Skip to Content

HIDUPLAH, JANGAN MATI. MATILAH, JANGAN HIDUP

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Aku terdiam. Jemariku kaku mengikuti irama hati yang tiba-tiba membeku. Aku bertanya siapakah aku dalam pikiran dan perasaanmu. Pada pesan yang kau kirim aku bukan saja melihat deretan huruf yang kau rangkai menjadi kata dan kalimat untuk menyampaikan isi hatimu.

Lebih dari itu. Aku melihat dirimu datang menghaturkan sembah sungkem tanda hormat. Bukan hanya lahiriahmu yang menjelma dalam kata-kata tapi aku merasa engkau hadir memelukku dengan cinta dan kepasrahan yang paripurna.

Aku bukan siapa-siapa. Telah aku tulis dalam beberapa puisiku, aku hanyalah seorang lelaki tua yang berdiri pada bayang-bayang senja. Bayang-bayangku yang panjang adalah kepastian yang harus aku hadapi karena usiaku.

Lalu kau, dalam pesan yang kau kirim kepadaku, hanya karena kata orang, kau menempatkan aku pada tempat yang sedemikian tinggi. Membaca ketinggian anggapanmu aku menjadi gamang. Dalam kegamangan itu aku terdiam, terpana, tak ada kata yang bisa kuucap. Membacanya saja aku gamang apalagi jika anggapan itu benar. Entahlah, mungkin aku sudah jatuh ke dasar lembah yang aku tak tahu kedalamannya.

Puisi-puisiku tidak lain, hanya sekumpulan kata yang kutulis mengikuti arus mereka yang telah diakui dunia sebagai penyair. Aku hanya mengekor. Hanya itu. Kadang-kadang aku sendiri tidak tahu apakah itu puisi atau bukan.

Aku tidak pernah bosan membaca karya mereka para penyair dunia. Aku tidak perhatikan nama mereka, dari mana mereka. Aku cinta kata-kata yang mereka gubah. Ketika alunan kata-kata mereka menyentuh kalbuku, aku membuat catatan seolah-olah aku dibangunkan dari tidur. Bahkan aku pernah merasa seakan-akan aku dihidupkan dari matiku, atau aku dimatikan dari hidupku, Seakan-akan itulah yang aku jadikan judul tulisan ini. Ini kutulis khusus untukmu.

Ketika aku dihidupkan dari mati ada rasa sakit mengiris hati. Terasa ada beban berat dalam jiwaku. Sakit ini sangat menghimpit. Dengan rasa sakit itu aku menulis. Menulis tentang sakit.  Ketika aku dimatikan dari hidupku keadaan menjadi sebaliknya. Ada rasa keindahan yang sulit untuk dilukiskan. Dan dengan rasa keindahan itu aku menulis tentang keindahan.

Sebelum membuat tulisan ini aku sempat melihat berandamu. Aku malah menjadi ciut. Bagaimana mungkin aku bisa memenuhi permintaanmu untuk memberimu nasihat, saran, kritik. Bahkan kau siap untuk diomeli.

Tidak bisa. Engkau adalah sebentuk diri yang telah jadi. Engkau boleh memilih. Mana pilihanmu. Hidup atau mati. Jika kau pilih hidup, maka hiduplah, Jangan mati. Jika kau pilih mati, maka matilah, Jangan hidup.

Jika kau mati maka setiap helaan nafasmu jadikan talkin. Bacalah talkin untuk dirimu sendiri. Dan jika kau hidup siramilah hidupmu dengan pupuk dzikir. Ingat, bahwa dzikir itu artinya mengingat, ingat. Bukan mengucap. Dan untuk dapat mengingatnya kau harus bertemu dulu dengan yang akan kau ingat-ingat. Adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan jika kita mengingat tapi belum pernah bertemu dengan apa yang harus diingat.

Tentang berkesenian kau punya dua pilihan. Kau hidup untuk seni atau senimu kau jadikan bekal kehidupanmu sebagai seniman. Dengan menengok judul tulisan ini maka matilah kau untuk seni atau jadikan seni sebagai bekal kematianmu.

Sementara sekian dahulu yang bisa aku tulis untukmu. Jadilah dirimu sendiri. Jangan menerapkan bentuk pribadi orang lain menjadi dirimu.


Jangan berdiri pada bayang-bayang orang lain apalagi bayang-bayang lelaki tua yang sudah menginjak senja.

 

Sekedar untuk menghibur dirimu juga diriku mari kita bersama dari bismillah sedang bismillah dan menuju bismillah.

BA SIN MIM (1)  

 

menangislah

keringkan air matamu

agar esok tak ada keluh kesah

agar esok tak ada lagi ragu

 

kita diadakan di sini untuk menjadi saksi

rahman rahim tak berbatas

pada langit pada bumi

kecuali hati batu yang mengeras

 

kita berada pada manzilah

yang utuh yang retak yang belah

semua akan musnah

 

hanya satu penyaksian bashiran

hanya satu penyaksian sami’an

hanya satu penyaksian mutakaliman

 

201411121050 Kotabaru Karawang

Teruskan misi kemanusiaan yang tengah kau geluti, menjadi orang tua bagi anak-anak trotoar. Bicaralah dengan mereka bukan bicara kepada mereka.


201807011358_Kotabaru_Karawang

 

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler