Skip to Content

HARAPAN SEMU LAHIRNYA KRITIK SASTRA

Foto SIHALOHOLISTICK

Oleh: MUHAMMAD SUBHAN

LIMA tahun terakhir, di koran-koran Sumatra Barat, hangat diperbincangkan kelangkaan kritikus sastra. Hal itu menyikapi lahirnya hampir seratusan buku sastra dari tangan pengarang-pengarang Sumatra Barat di dekade yang sama. Ditambah maraknya koran-koran lokal dan nasional yang setiap pekannya menerbitkan karya sastra pengarang-pengarang daerah ini, terutama cerpen dan puisi. Tidak hanya itu, sejumlah “perebutan” penghargaan dari sayembara-sayembara sastra pun, pengarang Sumatera Barat selalu mendapat tempat.

Dari kondisi itu, tentu kita patut bersyukur bahwa gairah menulis karya sastra pengarang-pengarang Sumatra Barat masih sangat tinggi dan diperhitungkan di pentas nasional. Artinya, mereka terus berkarya tanpa peduli karya itu mendapat apresiasi; dipuji/dikritik atau tidak sama sekali. Dan, pada akhirnya, pembaca juga yang akan menjadi hakim. Sebab, pembaca hari ini sudah cukup cerdas, mereka tidak mau didikte, apalagi dipaksa untuk suka atau tidak menyukai suatu bacaan yang mereka baca. Zaman berkembang, terus berubah seiring pergantian masa dan pertukaran waktu.

Saya beruntung ikut diundang sebagai salah seorang peserta Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan Ruang Kerja Budaya (RKB) Padang, Senin 25 November 2013 lalu di Kompleks Bukit Belimbing Indah Blok II C, No. 9, Belimbing, Padang. “Proyek” RKB bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan RI itu, membahas Perencanaan Strategi Kebudayaan di Sumatera Barat ke depan. Dari sejumlah topik bahasan, soal kelangkaan kritikus sastra tak luput dari perbincangan. Dan, pada esai ini, saya sedikit berbagi pandangan soal langkanya kritikus sastra itu.

Semu

Sebagai penikmat sastra, saya ikut mencermati “produk” kritik yang ditulis sastrawan-sastrawan Sumatra Barat, terutama kritik yang ditulis sastrawan yang kapasitasnya sebagai pengarang yang juga kritikus, atau akademisi yang menulis kritik sastra. Dari sejumlah kritik yang ditulis, saya membuat kesimpulan subyektif, mayoritas kritik yang muncul di koran-koran Sumatra Barat baru sebatas kulit, belum isi. Yang lebih memprihatinkan, ada yang menulis kritik di atas kritik, sehingga tidak menyentuh substansi persoalan dan melebar ke mana-mana. Pembaca pun disuguhkan “panggung caci maki” dan penghakiman tak berimbang yang juga tak menyentuh substansi teks sastra.

Salah seorang sastrawan senior (lidah saya agak susah menyebut kata “senior”, sebab di dunia kepengarangan saya kira tidak ada senioritas. Mungkin lebih tepatnya, sastrawan yang lebih awal berkarya—pen) risau atas kelangkaan kritikus sastra di Sumatra Barat itu. Saking risaunya, perlu ada ungkapan—atau lebih tepatnya bersikap skeptis dan sinis—30 tahun terakhir tidak ada karya bermutu dari Sumatra Barat. Lalu, dibuatlah deretan judul karya sastra (terutama novel) yang menurut penilaian subyektif si sastrawan dianggap “bermutu”, khususnya karya hasil produk sayembara. Yang di luar produk sayembara, dipilih beberapa judul saja, itu pun, lagi-lagi, subyektif dan mengedepankan ego pribadi!

Nilai positif dari statement tidak (baca: belum) munculnya karya bermutu di Sumatra Barat itu, adalah membuat sejumlah sastrawan dan kritikus lainnya di daerah ini gerah dan kebakaran jenggot. Tentu tidak semua menerima mentah-mentah pernyataan yang tidak mendasar itu. Yang paling penting, kritikus-kritikus baru mulai bermunculan walau belum sepenuh harap lahirnya kritik sastra bermutu akan tertumpang di pundak mereka.

Tetapi yang lebih mendasar dari itu, menurut hemat saya, pembaca sastra hari ini merindukan kritik sastra ditulis oleh kritikus-kritikus yang lahir dari perguruan tinggi (akademisi). Sebab di perguruan tinggi mereka mempelajari berbagai macam teori sastra, dari Timur hingga Barat, di samping mereka membaca banyak karya sastra. Sebagai langkah awal, selayaknya dosen-dosen sastra menugaskan para mahasiswa mereka mengumpulkan karya sastra mutakhir yang lahir di Sumatra Barat, lalu membaca, membedah, dan menuliskan analisa mereka di koran-koran lokal dan nasional. Sebagai rangsangan, dosen dimaksud menjanjikan nilai A, misalnya, bagi esai-esai kritik mahasiswanya yang terbit di media massa. Bila langkah itu dilakukan, harapan lahirnya kritikus-kritikus sastra bentukan perguruan tinggi tidak lagi jauh panggang dari api.

Di samping itu, pembaca sastra hari ini juga merindukan kritik sastra yang menyentuh substansi teks sastra kembali ditulis sastrawan-sastrawan Sumatra Barat yang lebih awal menulis dan peduli masa depan kesusastraan di daerah ini, namun akhir-akhir ini mereka seperti “menghilang” dari peredaran. Tulisan kritik mereka nyaris tidak ditemukan. Di antara mereka, sebutlah sejumlah nama, yaitu Rusli Marzuki Saria yang puluhan tahun menggawangi halaman sastra Haluan dan masih eksis mengikuti kegiatan-kegiatan sastra di Sumatra Barat. Juga ada Leon Agusta, Darman Moenir (sastrawan yang paling risau atas kelangkaan kritikus sastra di Sumatra Barat), Harris Effendi Thahar, Makmur Hendrik, Gus tf Sakai, Yusrizal KW, dan beberapa nama lainnya. Mereka diharapkan ikut menulis kritik sastra (yang menyentuh substansi teks sastra) di tengah kelangkaan kritikus sastra hari ini. Tetapi nyatanya, maaf, mereka terlalu berasyik-masyuk dengan kerja kepengarangan mereka sendiri.

Adalah benar kerja mengarang dan kerja kritik dua hal yang berbeda, tetapi tidak “haram” melakukannya secara bersamaan. Karya sastra yang lahir lima tahun terakhir yang jumlahnya hampir seratusan buku itu, tentu berharap ada sentuhan kritik yang konstruktif dan apresiatif dari para pendahulu mereka yang beberapa namanya tersebut di atas dan “peduli” kesusastraan yang tidak sekadar “mengeluh” atas kelangkaan kritikus sastra. Dari kritikan-kritikan itu, tentu akan memberikan ruang manfaat yang sangat besar dan bernilai edukasi, baik bagi pengarang yang baru muncul maupun bagi masyarakat pembaca sastra secara umum di Sumatra Barat. Kritikus adalah jembatan penghubung antara pengarang dan pembaca.

Tawaran Baru

Sebagaimana sifatnya yang multitafsir, karya sastra selayaknya juga dikritisi oleh para kritikus lintas disiplin ilmu. Ada persepsi klasik yang sangat tidak enak didengar, sastra adalah persoalan “orang sastra” saja. Artinya, di luar itu orang lain “tidak layak” mengkritik karya sastra. Sehingga terjadilah pengkotak-kotakkan, dan sastra menjadi produk eksklusif yang pelakunya cenderung meninggikan menara gading dan mengedepankan ego masing-masing. Padahal, sastra adalah ruang gerak keindahan bagi pelakunya (baca: sastrawan dan pembaca karya sastra), sebab teks yang ditulisnya mengedepan estetika dan etika. Bila tanpa estetika dan etika, atau isinya caci maki semata, maka karya sastra tak ada bedanya dengan karya nonsastra.

Oleh karena itu, tawaran baru kritik sastra juga harus dilakukan oleh kritikus-kritikus lintas disiplin ilmu di luar sastra. Teks sastra dari sebuah buku sastra dikritik dari sudut pandang agama misalnya, oleh kalangan ulama. Tak haram di mimbar para dai atau muballig membaca dan mengkritisi teks sastra, dan diharapkan dapat dituliskan di media massa. Kasus cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin yang dibela mati-matian oleh HB Jassin bisa menjadi contoh bahwa kritikus nonsastra ikut terlibat menuliskan kritik mereka.

Begitu juga, penulis-penulis nonsastra lainnya dari berbagai disiplin ilmu yang mereka tekuni, diharapkan ikut menulis kritik sastra dari sudut pandang mereka masing-masing. Sudah pasti di antara mereka membaca karya sastra, walau sebatas membaca dan tidak menulis kritiknya. Keterlibatan mereka diharapkan mampu menumbuh-hidupkan gairah kritik sastra di Sumatra Barat serta ikut andil menyuburkan muncul-besarnya sastrawan dan kebermutuan karya sastra yang ditulisnya. []

*) Penulis adalah penikmat sastra, pegiat Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia, berdomisili di pinggir Padangpanjang

Diterbitkan di:
KORAN HARIAN PADANG EKSPRES, EDISI MINGGU, 1 DESEMBER 2013

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler