Skip to Content

HATIKU NYUNGSEP DI COMBERAN (Dua)

Foto Oesman

Tak mungkin mencurahkan kegelisahan jiwa, pada Ibu yang tak mengurus dan tak bersahabat dengan putranya. Juga tak mungkin berkeluh kesah pada ayah, yang datang hanya sesekali, dan kunjungannya yang hanya sesaat, sebatas memenuhi kewajiban, memberi uang.

Bondan bukan tak pernah mengungkap, menyoal atau menggugat. Hasilnya? Ia malah memi lih droup out di akhir semester lima

Ratih, wanita yang dicintainya, lebih rela meninggalkan dirinya. Ratih, memilih menikah dengan pria mapan. Memang ia mengaku tak mencintai pria itu. Tapi ia tahu dan melihat ke nyataan, pria mapan pilihannya, lebih punya masa depan. Prilakunya, tak seperti Bondan, yang makin lama -- dengan alasan kecewa pada orang tua, bukan memperbaiki dan jadi lebih baik tapi malah makin berantakan

Makin akrab dengan minuman keras. Dekat dengan wanita yang kemesraan dan dekapan ha ngatnya hanya sebatas untuk uang. Bukan untuk hatinya yang kering kerontang. Juga bukan untuk hal lain, yang paling didambakan. Di setiap dekapan mereka, Bondan hanya merasakan nikmat dan kepuasan sesaat. Bondan tak pernah merasakan ketentraman paling nyata. Semua benar-benar hanya sesaat. Setelah itu, lenyap.

Bondan memang telah keliru. Awalnya hanya pelarian. Akhirnya, jadi kebiasaan. Karena ia merasa punya orangtua tapi tak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan cinta. Bondan terlempar dalam kesendirian. Hanya dicekoki materi dan berbagai fasilitas. Ia memang leluasa melakukan apa pun yang diinginkan. Setiap kali Bondan mengekpresikan kepuasan, setiap kali itulah Bondan lupa tentang luka yang menganga di jiwanya. Setelahnya, melihat kenyataan yang di da lamnya hanya ada sepi. Kesunyian yang mengoyak-ngoyak hati

Jika saat ini ia ingin kembali kuliah, hanya tinggal bilang. Ayahnya pasti malah senang dan mendukung sepenuhnya. Terlebih, pak Sadewa memang sangat berharap agar Bondan kembali ke kampus, menjadi sarjana. Bahkan, jika memang Bondan berhasrat kuliah di Amerika atau Australia. Pak Sadewa, sangat mendukung

Bondan bukan tak pernah menggugat.

Hasilnya? Hanya tanda tanya tanpa jawab.

Menjenuhkan .

Membuatnya frustrasi

Membuat Bondan terjebak ke dalam sebuah situasi, yang membuat dirinya tak terkendali. Membuat Bondan hanya bisa berusaha tersenyum manis tapi sesungguhnya, nasibnya begitu miris.

Saat ini, Bondan bukan ingin menyesali nasib atau menggugat orangtua. Bondan lebih ingin, mengubah prilakunya. Mengubah jalan hidup. Ia ingin mulai meluruskan jalan yang masih tersisa. Jalan yang memang masih harus dilalui dan ditempuhnya.

Keinginan yang tak bisa didapatkan semisal berharap pada banyak teman. Pun pada orang tuanya. Tuhan sekalipun tak akan menolongnya. Sang Khalik, tak pernah berkehendak mengubah nasib satu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang berkehendak mengubahnya.

Bondan melihat, di pelupuk matanya hanya kesulitan yang memanjang. Tak melihat hal termudah atau kemudahan, kecuali tekadnya di bulatkan dan keinginannya diwujud-nyatakan

Itu sebabnya, Bondan bisa melihat jalan terang. Meski sedemikian berliku, tapi Bondan yang tak ingin terus keliru, bersikukuh. Bersikeras melaluinya, meski memang sangat berliku. Bondan tak ingin lantas meninggalkan. Terlebih menyerah.

Bondan tak merasa malu. Tekadnya tak pu pus oleh kesulitan demi kesulitan yang terus memburu. Mbok Sinem sangat membantu. Menemaninya ngobrol dari waktu ke waktu. Mende ngarkan keluhannya tanpa minta ini atau itu. Bondan mulai betah di rumah. Lupa pada teman dan kebiasaannya. Ia memang tengah berusaha dan sengaja melupakan semua hal yang semula di sangka indah.

Semua keburukan yang semula dianggap bisa membebaskan dirinya dari belenggu keresahan, karena hanya sepi dan sepi setiap kali ia ber teduh dan diam di rumahnya yang mewah. Sepi demi sepi yang mencengkram, membuat Bondan hanya terus memburu dan terus membidik dengan hawa nafsu. Lalu, bersama kehendaknya yang dilarikan kemanapun ia suka, selalu saja ia mengira, yang diraih dan direguknya adalah kebahagiaan yang melebur segala duka laranya. Mengubur kenestapaan jiwanya, yang tak pernah ba sah oleh tetesan kasih sayang dan cinta.

Nyatanya?

Di setiap itulah yang sesungguhnya terasa dan senantiasa dirasakan, dirinya dalam cengkra man dusta. Malah membuat jiwanya tak pernah tentram. Semakin ia memburu dengan hawa naf sunya yang terus menderu, hasil konkritnya bukan ketentram. Tapi kepuasan tanpa dasar. Ke puasan yang tak pernah memberi apa-apa, kecuali mengembalikan ke suasana yang sama: nestapa.

 

Bersambung.............

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler