Skip to Content

DI BALIK PUISI AYAT-AYAT DI WAJAH KEKASIH

Foto Hakimi Sarlan Rasyid

Bilangan tahun yang kupakai untuk sampai ke AYAT-AYAT DI WAJAH KEKASIH tidak sebentar. Hampir 10 tahun. Puisi ini adalah Kristal pemahamanku tentang Surat An-Nur ayat 35. Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia, yang aku kutip dari Google (TafsirQ.com) berbunyi sbb. :


Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Awalnya –ketika aku bertamu ke rumahnya- seseorang minta agar aku menerangkan kepadanya apa dan bagaimana maksud ayat ini. Aku tidak bisa menjawab. Lama aku diam sambil membaca ayat ini dua tiga kali namun tetap gelap. Pikiranku tidak bisa menjangkau apa yang tersirat dalam suratan 1 ayat ini.

Aku pulang. Sampai pagi aku tidak bisa tidur. Dari situlah mulainya aku mencari. Pikiran dan perasaanku berpacu saling ingin menjadi saksi kebenaran. Ketika aku berpikir begini perasaan berkata lain. Selalu menemui jalan buntu.

Pengembaraan pikiran dan perasaan membawaku kepada pencarian yang hampir tidak hirau akan tugas. Bahkan keluarga. Aku sering tidak pulang dari berkunjung ke tempat-tempat yang kupikir bisa memberi pencerahan. Paling tidak aku ingin mendapat petunjuk atau saran kemana aku harus pergi untuk memenuhi hasratku memahami ayat itu.

Siapa saja yang kuanggap pantas diberi pertanyaan maka ajukan pertanyaan. Dari orang yang sama sekali tidak ada hubungan dengan pesantren, orang yang jauh ke mesjid, sampai kepada mereka yang sudah mendapat predikat ulama, ustadz dlsb.

Bukan itu saja, dukun-dukun yang tersohor, orang-orang yang kehidupannya tampak “nyleneh” aku ajak bicara tentang ayat itu.

Mereka yang aku ajak bicara, jawabannya beragam. Dari yang menganggap diuji olehku sampai kepada yang jawabannya “njelimet” membuataku tambah pusing.

 Ada satu yang unik yang harus aku ceritakan, yaitu ketika aku berhadapan dengan seorang yang sudah disebut kiyai. Sebelum aku bertanya tentang ayat itu aku dahului dengan pertanyaan “kalau Allah itu melihat bagaimana cara Allah melihat, kalau Allah itu mendengar bagaimana cara Allah mendengar, kalau Allah itu berbicara bagaimana cara Allah berbicara”.

 

Alih-alih menjawab, Bapak Kiyai tersebut malah memegang kedua pahaku sambil menangis dan berkata “hal itu jangan dibicarakan lagi”.

Aku tidak memanjangkan obrolan karena situasi ini. Keyakinan –menurutku- seperti yang banyak disebut oleh para ‘ulama harus melalui 3 tahap, yaitu “’ilmu lyaqin – ayna lyaqin – haqqu lyaqin”.

Gambaran sederhananya kurang lebih seperti contoh berikut ini. Ketika di kejauhan kita melihat asap, kita harus yakin bahwa di sana apa api. Ini ‘ilmu lyaqin. Ketika kita datangi sumber asap kita pasti melihat ada api. Ini ‘ayna lyaqin. Nah mendalami tingkat ketiga yaitu “haqqu lyaqin” pikiranku bercabang dua. Apakah aku harus merasakan panas api itu sebagai pembuktian haqqu lyaqin atau aku harus menjadi api.

Akhir 1990an aku bertemu dan ditunjukkan, bahkan dituntun kemana aku harus pergi. Aku di ajak ke Bandung.

Mulailah aku menjalani berbagai tugas dari seseorang yang aku sangat suka memandang kesejukan wajahnya. Dia tidak menjawab pertanyaanku tentang ayat itu tapi memberiku pertanyaan yang mau tidak mau aku harus menjawab “sanggup” untuk melaksanakan beberapa tahapan tugas.

Alhamdulillah, aku lulus dalam pelaksanaan tugas itu. Dan sampailah aku kepada pemahaman dan pembuktian bahwa Allah itu tidak buta, tidak tuli, dan tidak buta.

Puisiku LABA-LABA LIMA ini sebenarnya puisi gubahanku atas Surat Al-Ankabut ayat 5. Aku salin dari TafsirQ.com, berbunyi sbb. :


Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.


LABA-LABA LIMA 


mereka bertanya padamu tentang kekasih tercinta

yang untuknya kau tata kata pengungkap rindu

yang untuknya kau jelajahi malam meneggelamkan rasa

jawablah bahwa satu-satunya kekasihmu adalah aku

 

mereka bertanya kepadamu tentang kekasih tercinta

yang untuknya kau tata kalimat pengungkap gairah

yang untuknya kau atur sila di gua gelap gelita

 

mereka bertanya padamu tentang kekasih tercinta

jawablah bahwa kekasihmu bukan hanya putih merah

bisa kuning bisa hitam bisa ungu bisa semua warna

 

sesungguhnya bahwa hanya aku kekasihmu

meski demikian aku bukan satu

wajahku akan menjadi rahasia

sampai hari yang dijanjikan tiba

 

201711181942 Kotabaru Karawang

 

Membaca ayat ini sungguh sebuah keberuntungan bagiku. Hanya dan hanya ketika kita dijadikan sebagai manusialah kita diberi jalan untuk “bertemu” denganNya.

Bahwa Allah Dialah Yang Serbamaha, disuratkan dalam sbuah ayat yang tampak sederhana tapi sungguh getarannya luar biasa. Ini digambarkan dalam Surat AlAn’am ayat 59. Dari TafsirQ.com di Google, aku salin ayat tsb. :

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"

Ayat di atas mengilhami aku untuk menggubah puisi berikut ini :

HEWAN TERNAK LIMA SEMBILAN 

 

engkau masih ada pada daun yang belum gugur

gemerisik berbisik halus

 

engkau masih ada pada kilap cahaya bola mata

kilat melambai pada biji yang utuh tak jatuh

 

engkau masih ada pada tanah kering basah di langit

gelinjang geli ketika kusentuh lembut

 

201801010614 Kotabaru Karawang

 

Demikian tulisan ini aku suguhkan sebagai pengantar atas puisiku AYAT-AYAT DI WAJAH KEKASIH.

 

AYAT-AYAT DI WAJAH KEKASIH 

 

Pendar cinta pada wajah menjadi ayat merah

Hamba menimang gundah

 

Pendar cinta pada wajah menjadi ayat biru

Hamba lebur dalam sendu syahdu

 

Pendar cinta pada wajah menjadi ayat kuning

Hamba tenggelam dalam lautan hening

 

Pendar cinta pada wajah menjadi ayat hijau

Hamba terpukau

 

Pendar cinta pada wajah menjadi ayat hitam

Hamba muram

 

Pendar cinta pada wajah menjadi ayat ungu

Hamba termangu

 

Pendar cinta pada wajah menjadi ayat putih

Hamba

 

201611122100 Kotabaru Karawang

 

202006291538 Kotabaru Karawang

 



 

 

 

 

 

 

 

 

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler