanan.

“Sejak pagi kau bangun, kau telah pergi ke telaga. Mandi sambil menyongsong terbitnya sang surya. Dalam telaga kau bernyanyi ceria sambil menggosok tubuhmu dengan bunga Sri Melati. Bunga langka yang hanya dipergunakan para gadis yang hendak melangsungkan perkawinan…”

Peri Angsa Putih tertawa panjang. “Lucu kedengarannya ucapanmu wahai Peri Bunda. Apa kau menduga aku ini hendak pergi kawin? Hik… hik… hik. Kawin dengan siapa, wahai Peri Bunda?”

“Aku tidak mengatakan kau akan kawin wahai Peri Angsa Putih. Kelainan sikapmu hari ini sungguh membuat aku heran. Sehabis mandi kau berganti pakaian. Kau mengenakan pakaian panjang sutera putih kesenanganmu. Tapi sekali ini kau tambah dengan sehelai selendang sutera biru sebiru bola matamu. Lalu kau berdiri di cermin berlama-lama, berhias bersenyum-senyum…”

“Wahai! Tidak kusangka kau memperhatikan aku sampai begitu teliti wahai Peri Bunda. Tak ada yang lain pada diriku. Kalau aku mandi di telaga berlama-lama, berlangir bunga Sri Melati, lalu berpakaian dengan hiasan selendang sutera biru, lalu berhias di depan cermin mematut diri, itu karena hari ini aku ingin turun ke Negeri Latanahsilam…”

“Wahai! Justru itulah yang menjadi tanda tanya besar bagiku, Peri Angsa Putih. Biasanya setiap pergi ke Negeri Latanahsilam, kau berdandan apa adanya. Aku khawatir ada seseorang yang menunggumu di Latanahsilam. Dewa muda dan gagah yang manakah dia wahai Peri Angsa Putih?”

Peri Angsa Putih tertawa kembali. “Kau ini ada-ada saja wahai Peri Bunda. Jika ada Peri yang ditunggu Dewa maka kaulah Perinya…” Peri Angsa Putih melangkah mendekati Peri Bunda. Sambil memegang lengan Peri Bunda, Peri Angsa Putih berkata. “Bukankah dulu kita pernah berbincang betapa jenuhnya hidup di alam kita ini. Betapa kita merindukan sesuatu yang lain. Betapa kita ingin berada dalam satu alam bebas tanpa ikatan, tanpa aturan yang terasa menekan kepala menjepit kaki…”

“Wahai Peri Angsa Putih, teruskan bicaramu. Tapi lebih perlahan. Jangan sampai ada Peri lain yang mendengar. Terutama Peri Sesepuh. Bisa celaka kita berdua…”

Peri Angsa Putih memandang berkeliling. Bila dirasakannya aman maka diapun berkata. “Aku berani bicara karena bukankah dulu kita telah pernah berbincang tentang makin menipisnya batas antara kita para Peri dengan manusia di bawah langit?”

“Ya, aku ingat hal itu. Tapi apa hubungannya dengan sikapmu yang aneh hari ini? Apakah secara diam-diam kau telah membina hubungan tertentu dengan seseorang di bawah sana?”

Peri Angsa Putih mengulum senyum yang membuat Peri Bunda menjadi berdebar. “Wahai kerabatku Peri Angsa Putih. Jangan kau berani berbuat menyalahi aturan. Kau pasti tahu betul apa yang terjadi dengan Luhmintari, peri yang melanggar larangan dan melakukan perkawinan dengan Lahambalang hingga melahirkan seorang anak dijuluki Hantu Jatilandak. Apa kau ingin menerima nasib seperti Luhmintari itu wahai kerabatku?” (Mengenai Hantu Jatilandak baca serial Wiro Sableng sebelum ini berjudul “Hantu Jatilandak).

“Luhmintari…” ujar Peri Angsa Putih dengan suara perlahan dan bergetar. “Kerabat kita yang malang itu menemui ajal dengan perut pecah ketika melahirkan bayinya si Jatilandak. Dan kini dia mendekam menjadi patung batu akibat kutukan para Dewa serta Peri. Tidak, wahai Peri Bunda, aku tidak ingin mengalami nasib seperti Luhmintari…”

“Lalu siapakah yang hendak kau jelang di negeri Latanahsilam?” tanya Peri Bunda pula.

“Terus terang, aku terbuai dan tergoda oleh mimpi…” kata Peri Angsa Putih.

“Wahai!” kata Peri Bunda setengah berseru. “Maukah kau menceritakan apa mimpimu itu wahai Peri Angsa Putih?”

Peri Angsa Putih kembali pegang dua lengan Peri Bunda. Dengan tersenyum dia berkata. “Mimpi adalah kembangnya tidur yang terkadang tidak pernah menjadi kenyataan. Terus terang, sebenarnya, ngggg… Aku pergi ke Negeri Latanahsilam untuk menemui…”

“Kalau kau bukan menemui seorang pemuda, wahai apakah kau berhajat hendak bersua dengan seorang duda?” Peri Bunda memotong.

“Duda? Siapa maksudmu Peri Bunda?” tanya Peri Angsa Putih. Wajahnya merona kemerahan.

“Maaf kalau aku salah menduga. Tapi bukankah kau sejak lama jatuh hati terhadap Lakasipo, lelaki gagah kematian istri dan memiliki ilmu sangat tinggi itu?” Peri Bunda perhatikan wajah kerabatnya itu. “Wahai! Parasmu kulihat menjadi merah. Pertanda dugaanku tidak meleset!”

Peri Angsa Putih berusaha tersenyum. Peri Bunda lantas peluk sosok kerabatnya itu seraya berkata perlahan. “Wahai Peri Angsa Putih. Walau sosok kita adalah sosok Peri, tapi memang tak bisa dipungkiri hati nurani dan jiwa rasa kita tak banyak bedanya dengan manusia para penghuni Negeri Latanahsilam. Namun berhati-hatilah dalam bertindak. Jangan hati dan perasaanmu menipu jalan sehat akal pikiranmu. Pikirkan pula tantangan serta akibat yang akan terjadi jika sampai kau jatuh cinta pada orang yang tidak satu darah dengan turunan kita. Renungkan contoh akibat yang telah terjadi. Akupun kadang-kadang sulit keluar dari perasaan seperti ini walau sampai saat ini aku masih bisa bertahan. Tapi sampai kapan…?”

Peri Angsa Putih sangat terharu mendengar kata-kata Peri Bunda itu. Dipeluknya erat-erat kerabatnya itu seraya berkata. “Wahai Peri Bunda, Simpul Agung Dari Segala Peri, Peri Junjungan Dari Segala Junjungan. Terima kasih atas semua ucapan dan nasihatmu. Tapi ketahuilah, aku turun ke Negeri Latanahsilam bukan untuk menemui Lakasipo. Aku berhasrat mencari kakekku, Hantu Tangan Empat. Seperti kau ketahui sampai saat ini dia masih berada dalam kesulitan. Dan setiap kutanya dia tidak pernah menjelaskan apa kesulitannya itu. Hanya dari sikap dan tindakannya yang aneh-aneh aku menduga dia seolah berada di bawah satu tekanan yang sulit dilepaskan.”

“Oh… Begitu? Jadi kau sebenarnya berniat mencari kakekmu sendiri. Kalau demikian pergilah selagi hari masih pagi.” kata Peri Bunda pula walau diam-diam hatinya berdetak bahwa Peri Angsa Putih yang cantik dan bermata biru itu berdusta padanya.

“Aku pergi wahai Peri Bunda.”

“Selamat jalan Peri Angsa Putih. Jangan terlalu lama di Latanahsilam. Aku khawatir Peri Sesepuh memerlukan sesuatu dan mencarimu…”

“Aku tidak akan berlama-lama. Sebelum senja menjelang aku pasti sudah kembali ke sini.” Peri Angsa Putih putar tubuhnya dan tinggalkan Peri Bunda.

Sesaat setelah Peri Angsa Putih berlalu, Peri Bunda tegak merenung. Tapi tidak lama. Seolah tidak sadar Peri Bunda bicara sendirian. “Dari sikap dan caranya berdandan, sekali ini aku tidak yakin kalau dia turun ke Latanahsilam untuk menemui kakeknya Hantu Tangan Empat. Lalu jika kuhubung-hubungkan ucapannya menyangkut hubungan antara manusia dengan para Peri, aku menaruh curiga. Jangan-jangan dia menemui seseorang. Dia tidak mengaku menemui Lakasipo. Padahal sewaktu Luhjelita muncul dan merayu Lakasipo dia kecewa setengah mati. Lalu siapa sebenarnya yang hendak ditemui gadis itu? Aku harus menyelidik…”

Tanpa menunggu lebih lama Peri Bunda segera pula tinggalkan tempat itu tanpa mengetahui bahwa di balik sehelai tirai tebal dalam ruangan tersebut sejak tadi Peri Sesepuh yang gemuk putih bermuka gembrot dan selalu keringatan memperhatikan kelakuannya dan mendengar apa yang diucapkan.

***

Laeputih, si angsa raksasa putih tunggangan Peri cantik bermata biru melayang berputar dua kali di udara. Sambil melayang dan perlahan-lahan merendah Peri Angsa Putih perhatikan sosok tegap di tepi telaga.

“Dewa Agung!” kata sang Peri. “Mimpiku benar adanya.

Wahai! Orang itu adalah pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang. Ke mana lenyapnya kakekku Hantu Tangan Empat tidak aku pikirkan. Yang aneh bagaimana tahu-tahu sosoknya telah berubah sebesar sosok orang-orang di Negeri Latanahsilam. Apakah dia telah menemui Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab dan berhasil mendapat pertolongan? Wahai, banyak cerita yang akan kutanyakan padanya… Laeputih angsa tungganganku, terbanglah lebih rendah. Turun di tepi air terjun sebelah timur.”

Angsa putih raksasa tunggangan Peri Angsa Putih keluarkan suara menguik panjang tanda mengerti ucapan sang Peri lalu perlahan-lahan binatang ini melayang turun ke arah timur Air Lajatuh. Sesaat lagi binatang ini akan hinggap di lamping batu dekat air terjun tiba-tiba sepasang mata biru Peri Angsa Putih membesar. Wajahnya berubah.

“Laeputih, jangan turun ke tanah. Melayang ke balik batu sebelah sana. Aku melihat seseorang berusaha mendahului kita menemui pemuda di tepi telaga itu…”

Di tepi telaga Pendekar 212 Wiro Sableng tampak heran ketika tiba-tiba angsa putih raksasa lenyap dari pemandangan. Lalu tahu-tahu sebuah makhluk berwarna coklat melesat di udara. Di lain kejap makhluk ini telah mendarat tujuh langkah di hadapannya. Sang makhluk ternyata adalah seekor kura-kura raksasa berwarna coklat yang memiliki dua sayap lebar hingga mampu melayang terbang di udara. Di atas punggung kura-kura raksasa ini duduk seorang gadis jelita berkulit putih yang rambutnya digulung di atas kepala.

Pakaiannya terbuat dari kulit kayu berwarna jingga. Di dada dan pinggang dihias dengan kalungan bunga. Untuk beberapa lamanya gadis di atas kura-kura itu menatap tajam ke arah Wiro. Lalu lontarkan senyum yang sangat memikat. Barisan gigi-giginya putih, rata berkilat. Sesaat dia rapikan gulungan rambutnya. Senyumnya masih belum pupus ketika tiba-tiba dia melompat dari punggung kurakura raksasa dan sesaat kemudian telah berdiri di hadapan Wiro dengan gaya yang benar-benar mempesona.

“Luhjelita…” desis Peri Angsa Putih dengan suara bergetar, “Aku keduluan…” Hawa cemburu serta merta menjalari diri Peri ini hingga wajahnya yang cantik kelihatan menjadi merah. “Bagaimana dia tahu-tahu bisa muncul di sini. Dulu ketika aku berusaha mendekati Lakasipo, dia juga yang mendahului. Malah memikat lelaki itu hingga bisa dibawa ke tempat kediamannya di Goa Pualam Lamerah. Sekarang dia lagi yang menghambat jalanku. Apakah dia? Kalau tahu kejadiannya akan seperti ini…”

Peri Angsa Putih gigit bibirnya. Matanya tak berkesip memperhatikan gadis cantik penunggang kura-kura terbang bernama Luhjelita itu. Dalam kecemburuan, hatinya juga merasa sangat risau. “Aku khawatir dia sengaja menemui pemuda itu untuk melakukan sesuatu. Bukankah dia tengah mencari satu ilmu? Bukan mustahil pemuda itu berada dalam bahaya. Wahai, apa yang harus aku lakukan?” Peri Angsa Putih kepal-kepalkan sepuluh jari tangannya.

“Pemuda gagah berambut panjang berwajah tampan! Kau pasti lupa padaku! Tapi aku tidak lupa padamu!”

Luhjelita berkata sambil terus mengulum senyum dan melangkah melenggak-lenggok mendekati Wiro. Ketika dia berhenti, jarak mereka hanya terpisah kurang dari dua langkah.

Di balik lamping batu Peri Angsa Putih kelihatan asam parasnya. Dalam hati dia berkata. “Huh! Gadis bernama Luhjelita! Siapa yang tidak tahu sifatmu! Semua lelaki hendak kaujadikan korban kegenitanmu! Bermain senyum di bibir, menyembunyikan keculasan di lubuk hati!”

Di hadapan gadis cantik berpakaian jingga itu murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Coba mengingatingat. Di tempat perlindungannya Peri Angsa Putih diamdiam berkata setengah berdoa. “Kau harus ingat! Kau harus tahu siapa adanya gadis itu! Wahai! Jangan sampai kau tertipu!”

Wiro berhenti menggaruk-garuk kepala. Kini jari-jari tangan kanannya dipakai untuk memijit-mijit keningnya. Lalu mulutnya tersenyum lebar. “Aku ingat siapa adanya kau, gadis cantik bertubuh elok…”

“Wahai jangan keliwat memuji. Wajahku tidak cantik dan tubuhku buruk!” kata gadis di hadapan Wiro tapi sambil tersenyum dan lemparkan kerlingan mata. Dia maju sedikit dan berjingkat hingga dia bisa dekatkan wajahnya ke muka Wiro. “Kalau kau benar ingat siapa diriku, coba kau katakan.”

“Kau bernama Luhjelita. Kita bertemu pertama kali di tepi telaga Lasituhitam. Waktu itu aku bersama dua temanku dan seorang saudara angkat bernama Lakasipo. Kami terpaksa berpisah dengan Lakasipo karena dia harus menolong seorang gadis bernama Luhtinti dan juga karena kau memintanya untuk datang ke sebuah goa. Kalau tidak salah goa itu bernama Goa Pualam Lamerah!”

“Wahai! Ingatanmu ternyata sangat cerah! Secerah fajar menyingsing di pagi hari!” memuji Luhjelita. Namun diamdiam dia merasa khawatir apakah pemuda gagah berambut gondrong itu tahu apa yang kemudian terjadi di dalam goa?

Murid Sinto Gendeng memang tidak suka dengan pujian itu. Dia mendengar dari Lakasipo gara-gara mendatangi Luhjelita di goa tersebut Lakasipo hampir menemui ajal di tangan Hantu Muka Dua. Luhtinti sendiri mendapat celaka (Baca serial Wiro Sableng di Negeri Latanahsilam berjudul “Peri Angsa Putih).

“Luhjelita, apa kemunculanmu ini hendak bertanyakan hal ihwal menyangkut Lakasipo?” Wiro ajukan pertanyaan.

“Wahai, memang banyak yang hendak kubicarakan dengan lelaki gagah berkaki batu itu. Tapi aku tak tahu dia entah berada di mana…”

“Aku menduga Lakasipo adalah kekasihmu. Kalau benar masakan tidak tahu sang kekasih berada di mana?”

Paras Luhjelita menjadi bersemu merah.

“Kena batunya kau wahai Luhjelita!” kata Peri Angsa Putih yang masih terus mengintai di balik lamping batu.

Walau dia merasa jengah dengan ucapan Wiro tadi namun Luhjelita keluarkan suara tawa merdu. “Orang sehebat dan segagah Lakasipo, masakan sudi menjatuhkan hati terhadapaku gadis jelek begini rupa? Dia hanya pantas untuk pasangan para Peri di atas langit sana!” Habis berucap begitu kembali Luhjelita tertawa panjang dan merdu.

Di balik lamping batu, kini Peri Angsa Putih yang menjadi tidak enak. “Jangan-jangan gadis liar itu tahu kalau aku bersembunyi di tempat ini. Apa yang harus kulakukan? Pergi saja dari tempat ini?” Sang Peri sesaat merasa bingung dan juga jengkel. Kalau belum bertemu dan bertegur sapa dengan Wiro rasanya belum puas hatinya. Maka dia mengambil keputusan untuk tetap saja mendekam di balik batu ini.

“Itu tidak mungkin, Luhjelita. Peri tidak mungkin kawin dengan manusia biasa. Aku tahu benar hal itu… Kalau itu sampai terjadi akibatnya sungguh luar biasa…”

“Wahai sahabat muda berambut panjang! Belum berbilang tahun kau berada di Negeri Latanahsilam ini, banyak hal yang sudah kau ketahui. Namun jangan kau menduga bahwa makhluk bernama Peri itu selalu berada dalam kehidupan yang serba suci. Banyak di antara mereka yang tersesat dan melanggar pantangan. Salah satu di antaranya adalah peri yang kawin dengan seorang manusia biasa bernama Lahambalang hingga melahirkan seorang anak kutukan. Berbentuk manusia tapi tubuhnya penuh dengan duri seperti landak! Dan kurasa saat ini atau di masa mendatang semakin banyak para Peri yang menjadi liar dan memilih jalan sesat karena tidak bisa bertahan terhadap tantangan gelora nafsu. Bukan mustahil kau sendiri bisa-bisa sudah menjadi incaran mereka. Hatihatilah kau wahai Wiro…”

Baru saja Luhjelita selesai berucap tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih disertai bentakan menggeledek.

“Gadis bernama Luhjelita! Jahat sekali mulutmu! Bisa apa yang ada di hatimu hingga berani menghina kami bangsa Peri dari atas langit?!”

Wiro terkejut dan cepat melompat mundur karena mendadak ada angin yang menyapu hebat. Luhjelita sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kaget. Pertanda dia memang sudah tahu kehadiran orang yang barusan berkelebat dari balik lamping batu sana. Itu sebabnya malah dia sengaja mengeluarkan ucapan melecehkan tadi.

***

 

DELAPAN

 

WALAU tidak kaget tapi Luhjelita tetap berlaku waspada. Begitu angin dahsyat menerpa, gadis ini segera melompat mundur. Sosoknya melayang setengah jengkal di udara. Begitu turun injakkan kaki di tanah dia keluarkan suara tawa.

“Wahai! Tidak disangka! Ada Peri yang sengaja menyelinap sembunyikan diri untuk mencuri dengar pembicaraan orang! Itu satu bukti bahwa bangsa Peri memang tidak berhati polos dan berjiwa berani!”

Peri Angsa Putih tegak rangkapkan dua tangan di depan dada. Walau mukanya merah dan hati serta telinganya panas mendengar ucapan Luhjelita bahkan sebelumnya sengaja menghantam dengan dorongan angin mengandung tenaga dalam tinggi, namun saat itu dia masih mampu menekan hawa amarah yang menguasai dirinya. Dengan suara tenang sambil permainkan ujung selendang biru yang melingkar di lehernya dia berkata.

“Kepolosan hati dan keberanian juga tidak menjadi milik satu golongan. Tapi tergantung pada diri orang masingmasing. Belakangan ini banyak sekali orang yang pandai bermanis mulut padahal menyimpan hati culas menyembunyikan maksud jahat. Luhjelita siapa dirimu banyak orang yang sudah tahu. Kalau boleh aku bertanya, siapa lagi yang telah menjadi korban bujuk rayumu setelah terakhir kau mendapatkan sesuatu dari Lakasipo lalu meninggalkan lelaki itu begitu saja?”

Berubahlah paras Luhjelita mendengar kata-kata Peri Angsa Putih itu. Gadis berpakaian warna jingga ini melirik sekilas pada Wiro yang berdiri memandang saling berganti pada dua gadis cantik itu sambil garuk-garuk kepala.

“Wajahmu berubah pucat! Wahai! Satu pertanda bahwa ucapanku tadi tepat menghunjam di lubuk hatimu!” Peri Angsa Putih sambung ucapannya.

“Peri Angsa Putih, sungguh kau tidak bermalu. Kau tergila-gila pada Lakasipo! Namun lelaki itu tidak mempedulikanmu. Buktinya dia meninggalkanmu begitu saja dan ikut aku ke Goa Pualam Lamerah! Apakah di atas langit sana tidak ada pemuda yang cocok menjadi pasanganmu hingga kau mengejar-ngejar Lakasipo. Kali ini kau turun ke Latanahsilam pasti tengah mengintai mangsa baru!” Lalu Luhjelita berpaling pada Pendekar 212 Wiro Sableng. “Sahabatku pemuda gagah, berhati-hatilah. Bukan mustahil kau yang ada dalam incarannya!”

“Bermanis mulut, berminyak kata. Menyebar fitnah menyembunyikan keculasan. Itulah salah satu sifat buruk di Negeri Latanahsilam. Semula kusangka hanya kaum lelakinya saja yang berbuat seperti itu. Ternyata kau perempuan dan para gadis sudah ikut ketularan. Sungguh malang dirimu wahai Luhjelita! Kau yang dikenal dengan gadis puluhan kekasih, apakah perlu aku sebutkan satu persatu siapa saja mereka itu? Apakah masih belum puas hingga kini memutar balik kenyataan. Padahal sebenarnya kau tengah berusaha agar pemuda asing itu jatuh di tanganmu? Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan pemuda bernama Wiro Sableng itu. Jika kau merasa mampu merayu dan ingin memilikinya silakan saja. Akan kulihat apakah dia mau ikut bersamamu!”

Ditantang seperti itu panaslah hati Luhjelita. Dalam hati timbul tekadnya, apapun yang terjadi Wiro harus bisa diajaknya pergi.

“Peri dari atas langit! Jangan keliwat takabur karena merasa diri paling sakti dan paling cantik! Aku akan buktikan padamu sebentar lagi bahwa pemuda ini akan sudi ikut bersamaku. Tapi sebelum itu kulakukan, aku ingin memberi pelajaran bersopan santun padamu!”

Habis berkata begitu Luhjelita dorongkan tangan kanannya ke arah Peri Angsa Putih. Selarik sinar berwarna jingga menggebubu. Peri Angsa Putih berseru kaget dan cepat menghindar sembari kibaskan lengan pakaiannya yang berupa gulungan sutera putih.

Dessss!

Sinar jingga serangan Luhjelita laksana menghantam bantalan kapas lalu buyar. Tahu bahwa dalam kekuatan hawa sakti dia tak bakal dapat mengungguli sang Peri, Luhjelita menyergap ke depan, lancarkan serangan tangan kosong. Cepat dan beruntun tak berkeputusan. Mendapat serangan sangat gencar begitu rupa Peri Angsa Putih tetap berlaku tenang. Gerakan-gerakannya sebat dan enteng. Namun karena kalah cepat dengan serangan berantai yang dilancarkan lawan, jurus demi jurus sang Peri akhirnya tertekan dan terdesak hebat. Melihat hal ini Pendekar 212 Wiro Sableng segera berteriak.

“Hentikan perkelahian!”

Tapi tak satupun dari dua gadis cantik itu yang mau mendengar. Mau tak mau murid Sinto Gendeng terpaksa melompat ke tengah kalangan perkelahian. Tapi dia ketiban nasib sial. Dia melintang di antara dua gadis itu pada saat Peri Angsa Putih lancarkan satu pukulan kilat ke arah Luhjelita. Namun karena sosok Wiro melintang di depan maka hantaman Peri Angsa Putih mendarat telak di dada kanan sang Pendekar.

Bukkkk!

Wiro terjajar ke belakang sampai tiga langkah. Salah satu lututnya tertekuk dan tubuhnya hampir roboh kalau dia tidak cepat pergunakan tangan kanan untuk bertopang ke tanah. Peri Angsa Putih terpekik pucat ketika melihat apa yang terjadi. Saat itu justru tamparan tangan kanan Luhjelita berkelebat ke depan.

Plaaakkk!

Tamparan keras mendarat di pipi kiri Peri Angsa Putih. Peri bermata biru ini terpekik kesakitan. Darah mengucur di sudut kiri mulutnya. Meski menahan sakit akibat pukulan yang kesalahan menghantam dadanya, namun melihat darah yang mengucur di sudut pipi Peri Angsa Putih, Wiro jadi memelas. Selain itu dia merasa ikut bersalah. Peri Angsa Putih berlaku lengah karena tadi telah kesalahan tangan memukul dirinya. Dengan cepat dia robek lengan kiri baju putihnya lalu menyeka darah di pipi sang Peri. Belum sempat darah itu disapunya tiba-tiba Luhjelita menarik tangan kiri Wiro seraya berkata.

“Wiro! Tak ada gunanya berbaik hati pada Peri bermata biru itu. Apa kau tidak tahu kalau Hantu Tangan Empat kakeknya adalah kaki tangan Hantu Muka Dua! Kematianmu dan kawan-kawan sudah masuk dalam rencana mereka!”

“Aku sudah tahu siapa Hantu Tangan Empat, siapa pula Hantu Muka Dua!” jawab Wiro seraya berusaha menarik tangannya yang dibetot.

Namun entah apa yang dilakukan Luhjelita saat itu mendadak Wiro merasakan tubuhnya sebelah kiri menjadi lemas. Di lain saat dia sudah ditarik naik ke atas punggung kura-kura raksasa. Binatang ini segera mengepakkan dua sayapnya.

Melihat apa yang terjadi Peri Angsa Putih cepat berteriak. “Wiro! Jangan dengar kata-katanya! Jangan ikut bersama dia! Dia justru adalah kekasih Hantu Muka Dua!”

Di atas kura-kura raksasa bernama Laecoklat itu Pendekar 212 jadi bingung. Dia berusaha hendak melompat turun. Namun gerakan kura-kura raksasa sebat sekali. Begitu mengepakkan sayap binatang ini sudah berada hampir dua puluh tombak di udara. Murid Sinto Gendeng tak bisa berbuat apa-apa selain mendekam duduk di atas punggung kura-kura sambil pinggangnya dipegangi oleh Luhjelita.

“Hendak kau bawa ke mana aku?” tanya Wiro.

“Tenangkan hatimu. Tak usah takut! Aku tidak punya niat buruk padamu. Aku hanya ingin membicarakan beberapa hal. Untuk itu kau akan kubawa ke tempat kediamanku di Goa Pualam Lamerah.”

Mendengar disebutnya nama goa itu, otak sang Pendekar bekerja cepat. Menurut cerita Lakasipo ketika dia dibawa Luhjelita ke goa itu, justru di tempat itulah dia hampir terbunuh di tangan Hantu Muka Dua.

“Luhjelita, jika kau memang hanya punya maksud membicarakan sesuatu, mengapa harus ke Goa Pualam Lamerah? Turun saja di lereng bukit sana!” Wiro menunjuk ke arah lereng sebuah bukit sambil diam-diam kerahkan tenaga dalamnya ke bagian tubuh sebelah kiri yang tadi mendadak terasa lemas.

“Aku ingin memperlihatkan padamu betapa indahnya tempat kediamanku. Lagi pula jika sewaktu-waktu kau butuh tempat berteduh, apa salahnya kau menetap di sana…”

“Aku berterima kasih pada tawaranmu. Tapi aku lebih suka kita turun di lereng bukit itu. Kita bicara di sana!”

“He… Kalau aku tidak mau memenuhi permintaanmu, apa yang hendak kau lakukan wahai pemuda gagah?”

bertanya Luhjelita sambil tangan kanannya menggelung pinggang Wiro lebih erat dan hembusan nafasnya menghangati tengkuk murid Eyang Sinto Gendeng itu.

“Kalau kau tidak mau mendengar permintaanku, berarti kau memilih mati berdua!”

“Wahai! Apa maksudmu Wiro?” tanya Luhjelita seraya kerenyitkan kening.

“Akan kuhancurkan kepala kura-kura coklat ini!”

“Kau tak akan tega melakukan hal itu,” kata Luhjelita pula menganggap enteng.

“Kau benar-benar ingin menyaksikan sendiri?!” kata Wiro seraya kepalkan tinju kanannya dan kerahkan ilmu pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung. Ini adalah ilmu kesaktian yang didapat Wiro dari Tua Gila di Pulau Andalas. Jangankan kepala kura-kura raksasa itu, batu karangpun bisa hancur jika kena dihantam.

Luhjelita tertawa merdu. Sambil mengusap punggung Wiro dia berkata.

“Mati berdua dengan seorang pemuda gagah! Wahai betapa indahnya!” ujar Luhjelita.

“Tapi siapa yang inginkan mati? Hik… hik… hik…! Baiklah Wiro. Kuturuti maumu. Kita turun di lereng bukit yang kau tunjuk tadi!” Luhjelita mengetuk punggung kura-kura raksasa. Binatang ini berputar lalu melayang ke arah lereng bukit di sebelah barat.

***

DI TEPI telaga Peri Angsa Putih memandang ke langit, memperhatikan kura-kura raksasa melayang tinggi. Jika dituruti amarah hatinya ingin dia melesat mengejar lalu menyerang dengan serangan mematikan yakni sepasang sinar biru sakti yang bisa menyembur dari dua matanya. Namun kalau hanya akan ikut mencelakai Wiro, tak ada gunanya. Penuh kesal gadis ini akhirnya hanya bisa menundukkan kepala, tutup wajahnya dengan kedua tangan. Sesaat kemudian baru dia menyadari kalau dia masih memegang robekan lengan baju si pemuda yang tadi diberikan untuk menyeka darah dari luka di sudut bibir akibat tamparan Luhjelita.

“Aku memukul tubuhnya. Pasti dia kesakitan sekali. Tapi dalam keadaan seperti itu dia masih ingat pada cidera yang kualami akibat tamparan gadis liar itu. Wahai! Dia sengaja merobek lengan bajunya dan berusaha mengusap darah di sudut bibirku. Wahai… Kalau saja aku bisa membaca isi hatinya…” Peri Angsa Putih tekapkan robekan baju Wiro itu ke wajahnya. Sepasang matanya berkacakaca.

“Aku khawatir akan keselamatannya. Aku harus bisa mengejar kura-kura terbang itu dan membuat perhitungan dengan Luhjelita…”

Peri Angsa Putih cepat memutar tubuhnya untuk segera menemui Laeputih si angsa raksasa. Tapi begitu dia membalik, begitu dia terkejut. Karena tepat di hadapannya tegak berdiri Peri Bunda. Menatap ke arahnya dengan pandangan sayu seraya berkata.
“Kau benar, kau turun ke Negeri Latanahsilam bukan untuk menemui Lakasipo…”

“Peri Bunda, tentunya kau sudah sejak tadi berada di sini. Mungkin juga berkesempatan melihat apa yang terjadi. Wahai, saat ini tak dapat aku bicara berpanjang lebar. Aku harus pergi. Aku harus melakukan sesuatu…”

Lalu Peri Angsa Putih melangkah melewati Peri Bunda, melompat naik ke atas angsa raksasa. Sesaat setelah Laeputih lenyap di batas pemandangan, Peri Bunda masih tegak di tempatnya. Beberapa kali dia menarik nafas dalam dan menatap ke arah air terjun. Air terjun yang menggemuruh jatuh seolah terasa seperti gemuruh hatinya.

“Tidak bisa kusalahkan kalau gadis itu bersikap aneh akhir-akhir ini. Rupanya telah terjadi sesuatu dengan pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu. Ternyata dia memang gagah, jauh lebih gagah dari semua pemuda yang ada di negeri ini. Bahkan Lakasipo bukan apa-apa dibanding dengan dirinya. Apakah Peri Angsa Putih telah jatuh hati pada pemuda itu? Apakah akan terjadi lagi pelanggaran yang bisa membawa akibat besar? Kegegeran lahirnya Hantu Jatilandak masih belum pupus. Kutuk masih belum berakhir. Sekarang agaknya akan terjadi lagi satu masalah yang jauh lebih hebat. Kalau semua akan berakhir seperti itu lalu bagaimana dengan diriku sendiri…? Luhjelita bukan gadis sembarangan. Ilmunya tinggi. Mampukah Peri Angsa Putih menghadapinya dan menyelamatkan pemuda itu? Wahai, mungkin dia membutuhkan bantuanku…”

Peri Bunda melangkah ke tepi telaga lalu menatap wajahnya dalam ke permukaan air yang mengalun lembut.

“Usiaku memang tidak semuda Peri Angsa Putih. Tapi kecantikan wajahku tidak kalah walau dia memiliki sepasang mata biru. Kedudukanku yang lebih tinggi darinya mungkin bisa membendung hasrat yang tersembunyi di hati sanubarinya…”

“Peri Bunda, apa maksud ucapanmu barusan?”

Tiba-tiba ada suara menegur. Peri Bunda tersentak kaget dan cepat berpaling. Lalu buru-buru dengan wajah mendadak pucat dia menjura dan letakkan dua tangan yang dirapatkan di atas kepala.

“Peri Sesepuh…” kata Peri Bunda pula. Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Dia tidak berani menatap wajah Peri gemuk yang mengenakan pakaian merah itu. Dalam hati dia bertanya-tanya, bagaimana pimpinan tertinggi dari segala Peri yang ada di atas langit ini tahu-tahu bisa berada di tempat itu. “Jangan-jangan dia telah mengetahui dan mendengar pembicaraanku dengan Peri Angsa Putih…”

“Peri Bunda, saat ini aku terpaksa menegurmu dengan keras. Masalah yang ditimbulkan Luhmintari dan Lahambalang hingga melahirkan Jatilandak masih belum terselesaikan. Apakah kau hendak menambah masalah baru wahai Peri Bunda?”

Peri Bunda hanya bisa tundukkan kepala, tak bisa menjawab.

“Jangan berdiam diri saja Peri Bunda. Aku ingin mendengar penjelasanmu!”

“Maafkan saya Peri Sesepuh. Sebenarnya saya turun ke Negeri Latanahsilam ini hendak mengikuti Peri Angsa Putih. Sejak beberapa hari ini saya lihat sikap dan bicaranya aneh…”

“He… Lalu sikap dan bicaramu sendiri bagaimana?”

tanya Peri Sesepuh pula yang kembali membuat Peri Bunda menjadi tak bisa menjawab. “Peri Bunda, aku minta kau segera kembali ke Negeri Atas Langit…”

“Tapi bagaimana dengan Peri Angsa Putih? Saya khawatir dia berada dalam keadaan bahaya…”

“Diri Peri Angsa Putih tak perlu kau khawatirkan. Biar aku yang mengurusi. Hanya harap katakan padaku ke mana kira-kira perginya orang-orang itu. Termasuk Peri Angsa Putih…”

“Kemungkinan besar mereka menuju ke Goa Pualam Lamerah,” menjelaskan Peri Bunda.

“Kalau begitu biar aku yang mengejar ke sana. Kau kembali sekarang juga!”

“Baik wahai Peri Sesepuh…” Peri Bunda memberi hormat lalu tinggalkan tempat itu.

Peri Sesepuh usap wajahnya yang selalu keringatan.

Lalu sambil gelengkan kepala dia berkata sendiri. “Pemuda asing bernama Wiro Sableng, tidak ditolong salah, ditolong juga salah. Apa yang harus kulakukan terhadapmu?”

***

 

SEMBILAN

 

DI LERENG bukit yang sejuk dan sunyi, Pendekar 212 Wiro Sableng tegak berdiri sementara Luhjelita enak saja membaringkan diri di tanah di atas rerumputan. Matanya tak lepas-lepasnya menatap wajah si pemuda sedang senyum terus bermain di bibirnya yang merah. Sikapnya benar-benar menantang dan mengundang.

“Kita sudah berada di lereng bukit Sekarang katakan apa yang hendak kau bicarakan?” bertanya Wiro.

Luhjelita balikkan tubuhnya. Menelungkup di tanah sambil dua tangannya ditopangkan ke dagu. Dari tempatnya berdiri Wiro bisa melihat sosok tubuh bagian atas si gadis, putih dan kencang. Dalam hati murid Sinto Gendeng berkata. “Aku banyak mendengar sifat aneh gadis ini dari Lakasipo. Aku harus berhati-hati…”

“Wahai Wiro,” Luhjelita berkata. “Kita hanya berdua di tempat ini. Ke manapun mata dilayangkan terbentang pemandangan indah. Mengapa harus buru-buru membicarakan segala urusan?”

Wiro tersenyum. “Kau membawaku karena katamu ada yang hendak kau bicarakan. Jika kau tidak mau segera bicara biar aku yang bicara duluan.”

“He… Bicaralah, aku ingin mendengarkan,” kata Luhjelita pula sambil melontarkan senyum dan kedipkan matanya.

“Apa betul kau kekasih Hantu Muka Dua?”

Sepasang alis mata Luhjelita menjungkat ke atas. Dua matanya dibesarkan. Lalu suara tawanya yang panjang dan merdu mengumandang di lereng bukit itu. “Kau rupanya keliwat mempercayai kata-kata Peri Angsa Putih…”

“Lakasipo pernah menceritakan padaku tentang kejadian di Goa Pualam Lamerah, tempat kediamanmu…”

“Wahai! Coba jelaskan apa yang diceritakannya…”

“Di goa itu kau melakukan sesuatu terhadapnya…”

“Sesuatu apa?”

“Lakasipo sendiri tidak tahu pasti. Yang jelas kau meninggalkannya begitu saja di goa itu dan tahu-tahu muncul Hantu Muka Dua. Apa tujuanmu? Kau mengundang Lakasipo ke goamu. Di saat yang bersamaan Hantu Muka Dua muncul di situ! Kalau tak ada hubungan apa-apa bagaimana Hantu Muka Dua bisa datang ke Goa Pualam Lamerah? Lalu pada Lakasipo, Hantu Muka Dua sendiri mengatakan bahwa kau adalah kekasihnya!”

Luhjelita keluarkan suara berdecik berulang kali dari mulutnya. Kepalanya digeleng-gelengkan dan matanya dibesarkan memandang ke langit. “Hantu Muka Dua makhluk gila basa! Aku hanya memberi senyum dan bicara ramah. Dia telah menganggap aku kekasihnya!

Wahai! Sungguh gila! Aku memang bukan manusia apa-apa. Kecantikanku tidak ada artinya dibanding Peri Angsa Putih yang kau kagumi itu! Tetapi aku tidak terlalu tolol untuk mau jadi kekasih Hantu Muka Dua…”

“Kau mengharapkan sesuatu dari makhluk itu. Sebagai imbalannya…:”

“Kujual diriku padanya?! Begitu bukan terusan ucapanmu? Hik… hik… hik! Aku belum buta, aku belum pikun dan tidak picik. Jika di usia semuda ini aku harus jatuh cinta, masakan aku jatuh cinta pada Hantu Muka Dua, sementara masih banyak pemuda gagah di Negeri Latanahsilam ini? Aku tidak malu-malu mengatakan bahwa aku kagum terhadapmu. Tapi aku juga maklum dan tahu diri siapa diriku!”

“Luhjelita, dengar dulu. Aku…”

“Sudahlah Wiro, tadinya memang ada beberapa hal yang hendak aku tanyakan padamu. Tetapi sebaiknya kubatalkan saja. Aku mendengar suara aliran air di kejauhan. Aku ingin mandi. Pertemuan kita cukup sampai di sini saja…”

“Tunggu dulu!” seru Wiro.

Tapi Luhjelita seperti merajuk dan melompat ke balik pohon. Sebelum itu dia memberi tanda pada Laecoklat agar kura-kura raksasa itu terbang mengikutinya dari udara.

Ternyata Luhjelita memiliki ilmu lari bukan sembarangan. Walau Wiro kerahkan kepandaian tetap saja dia tertinggal belasan tombak di belakang. Di kejauhan kelihatan sebuah telaga kecil di tempat ketinggian. Dari sebuah celah bebatuan air telaga mengalir ke tempat rendah membentuk sungai kecil. Luhjelita lari menuju telaga di tempat ketinggian itu. Wiro yang hendak mengejar mendadak hentikan larinya ketika dilihatnya di tepi telaga Luhjelita menanggalkan pakaian lalu mencebur masuk ke dalam air.

Mau tak mau sang pendekar terpaksa hentikan pengejarannya. Malah dia melangkah berbalik surut dan akhirnya duduk di balik serumpun semak belukar, mencelupkan ke dua kakinya ke dalam sungai kecil yang airnya berasal dari telaga, tak berani memandang ke jurusan telaga.

Setelah menimbang-nimbang sesaat akhirnya Wiro memutuskan untuk tinggalkan tempat itu. “Daripada cari perkara dengan gadis itu, lebih baik aku pergi saja. Aku harus segera menemui Naga Kuning dan Si Setan Ngompol. Bagaimana keadaan mereka. Apa mereka telah mendapat tanda untuk meneguk obat yang bisa membesarkan tubuh mereka?” Baru saja Wiro mengangkat kakinya dari dalam sungai kecil tiba-tiba pandangannya membentur sekuntum bunga mawar berwarna kuning dihias dua helai daun hijau, meluncur di permukaan air sungai menuju ke arahnya.

“Bunga mawar kuning. Bagus sekali. Belum pernah aku melihat bunga mawar seperti ini…” kata Wiro. Lalu dia membungkuk mengambil bunga itu. Seperti kebiasaan orang begitu bunga dipegang murid Eyang Sinto Gendeng ini langsung dekatkan ke hidungnya lalu mengendus bunga itu. “Heiii… harum sekali,” kata Wiro pula. “Bunga sebagus ini dari mana datangnya?” Pendekar 212 memandang ke arah telaga. “Eh…!” Kening Wiro mengerenyit. Dikedipkedipkannya matanya. Lalu diusapnya. “Aneh, apa yang teriadi dengan mataku. Pemandanganku mendadak kabur. Lebih aneh lagi, dadaku sesak. Kepalaku seperti pusing!”

Wiro pandangi bunga yang dipegangnya. Sedekat itu sang bunga berada di depan matanya namun dia tak bisa melihat dengan jelas. “Ada yang tidak beres! Bunga mawar kuning yang barusan kucium. Jangan-jangan mengandung racun jahat! Celaka!”

Wiro mulai huyung. “Menurut Eyang Sinto Gendeng aku kebal segala macam racun. Tapi racun bunga itu pasti jahat sekali…”

Dalam keadaan seperti itu, sebelum tubuhnya roboh Wiro segera susupkan tangannya ke balik pakaian. Dengan cepat dia memegang gagang Kapak Maut Naga Geni 212 lalu mengatur jalan nafas dan kerahkan tenaga dalam menolak racun jahat yang memasuki jalan pernafasan dan peredaran darahnya. Tubuhnya terasa hangat sesaat. Hawa sakti yang ada dalam senjata mustika itu berusaha mendorong keluar racun jahat yang tersedot Wiro. Namun racun dalam bunga jauh lebih hebat. Setelah megapmegap berusaha menarik nafas dalam Wiro akhirnya roboh tertelentang di tepi sungai kecil. Walau dia tidak pingsan dan ingatannya tidak hilang sama sekali, namun pemandangannya sangat kabur dan sekujur tubuhnya terasa lemas.

Dalam keadaan tidak berdaya seperti itu tiba-tiba ada satu bayangan guram tegak di hadapannya. Bayangan ini diam sesaat lalu membungkuk dan berlutut di sampingnya. Wiro merasa ada seseorang meraba tubuhnya. Tengkuknya merinding namun dia tak bisa bergerak tak mampu bersuara. Lalu rabaan itu turun ke bawah. Terasa ada tangan-tangan yang dengan cepat membuka ikatan celana yang dikenakannya.

“Heeee… Ada senjata aneh. Berbentuk kapak bermata dua. Ini apa lagi… Sebuah batu hitam… Aku tidak butuh dua benda ini…”

Wiro sempat mendengar suara orang berucap. Tapi tidak pasti apa itu suara lelaki atau suara perempuan. Datangnya seolah dari jauh sekali.

“Gila… Apa yang dilakukan makhluk berbentuk bayangan ini!” Wiro masih bisa membatin. Lalu lapat-lapat seolah berada di kejauhan Wiro mendengar suara seseorang keluarkan pekik kejut perlahan dan tertahan. Kemudian celananya ditarik orang ke bawah. Pada saat itulah mendadak kesunyian di tepi sungai kecil di lereng bukit itu dirobek oleh suara tambur.

Orang yang tengah menggerayangi Pendekar 212 tersentak kaget. Dia berusaha bertindak cepat namun si pemukul tambur sudah muncul di balik pohon sana. Di atas kepalanya dia menjunjung sebuah payung terbuat dari daun kering. Dari mulutnya meluncur suara nyanyian.

“Na… na… na… Ni… ni… ni! Ada apa di sana, ada apa di sini! Meraba ke balik celana. Pasti tersentuh si pundipundi! Na… na… na! Ni… ni… ni!”

“Celaka! Aku tak punya kesempatan! Bagaimana tua bangka sinting itu bisa muncul di sini!”

Baru saja orang itu berkata begitu tiba-tiba sebuah benda yang bukan lain adalah payung daun kering menyambar ke arahnya. Tahu gelagat tidak baik, orang yang tengah menggerayangi Wiro tak berani menghantam payung aneh itu. Dengan cepat dia jatuhkan diri ke tanah, bergulingan lalu lenyap di balik semak belukar di bagian bawah sungai kecil. Sesaat kemudian sebuah benda tibatiba memukul bagian tengah perut Pendekar 212 Wiro Sableng. Tepat di bagian pusar! Benda itu bukan lain adalah ujung tangkai payung daun kering yang tadi menyambar di udara seolah hendak menyerang sosok yang berada di dekat Pendekar 212.

***

 

SEPULUH

 

PENDEKAR 212 Wiro Sableng pulih keadaannya seperti semula. Terheran-heran dia duduk menjelepok di tanah di tepi sungai kecil itu. “Apa yang terjadi dengan diriku?” Dia bertanya dalam hati.

Memandang ke kiri dilihatnya Kapak Maut Naga Geni 212 serta pasangan batu hitam tergeletak di tanah. Cepat dua senjata mustika ini disimpannya ke balik bajunya. Saat itulah dia menyadari bahwa ikatan tali celana putihnya terbuka dan celana itu sendiri merosot sampai ke pangkal paha. “Gila! Apa yang telah aku lakukan? Bagaimana mungkin celana ini bisa lepas begini rupa? Aku ingat betul… walau tadi seperti mau pingsan, lemas dan tidak bisa melihat, tapi aku tidak membuka celana ini!” Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Matanya membentur mawar kuning yang tercampak di tebing sungai. Otaknya berpikir lagi. Pada saat itulah telinganya menangkap suara gendang dibarengi suara orang menyanyi na-na-na ni-ni-ni!

“Kakek Si Pelawak Sinting!” ujar Wiro setengah berseru. Sesaat kemudian seorang kakek bermuka kempot, memiliki dua mata belok dan hidung pesek serta mulut monyong tonggos telah berdiri di hadapan Wiro sambil memukul sebuah tambur dan bernyanyi-nyanyi. Di atas ubun-ubun kepalanya menclok sebuah payung terbuat dari daun-daun kering.

“Pelawak Sinting! Pasti kau yang melakukan! Pasti kau yang punya pekerjaan!” Wiro membentak.

Kakek pesek itu monyongkan mulutnya, simpan gendang dan penabuhnya di dalam kantong panjang, rangkapkan tangan di depan dada lalu bertanya. “Apa katamu?! Aku melakukan apa? Memangnya aku mengerjakan apa?!”

“Kau melepas ikatan tali celanaku lalu merorotkan celanaku sampai ke paha!” kata Wiro pula. “Siapa lagi kalau bukan kau yang melakukan! Sebelumnya kau telah mengerjai aku seperti itu!”

Payung di atas kepala si kakek mumbul sampai beberapa jengkal. Lalu dia tertawa gelak-gelak.

Wiro jadi tambah jengkel dia melompat berdiri. “Kek! Jangan kau tertawa! Mengaku saja! Saya…” Wiro mendadak jadi kelabakan karena baru sadar saat itu dia berdiri dengan tubuh bugil sebelah bawah karena lupa mengikat kembali tali celana putihnya. Si Pelawak Sinting tertawa terpingkal-pingkal sambil menunjuk-nunjuk ke bawah perut murid Sinto Gendeng. Wiro cepat-cepat menarik celananya ke atas dan mengikatnya kuat-kuat, merapikan letak kapak dan batu hitam.

“Anak muda! Terima kasih atas tuduhanmu! Tapi apa perlu aku membukai celanamu! Celana perempuan saja tak ingin aku bukai! Ha… ha… ha…!”

“Di tempat ini tidak ada orang lain kecuali kau. Selain itu kau punya kesukaan jelek, tukang merorotkan celana orang!”

“Waw… waw! Merorotkan celana orang apakah itu satu kejelekan? Aku sendiri pakai celana melorot seperti itu! Lihat saja!” Lalu si kakek putar tubuhnya memperlihatkan pantatnya yang memang tersingkap karena celananya sengaja dilorotkan di bagian belakang! “Anak muda, sebenarnya tadi aku tidak mau mengganggu kau lagi asyik bersama kekasihmu. Bercumbu rayu boleh-boleh saja. Tapi kalau sampai main gerayang-gerayangan ke dalam celana, walau ini tempat sunyi, kurasa sudah melewati batas! Pasti tadi kau keenakan ya diraba-raba seperti itu? Ha… ha…ha!”

“Kek, jangan kau berkata yang bukan-bukan! Apa maksud ucapanmu. Siapa yang bercumbu rayu! Siapa yang meraba-raba! Siapa yang punya kekasih?!”

Si Pelawak Sinting tertawa panjang lalu menjawab.

“Terima kasih kau tidak mau mengaku. Tapi aku melihat dengan mata kepala sendiri…”

“Gila!” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Saya sendirian di tempat ini! Tapi coba katakan apa yang kau lihat Kek?!”

“Terima kasih kau memintaku memberi penjelasan!”

jawab Si Pelawak Sinting. Lalu dia bercerita. “Waktu aku sampai di tempat ini kulihat kau berbaring menelentang, matamu terbuka meram melek tanda kau sedang keenakan. Kan begitu tandanya orang keenakan? Betul tidak? Hik… hik… hik!”

“Teruskan saja ceritamu Kek…” kata Wiro menahan jengkel.

“Di sampingmu duduk seorang gadis. Dia tengah meraba-raba ke balik celanamu…”

“Gila! Kau mengarang cerita atau bagaimana?!”

“Terima kasih kau menganggap begitu! Tapi aku tidak mengarang cerita. Aku melihat dengan dua mataku ini!”

Lalu si kakek buka lebar-lebar matanya yang belok dan monyongkan mulutnya yang tonggos.

“Seorang gadis merabai diriku…!” Wiro menatap tajam wajah tua di depannya. “Apa warna pakaian gadis itu?! Jingga?!”

“Tidak ada warna apa-apa…”

“Tidak ada warna bagaimana! Orang berpakaian walau terbuat dari apa pasti ada warna. Hitam, putih, biru atau merah atau jingga…”

“Gadis itu tidak mengenakan pakaian. Dia jongkok di sampingmu dalam keadaan bugil! Jadi apa salah kalau kukatakan aku tidak tahu warna pakaiannya? Ha… ha…ha… ha!”

“Edan! Benar-benar edan…!” kata Wiro sambil menggaruk kepalanya habis-habisan.

“Sekarang setelah ketahuan kau pura-pura marah. Tadi waktu diraba-raba kau diam saja keenakan…”

“Kek, jangan kau menduga yang bukan-bukan. Sesuatu yang aneh telah terjadi dengan diriku…”

“Kau betul anak muda. Sekarang sebaiknya kau periksa bagian bawah perutmu. Apa perabotanmu masih lengkap? Jangan-jangan sudah dicopot dan dilarikan gadis bugil itu…”

“Enak saja kau bicara…”

“Eh, jangan berkata seperti itu. Tadi kau bilang sesuatu yang aneh telah terjadi dengan dirimu. Lekas kau periksa di balik celanamu! Kalau kau sampai hidup tanpa perabotan seumur-umur…”

Murid Sinto Gendeng jadi bimbang. Tapi dia merasa malu untuk memeriksa bagian bawah tubuhnya itu.

“Wahai! Bukankah di negeri kelahiranmu ada orang yang punya ilmu aneh dan jahat. Yaitu bisa mencopot dan memasang kembali perabotan orang. Tunggu… kalau tidak salah orangnya berjuluk Datuk Lembah Akhirat…”

Air muka Pendekar 212 jadi pucat. “Bagaimana kau bisa tahu hal itu?” tanyanya dengan suara gemetar (Mengenai Datuk Lembah Akhirat harap baca serial “Tua Gila Dari Andalas”, terdiri dari 11 Episode).

“Aku cuma dengar-dengar saja. Tapi benar, kan? Nah, sekarang apakah kau masih belum mau memeriksa keadaan dirimu?”

Dada sang pendekar jadi berdebar. Tanpa tunggu lebih lama dan tanpa merasa malu lagi segera Wiro longgarkan ikatan tali celananya lalu memperhatikan ke bawah. Masih belum puas dia susupkan tangan kirinya.

“Untung Kek…” kata Wiro dengan wajah lega.

“Untung bagaimana maksudmu?”

“Masih ada Kek. Masih lengkap…” jawab Wiro.

“Kantong menyannya masih ada?”

Wiro mengangguk.

“Lontong tak berdaunnya masih ada?”

Wiro mengangguk lagi.

“Ijuknya juga masih ada?”

“Brengsek kau Kek!”

“Eh, aku tanya ijuknya masih ada atau tidak?!”

“Adaaaa!!!” jawab Wiro keras-keras.

Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak. Wiro memandang ke puncak bukit, ke arah telaga. Sepi, tak ada siapa-siapa. Gadis cantik bernama Luhjelita itu tak kelihatan lagi di sana. Lalu dia memungut bunga mawar kuning yang tergeletak di tanah dan mengacungkannya pada si kakek.

“Kek, seumur hidup baru sekali ini aku melihat bunga mawar berwarna kuning. Ketika tadi aku mengendus keharumannya tiba-tiba saja pemandanganku menjadi kabur…”

“Lekas kau buang bunga celaka itu! Mawar kuning itu bunga beracun yang bisa membunuh. Jangankan manusia, gajah besarpun bisa kelojotan dan menemui ajal jika menciumnya. Kau beruntung tidak sampai mati. Berarti kau menyimpan satu ilmu kesaktian yang bukan sembarangan…”

“Aku tidak punya ilmu apa-apa. Tapi aku ingin bilang terima kasih padamu. Kalau kau tidak muncul mendadak di tempat ini mungkin sesuatu yang lebih buruk telah terjadi atas diriku…”

“Terima kasih kau menganggap aku menolongmu. Padahal tidak…” jawab Si Pelawak Sinting sambil menyeringai.

“Kek, kau mungkin tahu asal-usul bunga mawar kuning itu? Dari mana asalnya… Siapa pemiliknya…”

“Wahai, siapa pemiliknya aku tidak tahu anak muda. Tapi dari mana berasalnya memang aku tahu…”

“Dari mana?” tanya Wiro.

“Mawar kuning berbisa itu hanya tumbuh di lapisan langit ke tujuh. Di alam kehidupan para Peri…”

Wiro terkejut. Dadanya bergetar dan mukanya berubah.

“Kalau begitu ini adalah pekerjaan Peri Angsa Putih!”

“Terima kasih kau pandai menuduh. Tapi jangan sekalikali berprasangka buruk tanpa bukti!” mengingatkan Si Pelawak Sinting.

Wiro garuk-garuk kepalanya. “Saya berkata begitu karena Peri Angsa Putihlah satu-satunya Peri yang saya temui sebelumnya… Saya harus menyelidiki hal ini! Saya harus mencari Peri Angsa Putih dan menanyainya!” Wiro kepalkan tangan kanannya penuh perasaan geram.

“Sudahlah, aku tidak mau ikut campur urusanmu. Aku mau pergi. Apa kau mau ikut?”

“Kau mau menyuruh saya memayungimu lagi, kau bernyanyi dan menari. Dan saya mengikuti ke mana kau pergi?”

Si Pelawak Sinting tertawa bergelak. “Terima kasih kau menyatakan ketidaksenanganmu. Tapi sekali ini aku mengajakmu untuk berbuat pahala!”

“Apa maksudmu Kek? Jangan-jangan kau hendak mengerjai saya lagi,…”

“Sekali ini tidak. Maksudku belum. Aku mau menolong sahabatku si Hantu Tangan Empat dari tekanan Hantu Muka Dua. Jika orang-orang seperti Hantu Tangan Empat tidak ditolong, Hantu Muka Dua semakin merajalela. Hantu Muka Dua telah menculik Luhbarini, istri Hantu Tangan Empat. Perempuan itu disekapnya di satu liang batu tak jauh dari istana yang tengah dibangunnya yakni Istana Kebahagiaan. Dengan menguasai Luhbarini, Hantu Muka Dua bisa memaksa Hantu Tangan Empat melakukan apa saja. Termasuk memerintahnya untuk membunuhmu!”

“Tapi… Saya lihat Hantu Tangan Empat seperti pasrah saja. Tidak berusaha membebaskan istrinya.”

“Dia tidak berdaya. Tidak mampu melakukan apa-apa sekalipun ilmunya tinggi…”

“Kalau saya tidak salah Hantu Tangan Empat masih kakek Peri Angsa Putih. Mengapa para peri tidak turun tangan membantu?”

“Hantu Muka Dua ilmunya sangat tinggi, terkadang sangat aneh. Selain itu dia punya belasan kaki tangan yang juga berkepandaian tinggi. Di antara mereka banyak yang terpaksa atau terjebak masuk perangkap Hantu Muka Dua. Seperti yang terjadi dengan Hantu Tangan Empat. Kalau nekad mungkin dia bisa menyerbu ke tempat kediaman Hantu Muka Dua. Tapi kalau kelak istrinya sendiri menjadi korban apa gunanya? Sekarang aku punya maksud hendak menolong membebaskan istri Hantu Tangan Empat. Kau mau ikut bersamaku?”

“Tentu mau Kek. Aku perlu membayar hutang budi Hantu Tangan Empat yang pernah saya terima…” jawab murid Eyang Sinto Gendeng pula.

“Terima kasih kau punya pikiran begitu. Ayo ikuti aku!”

Si kakek keluarkan tambur dan penabuhnya. Ketika dia siap menyanyi tiba-tiba dia melompat mundur sambil tarik tangan Wiro, menyelinap ke balik serumpunan semak belukar.

“Ada apa Kek?” tanya Wiro.

“Sssstt… jangan keras-keras bicara. Lihat ke depan sana…” Si Pelawak Sinting monyongkan mulut tonggosnya ke arah lereng menurun di bawah sana. Wiro cepat memperhatikan. Dia melihat kobaran api aneh bergerak cepat ke arah timur.

“Celaka! Kita kedahuluan!” ujar Si Pelawak Sinting.

“Lekas ikuti aku!” Sekali bergerak kakek itu sudah berada tiga tombak di sebelah depan.

***

 

SEBELAS

 

SESAAT Wiro merasa bimbang. Tapi ketika dia ingat hutang budi pada Hantu Tangan Empat segera saja dia berkelebat menyusul Si Pelawak Sinting. Wiro tak perlu bertanya apa yang terjadi atau siapa yang tengah mereka ikuti. Di sebelah depan sana dia melihat satu sosok aneh, berlari cepat ke arah timur di mana terdapat kawasan berbatu-batu berwarna kelabu. Sosok itu tidak beda adanya dengan sosok tubuh manusia. Tapi anehnya sekujur badan mulai dari kepala sampai ke kaki dikobari api! Anehnya lagi api itu tidak berwarna merah tapi kebirubiruan pertanda panas dan daya bakarnya lebih hebat dari api biasa!

Sambil lari orang ini memanggul sesosok tubuh. Ketika Wiro memperhatikan, astaga! Kagetlah sang pendekar. Orang yang dipanggul makhluk api itu ternyata adalah si kakek Hantu Tangan Empat! Luar biasanya, walau dipanggul di atas bahu yang dikobari api namun sosok Hantu Tangan Empat tidak ikut terbakar!

“Kek, siapa adanya manusia berapi itu?!” tanya Wiro pada Si Pelawak Sinting.

“Hantu Api Biru! Itu nama panggilannya! Wahai! Dia adalah salah satu dari tokoh hebat di Latanahsilam yang telah kena dibujuk Hantu Muka Dua, dijadikan kaki tangan pembantunya!”

“Celaka kalau begitu! Bagaimana Hantu Tangan Empat bisa jatuh ke tangannya? Kita harus segera membebaskan kakek itu!”

“Jangan gegabah anak muda! Hantu Api Biru tinggi sekali ilmu kepandaiannya. Kita ikuti saja dulu makhluk itu. Kurasa dia pasti akan membawa Hantu Tangan Empat ke sarangnya Hantu Muka Dua. Kalau aku tidak salah menduga di balik kawasan batu kelabu itu terletak liang batu di mana istri Hantu Tangan Empat disekap. Lalu di seberangnya tengah dibangun apa yang dinamakan Istana Kebahagiaan!”

“Saya menurut saja. Makin cepat kita menolong Hantu Tangan Empat dan istrinya makin baik!” ujar Pendekar 212.

Makhluk yang tubuhnya dikobari api biru sampai ke kawasan yang dipenuhi batu-batu besar dan tinggi berwarna kelabu. Dia memandang berkeliling seperti mencari-cari sesuatu. Ketika matanya membentur sebuah batu yang di sebelah atasnya ditumbuhi cendawan hitam, makhluk ini segera berkelebat ke batu itu lalu pergunakan tumitnya untuk menendang batu tiga kali berturut-turut. Wiro bersama Si Pelawak Sinting yang mendekam di balik sebuah batu memperhatikan bagaimana dua buah batu kelabu di depan batu yang ditumbuhi cendawan hitam tiba-tiba bergeser ke samping disertai suara berdesing halus. Di antara dua batu besar yang membuka itu kini kelihatan sebuah liang yang merupakan tangga turun setinggi tiga tombak. Hantu Api Biru segera melompat ke dalam liang batu. Dua buah batu besar kembali keluarkan suara berdesing lalu merapat. Liang batu lenyap dari pemandangan. Si Pelawak Sinting melirik pada Wiro. Dia menunggu sesaat lalu tarik lengan pemuda itu dan melompat ke arah batu pembuka liang. Seperti yang dilakukan Hantu Api Biru, Si Pelawak Sinting hunjamkan tumitnya tiga kali berturut-turut. Dua batu besar serta merta terkuak ke samping.

“Cepat!” ujar Si Pelawak Sinting lalu menerobos masuk ke dalam liang batu.

Wiro mengikuti dengan perasaan tegang. Ketika liang menutup kembali ternyata ruang di bawahnya tidak menjadi gelap. Si Pelawak Sinting sampai di bagian terbawah tangga batu. Kakek ini lalu menyusup ke sebuah lorong. Di depan sana kelihatan cahaya terang dari nyala api di tubuh Hantu Api Biru. Di sebelah ujung, lorong bercabang dua. Si Pelawak Sinting membelok ke kiri. Saat itu timbul tanda tanya di benak murid Sinto Gendeng. Mengapa si kakek langsung saja memilih lorong yang sebelah kiri. Namun dia tidak punya waktu untuk berpikir panjang.

Tak selang berapa lama sosok Hantu Api Biru kelihatan di depan sana. Tegak di sebuah lobang batu yang sangat besar. Menurut perhitungan Wiro lobang itu berukuran tinggi sekitar lima tombak sedang panjang dan lebarnya kira-kira delapan kali delapan tombak. Dari tempatnya berdiri yang berada di ketinggian, Pendekar 212 melihat beberapa sosok tubuh bergeletakan di lantai lobang batu itu. Lalu ada satu sosok tubuh seolah dicetak, terpendam ke dalam salah satu dinding. Lapat-lapat terdengar suara seperti orang merintih.

“Ruangan apa itu Kek,” tanya Pendekar 212 dengan tengkuk agak dingin.

Belum sempat dia mendapatkan jawaban di bawah sana Hantu Api Biru kelihatan turunkan sosok Hantu Tangan Empat lalu tiba-tiba sekali Hantu Tangan Empat dilemparkannya ke dalam lobang besar itu.

Bukkkkk!

Sosok Hantu Tangan Empat bergedebuk di lantai batu. Tidak keluarkan suara tidak juga bergerak.

“Jahanam! Kita harus segera menghajar makhluk api itu Kek!” Wiro mulai tidak sabaran.

“Ini pasti ruang penyekapan! Mungkin istri Hantu Tangan Empat juga ada di sini!”

Si Pelawak Sinting melintangkan jari telunjuknya di atas mulutnya yang monyong lalu berkata. “Ikuti aku…”

Sambil memegang tangan kiri Wiro dia bergerak cepat ke bawah. Begitu kakinya menginjak tepi lobang batu, si kakek berseru, “Hantu Api Biru! Aku datang!”

Sosok yang dikobari nyala api putar tubuhnya. Lalu tertawa mengekeh. “Aku sudah menjalankan tugasku! Bagaimana dengan kau wahai kerabatku?!”

“Jika kau mampu mengapa aku tidak! Lihat siapa di sampingku!” Si Pelawak Sinting menjawab.

Hantu Api Biru memandang pada Wiro yang tegak mulai merasa heran bahkan curiga. Bicara kedua orang itu membuat dia tersentak tidak enak. Hantu Api Biru tertawa mengekeh. Si Pelawak Sinting menimpali. Tiba-tiba, sama sekali tidak terduga oleh murid Eyang Sinto Gendeng, Si Pelawak Sinting dorong tubuhnya. Demikian hebatnya kekuatan dorongan itu membuat Wiro tidak mampu mempertahankan diri dan tak ampun lagi tubuhnya melayang jatuh, masuk ke dalam lobang batu besar! Dalam jatuhnya masih untung Pendekar 212 tidak panik dan kehilangan akal. Dengan cepat dia kerahkan ilmu meringankan tubuh lalu berjungkir balik dua kali hingga begitu jatuh dia tetap berdiri di atas dua kakinya. Di atas sana, di tepi lobang batu, Hantu Api Biru dan Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak.

“Jahanam! Aku tertipu! Kakek sinting itu ternyata kaki tangan Hantu Muka Dua! Mengapa aku jadi sebodoh ini?!”

Wiro memaki habis-habisan. Dia kerahkan hawa sakti ke kaki, siap mengenjot ke atas untuk melesat keluar dari dalam lobang batu. Lobang setinggi lima tombak itu tidak terlalu tinggi untuk bisa dilompatinya. Tapi ketika sosoknya baru mencapai ketinggian tiga tombak tiba-tiba ada hawa aneh datang dari atas, menekan tubuhnya demikian rupa hingga dia terbanting ke bawah. Wiro semakin marah. Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sampai tiga kali dicobanya tetap saja dia terbanting jatuh kembali! Hantu Api Biru dan Si Pelawak Sinting tertawa gelak-gelak sambil menunjuk-nunjuk ke bawah.

“Pelawak Sinting! Kakek sialan penipu! Kalau kau tidak segera keluarkan aku dari tempat ini akan kuhabisi kau saat ini juga!” Wiro mengancam lalu kerahkan hawa sakti ke tangan kanan. Tangan itu mulai dari siku ke bawah serta merta berubah menjadi putih perak pertanda dia siap melepaskan pukulan Sinar Matahari.

“Anak muda, percuma saja. Tak ada satu kekuatanpun yang sanggup menembus Tabir Roh yang mengapung di atas permukaan lobang ini. Lagi pula makhluk yang kau panggil dengan nama Pelawak Sinting itu bukan Pelawak Sinting karena akulah Si Pelawak Sinting sebenarnya!”

Tentu saja murid Sinto Gendeng tersentak kaget mendengar suara itu. Dia berpaling ke dinding sebelah kiri. Astaga! Yang barusan bicara adalah sosok yang mendekam amblas di dalam dinding batu itu! Dan yang paling membuat Wiro melengak besar adalah ketika menyaksikan bagaimana raut muka, bentuk sosok tubuh orang ini sangat sama dan menyerupai Si Pelawak Sinting!

“Bagaimana mungkin!” pikir Wiro.

Di atas sana tiba-tiba terdengar Si Pelawak Sinting berseru. “Pendekar 212 Wiro Sableng, kau dan semua yang ada dalam lobang celaka itu akan menemui kematian secara perlahan-lahan. Mungkin satu tahun, mungkin tiga atau lima tahun. Kalian akan lepas dari kematian jika bersedia tunduk patuh menjadi anak buah pembantu Hantu Muka Dua! Untuk itu orang-orang kami akan datang menanyaimu sekali dalam tujuh hari!”

“Manusia tonggos keparat! Kau rasakan dulu ini!” teriak Wiro marah. Tanpa pikir panjang dia langsung lepaskan pukulan Sinar Matahari! Sinar putih panas menyilaukan berkiblat ke atas.

Bummmm! Bummmm!

Dua letusan keras menggelegar. Lobang batu bergetar hebat. Pukulan Sinar Matahari musnah tanpa bekas pada ketinggian empat tombak! Wiro jatuh terbanting di lantai!

Si Pelawak Sinting tertawa mengekeh. Dia balikkan tubuhnya dan songgengkan pantatnya ke arah Wiro. Ketika bersama Hantu Api Biru dia hendak tinggalkan tempat itu, orang yang melesak di dalam dinding batu berteriak.

“Labodong! Kau makhluk jahanam! Kembalikan payung, tambur dan penabuh milikku! Kalau aku benarbenar menemui ajal di tempat ini rohku akan datang mencarimu dan mencekikmu sampai mampus!”

Si Pelawak Sinting tertawa mengekeh. “Aku memang tidak lagi memerlukan barang-barang busuk ini! Ambil saja kembali!” Dari atas sana Si Pelawak Sinting lalu lemparkan ke dalam lobang payung daun, tambur serta penabuhnya. Lalu sambil tertawa-tawa bersama Hantu Api Biru dia tinggalkan tempat itu.

“Sialan! Benar-benar sialan!” maki Wiro tidak habishabisnya menyesali diri dalam kemarahan yang hampir tidak terbendung.

“Tidak ada kesialan dalam hidup ini wahai anak muda. Yang ada ialah bahwa segala sesuatu yang terjadi atas diri kita sudah diatur oleh para Dewa penguasa alam…”

Wiro hendak memaki tapi ketika sadar yang berucap itu adalah sosok yang melesak ke dinding batu dia segera palingkan kepala.

“Kek, siapa kau adanya?! Bagaimana wajah dan bentuk tubuhmu sangat sama dengan manusia di atas sana yang tadi menyonggengkan pantatnya?” Wiro ajukan pertanyaan.

“Terima kasih! Pertanyaanmu segera akan kujawab. Tapi harap kau lebih dulu turun tangan menolong Hantu Tangan Empat…” Orang yang melesak di dalam dinding batu menjawab.

Mendengar ucapan itu Wiro segera mendekati sosok Hantu Tangan Empat yang tergeletak di lantai ruangan.

“Aneh, dia dilemparkan dari ketinggian sana. Tapi tak ada bekas cidera sedikitpun…” Wiro membatin begitu dia memeriksa keadaan Hantu Tangan Empat. Segera saja dia kerahkan tenaga dalam. Sambil tempelkan dua tangannya ke dada dan pusar si kakek perlahan-lahan Wiro alirkan tenaga dalam.

Sesaat kemudian kakek itu mulai siuman dan buka sepasang matanya. Selagi pemandangannya masih mengabur kakek bermuka datar ini lapat-lapat mendengar suara erangan. Dia kenali betul suara itu. Hantu Tangan Empat cepat bangkit dan duduk. Lalu memandang seputar ruangan. Dia kembali memandang ke arah Wiro. Ingatannya masih belum jernih.

“Anak muda, aku rasa-rasa pernah melihat wajahmu. Di mana aku berada saat ini?”

“Wahai kerabatku Hantu Tangan Empat,” sosok yang melesak di dinding berkata. “Istrimu Luhbarini ada di sudut kiri sana. Keadaannya mengenaskan. Tapi kau pasti bisa menolongnya.”

Mendengar ucapan itu Hantu Tangan Empat segera berdiri. Memandang ke sudut kiri ruangan nafasnya serasa berhenti. Satu sosok tubuh perempuan dilihatnya terhantar di lantai ruangan, kurus mengenaskan, tak bergerak tapi keluarkan suara erangan.

“Istriku Luhbarini! Wahai!” Hantu Tangan Empat berseru setengah menggerung. Lalu dia lari dan jatuhkan diri, memeluk sosok tubuh istrinya kemudian merangkulnya. Suara erangan terputus. Dua mata yang selama ini terkatup, membuka sedikit. Lalu terdengar suara berucap halus dan lirih. “Hantu Tangan Empat, suamiku! Kaukah yang memeluk diriku saat ini…”

“Luhbarini. Ini memang aku suamimu. Hantu Tangan Empat…”

“Ah… Kau kutunggu begitu lama. Mengapa baru datang sekarang?”

Sepasang mata Hantu Tangan Empat berkaca-kaca.

“Maafkan diriku wahai Luhbarini. Keadaan membuatku tidak berdaya. Tapi saat ini aku tidak peduli lagi. Kita harus keluar dari tempat ini sekalipun putus nyawa di badan, mati jazad berkalang tanah.”

Hantu Tangan Empat peluk tubuh istrinya erat-erat. Kedua orang ini saling rangkul dan sama-sama terisak. Wiro hanya bisa memperhatikan dengan perasaan haru. Dia memandang berkeliling. Dalam liang batu itu beberapa sosok manusia dilihatnya bergeletakan di sana sini. Mereka pasti musuh-musuh Hantu Muka Dua yang menjadi korban disekap di tempat ini, pikir Wiro. Dia bermaksud mendekati orang-orang itu kalau-kalau bisa menolong. Namun orang tua yang terpendam di dinding batu tiba-tiba keluarkan ucapan.

“Anak muda, terima kasih. Tapi tak ada gunanya menolong mereka. Mereka semua telah jadi mayat…”

Wiro terkesima dan hentikan langkah. “Kakek di dinding, kau belum menerangkan siapa dirimu. Bagaimana kau sampai disekap di sini dan bagaimana aku bisa menolongmu. Lalu bagaimana kita bisa selamatkan diri keluar dari tempat ini…”

“Aku adalah Labudung, adik kembar dari Labodong, manusia yang padamu mengaku sebagai Si Pelawak Sinting. Sebenarnya akulah Si Pelawak Sinting. Kakakku jatuh dalam bujuk rayu Hantu Muka Dua dan berusaha mengajakku bergabung di Istana Kebahagiaan yang kini tengah dibangun. Aku menolak. Seperti terhadapmu dia menipuku lalu menjebloskan aku ke dalam tempat ini. Anak muda, aku sudah lama menunggumu. Firasat mengatakan bahwa kau yang bisa membawa kami keluar dari tempat ini…”

“Bagaimana caranya?” tanya Wiro bingung sambil garuk kepala. Dia berpaling ke arah Hantu Tangan Empat. “Kek, kau mungkin tahu?” Wiro ajukan pertanyaan.

Hantu Tangan Empat gelengkan kepala. Wiro melangkah mendekati dinding di mana Labudung terpendam.

Si kakek tersenyum lalu berkata. “Aku tahu maksudmu. Kau tak mungkin mengeluarkan aku dari dalam pendaman batu ini. Kau dan Hantu Tangan Empat serta istrinya segera saja berusaha mencari jalan keluar dari tempat ini. Kau datang dari tanah seribu dua ratus tahun mendatang yang lebih maju. Kau pasti bisa mendapatkan petunjuk. Satu hal harus kau ketahui, Labodong berdusta bahwa kita bisa bertahan hidup sampai satu tahun atau lebih. Juga dia dusta bahwa kita akan bebas dan dijadikan pembantu kepercayaan Hantu Muka Dua jika mau tunduk dan patuh pada Hantu Muka Dua. Aku mendapat firasat Hantu Muka Dua akan menghancurkan liang batu ini dan kita akan dikubur hidup-hidup di tempat ini!”

“Gusti Allah! Tolong kami!” kata Wiro dengan suara keras. Dia memandang berkeliling. Dua tangannya bergetar tanda dia kembali mengerahkan tenaga dalam menyiapkan pukulan. Maksudnya hendak menghantam salah satu sudut ruangan batu itu yang mungkin bisa dihancurkan agar dapat jalan keluar.

“Anak muda, bagaimanapun hebatnya tenaga dalammu, apapun senjata yang kau miliki, jangan harap bisa menjebolkan dinding liang batu itu…” kata Labudung alias Si Pelawak Sinting yang sebenarnya.

Kesal dan geram Wiro garuk-garuk kepala dan melangkah mundar-mandir.

“Anak muda…” tiba-tiba Hantu Tangan Empat berkata.

Saat itu dia tengah memapah istrinya dan berusaha melangkah ke arah Wiro. “Setahuku kau mempunyai ilmu mengerahkan hawa sakti yang bisa melihat ke arah kejauhan. Lekas kau pergunakan kepandaianmu itu untuk melihat siapa tahu ada jalan keluar. Aku yakin, pasti ada jalan rahasia jalan keluar dari tempat celaka ini…”

Wiro gigit-gigit bibirnya. Dia berpaling pada Labudung. Orang tua ini tertawa lebar dan anggukkan kepala lalu berucap. “Kalau saja aku bisa menggerakkan tanganku untuk menabuh tambur itu, pasti aku bisa membantumu mencari jalan sambil menyanyi. Sayang diriku kena dipendam manusia celaka Hantu Muka Dua itu…”

Sejak tadi Wiro tidak begitu memperhatikan. Tapi ketika dia melihat sekali lagi ke arah kakek yang terpendam itu dia jadi tertawa geli dan garuk-garuk kepala. Ternyata kakek satu ini juga mengenakan celana yang didodorkan sampai ke bawah pusar. Perlahan-lahan Wiro rangkapkan dua tangannya di depan dada. Aliran darah dan tenaga dalam diatur sedemikian rupa hingga bergerak ke arah kepala. Wiro kemudian kedipkan kedua matanya, menatap ke depan. Kegelapan. Dia hanya melihat kegelapan di depan sana. Dia coba alihkan pandangan mata ke dinding kiri. Tetap saja dia tak bisa melihat apa-apa. Berputar ke dinding sebelah kanan Wiro jadi berdebar. Tak ada petunjuk, hanya kegelapan yang dilihatnya. Perlahan-lahan dia putar lagi tubuhnya. Kini menghadapi dinding batu yang tadi dipunggunginya. Dadanya kembali berdebar. Samarsamar dia melihat sesuatu.

“Aneh, dua benda apa itu…?” Murid Sinto Gendeng membatin. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Kini di belakang dua benda aneh itu dia melihat tegak dua sosok menyerupai sosok manusia.

“Aku mendengar suara sesuatu!” Labudung berucap. Daun telinganya bergerak-gerak.

“Aku juga,” kata Hantu Tangan Empat.

Wiro sendiri belum mendengar suara apapun. Pertanda dalam ilmu mendengar ini dua kakek aneh itu memiliki kepandaian jauh lebih tinggi darinya.

“Suara apa Kek?” tanya Wiro pada Hantu Tangan Empat.

“Seperti suara tanah digangsir orang…” jawab Hantu Tangan Empat sambil usap janggut putihnya.

Wiro buka matanya lebar-lebar. Kerahkan seluruh hawa sakti yang dimilikinya hingga tubuhnya bergetar dan kucurkan keringat. Dia kedipkan lagi matanya dua kali berturut-turut. Sesaat kemudian apa yang tadi dilihatnya kini tampak lebih jelas. Dari mulutnya keluar seruan.

“Tuhan Maha Besar! Pertolongan Gusti Allah sudah datang!” Wiro berseru gembira dan memandang pada Si Pelawak Sinting dan Hantu Tangan Empat.

“Tuhan… Siapa Tuhan yang kau maksudkan itu anak muda? Siapa pula Gusti Allah yang kau sebutkan itu?” Si Pelawak Sinting bertanya.

“Masakan kau…” Wiro cepat sadar. Orang-orang di Negeri Latanahsilam termasuk Si Pelawak Sinting ini mana tahu Tuhan atau Allah. Dia berusaha memberi penjelasan.

“Tuhan adalah Dia yang menjadikan langit dan bumi ini. Termasuk kita semua! Tak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari yang dimilikiNya. Tak ada ilmu kepandaian yang dimiliki siapapun melebihi yang dimilikiNya! Dia Maha Pengasih, Maha Penolong dan Maha Pelindung…”

“Apakah dia sama dengan Dewa wahai anak muda?”

“Sulit bagi saya menjelaskannya Kek. Yang jelas saat ini pertolonganNya segera menjadi kenyataan!”

Baik Hantu Tangan Empat maupun Si Pelawak Sinting sama-sama memandang seputar ruangan batu.

“Aku hanya mendengar, tidak melihat apa-apa. Apakah yang kau sebut Tuhan atau Allah itu hanya bersuara, tidak berbentuk, tidak memperlihatkan diri?”

Wiro tersenyum sambil garuk-garuk kepala. “Kalau tanpa memperlihatkan diri Gusti Allah sanggup menolong kita, apa perlunya Dia memperlihatkan diri!”

“Ah, kalau begitu ingin sekali aku mengenal Tuhan atau Allahmu itu…” ujar Si Pelawak Sinting sambil hendak manggut-manggut tapi mengerenyit sakit karena kepalanya sebelah belakang melekat ke batu!

Sesaat kemudian suara seperti gerinda menderu memenuhi liang penyekapan itu. Lantai dan dinding bergetar hebat. Telinga seperti ditusuk. Tiba-tiba salah satu dinding ruangan jebol besar. Batu-batu berpelantingan. Debu beterbangan. Begitu debu surut ke bawah, muncullah dua sosok makhluk yang membuat Hantu Tangan Empat tersurut sampai dua langkah sementara Si Pelawak Sinting buka matanya yang belok lebar-lebar. Belum lagi habis kaget mereka, ke dalam liang menyusul melesat dua sosok tubuh, satu bersisik, satunya ditumbuhi duri-duri panjang mengerikan!

***

 

DUABELAS

 

DUA SOSOK makhluk yang menerobos masuk pertama sekali adalah sepasang landak raksasa yang dikenal Wiro sebagai Laeruncing dan Laelancip. Lalu di belakang mereka menyusul makhluk bersisik yang bukan lain adalah Hantu Jatilandak. Makhluk ke tiga berbentuk dahsyat. Sekujur kepala, muka dan tubuhnya tertutup sisik hitam sekeras baja. Matanya angker sekali karena hanya berbentuk dua buah tonjolan putih seperti combong kelapa. Dia bukan lain adalah makhluk aneh berkepandaian tinggi yang dikenal dengan nama Tringgiling Liang Batu. Dialah tadi yang bersama-sama dua landak raksasa menggasir tanah, menjebol dinding batu dan menerobos masuk ke dalam liang penyekapan itu! (Untuk lebih mengetahui siapa adanya mereka harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Hantu Jatilandak).

“Tuhan Maha Besar!” seru Pendekar 212 Wiro Sableng setengah berjingkrak. “Kalian semua benar-benar hebat! Kami semua berterima kasih atas pertolongan kalian!”

Wiro mengusap-usap Laelancip si landak betina dan Laeruncing si landak jantan lalu memeluk Hantu Jatilandak yang telah menganggapnya sebagai saudara dan tak lupa menjura hormat kepada Tringgiling Liang Batu.

“Aku banyak mendengar, tapi baru kali ini melihat sendiri kalian semua wahai makhluk-makhluk gagah! Aku dan istri mengucapkan terima kasih atas usaha kalian menolong kami!”

berkata Hantu Tangan Empat.

“Kita harus bergerak cepat!” Tringgiling Liang Batu berkata. “Sebelum menerobos masuk ke sini dari arah barat, kami melihat ada beberapa kelompok orang melakukan sesuatu. Kelihatannya mereka hendak meroboh atau menimbun tempat ini!”

“Apa kataku!” Si Pelawak Sinting berkata. “Hantu Muka Dua jahanam itu benar-benar makhluk Segala Keji! Lekas kalian tinggalkan tempat ini!”

“Kau bagaimana wahai sobatku?” tanya Hantu Tangan Empat.

“Jangan pedulikan diriku! Kalau kalian bisa selamat semua aku sudah senang. Lekas pergi…!”

“Kami tidak akan pergi jika tidak bersamamu!” Selarik sinar putih berkiblat disertai suara menggaung seperti seribu tawon mengamuk.

Traang!

Tangan kanan Wiro bergetar hebat. Kapak Maut Naga Geni 212 memercikkan bunga api terang benderang. Murid Eyang Sinto Gendeng melompat mundur dan membelalak. Senjata mustika yang sangat diandalkannya itu tidak mampu menghancurkan dinding batu di mana Si Pelawak Sinting melesak terpendam. Wiro melirik pada sepasang landak. Dalam hatinya dia membatin. “Dua landak raksasa itu mampu menjebol dinding ini dengan taring-taringnya. Mengapa kapak ini…”

Laeruncing dan Laelancip seolah tahu apa yang ada di pikiran sang pendekar kedip-kedipkan mata mereka lalu keluarkan suara menggereng perlahan. Di dinding sana Si Pelawak Sinting mengekeh.

“Kek, kau ini aneh. Semua orang merasa bingung dan sedih tak bisa menolong mengeluarkan kau dari pendaman batu. Tapi kau sendiri malah tertawa begitu!”

“Na… na… na…! Ni… ni… ni! Aku bukan saja tertawa tapi masih bisa menyanyi. Terima kasih! Kenapa kalian susahsusah pakai bingung dan sedih segala? Sudah lekas pergi.

Tinggalkan tempat ini cepat. Tak usah pedulikan diriku lagi. Siapa tahu wahai anak muda, Tuhan atau Allahmu itu masih ingat diriku dan menolong! Hik… hik… hik…!”

Wiro garuk-garuk kepala mendengar kata-kata Si Pelawak Sinting itu. Hantu Jatilandak berpaling pada Tringgiling Liang Batu yang sudah menganggapnya sebagai cucu sendiri. Maklum arti pandangannya sang cucu ini Tringgiling Liang Batu lalu melompat ke dinding tempat Si Pelawak Sinting terpendam. Sepuluh jari-jari tangannya yang memiliki sisik dan kuku hitam setajam baja langsung ditancapkan ke dinding batu sepanjang sosok si kakek terpendam.

“Hai! Hendak kau apakan diriku! Hendak kau gelitik…?!” seru Si Pelawak Sinting lalu tertawa cekikikan seperti orang kegelian.

Laksana pahat sakti jari-jari tangan Tringgiling Liang Batu menancap dan kepulkan cahaya hitam di dinding batu dan sekaligus membongkarnya. Pecahan batu dan debu beterbangan. Satu lobang besar terbentuk sekeliling sosok si kakek. Sesaat kemudian sambil pegang celananya yang kedodoran Si Pelawak Sinting melompat dari dinding. Begitu injakkan kaki di lantai dia segera menyambar payung daun, tambur dan penabuh miliknya. Kemudian sambil menabuh tambur itu dia tegak membungkuk, tanpa pedulikan celananya yang kembali merosot kedodoran, memberi hormat satu persatu pada semua orang yang ada di situ termasuk Laeruncing dan Laelancip sepasang landak raksasa sambil berulang kali mengucapkan terima kasih.

“Anak muda,” kata Si Pelawak Sinting pada Wiro.

“Tuhan Gusti Allahmu benar-benar hebat! Bagaimana caranya aku berterima kasih padaNya?!”

“Dia Maha Tahu, Maha Mendengar apa isi hatimu. Tak usah mengatakanpun Gusti Allah sudah tahu kalau kau menyukuri pertolonganNya…”

“Ah, begitu…? Aneh juga ya? Hik… hik… hik!”

“Para kerabat! Kita harus segera tinggalkan tempat ini!” Tringgiling Liang Batu berkata.

“Laelancip dan Laeruncing, kau di sebelah depan…” kata Hantu Jatilandak pada dua ekor landak raksasa yang selama sekian tahun memeliharanya di sebuah pulau. Dua landak raksasa itu segera balikkan tubuh dan melesat masuk ke dalam lobang besar di dinding. Hantu Jatilandak menyusul, lalu Hantu Tangan Empat yang saat itu telah memanggul istrinya. Di sebelah belakang Pendekar 212 dan Si Pelawak Sinting lalu di belakang sekali Tringgiling Liang Batu.

Setelah melewati terowongan cukup panjang yang sebelumnya dibuat oleh rombongan Tringgiling Liang Batu, orang-orang itu sampai di satu tempat terbuka di sebelah timur kawasan berbatu-batu. Pada saat itu mendadakterdengar suara gemuruh hebat di belakang mereka. Ketika berpaling terkejutlah orang-orang itu. Kawasan liang batu di mana mereka berada sebelumnya tampak ambruk longsor. Batu-batu besar bergelindingan dahsyat menimbun tempat itu. Di udara debu dan pasir beterbangan sampai beberapa tombak.

“Pasti pekerjaan orang-orang Hantu Muka Dua!” kata Si Pelawak Sinting.

Tringgiling Liang Batu melompat ke depan lalu berkata.

“Ambil jalan ke kiri! Ikuti aku!”

Orang-orang itu segera melakukan apa yang dikatakan Tringgiling Liang Batu. Namun begitu debu dan pasir turun luruh dan pemandangan menjadi jelas kembali, mereka dapati berada dalam keadaan terkurung. Beberapa orang dengan sikap garang berdiri di atas batu-batu besar. Yang pertama adalah Si Pelawak Sinting palsu alias Labodong. Lalu di sebelahnya, di atas sebuah batu datar tegak Hantu Api Biru. Tak jauh di sebelah kiri di atas dua buah batu berdiri sepasang saudara kembar Lagandrung dan Lagandring yang sebelumnya pernah berkelahi adu kekuatan melawan Hantu Tangan Empat dan Pendekar 212 Wiro Sableng! Melihat Lagandring Wiro segera ingat kaca merah bulat milik orang itu yang sampai saat itu masih berada dalam saku pakaiannya.

“Asyik sekali!” tiba-tiba Si Pelawak Sinting berseru.

“Terima kasih kalian berempat memberi kesempatan lolos pada kami dari timbunan batu itu. Juga terima kasih kalian mau susah-susah mengadakan penyambutan atas kedatangan kami! Hanya sayang mana majikan besar kalian penguasa Istana Kebahagiaan yang katanya adalah Raja Diraja Segala Hantu di Negeri Latanahsilam?! Apa masih enak ngorok atau belum cebok dan belum mandi?! Ha… ha… ha!”

“Tua bangka tolol! Nyawa hanya tinggal sekejapan mata malah bicara ngelantur!” Yang membalas ucapan Si Pelawak Sinting adalah makhluk aneh yang sekujur tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki dikobari api warna biru.

“Wahai para sobatku, hari ini mari kita berbagi pahala!” kata Si Pelawak Sinting. “Manusia-manusia kaki tangan Hantu Muka Dua pantas dibasmi. Aku biarlah menghadapi kakakku sendiri Si Pelawak Sinting palsu bernama Labodong itu. Kecuali jika dia mau menyadari dosadosanya, pergi dari sini bertobat seumur-umur! Kalian mau cari pasangan lawan silakan pilih sendiri. Hik… hik… hik!”

Hantu Tangan Empat maju selangkah lalu berkata

“Sebelumnya si kembar Lagandrung senang bermain-main dengan aku! Bagusnya permainan di tepi telaga dulu kita lanjutkan kembali! Ha… ha… ha…!” Saat itu juga Hantu Tangan Empat robah sosok tubuhnya. Rambutnya menjadi merah tegak berjingkrak. Dari kulit kepalanya mengepul asap merah. Empat tangan mencuat dari tubuhnya, bergerak-gerak kian kemari mengeluarkan desau angin dingin menggidikkan. Di atas batu besar Lagandring diam-diam merasa kecut kalau-kalau Pendekar 212 Wiro Sableng akan buka mulut memilih dirinya sebagai lawan. Ternyata Wiro punya jalan pikiran lain.

“Pelawak Sinting sobatku,” katanya pada Labudung.

“Sebenarnya aku ingin sekali memberi pelajaran pada kakakmu si Labodong itu. Tapi karena kau sudah memilihnya jadi lawan, biar aku menghadapi manusia puntung neraka itu yang kabarnya punya nama hebat Hantu Api Biru!”

“Terima kasih kau mau mengerti!” kata Si Pelawak Sinting yang asli lalu tertawa gelak-gelak.

Mendadak Wiro mendengar suara mengiang di telinganya sebelah kiri. “Anak muda, kalau kau memilih Hantu Api Biru sebagai lawanmu, hanya ada satu dari sekian ilmumu yang sanggup menghadapinya. Keluarkan Ilmu Angin Es!”

Murid Sinto Gendeng terperangah dan menoleh ke samping ke arah Hantu Tangan Empat karena dia tahu kakek inilah yang barusan bicara padanya. “Heran, bagaimana dia tahu aku memiliki ilmu itu?” Namun diamdiam Wiro merasa berterima kasih. Jika dipikir memang kekuatan paling ampuh dalam menghadapi ilmu api adalah ilmu angin es yang selama ini hampir tak pernah dikeluarkannya seperti juga Ilmu Belut Menyusup Tanah.

“Kalian semua sudah memilih lawan, biar aku yang jelek ini menghadapi si kembar muda itu!” kata Hantu Jatilandak. Si kembar muda yang dimaksudkannya adalah Lagandring.

“Nasibku jelek! Agaknya aku hanya akan jadi penonton!” kata Tringgiling Liang Batu.

Menganggap enteng Hantu Jatilandak, Lagandring menyeringai buruk lalu berkata. “Sebelum kami mencabut nyawa kalian satu persatu aku harap pemuda asing bernama Wiro lebih dulu mengembalikan kaca merah milikku yang dicurinya di tepi telaga tempo hari!”

Mendengar ucapan itu Wiro segera keluarkan kaca merah yang ada dalam saku pakaiannya. “Orang jelek! Kau inginkan kacamu silakan ambil sendiri! Kalau kau mampu membunuhku kau tentu sanggup mengambilnya!” Wiro acungkan kaca itu ke atas. Tak sengaja sambil mengacung dia usap-usap kaca merah itu. Wiro tidak menyadari apa akibat usapan yang dilakukannya ini. Tiba-tiba tubuhnya berubah besar dan menjadi lebih tinggi. Terus… terus sampai sosoknya mencapai dua kali lebih besar dan lebih tinggi dari semula! Wiro berseru kaget. Semua orang yang berada di pihaknya juga terheran-heran kecuali Si Pelawak Sinting yang tertawa-tawa cekikikan. Hantu Api Biru yang menjadi lawannya diam-diam merasa kecut juga. Karena itu dia memutuskan untuk menyerbu lebih dulu. Sambil melompat ke depan dia hantamkan dua tangannya kiri kanan.

Wusss! Wussss!

Dua larik kobaran api warna biru menggebubu menyambar dahsyat ke arah Pendekar 212. Tubuh Wiro yang besar merupakan sasaran empuk bagi serangan lawan. Murid Eyang Sinto Gendeng berseru keras lalu mencelat ke atas sampai dua tombak. Di bawahnya sebuah batu besar yang kena hantaman dua larik kobaran api langsung terbelah empat dan tenggelam dalam kobaran api biru! Mau tak mau Wiro jadi tercekat juga menyaksikan hal itu.

Dengan keluarkan jurus Tangan Dewa Menghantam Tanah yakni jurus ke enam dari ilmu silat langka yang bersumber pada Kitab Putih Wasiat Dewa dia lindungi dirinya ketika berjungkir balik turun ke tanah. Besar tubuhnya yang dua kali wajar membuat setiap gerakan yang dilakukan Wiro mengeluarkan deru angin keras. Hantu Api Biru cepat mengelak cari selamat. Di saat yang sama Wiro sudah tegak di belakangnya.

Hantu Api Biru menggertak marah walau sebenarnya hatinya mendadak kecut melihat lobang besar yang menganga di tanah akibat pukulan yang dilepaskan Wiro tadi. Cepat dia balikkan badan. Memandang ke depan dia melihat musuh tegak sambil angkat dua tangan tinggitinggi ke atas. Sepasang telapak membuka lebar, diarahkan ke depan sambil digoyang-goyangkan. Tampang Hantu Api Biru menjadi gelisah. Di atas batu dia kerahkan tenaga dalam ke kaki untuk membentengi kuda-kuda yang dibuatnya. Tiba-tiba dia merasakan ada hawa dingin menerpa ke arahnya.

“Jahanam! Ilmu apa yang dimiliki pemuda asing ini!” maki Hantu Api Biru dalam hati sementara sekujur tubuhnya terasa dingin. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Lalu seperti tadi memukul dengan dua tangan sekaligus. Dua larik api biru laksana amukan gelombang menerpa ke depan. Kalau dalam serangan pertama sebelumnya Pendekar 212 selamatkan diri dengan melompat ke udara, kali ini dia tetap tegak di tempatnya, tak bergerak. Rahangnya menggembung. Hanya tinggal satu tombak dua gelombang api biru siap menghantamnya tiba-tiba Wiro pukulkan dua tangannya ke depan.

Suara angin seperti tiupan seribu seruling membuncah udara. Bersamaan dengan itu dua gelombang hawa yang bukan olah-olah dinginnya menyambar. Semua orang yang ada di tempat itu menggigil kedinginan. Hantu Api Biru kerahkan seluruh kekuatan. Dua gelombang apinya bergetar hebat. Dua kakinya goyah. Tiba-tiba dia keluarkan bentakan garang. Kaki kanannya dihantamkan ke batu hingga mengepulkan asap. Bersamaan dengan itu dia dorongkan dua tangannya hingga dua gelombang api biru melesat lebih deras.

Pendekar 212 merasa sekujur tubuhnya bergetar keras dan panas. Dia terjajar lima langkah. Dia berusaha bertahan namun dua gelombang api biru terus merangsak.

Wussss! Wussss!

Wiro berteriak keras, sakit dan kaget. Pakaian putih yang dikenakannya berubah hitam. Hangus! Untung tubuhnya sendiri tidak cidera hanya mengalami rasa panas yang amat sangat.

“Anak muda, jangan menganggap enteng musuh! Kalau kau hanya mengerahkan setengah kekuatan tenaga dalammu, kau tak akan mampu menghadapi Hantu Api Biru. Sebelum kau dipanggangnya hidup-hidup lekas lipat gandakan tenaga dalammu!”

Wiro mendengar suara mengiang di telinga kirinya. Lagilagi Hantu Tangan Empat memberi kisikan menolong sang pendekar. Tanpa menunggu lebih lama Wiro segera kerahkan seluruh tenaga dalamnya sampai-sampai dua kakinya melesak sepertiga jengkal ke dalam batu yang dipijaknya.

Hantu Api Biru melengak kaget ketika melihat serangannya tadi hanya mampu menghanguskan pakaian lawan. Dia lebih kaget lagi sewaktu menyaksikan dua gelombang api birunya perlahan-lahan terdorong berbalik ke arahnya. Makin lama makin menciut. Dia berusaha bertahan. Mendadak ada hawa aneh yang sangat dingin menjalar ke dalam tubuhnya lewat sepasang lengan.

“Jahanam! Ilmu apa yang dimiliki pemuda asing keparat ini?!” rutuk Hantu Api Biru dalam hati. Dia berusaha bertahan. Tubuhnya bergoncang keras. Hawa dingin luar biasa membungkus dirinya mulai dari ubun-ubun sampai ke telapak kaki. Semakin dia bertahan semakin parah keadaannya. Asap putih tampak mengepul dari batok kepala, lobang hidung dan mulut. Jantungnya mendenyut sakit seolah berhenti berdetak. Dari mulut, hidung, telinga dan pinggiran matanya keluar lelehan darah. Wiro dorongkan dua tangannya ke arah lawan. Tak ampun lagi musnahlah dua gelombang api biru. Bersamaan dengan itu tubuh Hantu Api Biru mencelat mental, jatuh tersandar di sebuah batu besar. Sekujur tubuhnya tak berkutik lagi diselimuti lapisan aneh berwarna putih keras dan mengepulkan hawa dingin membeku. Sepasang matanya mendelik tak berkesip.

Kraak… kraaakkk… kraaakkk!

Lapisan putih beku dan dingin berupa kepingankepingan es yang membungkus tubuh Hantu Api Biru pecah-pecah lalu berjatuhan ke tanah. Sosok Hantu Api Biru tetap tak bergerak. Mata terus membelalak tak berkesip tapi dia tidak bisa melihat apa-apa lagi karena saat itu nyawanya telah putus meninggalkan jazadnya!

Wiro yang sempat jatuh terduduk di tanah akibat bentrokan adu kekuatan tadi dengan muka pucat perlahanlahan bangkit berdiri sambil mengatur jalan nafas dan peredaran darahnya.

Kini kita saksikan apa yang terjadi antara Hantu Jatilandak dan Lagandring. Seperti Hantu Api Biru, Lagandring melancarkan serangan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Sebaliknya Hantu Jatilandak begitu menggebrak menyongsong serangan lawan langsung saja lepaskan selusin duri-duri landaknya ke arah lawan. Sama sekali tidak menduga kalau duri-duri itu bisa lepas dari tubuh lawan dan merupakan senjata dahsyat, Lagandring kaget besar dan berseru keras. Dia cepat berkelebat selamatkan diri. Namun hanya sembilan saja duri beracun itu yang bisa dielakkannya. Dalam keadaan berbahaya itu dari samping Lagandrung segera membantu adiknya. Dari kaca bulat putih yang melekat di keningnya dia semburkan sinar maut yang disebut Sinar Darah Putih. Sinar ini laksana kilat menyambar ke arah kepala Hantu Jatilandak.

“Curang pengecut! Aku lawanmu!” Hantu Tangan Empat membentak marah. Sekali berkelebat tinju kanannya tahutahu sudah ada di atas kepala lawan.

Lagandrung membentak garang. Tangan kanannya dipukulkan ke atas menangkis hantaman lawan. Tapi tangan ke dua Hantu Tangan Empat bergerak lebih cepat mencekal lengan kanannya. Terpaksa Lagandrung pergunakan tangan kiri untuk menyodok perut lawannya.

Bukkk!

Praaakk!

Jotosan Lagandrung memang menyusup telak di perut Hantu Tangan Empat hingga tubuh si kakek terangkat satu jengkal ke atas. Walau kena hantaman begitu rupa namun Hantu Tangan Empat sama sekali tidak mengalami cidera. Sebaliknya Lagandrung harus membayar mahal karena kemplangan tangan pertama Hantu Tangan Empat tidak sanggup dikelit ataupun ditangkisnya. Begitu tinju Hantu Tangan Empat mendarat di batok kepalanya tak ampun lagi Lagandrung meraung keras lalu menggelepar di tanah. Orang tertua dari dua saudara kembar ini menemui ajal dengan kepala rengkah mata mencelet!

Suara raungan Lagandrung bukan saja membuat sang adik merinding ngeri, sekaligus tambah kewalahan menghadapi tiga duri landak serangan Hantu Jatilandak yang masih terus mengejarnya. Sambil jatuhkan diri Lagandring lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam cukup tinggi. Namun hanya satu dari tiga duri landak beracun yang sanggup dibuat mental. Dua lainnya menancap di dada kiri dan bahu kanan. Lagandring menjerit keras. Mukanya pucat. Dia berusaha mencabut dua duri itu. Walau berhasil namun racun duri landak telah menjalar ke dalam darahnya. Dia merasakan nafasnya sesak. Lehernya terjulur seolah ada yang mencekik. Sesaat kemudian tubuhnya limbung lalu terkapar di tanah. Kakinya melejang-lejang beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi tanda nyawanya lepas sudah!

Sementara itu perkelahian antara dua kakak beradik kembar lainnya yakni Labudung alias Si Pelawak Sinting asli dengan Labodong atau Si Pelawak Sinting palsu berlangsung seru. Sebagai adik, Labudung memang setingkat lebih rendah kepandaiannya. Namun dia mempunyai kepandaian mengejek dan mempermainkan si kakak hingga Labodong menjadi sakit hati dan termakan kejengkelannya sendiri. Akibatnya serangan-serangan Labodong banyak yang ngawur!

Dari cara dua saudara kembar ini berkelahi baik Wiro maupun yang lain-lainnya mengetahui bahwa walau dua kakak adik itu mengerahkan tenaga dalam yang hebat namun mereka sama sekali seperti sengaja tidak mengeluarkan ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi langka dan mematikan yang mereka miliki. Dalam waktu singkat tiga puluh jurus berlalu cepat dan kelihatan Labodong mulai terdesak. Demi mencari selamat Labodong akhirnya mulai keluarkan pukulan-pukulan sakti sementara sang adik andalkan payung daun, tambur dan penabuhnya. Sambil menari-nari seperti orang sinting payung di atas kepala Labudung bergerak mumbul kian kemari. Setiap putaran yang dibuat payung ini pinggiran payung yang laksana gerinda besar siap membabat kepala, leher atau tubuh lawan. Sementara suara tambur yang ditabuh dengan mengerahkan tenaga dalam membuat tempat itu seperti didera guruh tiada henti. Di satu gebrakan yang tampaknya seperti main-main Labudung secara tak terduga berhasil susupkan sikut kanannya ke rusuk kakaknya.

Kraaaakkk!

Dua tulang iga Labodong patah. Orang ini terjajar ke belakang sambil pegangi rusuknya. Mukanya merah mengelam dan keningnya mengerenyit menahan sakit. Ketika Labudung kembali hendak menggebrak dengan serangan, sang kakak angkat tangan seraya berseru.

“Tahan!” Sambil berteriak Labodong melompat mundur tiga langkah. “Cukup Labudung! Hentikan perkelahian gila ini! Kau mau membunuh kakak sendiri! Wahai!”

“Kau yang minta mampus sendiri! Sekarang apa perlunya menyesali diri!” bentak Labudung.

“Dengar…” kata Labodong pula. “Aku berjanji meninggalkan Hantu Muka Dua. Aku bertobat…”

“Manusia tolol! Coba tadi-tadi kau bilang begitu, tak perlu aku menjatuhkan tangan keras!” kata Labudung.

“Aku minta maaf… Padamu… pada semuanya!”

Labodong menjura berulang kali lalu putar tubuhnya tinggalkan tempat itu.

“Ingat Labodong!” berkata Labudung. “Jangan kau berani lagi mengaku-aku memalsu diri sebagai Si Pelawak Sinting! Jika aku tahu kau mengulangi perbuatan itu, aku akan kocok kepalamu sampai kau benar-benar sinting!”

“Wahai… aku! Aku…” Labodong putar tubuhnya lalu melangkah pergi.

“Tunggu dulu!” tiba-tiba Wiro yang saat itu masih berada dalam keadaan tubuh tinggi dan besar seperti raksasa berseru.

“Anak muda, apa yang kau inginkan dariku?” tanya Labodong.

“Pelawak Sinting palsu, bagaimana aku harus membalas semua budi baikmu selama ini sampai akhirnya kau menjebloskan aku ke liang batu itu!”

“Ah… wahai! Aku tak mengerti maksudmu! Jangan menyebut segala macam budi. Aku…”

“Kalau begitu kau boleh pergi dengan aman. Tapi aku minta sesuatu darimu!” Habis berkata begitu Wiro ulurkan tangan kirinya mencekal pinggang Labodong. Lalu tangan kanannya bergerak menanggalkan celana yang dikenakan si kakek hingga orang ini berada dalam keadaan bugil di sebelah bawah.

“Nah, sekarang kau boleh pergi, Kek. Selamat jalan!” kata Wiro lalu tertawa gelak-gelak. Semua orang yang ada di tempat itu termasuk Labudung ikut-ikutan tertawa.

“Wahai! Bagaimana ini!” Labodong alias Si Pelawak Sinting palsu jadi kalang kabut, berusaha menutupi auratnya dengan kedua tangan. Akhirnya dia menyambar serumpun pohon berdaun lebat. Dengan daun-daun itu ditutupnya tubuhnya sebelah depan lalu lari terbirit-birit tinggalkan tempat itu diikuti gelak tawa semua orang yang ada di situ.

Wiro tiba-tiba hentikan tawanya. Dia memandang pada dirinya sendiri lalu berpaling pada Hantu Tangan Empat.

“Celaka Kek! Tubuhku masih sebesar raksasa begini! Bagaimana aku mengembalikannya ke bentuk semula?”

Hantu Tangan Empat yang saat itu telah merubah diri kembali menjadi kakek bermuka datar tertawa lebar.

“Bukankah lebih enak jadi orang besar seperti keadaanmu sekarang ini, wahai anak muda? Ke manamana kau pasti menjadi perhatian orang… Akan banyak para gadis tergila-gila padamu. Akan banyak orang perempuan ingin mengetahui keadaan auratmu. Nah, apa tidak senang hidup seperti itu? Hik… hik… hik…!”

“Kakek Pelawak Sinting, jangan kau menggodaku! Walah! Bisa repot Kek! Tolong Kek!”

“Anak muda, dulu kau kalang kabut minta tolong agar tubuhmu dibesarkan. Kini kau mendapat berkah dua kali lebih besar! Apa tidak enak?” ujar Hantu Tangan Empat pula sambil menyeringai.

“Jangan kalian mempermainkan diriku. Jika tahu caranya harap segera saja mengatakan!” kata Wiro pula.

“Wahai, yang tahu bagaimana caranya mengembalikan dirimu seperti semula hanya Lagandrung dan Lagandring! Kau lihat sendiri, dua orang itu sudah menemui ajal!” Yang bicara adalah Si Pelawak Sinting. Kakek ini lalu tertawa mengekeh. Membuat Wiro jadi tambah bingung.

“Salah satu dari kalian pasti tahu. Tapi kalian sengaja membuat aku bingung kalang kabut!”

“Aku mau pergi…” Si Pelawak Sinting enak saja bicara.

“Aku juga!” kata Hantu Tangan Empat sambil menggandeng istrinya.

“Kami juga!” kata Tringgiling Liang Batu.

“Sebelum diriku berubah seperti semula jangan ada yang berani pergi dari sini!” kata Wiro setengah mengancam.

Tapi Si Pelawak Sinting malah tambah keras ketawanya. Dia lalu melangkah mendekati murid Sinto Gendeng itu lalu berkata. “Punya otak untuk diolah. Punya akal untuk diasah. Punya pikiran untuk mengingat! Wahai anak muda, sebelumnya bukankah kau sudah pernah melihat Lagandrung dan Lagandring? Sebelumnya bukankah kau sudah menyaksikan di mana mereka meletakkan kaca aneh itu?” Habis berkata begitu si kakek lalu melangkah pergi.

Wiro garuk-garuk kepala. Diperhatikannya kaca merah yang sejak tadi dipegangnya.

“Memang aku yang tolol!” kata Wiro sambil pukul jidatnya sendiri. Dia melirik sebentar pada mayat Lagandrung. Lalu dengan cepat kaca merah itu ditempelkannya ke pertengahan keningnya. Wiro mendengar seperti ada suara berdesing di telinganya kiri kanan. Secara ajaib tubuhnya yang tadi besar kini berubah, kembali ke ukuran semula. Wiro geleng-gelengkan kepala. Menarik nafas lega lalu garuk-garuk kepalanya sambil senyum-senyum sendiri.

 

TAMAT

 

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler