Dear You:

Toh, kamu dewa. Aku manusia. Aku tak akan pernah bisa melayang terbang, meskipun telah keras belajar. Akupun tak akan pernah bisa merubah rupa, meski topeng, kupahat dan kuseka-seka di atas muka. Kita berbeda, Dewa. Bila memang terus kupaksa, mungkin hanya membuat luka. Oh Sang Hyang Widhi,??? Apakah kaupun mengetahui??? Rindu dendamku memuncak di pucuk benci? Dan kali ini kukubur setengah dalam, karena tak sepenuhnya kulepas pergi.

Aku terdiam aksara tanpa berkata. Dirimu jelas terlihat, Dewa. Kekuatan mahadahsyat engkau punya. Sedangkan aku?? Sahaya yang serba papa. Cintaku tak perlu tumbuh dalam hati kita. Salah, Dewa. Itu salah. Pertapa sejagad pun tak mengizinkannya. Cinta, cinta, cinta di dunia. Memutar sajak bagai pujangga, Dewa yang aku bisa. Tak terjadi dalam realita. Angan-angan mengambang di pelupuk mata yang sedang terpejam. Kelam kelabu. Sedikitpun, aku tak pernah tahu...

Dewa, aku yakin kaupun pernah mencari desiran darah berwarna merah dalam nanah.. yang tak pernah kau lihat mengalir seperti arus sungai, hanya tenang tanpa muara. Tanpa kelok-kelok dan liku-liku segara kecewa. Segara yang penuh sesak penderitaan. Tak habis walau dunia digulung dengan kemunafikan. Dewa, dewa. Aku tak habis pikir mengapa manusia jalang berani-berani membual di hadapanmu. Aku sudah muak dengan pertahanan sanubari, Dewa. Hujan yang turun terjadwal di Bumi, memberi isyarat untuk meluapkan cinta buta punya mata ini, Dewa. Tolong, beri aku ampun!!!! Sedikit ampun!!! Hukumlah aku bila itu perlu, kutukanmu itu cinta Dewa, bukan samsara. Bagiku.

Boleh dewa tidak percaya padaku. Karena kau, Dewa lebih tahu segala isi perasaanku. Cinta, kagum membendung rindu. Ingin ku adu, bila ada waktu. Di rumahku, bila dewa setuju. Pun, di atas singgasana langit kalau perlu.

Dewa, aku cinta padamu. <3 <3 <3 <3 <3 <3