Skip to Content

Mengenal Waktu

Foto Hans Hayon_Heinzth
files/user/2347/24.jpg
24.jpg

 

MengENAL Waktu

(Sebuah drama  memahami 75 tahun jejak sejarah Seminari Tinggi Ledalero)

Fr. Hanson hayon

Introduksi:

Waktu:            Akulah dia, saat kalian semua di sini, baik yang duduk, berdiri, maupun yang mungkin sedang mengelamun, mengatakan bahwa hidup hanyalah titik dalam detik. Waktu, itulah aku. Yang selalu banyak ada dalam ketidaksadaran kalian ketimbang kegilaan untuk sadar betapa bernilainya aku.

Ying:               Pernakah kalian mendengar rumor yang beredar semasa kekaiseran Romawi begitu mengikat dunia kekristenan bahwa kelahiran Yudas sebagai pengkhianat Yesus merupakan kehendak Allah sendiri? Ataukah kehadiran opini seorang filsuf Ionia yang mengajarkan bahwa manusia begitu memerlukan kejahatan untuk menjelaskan arti dari kehidupan. Mamang, orang begitu membutuhkan kejahatan sebagaimana sebagian dari kita yang suka menggigit untuk melawan rasa sakit pada gigi. Kejahatan, itulah saya.

Yang:              Bapa, Ibu, saudaraku, pencinta republik kebingungan yang saya kasihi. Saya katakan sebagai bingung karena justru kesadaraan akan berkualitasnya suatu alternatif pilihan lahir dari kondisi tersebut. Tidak apa-apa jika tidak mempercayaiku, paling tidak percayalah jika saya sekarang berdiri dan sedang berbicara dengan kalian. Akulah dia, ketika kalian bertanya, “Apa itu kebenaran?”

                        Saya tidak pernah memaksa kalian untuk mengenal siapa saya. Saya hanya membujuk agar kalian mengenal diri kalian sendiri. Mengapa? Karena di dalamnya saya ada. Luar biasa bukan? Itulah saya!

Kantor Pengadilan, Komnas HAM, Gereja Katolik, bahkan Seminari Tinggi di seluruh dunia selalu melihat diri saya sebagai sosok yang kontroverional. Kadang sebelum makan malam, saya selalu berpikir dan bertanya dalam hati, “Siapakah saya?” (terdiam, merenung)

“Kebaikan”, seorang anak TK di samping rumahku menjawab.

Jika demikian, “Siapakah saya bagimu yang sedang mendengarkan pembicaraanku ini, entah yang setengah sadar ataupun yang penuh seuruh dalam kantuk?”

Kutunggu jawaban setelah kalian berhenti berbisik dalam kebingungan. Jawaban kalian, sangat menentukan kelanjutan kisah ini.

Sang Waktu:  Maaf, saya agak terlambat. Memang itulah motto hidup saya! Biar lambat asal, selamat. Hampir semua manusia zaman sekarang justru menghayati dengan baik moto hidup saya tersebut. Aneh....

                        Kehadiranku sering menyeret kenyataan hidup manusia. Aku hanya satu, tetapi rupanya betapa misteriusnya aku sampai-sampai kalian menjuluki aku masa lalu, masa kini dan masa depan. Hal yang membingungkan di mana justru kalian selau mengenangkan aku dalam masa lalu yang kalian katakan sebagai sejarah. Lalu, apakah sejarah itu? Sebuah harta karun ataukah sebuah hal terkutuk yag perlu ditinggalkan? Ataukah, se-jarah habis-habisan warisan yangberkuncup purnama sandaran matahari.

                        Mengapa kalian diam? Maaf, saya agak kasar, tetapi memang begitulah karakter saya. Dapat membuat orang lumpuh dalam waktu yang panjang. Karena itulah, saya paling tidak suka orang menjadi diam ketika ditanyai sesuatu. Tetapi menurut saya, diam itu bijak bukan? Tapi kawan saya yang ahli orator itu pernah berkata”bukan bijak jika diam”.

Yang:              (tangisan bayi) Kelahiran...Kelahiran....Kelahiran...Sebuah sukacita besar akan   terjadi. Tanggal berapakah hari ini?

                        Betapa pelupanya aku sampai melupakan sahabat karibku, sang waktu. Apakah kalian tahu, sekarang tanggal berapa? (menayakan pada penonton dan bunyi rentetan senapan mulai terdengar) Aduh,...inikan tahun 1937. Akan tumbuh tunas baru dari rahim Maria[1]?

                        “Ulurkan tanganmu kepadaku.

Lihat, kini kau bukan seebutir telur,

Kau bukan ikan yang kecil:

Kau seorang anak!

Kau telah tinggi sampai ke lututku.

Bukan, malah ke hatiku....”

 

Ying:               Hahaha...bodoh! Tidakah kau sadar bahwa akan ada kemungkinan meninggal bagi yang dinamai kelahiran? Bagaimana mungin kelahiran hadir dalam bau anyir masa kolonialisme[2] dan di bawah terik pemuda yang digantung pada ujung bukit itu. Bodoh!! Anda benar-benar seorang idealis murni mirip Immanuel Kant tanpa pernah sanggup menjadi Kristus di masa ini.

Yang:              Lihat...tiga orang berkulit putih berjalan dalam gelap dan terang dengan sebatang obor di tangannya.

Ying:               (Melihat) Inilah yang kutunggu selama ini. Nietzsche telah bangkit, tapi sanggupkah Tuhan pun demikian?

Yang:              Pertemuan. Apalagi yang ingin dirundingkan lagi jika bukan tentang kelahiran yang baru saja digelar tersebut? Syukurlah...angin masih berhembus, pertanda badai dan prahara justru akan menguji kualitas iman manusia. Ataukah PKI hadir lagi dalam wajah baru pada malam hari ini dan menyeret sepertiga bintang yang bertengger di samping matahari?

Ying:               Tidak!!! Mampukah bayi itu hidup di saat perekonomian negara ini sedang kritis miris? Lagi pula, hunian manakah yang pantas untuknya jika gelegar bunyi senapan dan hentakan sepatu para serdadu Jepang seakan menusuk gendang telinga malam dan membuyarkan mimpi-mimpi manis manusia zaman ini? Mana mungkin Si Merah bertahan dalam kondisi menegangkan adrenalin tersebut.

Yang:              Angin yang sejuk tapi keras. Inilah angin yang dibutuhkan untuk menguji kualitas iman bayi yang hadir malam ini. Keyakinanku mengatakan bahwa ia pasti akan bertahan, mengingat semakin banyaknya uluran tangan dan decak kagum dari para tetangga baik yang sedarah maupun yang sedaging.

Ying:               Sungguh kasihan....Pandanglah ke depan! Para serdadu dengan bayonyet terhunus sedang menggeladah rumah, tempat sang bayi berbaring, dan menjadikannya sebagi markas dalam berperang. Bahkan Ayah dan ibunya[3] dievakuai dan dibuang ke ujung Timur. Sungguh kasihan....

                        (melihat ke arah Yang) Apakah Anda masih menggantung aza di akar selapuk demikian?

Yang:                          Sudah luruh rubuh kota Babel. Namun hari ini, sebuah cadas berani angkat kaki beranjak ke bukit sendirian. Hari ini aku menang taruhan. Si Hastina rupanya lupa jika Yudistira yang tua ternyata menimpan sifat bijak yang kaya. Pantasan saja krisis melandanya hanya karena hal sepeleh yakni kalah main dadu.

Ying:                           Tidakah kalian tahu, agama tidak mati-mati. Tapi juga sekularisasi. Itu karena         keduanya tidak bertentangan. Pernah juga ada zaman di mana agama dianggap sebagai candu bagi manusia. Tetapi hari ini, rupanya kelahiran bayi tersebut telah menjadi candu bagi masyarakat Flores. Sebuah pulau yang konon dikenal sebagai tempat bertumbuhnya kuntum mawar, tetapi sayangnya selalu jauh tertinggal di belakang dalam hal kepemimpinan dan kualitas hidup. Bunga mawar yang layu. Bagaimana mungkin rakyat pulau tersebut menjual pisang dan ubi di pasaran tetapi sebulan kemudian datang ke pertokoan untuk membeli kripik pisang dan manisan ubi dengan pakaian yang kumal?            Bayi yang malang justru akan menambah deretan kaum miskin dalam skala statistik kepadatan penduduk nasional.

Yang:              Selamat hari raya Natal hutan, selamat hari raya Natal bebatuan, selamat hari raya Natal dedaunan kering, selamat hari raya Natal lautan, selamat hari raya Natal batu karang, selamat hari raya Natal bukit, selamat hari raya Natal kelahiran. Dari kalian, saya berani mengakui bahwa Tuhan itu ada.

Ying:               Benda-benda makin lama-makin membuat jarak dari kita. Beras, air minum, dan bantal itu kita konsumsi dan kita pakai setiap hari-mungkin kita nikmati-tapi di manakah kita? Kalian (menunjuk para penonton) melihat saya karena justru ada jarak di antara kita, bukan? Manusia memang sedang hidup dalam “masyarakat tontonan”, tetapi mengapa kalian jarang sekali melihat wajah kalian sendiri? Rupanya sesekali manusia perlu sejenak menjadi Konghucu. Begitu lucu, jika kalian ingin merayakan kebahagianmu hari ini, padahal duka dan luka menunggumu di balik tirai hari esok.

Yang:              Cermin...Ya...mereka harus membutuhkan cermin. Tidak salah jika malam ini Chairil Anwar mengajak kita untuk  sekali lagi “memburu arti”. Jika bedil Nippon sudah disimpan, dan hancur menghancurkan telah jadi kenangan yang berdebu, kita akan melihat bahwa manusia sesungguhnya sedang mengandung fraternitas. Saatnya mereka bengkit melawan, tetapi dengan KATA. Batapa tidak, tahbisan Sang Sabda kembali bersinar menuai buah termanis zaman ini.

Ying:               Keyakinan yang baik, tetapi sayangnya terlalu dini dan tolol. Ini bukan zaman di mana Epos Mahabrata atau Ramayana yang meminang Resthina. Alam tidak pernah sanggup diajak berkompromi seperti Anda menggiring domba yang bungkam ke tempat pencukuran.

                        Pandangi keruntuhan itu, sayang....Begitu menggigit. Betapa rendahnya kalian membangun. Mana mungin, tahun 1992 yang dramatis ini sanggup membuat kalian meneteskan air mata dan menggigit bibir[4]?

                        Hahahaha...(tertawa), kalian boleh mengasah pena dengan tatapan lurus untuk melawan musuh demokrasi, tetapi kalian tak bernah sanggup mengeritik alam. Betapa kerdilnya pikiranmu manusia.

 

Yang:              Teruslah menulis karena kertas gersang dan tenggorokan sedikit mau basah. Kita takut kepada momok karena kata

                        Kita cinta kepada bumi karena kata

                        Kita percaya kepada Tuhan karena kata

Nasib terperangkap pun dalam kata

Dalam bahasa kita terbelah, tetapi dalam kata kita membaca.

(Chairil Anwar)[5]

 

Bukankah engkau mengatakan untuk terus berkanjang memantulkan cahaya dan menggemakan suara[6]?

 

Ying:               Engkau memang dilahirkan untuk bertitelkan si Tolol yang abadi.

                        Pernakah kalian melihat burung terbang dengan meninggalkan jejaknya?

Tidak mungkin mereka sanggup melangkah jika kepahitan masa lalu laksana pencuri yang terus mengintip sambil mencibir.

Ingat! Anda bukan pemimpin yang hari ini suka mengidap amnesia atau sakit kronis lainnya saat persidangan di pengadilan akan digelar keesokan harinya.

Yang:              Cahaya telah terbit di Timur pertanda hari baru telah menjelang. Songsonglah dia dengan kepala tegak dan hati yang lapang. Deretan gigi putih di balik rangkaian senyuman telah bercerita panjang. Sebuah kalimat perlahan terlontar, “Aku tak meninggalkan kalian sendirian”.

Ying:               Bukankah setiap cahaya pasti meredup dan hilang dari jangkauan retina sebagaimana mentari yang terbit di timur sepasti dengan terbenamnya di barat? Mengapa engkau masih saja bergantung pada akar yang lapuk tersebut sobatku.

                        (bunyi derit pintu dan mesin) dengar...coba simak suara itu....!!! Suara khas semangat postmodernisme: angkuh, yakin, tidak mencurigakan. Ketika itu, yang suci sebenarnya tak teramat menggetarkan dan tak teramat berarti lagi. Bagaimana mungkin kalian sanggup menanam di setiap musim kemarau?

Yang:              Memang, waktu terus berubah, bahkan berlari. Menyeret berlaksa bintang dan menggores punggung mentari. Melukai seorang remaja yang lagi patah hati, membingungkan seorang penagih utang, bahkan menggetarkan iman seorang agamawan katolik. Tetapi pernakah waktu sanggup membatasi angin yang berhembus, ataupun derap langkah seorang dosen?

Ying:               Abad ke XVI hadir di sini dengan wajah yang baru tapi tak asing. Sebuah zaman ketika agama, zina, kekuasaan, uang, nepotisme, jual-beli jabatan, perang, dan moralitas dicampur-baur. Salah ya jika sebuah satire bisa berteriak lebih nyaring dari pada suara seruan Habel, “ Aleksander menjual kunci, altar, dan Kristus...?”

 

Tataplah keraguan manusia sekarang. Jika Aristoteles telah berani meletakkan konsep bahwa Makluk di dunia ini pasti ada penyebab pertamanya, mengapa kalian tak mengerling pada John Lenon yang menghasut manusia sambil berkata Tuhan hanyalah konsep untuk mengukur perjuangan manusia.[7] Alhasil, lahirlah musuhmu: sekularisme. Pergilah ke pasar dan lakukanlah barter iman dengan tetanggamu!!....(tertawa)

Yang:              Tidak!!! Tidak mungkin manusia serendah itu.

Ying:               (tertawa panjang) Tuhan Ibrahim, Tuhan Isak, Tuhan Yakub. Ehhh,,,salah. Tuhan para filosof, Tuhan para ilmuwan, Tuhan kepastian rasa, sukacita, damai Tuhan Yesus Kristus???

Yang:              Datanglah menjelang

Ying:               Waktu......

Yang:              Bukan....Tuhan!

Ying:               Bukan??? Tuhan.

Yang:              Tuhan, bukan???

Ying:               Bukan!!!

Yang:              Iya!!!

Ying:               Iya. Bukan Tuhan

Yi&Ya:           Iya. Ia bukan Tuhan.

 

Waktu:            Memang dasar! Masa aku bisa disebut-sebut sebagai Tuhan....(tertawa) Lucu, bukan?

                        Tetapi sepertinya ada benar juga, kawan. Jika Tuhan tidak bisa dibeli, mengapa begitu juga dengan aku ketika orang mengatakan bahwa waktu tak bisa dibeli?

 

Berarti aku ini Tuhan juga?

Aku jadi bingung memikirkan hal ini.

Kenapa kalian juga ikut-ikutan bingung? Ingin menjadi Tuhan seperti aku juga kan?

Baiklah. Mari kita bingung bersama- sama. Bukankah untuk menjadi bingung, seorang tuan harus terlebih dahulu membingungkan bawahannya?

(tertawa sinis) hahahaha.....

Jika nanti kalian bertemu seorang penyair Spanyol dan ia bertanya, “Mengapa kalian begitu terpesona dengan orang gila sepertiku ini?” Jawablah, “Karena kami punya banyak kesamaan.”

Hanya itu saja jawabannya kecuali jika kalian ingin dijebloskan nati ke dalam penjara bawah tanah negara itu.

Masih ingatkah kalian dengan adegan itu? (berpikir) Maksudku adegan tentang penjara bawah tanah Spanyol tersebut.

Baiklah jika kalian agak lupa. Memang, untuk menjadi Tuhan bersikaplah sesekali sebagai seorang pelupa. Toh, saya pun pernah demikian, melupakan isteri dan anak di rumah hingga saat ini.

Menarik bukan, menjadi seorang pelupa?

Nah, begini ceritanya. Syahdan, adegan dimulai dengan Miguel de Cervantes, penyair, pemungut pajak, dan prajurit ditangkap bersama bujangnya. Rupanya, jawatan inkuisisi, lembaga Gereja Katolik Spanyol merupakan penjaga keutuhan umat dan iman masa itu. Miguel, sang penyair tersebut lalu dijebloskan ke dalam penjara karena tidak tertawa setelah selesai mendengarkan kepala pejara bercerita.

 

Jangan menatap saya dengan pandangan seperti itu. Begitu tegas dan kejam. Tahukah kalian, bahwa tak ada yang sanggup membunuh waktu, selain sebuah tatapan yang demikian?

 

 

Ledalero, 26 Mei 2012

 

Fr. Hanson Hayon

 

 


       [1]Kata kelahiran merupakan bentuk metafora dari berdirinya Seminari Tinggi Ledalero pada tanggal 5 Mei 1937 dan secara kanonik pada tanggal 20 Mei 1937. Istilah Maria mengandaikan situasi umat yang begitu polos dan penuh harap dalam menantikan adanya lembaga pendidikan calon imam tersebut.

       [2]Waktu itu, terjadi pergolakan di mana bangsa Indonesia dijajah oleh Jepang. Bahkan Maumere dan wilayah sekitarnya termasuk Ledalero pun kena imbasnya. Rumah Ledalero yang baru seumur jagung, dijadikan sebagai markas oleh tentara Jepang. Akibatnya, para frater dan beberapa orang imam terpaksa diungsikan ke Lela.

       [3]Sebagai konsekuensi dari ultimatum yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang mengenai pemulangan orang Eropa ke wilayah asalnya, maka misionaris Belanda yang waktu itu memimpin Seminari pun turut dievakuasi ke Ende. Ledalero kosong total dan pincang bagaikan domba yang tak bergembala.

       [4]Pada tahun 1992, gempa bumi mengguncang Flores dan daerah sekitarnya. Kenyataan tersebut menyebabkan berbagai bangunan yang baru didirikan, hancur total bagaikan luruhan dedaunan kering.

       [5]Puisi Chairil Anwar yang mencoba mengeritik sistem pemerintahan Demokrasi yang didistorsikan waktu itu di mana terjadi kebingungan untuk merumuskan konsep kebenaran dan kaidah kekuasaan dalam rezim Soeharto. Veritas non auctoritas facit legem. “Kebenaran, bukan otoritas, itulah yang membuat kaidah. Bahkan ada yang percaya, atau mungkin mengikuti Habermas, aksi komunikatif akan mencapai konsensus. Ada yang yakin, terdapat hubungan yang lempang antara rasionalitas, rembukan-sebagai proses pertimbangan-dengan “kebenaran”.

       [6]Kalimat tersebut merupakan Tema umum yang dipakai saat Seminari Tinggi merayakan HUT ke-70 tahun.

       [7]God is a concept to measure our pain. Dengan demikian, Tuhan tak lagi sakral dan sejajar dengan “instrumen-instrumen” lain.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler