Skip to Content

Janji Sepasang Merpati Di Situ Patinggi

Foto Tora Kundera
files/user/8660/WhatsApp_Image_2019-08-03_at_06.07.09_1.jpeg
WhatsApp_Image_2019-08-03_at_06.07.09_1.jpeg

Cerpen: Tora Kundera*

Disebuah Situ dipinggiran Kota Depok, tepatnya diperbatasan antara Kelurahan Leuwinanggung dan Kelurahan Tapos, pernah menjadi tempat memadu kasih sepasang merpati putih. Mereka berdua selalu bertemu dirimbunnya pohon asem, diantara ranting-ranting yang berayun perlahan dihembus sepoi angin sejuk.

Merpati jantan selalu datang lebih dulu dan menanti betinanya yang tercinta. Mereka berdua biasanya terbang rendah diatas Situ yang air nya tenang dan suasananya teduh dikelilingi pohon-pohon yang rimbun.

Situ itu bernama Situ Patinggi, dahulu luasnya sekitar 6,4 Hektar, dan dikelilingi hutan karet sisa perkebunan belanda zaman dahulu. Situ Patinggi ini tidak jauh dari Sungai Cikeas, yang kini menjadi batas di wilayah timur antara Kota Depok dengan Kabupaten Bogor.

Banyak berbagai jenis burung-burung lain mampir dan singgah ke Situ Patinggi, lalu berkicau merdu selayaknya sedang bersenandung cinta memuji keindahan semesta. Sampai kini pun, ketika fajar mentari menyingsing dari cakrawala, masih sering terdengar kicau burung merdu dipagi hari.

Beberapa tahun lalu, sepasang merpati itu pernah berjanji diatas pohon asem tempat mereka selalu memadu kasih. Mereka berdua berjanji akan selalu kembali datang ke Situ Patinggi, setelah mereka terbang kemana pun. Kala itu, Kota Depok baru saja resmi menjadi kota, setelah memisahkan diri dari Kabupaten Bogor.

Seiring berkembangannya pembangunan, Kota Depok yang dulunya asri dan masih terdiri dari kampung-kampung, kini berubah menjadi kota metropolitan. Banyak pohon ditebangi karena tanahnya dibangun perumahan, industri, mal dan apartemen.

Depok semakin sesak karena urbanisasi akibat dari konsekuensi menjadi kota metropolis. Dan udaranya pun tak sesejuk dahulu. Lahan pertanian terus tergerus oleh perumahan, dan ruko-ruko yang menjamur disepanjang tepi jalan raya diberbagi wilayah kota.

Pohon asem tempat sepasang merpati biasa bertemu dan memadu kasih, sudah ditebang oleh pengembang untuk tujuan bisnis. Situ Patinggi yang dahulu luas, kini semakin menyempit dan tak seindah dahulu. Hutan karet pun nyaris hilang, tinggal tersisa beberapa pohon dilahan yang belum terbangun perumahan.

Pada suatu senja, setelah pohon asem itu tiada. Merpati jantan datang kembali ke Situ Patinggi, untuk berjumpa kekasihnya. Dia hinggap dan terbang dari pohon ke pohon di sekitar Situ, namun tak juga menemukan jejak-jejak kekasihnya ada disekitar Situ. Merpati jantan lalu terbang rendah diatas Situ dan melihat langit yang terpantul dari air Situ Patinggi, berharap akan melihat kekasihnya melintas terbang diatas langit yang mulai menghitam menyambut malam.

Setelah beberapa waktu merpati jantan terbang, lalu hinggap, lalu melompat lagi dari ranting ke ranting, tak juga menemukan jejak kekasihnya pernah datang. Maka merpati jantang itu pun pergi ke arah Sungai Cikeas yang masih rimbun, di dekat makam kramat Kiai Besot dan Tubagus Pangeling.

Senja telah berlalu, dan malam pun datang disambut rembulan setengah purnama, memantul hamparan air Situ. Sebuah keindahan yang nyaris terlupakan oleh penduduk kota.

“Sejak pohon asem ditepi Situ Patinggi itu ditebang, aku belum bertemu lagi dengan kekasihku,” begitu guman Merpati jantan sebelum pergi terbang meninggalkan Situ. Tapi merpati jantan tetap ingin selalu kembali ke Situ Patinggi menanti kekasihnya datang dan berjumpa kembali.

Kini Situ Patinggi semakin gersang dan sesak akibat adanya pembangunan ruko dan kantor di sepadan Situ. Burung-burung yang daluhu nyaman berkicau dan terbang rendah di atas hamparan Situ, kini semakin langka terlihat.

Sepasang merpati itu selalu dinanti oleh warga sekitar yang sering mancing ikan di Situ, atau sekedar meneduh dipinggiran Situ. Sepasang merpati putih itu, adalah saksi betapa indah dan sejuknya situ patinggi kala itu.

Entah kemana perginya merpati betina, hingga sewindu telah berlalu lamanya tak juga kunjung datang di Situ Patinggi. Sejak pohon asem di tepi Situ Patinggi ditebang, sejak air Situ semakin keruh dan kotor, sejak luas Situ semakin mengecil.

Merpati jantan selalu datang dan berharap akan jumpa dengan merpati betina kekasihnya itu. Ia masih percaya janji mereka untuk merajut sarang bersama-sama di salah satu ranting pohon asem tempat mereka dahulu sering bercumbu, dan menetaskan telur-telur buah cinta mereka di tepi Situ Patinggi.

 

***

Depok, 27 Juli 2019

*Penulis adalah pengurus Komite Sastra di Dewan Kesenian Depok

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler