Skip to Content

MALAM KELABU*

Foto Iwan M. Ridwan

Tokoh  :

Kamaludin Armanda

Seorang Carik (Laki-laki)

Penumpang kapal

Orang-orang

 

BAGIAN I

SEBUAH KAPAL PENYEBRANGAN NAMPAK BAGIAN DEPAN SEMENTARA BAGIAN PANGGUNG DEPAN NAMPAK GELAP.

 

KAMAL

(Berdiri di depan kapal yang kemudian orang-orang masuk berdesakan dari samping. Di antara orang-orang itu ada seorang laki-laki paruh baya yang berpakaian seragam kuning kecoklatan, berpeci dan menenteng tas di tangan)

 

KAMAL

(Mengambil rokok dari dalam saku bajunya. Dikeluarkannya sebatang rokok dan dimsukkannya ke dalam mulutnya. Tangannya meraba-raba ke dalam saku celana dan bajunya. Namun tak ditemukannya apa yang ia cari.)

 

KAMAL

(Melihat pada laki-laki separuh baya itu kemudian menghampiri)

Permisi Pak! Boleh pinjam korek api?

 

LAKI-LAKI

(Tersenyum dan memberikan sebungkus korek api dari dalam sakunya)

Silahkan!

 

KAMAL

(Menerimanya lantas menyulut rokonnya)

Rokok, Pak!

(Menawarkan. Kemudian dikembalikannya apa yang ia pinjam)

 

LAKI-LAKI

Terima kasih!

(Dia tidak mengambilnya. Mengakhiri perkataannya dengan senyuman)

 

KAMAL

(Membalas senyum)

Permisi Pak!

(Pergi ke tempat semula)

 

LAKI-LAKI

Inggih, monggo 

(Beberapa saat laki-laki itu memperhatikan Kamal, kemudian menghampirinya)

Maaf, sepertinya saudara bukan orang Jawa.

 

KAMAL

(Tersenyum)

Betul. Saya dari Jakarta

 

LAKI-LAKI

Owh, saudara mau kemana?

 

KAMAL

Soroyudon

 

LAKI-LAKI

Ke Soroyudon melihat keluarga?

 

KAMAL

Tidak. Mau ke tempat calon keluarga

 

LAKI-LAKI

Mau ke tempat calon keluarga? Apa maksud saudara?

 

KAMAL

Ya, ke tempat orang yang belum menjadi keluargaku. Tapi bakal menjadi keluargaku.

 

LAKI-LAKI

Maksud saudara ke tempat tunangan

 

KAMAL

Betul

(Tertawa kecil)

 

LAKI-LAKI

(Tertawa sangat puas)

 

KAMAL

Bapak mau kemana?

 

LAKI-LAKI

Laban.

(Masih sedikit tertawa)

Sudah berapa kali ke Soroyudon?

 

 

KAMAL

Ini untuk pertama kalinya.

 

LAKI-LAKI

Bagaimana saudara bisa sampai kemari? Apalagi Soroyudon hanyalah sebuah desa?

 

KAMAL

Tunanganku mengirimkan surat. Di surat itu dia berikan peta penunjuk, mulai dari stasiun Balapan hingga ke desa Soroyudon

 

LAKI-LAKI

O….

(Kagum)

 

KAMAL

Apa Laban masih jauh dari sini?

 

LAKI-LAKI

Labih jauh dari Soroyudon. Aku juga akan melewati Soroyudon. Saudara boleh ikut saya.

 

KAMAL

Terima kasih Pak. Terima kasih. Sangat kebetulan saya bertemu dengan Bapak di sini.

 

LAKI-LAKI

(Tertawa)

Jika saudara tak keberatan, bolah saya tahu siapa tunangan saudara itu?

(Memandang Kamal dengan mata menghormat. Kemudian tertawa kacil)

Laban adalah satu kelurahan, Soroyudon termasuk dalam lingkungannya. Aku carik dari kelurahan Laban.

 

KAMAL

Nama tunangan saya, Partini.

 

LAKI-LAKI

Orang tuanya?

 

KAMAL

Partini Mulyoraharjo. Jadi orang tuanya bernama Mulyoraharjo.

 

LAKI-LAKI

Mulyoraharjo!

(Setengah teriak sambil menjauh tiga langkah dari sisi Kamaludin Armada. Keningnya berkerut. Kedua ujung alis matanya hampir saling menyentuh)

 

KAMAL

Maafkan, Pak. Ada apa?

LAKI-LAKI

Mulyoraharjo…..,

(Kembali tenang)

 

KAMAL

Mengapa?

 

LAKI-LAKI

Pernah berjumpa dengan dia?

 

KAMAL

Belum

 

LAkI-LAKI

Dia orang terkenal. Bukan saja di desanya. Bukan saja di Laban ini. Dia dikenal di seluruh kabupaten Sukoharjo, malah dikenal sampai ke kota Solo. Dia piminan Partai Komunis Indonesia. Di Solo dia dikenal sebagai pengacara, pembela Barisan Tani Indonesia dalam penyerobotan-penyerobotan tanah. Dia dicintai oleh orang-orang yang ia pimpin. Tapi dia juga musuh bebuyutan dari rakyat banyak. Dia juga musuhku. Musuhku…

Di pengadilan dia membela BTI yang menyerobot tanahku. Dia kalah sebelum hakim menjatuhkan vonis. Gerakan Tiga Puluh September meletus. Dia ikut hilang. Dia dihabisi di Bacam, dilemparkan ke bengawan seperti bangkai ayam.

(Memegang bahu Kamal. Digoyangnya lambat-lambat)

Maaf dia mertua saudara. Maafkan saya!

 

KAMAL

Tak apa-apa. Kalau memang itu satu kebenaran, mengapa Bapak harus meminta maaf?

 

LAKI-LAKI

Saudara berasal dari Sumatera?

 

KAMAL

Betul, Pak. Dari Asahan. Dekat Medan.

 

LAKI-LAKI

Yah. Orang-orang Sumatera suka berterus-terang. Saya senang sikap itu. Apa saudara tahu kalau calon mertua saudara sudah hilang….sudah tak ada?

 

KAMAL

Sudah.

 

LAKI-LAKI

Dari siapa?

 

 

KAMAL

Dari Partini. Dari tunanganku. Dari anaknya sendiri. Dia gadis dari daerah ini. Tapi dia juga berterus terang. Dia ceritakan seluruh keadaan keluarganya. Terutama dia ceritakan tentang ayahnya. Ayahnya yang adalah seorang komunis. Dia ceritakan bukan sebagai tanda kagum, tapi sebagai kenyataan buat kupertimbangkan. Dia berterus-terang. Inilah satu sifatnya yang kusenangi. Itu pulalah yang menambah besar cintaku padanya.

(Diam sebantar dan memokuskan pandangan pada laki-laki itu)

Makanya bapak tak perlu minta maaf seperti yang Bapak ucapkan tadi. Partini menceritakan segala sesuatu tentang ayahnya. Dan ceritanya itu akan kucek, kuperiksa pada Bapak.

 

LAKI-LAKI

Tak baik membongkar-bongkar kejelekan orang  yang sudah tiada.

(Beberapa saat keduanya terdiam)

Bagaimana saudara bertemu dengan dia?

 

KAMAL

Dulu, dia sekolah di Jakarta. Dan aku pedagang bensin di tepi jalan mewah di kota itu. Cinta tak punya mata. Cinta adalah buta. Barangkali ucapan ini ada benarnya. Tiada seorang pun diantara kami pada mulanya mengira bahwa pertemuan itu akan berlanjut sampai kini. Bapak bayangkan, dia yang datang dari Soroyudon bisa bertamu dengan aku, seorang yang terdampar di tepi jalan, bagaikan debu. Hanya hujan, hujan perlambang kesuburan yang menjadi pengantar. Dia berteduh di kiosku. Ketika itu dia baru saja pulang sekolah. Dari sinilah pangkalan pertemuan itu dimulai.

Tiga bulan setelah G-30S, karena dua alasan, dia terpaksa meninggalkan sekolah dan pulang kemari. Pertama dia merasa khawatir akan keadaan keluarganya. Kedua karena kiriman dari orang tuanya tiada datang lagi. Aku membantunya sedikit-sedikit. Tapi, sampai kemanalah kemampuan seorang pedagang kaki lima seperti aku ini. Dia kembali kemari. Berkumpul dengan kedua keluarganya. Di tengah-tengah ibu dan adik-adiknya yang sudah tak berayah. Alangkah pahitnya kepulangan Dik Partini waktu itu. Terbayang dimataku dia berdiri di ambang pintu, disambut ibu yang sudah jadi janda, diterima adik-adiknya yang sudah jadi piatu.

