Skip to Content

Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, Agustus 1900

Foto Steven Sitohang

Di sekolah pula Kartini mendapatkan bahan bekal perjuangannya buat pertama kalinya. Ia “masih ingat dengan baiknya masa sekolahnya” itu. Dan salah sebuah yang masih teringat jelas olehnya ialah suatu jam mengaso.

 

                Di bawah pohon-pohon baru yang sedang berkembang kuning di pelataran itu menggerombol-gerombol dengan kacau dan tak teratur gadis-gadis besar dan kecil di atas permadani rumput hijau yang empuk tebal. Begitu panasnya waktu itu, tak seorang pun berniat hendak bermain-main.

                “Ayo, Lesty, berceritalah, atau membacalah buat kami,” rayu seorang gadis coklat, yang bukan hanya karena warna kulitnya, tapi juga karena pakaiannya menunjukkan seorang anak pribumi. Seorang gadis putih yang besar, yang sedang bersandar pada batang pohon serta membaca buku dengan rajinnya, mengangkat pandangnya dan menjawab: “Ah tidak, aku harus meneruskan pelajaran bahasa Prancis ini.”

                “Kan kau bisa lakukan juga di rumah, kan itu bukan pekerjaan sekolah?”

                “Ya, tapi kalau tak rajin aku belajar bahasa Prancis, dua tahun lagi aku tak boleh pergi ke Holland. Dan aku sudah begitu ingin meneruskan sekolah ke sekolah guru. Kalau kelak aku lulus dan menjadi guru, barangkali saja aku ditempatkan di sini, lantas duduklah aku di depan kelas, tidak di dalam kelas seperti sekarang. Tapi, coba katakan, Ni, kau tak pernah ceritakan padaku, kau mau jadi apa kelak?”

                Sepasang mata yang besar menatap pembicara itu dengan herannya.

                “Ayo, katakanlah.”

                Si Jawa itu menggelengkan kepala dan menjawab pendek: “Tak tahu.” Tidak, memang ia tidak tahu, tak pernah ia memikirkannya, ia sangat mudanya dan tiada mempedulikan sesuatu pun. Pertanyaan kawannya gadis kulit putih itu meninggalkan kesan dalam padanya. Pertanyaan itu menyiksanya, tak henti-hentinya ia mendengung pada kupingnya: “Kau mau jadi apa kelak?” Ia berpikir dan berpikir. Hari itu ia menjalani banyak hukuman di sekolah, ia begitu kacau memberikan jawaban-jawaban bodoh kalau ditanyai dan melakukan kesalahan-kesalahan yang paling tolol dalam pelajarannya. Memang tak bisa lain daripada itu, pikirannya tidak pada pelajarannya, tapi masih tetap lekat pada pertanyaan yang didengarnya waktu mengaso.

 

Dan sepenggal pengalaman sekolah ini kelak ternyata menjadi kunci dari perjuangannya yang tak kenal menyerah.

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler