Renungan
RAPSHODY MAGMA CINTA, hanyalah sebuah ungkapan klise belaka yang berisi kisah dalam perjalanan kehidupan. Di mana, perjalanan kehidupan itu selalu diselimuti kidung kerinduan yang tak pernah terlerai pada objek kerinduan itu, hanya terlarut dalam sajak-sajak kerinduan semata.
Seperti halnya ungkapan klise yang lain, ungkapan klise ini juga punya arti tersendiri bagi penulis. Ungkapan ini bisa di setarakan dengan ‘kisah cinta yang tak terungkap, cinta terpendam’ atau istilah lainnya ‘cinta di titik nol’. Kenapa demikian? (penulis juga tidak tau alasan apa yang paling cocok untuk menjawab pertanyaan itu). Kalau sekedar untuk menjawabnya, dengan tujuan agar pembaca tidak merasa aneh, bisa saja.
Meminjam idiom yang diungkapkan teman SMA dulu: ‘cinta itu bagai kentut, ditahan sakit, dikeluarkan malu’. Jadi singkatnya, Rapshody Magma Cinta itu sebenarnya hanyalah cinta yang terpendam oleh rasa minder terhadap orang yang ditaksir dengan tingkat pranata sosial yang berbeda, namun kenyataannya seperti itulah kehidupan. Seperti apapun seseorang menghilangkan perbedaan dan kelas sosial itu semuanya akan tetap ada.
Memang idiom ini ada benarnya juga. Sedikit pencerahan, cinta memang bagai kentut (kentut itu baunya: “gak banget, deh”) kalau ditahan sakit (sakitnya: perut jadi kembung dan apalah – pokoknya menyiksa bangetlah –dalam cinta: ya kecewa, ya gelisah, ya...ya, banyak, deh) kalau dikeluari malu (kalau sekedar malu sih gak papa takutnya jadi malu-maluin: “gak banget juga, deh”). Di antara dua pilihan: sakit atau malu. (Kalau sakit cuman kita doang yang tahu, kalau malu: mau ditarok di mana neh muka, di jamban kali).
“Sakitnya gak seberapa, malunya, Jek!” Ungkapan yang seperti ini juga mesti dipertimbangkan (kalau penulis mending sakit ketimbang malu apalagi malu-maluin). Pecundang! (Emang!) Pengecut! (Biarin!). Kok gitu? (Suka-suka gue, dong. hati..., hati gue, siapa yang peduli). Memang benar, tapi sakitnya juga mesti diperhitungkan. Buat penulis lebih baik sakit ketimbang malu. Sebab menurut seorang penyair cukup benarnya: ‘Waktu akan menyembuhkan segala luka dan masa akan memahami segala rasa.’
Sedikit banyaknya, ungkapan penyair itu telah membuktikan semuanya asal jangan terlalu dipikirkan. Penulis mencoba mengobatinya dengan memecah diri, melebur rasa sakit itu ke dalam belantara sajak, yang mulai digeluti sejak tahun 99 (lebih satu dekade – ketika itu penulis masih kelas dua smp), ketika benih-benih cinta pertama mulai tumbuh bagai kecambah toge, terus tercabut (takut ketuaan, ntar gak enak lagi). Anehnya, rasa sakit itu membuat penulis merasa keranjingan untuk menulis yang akhirnya mengalir jadi hoby, selanjutnya mengalir jadi kebutuhan primer (pokok). Hingga akhirnya rasa kecewa bukan lagi hal yang menakutkan lagi tapi malah sebaliknya kekecewaan itu menjadi sumber ide yang cemerlang.
Di dalam sajak semua diungkapkan. Kerinduan, ketulusan, kebencian, dengki, dendam, cemburu, kutukan, harapan dan hasrat. Segala rasa itu disatukan, hingga kesatuan rasa itu berubah menjadi magma yang seolah keluar dari kawah gunung berapi yang siap menimbun dan menenggelamkan rasa cinta ke dalam bait puisi.
...
jatuh cinta lagi
tanpa berharap memilikimu pun
aku rela
jatuh cinta lagi
meski hanya dalam angan
aku mampu
aku pun rindu lagi
walau di antara gores-gores tinta
aku bisa
cintaku hanya sebatas puisi
yang menderu buas bagai ombak di samudera
melahap asa menghempas hati menepikan diri
di situlah kini kau berada
cintaku hanya sebatas puisi yang melayang pergi tanpa arah pasti
walau di sini kau akan berada dan bertahta kini
mencibir menghina dalam hati
bosan! Aku sudah bosan
mengarungi bahtera cinta tanpa mu di sini
melepasmu di antara gores-gores kerinduan
tanpa mengharap cinta yang hakiki
cintaku hanya sebatas puisi
dalam goresan-goresan ungkapan kata tanpa makna
memujamu di antara kepedihan melepasmu dalam puisi ini
mengganti dirimu dan cinta yang kuharap dalam hati
bagai pecundang sejati yang terletak tak berdaya
hingga kini kau pergi
sesal! Hanya tinggal sesal
menyisihkan onggokan-onggokan kerinduan yang bagai sampah
di musim kemarau
rindu! Hanya tinggal rindu
yang mengiris-iris hati tanpa merasa peduli untuk mengalah
walau hati begitu kesal
cintaku hanya sebatas puisi
yang berisi kenangan untuk mengenangmu nanti
sampai wajah dan namamu pun pudar di balik sanubari
hingga benci
memisahkan asa dan rasa yang bertikai dalam hati
hingga wajah lain tiba lagi
di sini
yang akan dipertahankan sebagai cinta sejati
..............................................................(Ar. Zainal Sihaloho, Cintaku Hanya Sebatas Puisi(Andam Dewi, Senin, 14 Agustus 2006) Dalam kumpulan Puisi Cinta Beri Daku Cintamu.Andam Dewi – 2006)................................
Andam Dewi, 30 September 2007
Tulis komentar baru