Hubungan terus kami bina, terus kami bangun. Kami terus berkirim surat. Tak bisa bapak bayangkan alangkah bahagianya aku bisa bertemu dengan dia nanti.

(Terdiam seakan mengambil ancang-ancang bicara)

Aku yang bagaikan debu terpelanting ke jalan mendapat tempat di hatinya. Dia yang mulia, manis, dan suka berterus terang. Tiada pernah aku bertemu dengan wanita tanpa kepalsuan, tanpa kepura-puraan, kecuali dia.

Maaf, aku bukan menggurui Bapak. Kepalsuan dan kepura-puraan wanita terbaca dari cara mereka berdandan. Apalagi kalau mereka berbicara, sifat itu kedengaran jelas.

(Diam dan tersenyum)

Akhirnya sudah kami tentukan. Kami akan kawin.

 

LAKI-LAKI

Kapan?

 

KAMAL

Dua tiga hari setelah kedatanganku. Meurut Partini, ibunya juga meminta supaya perkawinan kami dipercepat. Ibu mengharap supaya aku, setelah kawin, tinggal bersama dia, membantu mengerjakan sawah. Kami akan dikawinkan secara sederhana.

(Jeda)

Dulu aku pelaut. Menjadi pelaut untuk mencari kebebasan. Mula-mula kupikir di dalam kebebasan seperti itulah akan kutemukan kebahagiaan. Setahun dua tahun memang benar. Tapi tahun-tahun berikutnya aku mulai merasa bosan. Aku merasa, seakan-akan aku kehilangan diriku sediri.

 

LAKI-LAKI

Orang tua saudara dulunya pegawai?

 

KAMAL

Bukan. Pedagang. Dan aku dididik untuk menjadi pedagang yang lihai sekaigus menjadi muslim fanatik. Aku dididik dengan disiplin keras dan kaku. Ketika sudah dewasa, aku masih merasakan pukulan-pukulan dari tangan ayahku. Saban waktu aku menyaksikan pertengkaran, kadang-kadang malah perkelahian antara ayah dan ibu. Hal ini meninggalkan kesan buruk bagiku. Hingga akhirnya aku melarikan diri. Minggat. Ibu yang kucintai kutinggalkan.

 

LAKI-LAKI

Berapa tahun tak ketemu orang tua?

 

KAMAL

Delapan tahun.

 

LAKI-LAKI

Tak kepingin ketemu?

 

KAMAL

Tentu saja kepingin. Tentu saja rindu. Siapa yang tak rindu pada ibu yang melahirkan dan membesarkan kita.....?

(Melamun)

Hanya kakak perempuanku yang mengetahui rencana kepergianku. Dengan menitikan air mata, ia meminta supaya aku membatalkan rencana. Tapi tak seorangpun yang bisa menghalangiku untuk minggat termasuk kakak perempuanku itu. Tekadku sangat kuat untuk berlari. Minggat.....

Kini aku meyakini, bahwa kebahagiaan adalah tanggung jawab.

Aku kawin. Menjadi kepala rumah tangga. Akulah nanti yang bakal memikul tanggung jawab keluarga yang ditinggalkan itu, Pak. Beban rumah tangga yang dulu dipikul dari istriku akan kupukul sendiri. Kupikir, disinilah letak kebahagiaanku. Memikul tanggung jawab itulah kebahagiaan...”

(Merenung)

Tapi aku masih ragu-ragu, apakah masyarakat desa ini akan menerima aku di tengah-tengah keluarga yang kepalanya dulu adalah seorang komunis?

Pak,

Aku tahu daerah ini masih panas. Daerah ini dulunya basis komunis. Begitu dikatakan oleh Partini dalam salah satu suratnya. Aku masih ragu. Aku masih bimbang, Pak. Bukan tak mungkin setelah perkawinanku nanti, aku diambil barisan pemuda, dihabisi sebagaimana orang-orang PKI mendapat hukuman. Dan bangkaiku juga dilempar ke bengawan. Barangkali aku akan dituduh kurir, atau pelarian dari Jakarta. Tapi, Pak, mengawini anak seorang komunis bukan berarti kita juga komunis. Aku kawin dengan anaknya, bukan dengan ayahnya. Aku sendiri juga tak tahu apakah ayah dari tunanganku akan setuju dengan aku atau tidak seandainya dia masih hidup.

(Mengarahkan pandangan pada Carik itu)

Bagaimana pendapat Bapak? Bapak penguasa di daerah ini. Cuma kebimbangan ini jadi penghalang.

(Menatap tajam menantikan jawaban)

Mengawini anak dari seorang komunis bukan berarti kita juga komunis.

Kita kawin dengan anaknya, bukan dengan ayahnya.

 

(Setelah beberapa saat)

 

LAKI-LAKI

Sepantasnya saya berterimakasih pada saudara. Karena dalam pertemuan yang sesingkat ini, sudah banyak mengetahui tentang pribadi saudara. Saya juga harus berterimakasih atas penghargaan dan tanggung jawab kepemudaan yang saudara tunjukan kepada gadis yang berasal dari sini.

(Diam sejenak)

Saudara seorang yang keras hati. Semoga tak mudah patah karena ke gagalan.

 

KAMAL
Maksud Bapak rencana pernikahan kami supaya diundurkan? Tak mungkin. Ibunya juga mendesak. Kami berdua sudah matang. Tak mungkin dimundurkan. Cuma aku yang ragu-ragu, karena daerah ini masih panas.

 

LAKI-LAKI

Ya....!

Aku berterimakasih kepada saudara. Tapi aku juga berdosa karena bertemu dengan saudara....!

(Menatap Kamal)

 

KAMAL

Mengapa berdosa?

 

LAKI-LAKI

Karena akulah orang pertama membawa kabar yang bakal merobek-robek hati saudara. Seminggu yang lalu ketahuan di rumah Partini menginap seorang pelarian PKI dari Yogya, kakak dari Mulyoraharjo. Orang itu dicincang rakyat sampai mati. Rumah dibakar jadi abu.

(Menatap Kamal)

KAMAL

Pak......

Partini, Ibu dan adik-adiknya....

 

LAKI-LAKI

Ya....

Rakyat tak pandang bulu. Tak punya pertimbangan dalam melampiaskan amarah dan dendam kesumat yang sudah lama terpendam. Hal itu bisa kita maklumi. Pikiran berada di bawah, amarah dan dendam menjadi raja ketika itu. Partini, Ibu dan adiknya menjadi korban. Karena di rumah mereka bersembunyi paman mereka, seorang komunis. Seperti juga di daerah-daerah lain, keluraga komunis itu ikut hilang. Tak peduli Ibu Mulyo yang buta huruf. Tak mau tahu dengan Partini dan adik-adiknya yang buta politik. Politik tak punya mata. Mereka ikut hilang di tepi bengawan.

 

KAMAL

Oh.....

(Merintih. Tubuhnya gemetar seperti akan terjatuh. Carik itu menangkap bahu Kamal)

 

LAKI-LAKI

Kuatkan hatimu, saudara.

 

KAMAL

Benarkah semua itu, Pak?

 

LAKI-LAKI

Aku carik di kelurahan ini. Aku bekerja dengan kepercayaan rakyat. Semua yang kukatakan tadi benar terjadi. Inilah dosaku pada saudara. Karena akulah orang pertama yang membawa berita ini kepada saudara. Maafkan aku. Saudara ceritakan seluruh harapan dan pribadi saudara dalam pertemuan kita yang sekejap dan kebetulan.sedangkan aku membunuh harapan saudara dengan berita duka ini. Maafkan aku.

 

(Kamal menjatuhkan diri di geledak kapal penyebrangan itu. Sementara kapal berhenti memberi tanda sampai pada tujuan)

 

LAKI-LAKI

Mari, saudara, kapal telah sampai ke tepi bengawan. Beberapa saat lagi kita akan melewati jalan yang menuju ke Soroyudon.

 

KAMAL

Oh... nasibku ini. Pelaut yang tak pernah sampai ke pantai tujuan.

 

LAKI-LAKI

Saudara masih muda. Masih banyak waktu. Kuatkan hatimu.

 

(Keduanya menuruni kapal. Kamal dimbing berjalan menuruni tangga kapal oleh carik. Sementara orang-orang telah lebih dahulu meninggalkannya)

KAMAL

Matahari sudah tinggi, Pak. Nanti Bapak terlambat sampai ke kelurahan. Biarkanlah saya.

(Melepaskan tangan carik)

 

LAKI-LAKI

Tak apa-apa. Saudara menjadi tamu disini. Kami menghormati semua yang menjadi tamu kami. Apalagi saudara datang dari jauh. Dan...dan mendapat berita kemalangan. Nanti saudara akan saya antar ke rumah rukun tetangga. Saudara boleh berisitirahat disana.

 

KAMAL

Tapi apa gunanya, jika yang kujumpai nanti hanyalah puing dan abu. Abu rumah dimana Partini dan Ibu dulu meninggal.

 

LAKI-LAKI

Kalau puing dan abu hanya akan menambah kepedihan dan air mata, lebih baik kita jangan ke sana. Kita hanya ke rumah rukun tetangga. Kita takkan melalui rumah itu. Saya kira, sebelum saudara meninggalkan daerah kami ini, pulang ke Jakarta, ada baiknya saudara istirahat dulu. Saudara tentu lelah, dan lagi...ya, perlu istirahat. Mari!

 

 

BAGIAN II

Di Jembatan Bacam. Diterangi lampu di kedua ujungnya. Satu dua orang melewatinya tanpa memperdulikan Kamal yang sedang berdiri dengan tubuh yang lemas. Memandang ke bawah, menatap darasnya air sungai dari bengawan solo. Di tangan kirinya memegang dua lembar kertas surat yang diberikan Partini.

 

KAMAL

Partini... Partini...

(Seperti berbisik)

Kemana cinta dan penghormatanmu akan ku balaskan. Engkau dan seluruh keluargamu telah tiada. Tiada kubur tempat berziarah, seakan-akan engkau tak boleh di terima bumi. Karena ayahmu komunis. Karena pamanmu... Oi adik...

(Mengangkat kepalanya)

Ya Tuhan, tentu bukan tangan-Mu-lah yang mengayunkan pedang, bayonet ataupun peluruh pembunuh Partini, Ibu dan adik-adiku yang piatu. Bukan. Bukan engkau. Ya Tuhan, Engkau Yang Maha Pengampun, ampunilah segala dosa dan kesalahan kekasihku. Segala dosa ibu dan adik-adikku. Aku kepunyaan mereka. Mereka kepunyaanku, walaupun kami belum sempat Kau kawinkan. Ampunilah kami. Amin, ya Alloh.

(Menutup mata dan menundukan kepala perlahan. Selang beberapa saat dia menyelipkan tangan ke balik bajunya, mencabut sebilah pisau dari pinggang. Menikam lengan kiri. Membuat luka panjang memotong urat nadi di pergelangan tangannya. Darah cepat menyembur. Dia rejamkan pisau berdarah itu ke tengkuk, menarik pisau itu, ke bawah memotong urat nadi lehernya dan melukai tulang iganya. Leher itu koyak, darah menyembur dari lehernya. Dua urat nyawanya terputus. Tikaman ke tiga jatuh ke perut. Isi perutnya terjurai ke luar. Darah menyembur sejadi-jadinya dari ketiga luka yang menganga itu. Kamal tetap tenang menunggu malaikat maut yang menjemputnya.

 

KAMAL

(Dengan tenaga penghabisan)

Ah...Partini, aku datang menyusulmu....

 

(Darah membasahi baju dan tubuhnya. Membasahi aspal jembatan yang sudah rusak, menetes ke atas permukaan air yang mengalir di bawah.

Akhirnya tubuh itu kehilangan semua tenaganya setelah nyawa yang mengisinya terbang entah kemana.

Tubuh itu kini terkulai di terali dan jeatuh mencebur ke dalam arus Bengawan Solo.

 

Bandung, 4 Juni 2009

 

 


 

 


* Naskah drama ini disadur dari Cerpen "Malam Kelabu" Karya Martin Aleida, adapun setting dan kejadian bisa dilihat dan dibandingkan dengan cerpen yang aslinya.

kepada penulis cerpen tersebut saya mohon ijin menyadur cerpen "Malam Kelabu" ini sebagai proses latihan penyaduran prosa menjadi naskah drama.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler