Skip to Content

PERNIKAHAN BRAM

Foto Oesman

Cerita Pendek

PERNIKAHAN BRAM

 

BRAM yang baru dua kali datang ke rumah Mirna, sangat terkejut ketika Pak Mustafa, ayah Mirna, yang malam itu membukakan pintu dan mempersilahkan Bram duduk, tanpa basa basi langsung melayangkan pertanyaan yang menurut Bram tak hanya sangat menyudutkan . Tapi sekaligus menguji nyali dan menantang keberanian Bram untuk bersikap tegas.

Pasalnya, selain bertanya apakah Bram serius menjalin hubungan dengan Mira, pak Mustafa langsung menegaskan, jika tidak serius lebih baik tak usah berkunjung kembali tapi bila sebalikya, Bram harus segera menyunting putrinya.

Sedangkan Bram, belum sempat menyimpulkan, mengingat perkenalannya dengan Mirna belum sebulan dan seminggu silam - saat pertama kali Bram mengencani Mirna di rumahnya, mereka tak bicara tentang cinta. Tak menyoal soal lamaran dan pernikahan.

Belum ada kesimpulan, apakah Bram serius menyukai Mirna atau sebaliknya.

“ Apakah saya harus menjawab sekarang,” Bram yang sepertinya tak diberi waktu untuk berpikir lebih jauh, terpaksa buka suara.

Pak Mustafa yang sepertinya tak sabar, tanpa ragu menegaskan

“ Yaa.. harus sekarang. Kalau besok atau lusa, barusan saya tak perlu membukakan kamu pintu, tak harus mempersilahkan duduk, dan sama sekali tak ingin mengajukan pertanyaan yang baru saja saya kemukakan”

“ Pak...” ujar Bram dengan suara lembut

“ Saya kenal sama Mirna belum sebulan. Karena belum saling mengenal karakter masing masing, semisal saya menjawab dengan sikap serius dan jawaban saya memuaskan bapak, belum tentu yang memuaskan merupakan jawaban saya benar. Sebab, dalam kondisi dimana saya merasa terdesak, belum tentu saya ikhlas”

“Begini saja,” potong pak Mustafa dengan sikap yang sepertinya amat sulit mencari celah adanya basa basi karena beliau memang nampak begitu serius.

“ Begini bagaimana, pak?” Tanya Bram.

“ Sekarang, saya ijinkan kamu segera pulang dan tak perlu menemui Mirna”

“Maksud bapak saya tidak boleh berhubungan lagi dengan putri bapak?”

“Itu terserah kamu. Maksud saya, kamu bebas menyimpulkan. Mau menyimpulakan tidak boleh berhubungan lagi, saya tidak akan protes. Sebaliknya pun, saya tidak akan menghalangi. Hanya, saya sarankan agar seminggu ke depan manfaatkan waktu untuk berpikir secara mendalam. Naaah... setelah itu, datanglah kembali dan siap tidak siap, kamu harus bertemu temu dengan bapak. Jika jawaban kamu tidak ingin menikah dengan putri saya, silahkan kamu sendiri yang memutskan hubungan. Jika sebaliknya, kamu siap dan ikhlas menikah dengan anak saya, kamu sendiri yang memutuskan untuk melanjutkan hubungan”

Bram tak ingin memperpanjang pembicaraan. Meski merasa berat, Bram berusaha merasa ringan, agar dirinya ikhlas pamit dan meninggalkan rumah Mirna tanpa bertemu dengannya.

******

 

Kalau pak dan bu Sastra kaget, bukan lantaran Bram mengatakan akan mengajak mereka melamar seorang gadis bernama Mirna. Mereka kaget, karena bisa bisanya Bram menyampaikan niatnya ingin melamar. Padahal, selama ini belum pernah membawa dan mengenalkan perempuan dari manapun. Malah, ketika mereka berdua mendesak agar Bram segera menikah, putranya yang semata wayang, selalu memperlihatkan sikap tidak suka.

Kali ini, kok malah mengajak mereka datang untuk melamar Mirna

“Memangnya keputusan yang kamu ambil sudah mantap?” Tanya Pak Sastra, yang setelah kehilangan herannya, mencoba mencari tahu apakah Bram serius atau hanya sebatas menyenangkan hati orangtua

“Mantap atau tidak mantap, kan yang mau menikah saya, pak,” sahut Bram

“ Wah wah wah.... kamu pikir ayah kamu mau menikah lagi? “ Bu Sastra yang semula hanya ingin diam, jadi malah kepincut nimbrung urun suara

“Ingat yaa, nak. Mantap dalam mengambil keputusan itu, sangat perlu. Sebab, menikah itu, kalau bisa harus cuma sekali dalam seumur hidup. Jadi, jangan sesekali menganggap sepela dalam hal kemantapan dalam berumah tangga. Ngerti kamu”

“Bram nggak mungkin ngerti, bu. Kita saja yang waktu nikah merasa sangat mantap, lebih sering bertengkar. Nanti, jangan jangan, Bram tak cuma sering bertengkar. Tapi sering ganti ganti isteri, karena awalnya selalu bilang mantap, di perjalanan yang terasa malah tidak mantapnya” Pak Sastra malah berkeinginan menggoda.

Bram tahu siapa ayahnya dan seperti apa ibunya. Mereka pasti bakal memanfaatkan momentum ini untuk mengorek lebih dalam mengapa tiba tiba anaknya kepincut mau menikah dan mengapa Mirna, yang sama sekali belum dikenal oleh mereka, yang dijadikan calon isteri oleh Bram.

“ Pak... Bu...” Bram segera ambil keputusan

“Yang mau menikah, kan saya. Jadi, bapak bersama ibu hanya perlu menjawab, bersedia atau tidak mengantar saya ke rumah calon mantu dan melamar Mira. Jika tidak bersedia, saya akan berangkat sendiri”

“ Yaa, soal bersedia jelas bersedia, Bram. Hanya, kalau waktu yang kamu tentukan tidak bisa diundur, mana mungkin bapak membatalkan janji bapak berangkat ke Paris untuk menyelesaikan soal bisnis,” sahut pak Sastra

“ Iyaa, Bram. Ibu pun sama, tak bisa jika harinya tak diundur,” ujar bu Sastra.

“Soalnya, kalau ibu tak ikut mendampingi ayah kamu, bagaimana nasib ibu semisal ayah kamu malah kecantol wanita Paris dan akhirnya malas kembali ke Jakarta”

Bram hanya bisa garuk garuk kepala.

Meski kesal, Bram berusaha tidak sebal

Dan, Bram tetap bisa bersikap manis.

Semanis sikapnya, saat Bram kembali datang ke rumah pak Mustafa dan berhadapan langsung dengan ayah Mirna.

“ Kamu sudah bawa jawaban yang mantap, kan?” Tanya pak Mustafa yang suaranya sama sekali tak mengandung basa basi kecuali ketegasan.

“ Sebatas mantap, sih iya, pak. “ Sahut Bram

“ Jadi, maaf, saya bisa katakan tidak benar benar mantap, karena ayah dan ibu saya lebih dahulu punya rencana berangkat ke suatu tempat, yang kepada saya tidak dijelaskan, apakah di dalam kota atau di luar kota Jakarta”

“Tak apa. Tokh yang akan menikah dengan putri saya, semisal kamu berkenan, bukan mereka. Tapi kamu. Begitu pun jika kamu tidak berkenan, toh yang akan meninggalkan putri saya bukan ayah dan ibu kamu. Tapi kamu. Iya, kan?”

“Memang begitu, pak. Makanya, saya tak ingin membuang buang waktu karena lebih baik menyelesaikan secepatnya, timbang diulur ulur atau ditunda tunda, toh akhirnya harus menikah atau tidak menikah”

“Saya suka dengan jawaban kamu,” Pak Mustafa nampak puas

“Begitu pun dengan saya, pak. Sebab, saya dengan bersuka cita memutuskan, sangat bersedia menikah dengan Mirna, putri bapak ?”

“ Apakah yang baru saja kamu katakan sebuah keputusan yang sudah direnungkan secara mendalam?” Tanya Pak Mustafa, yang mesti terlihat puas, namun tak bebas dari rasa terkejut, karena Bram, sepertinya bisa bersikap seperti dirinya, tegas.

“ Pak... seminggu adalah waktu yang cukup untuk merenung dan berpikir secara mendalam. Sekarang, apakah bapak berkenan menerima lamaran saya dan akankah bapak mengijinkan untuk menikahkan putri bapak dengan saya?” Ungkap Bram

“ Tentu saja saya berkenan menerima kamu yang sudah bersedia meminang anak saya. Soal ijin, memang itu yang sudah saya persiapkan untuk siapa saja yang ingin menikahi putri saya”

Bram sangat senang mendengar jawaban dari pria yang tegas dalam bersikap dan berkata, dan kepada pria yang tak lama lagi akan menjadi mertuanya. Bram dengan sangat serius, lantas meminta kepada Pak Mustafa untuk memanggil Mirna dan pak Mustafa juga diminta untuk mengundang beberapa tetangga untuk menyaksikan pernikahan Bram dan Mirna.

“Memangnya kamu mau menikahi anak saya sekarang juga,” tanya pak Mustafa, yang kali ini tak mampu menghalau rasa terkejut.

Pak Mustafa sama sekali tak mengira jika anak muda bernama Bram, yang seminggu silam sangat terkejut karena didesak untuk menjawab dengan tegas, baru saja membuatnya terkejut karena permintaan Bram sungguh di luar dugaan dan kendali dirinya

“Bapak pikir saya main main”

“Dalam berpikir saya tak pernah main main. Hanya, apa salah jika kali ini saya berpkir kamu main-main. Bukankah menikah itu harus pakai prosedur. Mendaftar ke KUA, menjadwal hari, jam dan tempat resepsi, mengundang sanak saudara dan handai taulan, dan menyiapkan semua keperluan yang sesuai dengan kebutuhan acara resepsi pernikahan”

Bram yang sangat mengerti dengan maksud pak Mustafa, menghela nafas. Baru dengan tenang Bram menyahut

“ Pak... rukun nikah itu tidak ribet. Di dalamnya, tak ada kewajiban menggelar acara resepsi dan pesta besar besaran. Sebab, tanpa pesta mewah yang menghabiskan biaya besar, asal ada kedua mempelai, ada saksi, ada penghulu, ada mahar dan akad nikah , maka tak ada rintangan bagi siapa pun untuk menjadi suami isteri”

“ Tapi saya tidak ingin ada perkawinan siri. Jika kalian menikah, harus berdasarkan hukum yang sudah diatur oleh undang undang”

“Bapak tidak yakin kalau yang diatur oleh ketentuan agama, itu jauh lebih sah meski tanpa ditandai oleh surat nikah”

“Saya sangat yakin”

“Kalau begitu, segera bapak jadi penghulu dan nikahkan saya dengan Mirna. Setelah itu, minggu depan legalkan hubungan saya yang hari ini sudah bapak nikahkan, di Kantor Urusan Agama “

Pak Mustafa tak bisa berbuat banyak, kecuali harus konsekwen dengan sikap tegasnya, yang seminggu silam mendesak Bram, dan kini ia didesak oleh Bram untuk menikahkannya dengan Mirna. Tanpa ingin berdebat panjang, Pak Mustafa bergegas ke para tetangga dan meminta bantuan agar mereka berkenan menjadi saksi pernikahan putrinya dengan Bram.

Bram sendiri yang menjelaskan kepada para tetangga yang menjadi saksi pernikahannya dengan Mirna.

“Hanya,” kata Bram yang sudah memaparkan mengapa dia ingin dinikahkan sekarang juga. “ Setelah kami menikah siri, minggu depan kami menikah di KUA, tanpa pesta tanpa pamer berbau hura hura “

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler